Kalau boleh menduga, saya rasa tidak banyak yang keberatan jika seorang mengatakan bahwa kita hidup dalam dunia yang nampaknya dipenuhi kejahatan. Banyak yang setuju bahkan menjadi sinis karena kejahatan dan segala turunannya itu memang bukan sesuatu yang terlalu abstrak. Kita melihat, mendengar, merasakan, mengalami, atau bahkan melakukannya dalam keseharian.
Di Bekasi, ada sekelompok orang Kristen yang harus beribadah di dalam tenda di pinggir jalan, dengan sejumlah speaker yang sengaja diarahkan kepada mereka, memutar lagu-lagu yang memekakkan telinga yang sangat mengganggu jalannya kebaktian. Kenapa? Akar permasalahannya adalah karena adanya sejumlah orang yang hatinya begitu dikuasai kebencian sehingga tidak rela ada orang yang beribadah dengan cara yang berbeda. Padahal undang-undang dan hukum jelas menjamin kebebasan beribadah.
Ketika saya sedang menyelesaikan tulisan ini, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Seorang kenalan dengan prihatin bercerita bahwa dia baru mendapatkan pembantu berusia 18 tahun yang tidak bisa membaca dan menulis, bahkan untuk membedakan tangan kiri dengan kanan. Entah penyebabnya adalah kemalasan atau struktur sosial ekonomi yang bobrok sehingga orang miskin sulit mendapatkan pendidikan memadai.
Pertanyaannya, siapa yang peduli untuk memperbaiki masalah “duniawi” semacam sistem pendidikan, ekonomi, ataupun hukum dan politik? Lagi pula, jika memang dunia ini hanya sebuah tempat tanpa harapan yang kelak akan dilenyapkan sama sekali dan kita adalah orang-orang yang akan pergi dan menikmati sorga yang tidak ada hubungannya dengan tempat kita berada sekarang ini, maka masuk akal jika kita menjadi orang-orang yang lebih memilih duduk-duduk di menara gading kita yang eksklusif sambil memandangi kejahatan yang ada di sekeliling – mungkin sembari asyik berdiskusi theologi.
Tapi tentunya kita tidak diperintahkan seperti itu. Kita sebagai anak-anak Allah dipanggil untuk meneladani hidup Kristus, mengasihi sesama manusia, mengabarkan berita keselamatan, menjadi saluran berkat bagi orang lain. Allah ingin memakai perbuatan, pemikiran, dan hidup kita menjadi saluran berkat, alat untuk menggenapi rencana-Nya dalam dunia ini. Dunia ini, entah di bidang pendidikan, pemerintahan, etika kerja, penghargaan terhadap hak asasi manusia, kesehatan, ekonomi, keluarga, dan sebagainya, diperbarui oleh Allah dengan memakai orang-orang ini. Kita tahu bahwa kita bukan sekadar orang yang hanya menginginkan sorga, tetapi berharap melaksanakan kehendak Allah dalam seluruh totalitas hidup kita, termasuk bermandat budaya di dunia ini.
Di Dalam, Tapi Bukan dari Dunia
Sebelum masuk lebih jauh, akan sangat baik jika kita berhenti sejenak dan merenungkan lagi dengan saksama tentang bagaimana seharusnya bersikap terhadap “dunia” yang nampak jahat ini. Ini penting karena kata “dunia” di dalam Alkitab digunakan untuk mengekspresikan beberapa hal yang berbeda. Terkadang “dunia” menurut Herman Ridderbos,[1] sering digunakan oleh Paulus yang mengacu pada artian negatif yaitu “The totality of unredeemed life dominated by sin outside of Christ”. Namun jangan lupa juga adakalanya kata “dunia” dipakai untuk mengacu pada “ciptaan”. Bisa juga merujuk pada “bumi yang kita tinggali”.
Sementara kita jelas tidak boleh menjadi serupa dengan dunia dalam artian negatif, kita juga tidak boleh menjadi dualis dengan menjauhi “hal-hal dunia”, lantas memisahkan antara sacred-secular atau gereja-dunia dalam artian ciptaan Allah. Sering kali, kita menganggap hal-hal dunia, dalam arti ciptaan, entah itu politik, sistem pendidikan, bisnis, jurnalisme, dan sebagainya adalah hal yang jahat dan harus kita jauhi. Ini sebabnya sebagian orang Kristen menarik diri dari dunia dan secara tidak langsung membiarkan orang, pemikiran, sistem, dan kebijakan di dunia dikuasai oleh dosa. Benar apa yang dikatakan Edmund Burke, “The only thing necessary for evil to flourish is for good men to do nothing.”
Padahal kita diperintahkan untuk menjadi garam dan terang dunia. Menjadi alat Tuhan dalam menggenapkan rencana-Nya di dunia ini. Entah itu di bidang pendidikan, hukum, sistem politik, keluarga, dan sebagainya. Karena memang kita dipanggil, meminjam pemikiran James Skillen[2], sebagai sojourners dan homesteaders secara bersamaan terhadap dunia sebagai ciptaan Allah ini.
Sebagai sojourners atau musafir, kita tidak menjadikan dunia sebagai pengganti Allah. Kita senantiasa menantikan kedatangan Allah. Kita tidak termakan utopia bahwa dunia ini bisa kita ubah menjadi tempat yang adil aman sentosa, tanpa ada kejahatan dan ketidakadilan. Kita tidak menjadikan dunia ini sebagai tujuan akhir kita. Namun kita juga sadar bahwa Allah menempatkan kita di dunia ini sebagai homesteaders atau penetap, untuk menaklukkan bumi. Mengembangkan dan melindungi ciptaan Allah. Itu adalah bentuk pertanggungjawaban kita terhadap perintah mandat budaya dari Allah.
Dan dosa sekalipun tidak boleh mencegah kita untuk melakukannya, karena kedatangan, kematian, dan kebangkitan Kristus telah menebus dosa, merestorasi ciptaan, dan memampukan kita kembali bertanggung jawab menjadi perpanjangan tangan Allah, sampai Kristus datang kedua kali dan menggenapkan semuanya dengan sempurna.
Secara konkret, lihat kisah H.L. Hastings. Pada tahun 1844 dia mengunjungi Kepulauan Fiji dan menemukan betapa manusia, peta dan teladan Allah itu, dianggap begitu rendah. Manusia bisa dibeli sebagai budak dengan harga tujuh dolar, lebih murah daripada sapi. Lalu bebas diperlakukan seperti binatang, dipekerjakan, dipecut, atau dimakan. Dan yang terakhir ini adalah hal yang umum, malah sebuah tindakan populer.
Kemudian Hastings kembali beberapa tahun kemudian dan menemukan segala sesuatu telah berubah. Kini, jangankan tujuh dolar, tujuh juta dolar pun tidak bisa membeli manusia. Kenapa? Karena di seluruh Fiji terdapat 1.200 kapel Kristen di mana Injil diberitakan. Mereka diajarkan bahwa manusia adalah peta teladan Allah, yang dibeli bukan dengan perak dan emas, tapi oleh darah suci Yesus Kristus[3].
Terlalu banyak kisah-kisah seperti ini yang telah dilakukan oleh orang-orang yang mencintai Kristus. Pengaruh William Carey terhadap martabat wanita di India, perjuangan menghapus perbudakan di Inggris oleh William Wilberforce di Inggris dan Abraham Lincoln di Amerika Serikat, George Müller dengan panti asuhannya, dan sebagainya.
Sebenarnya, jika kita berbicara tentang konteks Indonesia pun, peranan orang Kristen tidak bisa dibilang kecil. Walaupun secara pemikiran, theologi, dan cara, banyak yang harus kita kritisi, tapi semangat dan keberanian mereka terjun dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan riil masyarakat patut diacungi jempol.
Yap Thiam Hien misalnya, beliau adalah pengacara yang dikenal takut akan Tuhan dan bersih, salah satu pendiri Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, orang Indonesia pertama yang duduk dalam International Commission of Jurists di Jenewa, pelopor berbagai perkumpulan hak asasi di Asia seperti Regional Council on Human Rights in Asia dan Asian Commission of Human Rights[4]. Ia juga adalah inisiator berdirinya Peradin (Persatuan Advokat Indonesia) serta menjadi pemimpinnya. Ia mendirikan Baperki (Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia) yang pada awalnya memperjuangkan masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa (belakangan keluar dari Baperki karena perbedaan pendirian). Ia menjadi ketua Organisasi Persekutuan Pelayanan Narapidana dan Tahanan (Prison Fellowship Indonesia). Ia rajin menulis di surat kabar tanpa ragu, takut, ataupun malu mengutip firman Tuhan maupun menggunakan istilah Kristen. Atas dedikasinya, beliau dianugerahi gelar Doctor Honoris Causa dari Vrije Universiteit Amsterdam[5]. Setelah kematiannya, nama beliau diabadikan menjadi penghargaan prestisius bagi para pejuang HAM di Indonesia.
Namun dalam situasi sekarang ini, saya pikir kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa kepedulian kita dalam bermandat budaya masih relatif minim. Sepengetahuan saya, dalam masalah politik, ekonomi, hukum, dan sebagainya, baik dari segi pemikiran maupun peran serta langsung lebih banyak dipengaruhi oleh pemikiran dan pekerja dari pihak Islam. Katolik mungkin berada di tempat kedua. Sedikit orang Kristen yang berpengaruh dan terjun langsung dalam institusi-institusi ini.
Di satu sisi, sulit mengharapkan Theologi Karismatik, terutama yang ekstrem dalam theologi kemakmuran, untuk menghasilkan orang-orang yang terjun langsung dalam bidang-bidang seperti politik, ekonomi, hukum, penegakan hak asasi manusia, dan sebagainya. Karena kekristenan direduksi menjadi urusan kemakmuran semata. Di sisi lain, kita yang berada dalam lingkup Theologi Reformed atau Calvinisme harus menjadi pihak yang aktif dan berinisiatif, karena di sinilah adanya pengenalan dan pengertian tentang beban dan tanggung jawab untuk bermandat budaya. Dalam politik modern misalnya, karena begitu besar peranan John Calvin, sehingga Jean-Jacques Rousseau pun menghormati dengan memberikan pujian yang tinggi ini:
“Orang-orang yang menganggap Calvin hanya sebagai theolog belaka, tidak menyadari kejeniusannya. Ia berperan besar dalam pengeditan undang-undang kita, dan ini membuat dia sangat dihormati, sebagaimana ia dihormati karena Institutes karyanya. Revolusi apa pun yang mungkin dialami agama kita kelak, selama cinta pada negara dan pada kemerdekaan belum sirna di antara kita, kenangan akan tokoh besar ini akan selalu dihormati.”[6]
Kita bersyukur di Indonesia ini, selama lebih dari dua puluh tahun Gerakan Refomed Injili digulirkan oleh Tuhan dengan memakai hamba-Nya yang setia, Pdt. Stephen Tong. Satu per satu bidang dikembalikan kepada Tuhan. Theologi dan pemahaman firman Tuhan yang senantiasa ingin setia pada Tuhan. Lewat Aula Simfonia Jakarta dan museum, seni yang tertinggi, mulai dari musik, lukisan, patung, dan arsitektur yang terindah diperuntukkan untuk Tuhan dan menjadi berkat bagi banyak orang. Pendidikan mulai digarap dengan berdirinya Sekolah Kristen Calvin. Reformed Center for Religion and Society berusaha menjadi garam dan terang dalam membentuk opini dan kebijakan publik.
Sementara itu, politik, ekonomi, sistem hukum, pemerintahan, media massa, penegakan HAM, dan berbagai bidang lainnya menunggu agar kembali digarap oleh orang-orang yang takut akan Allah. Tapi bukan semata berdiri di menara gading, berbicara dalam bahasa “sorgawi” tanpa ikut secara konkret berpartisipasi aktif. Bidang-bidang ini memerlukan pemikir sekaligus pekerja yang mencintai Allah dan sesama manusia.
Tuhan Tidak Semata Membuang, Tapi Juga Menyempurnakan
Sampai di sini, ada setidaknya dua catatan penting yang perlu ditekankan kembali dalam bermandat budaya dan bersikap terhadap dunia ciptaan Allah. Pertama, berbicara tentang komunitas, kita harus menyadari bahwa kita dipanggil untuk bermandat budaya bukan sebagai seorang superhero atau lone ranger. Ketika kita berusaha menjadi garam dan terang bagi dunia, itu bukan semata-mata usaha individual orang Kristen, tapi harus menjadi satu sikap komunal. Allah terkadang mengizinkan individu terlihat begitu mencolok tapi dengan topangan komunitas yang mungkin tidak terekspos.
Kedua, efek dosa ketika kejatuhan juga perlu kita ingat baik-baik sehingga kita tidak menjadi seorang utopis, berharap bisa mengubah dunia menjadi sempurna dengan usaha manusia belaka. Segala usaha kita di dunia ini, entah itu dengan cara berpolitik, berbisnis, terjun dalam sistem hukum, dan sebagainya tidak akan sia-sia dan Allah akan mengingat-Nya. Namun kesempurnaan itu hanyalah akan tiba ketika Kristus datang untuk kedua kalinya.
Di situlah kuncinya. Alkitab kita dimulai dengan taman lalu ditutup oleh sebuah kota. Kedatangan kedua Kristus sebagai Raja yang akan menghadirkan Yerusalem Baru di dunia. Dengan penyucian api penghakiman, kita bersyukur karena segala dosa dan kerusakan kita akan dihancurkan. Kerajaan Allah nanti bukanlah suatu diskontinuitas radikal di mana ciptaan Allah, termasuk pekerjaan yang Allah berikan kepada kita dalam dunia ini, dianggap sebagai sebuah hal yang sama sekali sia-sia dan tidak diperhitungkan oleh Allah, melainkan akan dipenuhi oleh-Nya. Itu adalah saatnya di mana semua jerih payah kita yang penuh dengan kekurangan akan disempurnakan oleh Kristus, Tuhan dan Raja kita. Amin.
Harry Febrian
Pemuda GRII Pusat
Referensi:
Kennedy, D. James & Newcombe, Jerry. Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? Batam: Interaksara, 1999.
Wolters, Albert M., Creation Regained: Biblical Basics for a Reformational Worldview. Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2005.
Skillen, James W. “Christian Action and the Coming of God’s Kingdom”, in Skillen, ed., Confessing Christ and Doing Politics. Washington, D. C.: Center for Public Justice, 1982.
Lubis, T. Mulya & Katoppo, Aristides. Yap Thiam Hien: Pejuang Hak Asasi Manusia (Jakarta: Sinar Harapan, 1996).
Lubis, Mochtar, Manusia Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor, 2001.
Meeter, H. Henry. Pandangan-pandangan Dasar Calvinisme. Surabaya: Momentum, 2005.
Endnotes:
[1] Albert M. Wolters, Creation Regained: Biblical Basics for a Reformational Worldview (Grand Rapids: Wm. B. Eerdmans, 2005), pp. 63-65.
[2] James W. Skillen, “Christian Action and the Coming of God’s Kingdom”, in Skillen, ed., Confessing Christ and Doing Politics (Washington, D. C.: Center for Public Justice, 1982), pp. 92-94.
[3] D. James Kennedy & Jerry Newcombe, Bagaimana Jika Yesus Tidak Pernah Lahir? (Batam: Interaksara, 1999), hlm. 42-43.
[4] Lubis, T. Mulya & Katoppo, Aristides. Yap Thiam Hien: Pejuang Hak Asasi Manusia (Jakarta: Sinar Harapan, 1996).
[5] http://reformed-crs.org/ind/articles/kuyper_dan_sakralisasi_pemerintahan.html.
[6] Jean-Jacques Rosseau, Du Contract Social. Dikutip dalam Georgia Harkness, John Calvin: The Man and His Ethics (New York: Henry Holt, 1931), hlm. 221.