Singapura baru saja kehilangan founding father-nya yang mengubahnya dari rawa-rawa
menjadi metropolis. Lee Kuan Yew, seorang pragmatis yang tidak terikat oleh salah satu
ideologi selalu memikirkan apa yang terbaik untuk negaranya dan mengabdikan hidup
sepenuhnya untuk negaranya. Suatu jasa yang terbukti tiada tara bagi kesejahteraan warga
Singapura dan Asia Tenggara di mana Singapura menjadi oasis bagi negara-negara di Asia
Tenggara.
Ada banyak pemikiran beliau yang dapat dipelajari dan dipikirkan tetapi hanya satu saja
yang akan saya bahas yaitu topik mengenai kebebasan manusia yang berdasarkan hak asasi
manusia (HAM). Dengan berkembangnya penghargaan terhadap HAM yang seharusnya
memanusiakan manusia dan memulihkan manusia terhadap kodrat aslinya, istilah HAM
justru menjadi dogmatis dan banyak disalahgunakan, misalnya: gay rights movement. Lee
Kuan Yew juga berpikir hal yang sama dan berikut adalah kutipan dari wawancara kepada
beliau ketika masih menjabat sebagai Senior Minister:
Yes, things have changed. I would hazard a guess that it has a lot to do with the erosion of the
moral underpinnings of a society and the diminution of personal responsibility. The liberal,
intellectual tradition that developed after World War II claimed that human beings had arrived
at this perfect state where everybody would be better off if they were allowed to do their own
thing and flourish. It has not worked out, and I doubt if it will. … There is such a thing called
evil, and it is not the result of being a victim of society. You are just an evil man, prone to
do evil things, and you have to be stopped from doing them. Westerners have abandoned an
ethical basis for society, believing that all problems are solvable by a good government, which
we in the East never believed possible.
Pandangannya yang tajam tentang kerusakan manusia yang otomatis ini sesuai dengan
theologi Reformed. Karena itu, dengan diagnosis terhadap masyarakat yang tepat, salah satu
fungsi pemerintah sebagai alat untuk restrain evil dijalankan dengan baik oleh Singapura.
Sayang sekali, orang yang sangat berjasa untuk perkembangan bangsa ini sampai masa
tuanya belum mengenal Kristus walaupun beliau sangat menghargai kekristenan dan sebagian
keluarganya sudah mengenal Kristus.
Terlepas dari itu semua, kembali ke topik yang kita pelajari tadi, sudah saatnya kita
memikirkan KAM (Kewajiban Asasi Manusia) yang tidak bisa dipisahkan dari HAM sebagai
dua sisi dari satu keping mata uang yang sama. Dan bukankah sentralitas dari kekristenan
memang adalah kewajiban asasi [ketaatan (obedience) dan tugas (duty)] sebagai gambar dan
rupa Allah (image of God) yang mengandung hak [harkat martabat (dignity) dan nilai (value)]
asasi manusia? Kiranya Tuhan menolong kita.