Bulan Oktober merupakan perayaan dua hari penting dalam tradisi Yudeo-Kristen. Tanggal 12 Oktober adalah Hari Raya Pendamaian (Yom Kippur) dan 31 Oktober adalah Hari Reformasi. Di tengah pluralitas kepercayaan dunia di masa saat ini serta konflik Timur Tengah yang sedang sengit, artikel ini mencoba untuk menjelaskan finalitas Yesus sebagai Imam Maha Tinggi yang membawa pendamaian.
Peran Seorang Mediator
Pernahkah kita berbuat suatu kesalahan kepada seseorang dan akhirnya terjadi sebuah keretakan dalam hubungan? Setiap kali kita berpapasan dengan orang itu, ada gerak tubuh “buang muka” dan tidak ingin melihatnya. Seolah-olah dengan menatap wajah orang itu, hal tersebut mengingatkan kita akan kesalahan diri sendiri dan orang lain. Dia adalah “si manusia yang tidak boleh eksis”. Hanya saja, karena dia masih hidup secara biologis, maka terpaksa kita perlu “mematikan dia secara eksistensial” dengan tidak berbicara dengannya, tidak menatap wajahnya, atau lebih tepatnya, tidak mengakui keberadaannya sebagai makhluk hidup dalam teritori kesadaran hidup kita. Demikianlah gambaran tentang nuansa hidup manusia yang belum didamaikan. Ada sebuah permusuhan yang terjadi di antara dua pribadi yang saling bertegangan di bawah bayang-bayang kegelapan. Biasanya, dalam konflik seperti demikian, muncul seorang “mediator” atau penengah yang membantu proses komunikasi antara dua pihak yang berkonflik agar bisa membangun sebuah hubungan yang semula, yaitu sebuah hubungan yang sudah didamaikan.
Dengan demikian, kita dapat membayangkan bahwa peran seorang mediator sudah seperti seorang saksi, atau bahkan, seorang hakim atau orang tua. Ucapannya memiliki kuasa untuk menentukan kedua pihak untuk mengikuti nasihatnya. Apa yang dia katakan mempunyai daya untuk menggerakkan dua pihak kepada satu arah yang sama. Barangkali, ketika kita masuk ke dalam sebuah hubungan yang penuh dengan ketegangan, dan masing-masing pihak sudah membulatkan diri untuk tidak saling mendengarkan, seorang mediator ini mempunyai posisi yang sangat penting untuk membawa sebuah pendamaian. Dia sendiri harus memahami dan merasakan ketegangan konflik itu sendiri sekaligus mampu untuk melampauinya, sehingga dapat menghasilkan buah pendamaian yang ingin dicapai. Jika orang lain berbuat salah kepada kita, kuasa itu ada di tangan kita untuk melepaskannya. Jika kita berbuat salah kepada orang lain, orang lain itu yang berkuasa untuk melepaskan atau tidak. Jika ada seorang mediator, kuasa itu ada di tangannya, bukan di saya atau si dia.
Sekarang, mari kita bayangkan bahwa yang bersalah adalah diri kita sendiri, dan yang telah menerima luka kesalahan itu adalah Allah. Jika konflik itu adalah antara dua pribadi manusia, maka sebetulnya itu adalah perihal yang lebih mudah. Semua manusia berdosa, dan kita bisa saling memahami keberdosaan sesama kita, sehingga lebih rasional untuk saling melepaskan. Akan tetapi, apa jadinya jika kita berbuat dosa kepada Allah? Ibaratnya, kita berbuat sebuah kesalahan yang disengaja di depan seorang raja atau presiden, dan kira-kira berapa banyak perbuatan baik yang perlu dilakukan untuk “menebus kesalahan” itu? Bagaimanakah “akuntansi keselamatan” kepada Allah yang Maha Kudus untuk bisa kembali ke surga? Jika kita berdosa kepada Allah sendiri, manusia manakah yang dapat menjadi pengantara? Malaikat yang tidak berdosa sekalipun tidak bisa, siapa manusia berdosa yang mampu menjalankan peran seperti itu?
Saya pernah ditanya oleh seorang teman, “Mengapa orang Kristen perlu percaya kepada seorang Juruselamat untuk masuk surga?” Saya bertanya kembali, “Sepertinya kita bisa hindari dahulu konsep Juruselamat, dan kita bicarakan dahulu langkah menuju surga. Kalau boleh tahu, dalam agamamu, perbuatan baik adalah mendapatkan nilai plus dan perbuatan dosa mendapatkan nilai minus?” Kawan saya berkata, “Benar.” Saya lalu melanjutkan pertanyaan berikutnya, “Kalau begitu, dibutuhkan perbuatan baik yang lebih banyak daripada perbuatan jahat supaya masuk surga? Ibaratnya prinsip akuntansi ‘50+1’ akan membuat timbangan lebih berat kepada perbuatan baik untuk memberikan sebuah posisi di surga?” “Benar.”
“Berarti Tuhan seperti itu bukanlah Tuhan yang Maha Kudus. Tuhan menuntut 100, yaitu ketidakberdosaan dan kesempurnaan sebagai syarat masuk surga. Bukan 50+1, dan bukan 99 ataupun 99+0,001, tetapi 100 itu sendiri. Kedua, perbuatan baik yang sempurna sudah sewajibnya dilakukan, tidak ada nilai plus. Dan perbuatan yang kurang baik atau perbuatan jahat, itu sudah menjadi nilai minus. Tuhan yang sejati menuntut relasi yang sempurna seperti demikian, dan bukan proses transaksi yang setengah-setengah. Jika dia tidak Maha Kudus, maka dia bukan Tuhan sama sekali. Jika kita bertransaksi (berdagang) dengan Tuhan, maka kita sedang mencintai surga untuk diri sendiri, dan bukan Tuhannya. Akan tetapi, jika kita mencari Tuhannya, maka kita akan menyadari bahwa pendamaian adalah hal yang hampir mustahil oleh karena dosa.” Siapa yang dapat bertahan menghadapi Allah tanpa seorang pengantara yang mampu melunasi segala utang dosa tersebut? Pendamaian adalah pelunasan terhadap segala kejahatan yang telah diperbuat oleh manusia, dan Tuhan tidak mungkin berkenan kepada perbuatan baik selama masih ada utang dosa di dalamnya. Yang kudus akan membakar yang berdosa, dan yang berdosa membutuhkan pengantara kudus untuk mewakilinya masuk ke ruang yang Maha Kudus.
Hari Raya Pendamaian
“Lalu ia harus menyembelih domba jantan yang akan menjadi korban penghapus dosa bagi bangsa itu dan membawa darahnya masuk ke belakang tabir, kemudian haruslah diperbuatnya dengan darah itu seperti yang diperbuatnya dengan darah lembu jantan, yakni ia harus memercikkannya ke atas tutup pendamaian dan ke depan tutup pendamaian itu. Dengan demikian ia mengadakan pendamaian bagi tempat kudus itu karena segala kenajisan orang Israel dan karena segala pelanggaran mereka, apa pun juga dosa mereka.
Demikianlah harus diperbuatnya dengan Kemah Pertemuan yang tetap diam di antara mereka di tengah-tengah segala kenajisan mereka. Seorang pun tidak boleh hadir di dalam Kemah Pertemuan, bila Harun masuk untuk mengadakan pendamaian di tempat kudus, sampai ia keluar, setelah mengadakan pendamaian baginya sendiri, bagi keluarganya dan bagi seluruh jemaah orang Israel. Kemudian haruslah ia pergi ke luar ke mezbah yang ada di hadapan TUHAN, dan mengadakan pendamaian bagi mezbah itu. Ia harus mengambil sedikit dari darah lembu jantan dan dari darah domba jantan itu dan membubuhnya pada tanduk-tanduk mezbah sekelilingnya. Kemudian ia harus memercikkan sedikit dari darah itu ke mezbah itu dengan jarinya tujuh kali dan mentahirkan serta menguduskannya dari segala kenajisan orang Israel.
Setelah selesai mengadakan pendamaian bagi tempat kudus dan Kemah Pertemuan serta mezbah, ia harus mempersembahkan kambing jantan yang masih hidup itu, dan Harun harus meletakkan kedua tangannya ke atas kepala kambing jantan yang hidup itu dan mengakui di atas kepala kambing itu segala kesalahan orang Israel dan segala pelanggaran mereka, apa pun juga dosa mereka; ia harus menanggungkan semuanya itu ke atas kepala kambing jantan itu dan kemudian melepaskannya ke padang gurun dengan perantaraan seseorang yang sudah siap sedia untuk itu.” (Imamat 16:15-21)
Ketika kita membaca peraturan-peraturan yang Allah tetapkan dalam Imamat 16, di sana dijelaskan dengan sangat lengkap bagaimana Harun sebagai Imam Besar harus mengadakan pendamaian bagi dirinya dan bangsa Israel. Sejak manusia dikeluarkan dari Taman Eden oleh karena dosa, maka ada sebuah “tirai” yang memisahkan manusia dari Allah, yang berdosa dari yang Maha Kudus. Dahulu Tuhan Allah dapat berjalan-jalan di Taman Eden bersama manusia, tetapi sekarang manusia di padang gurun dosa tidak dapat bertemu dengan Allah. Satu kali setahun, Imam Besar harus menyiapkan seekor kambing untuk menghisap segala dosa bangsa Israel, yaitu ketika Harun meletakkan tangannya dan mengakui di atasnya segala kesalahan orang Israel dan pelanggarannya. Lalu, kambing itu harus dilepaskan ke padang gurun. Barulah setelah itu, Harun masuk ke dalam Ruang Maha Kudus, di atas tutup pendamaian, dan berjumpa dengan Allah. Harun membawa darah domba jantan dan memercikkannya ke atas dan ke depan tutup pendamaian itu.
Hari itu adalah hari yang sangat serius. Satu kali dalam setahun, di antara seluruh bangsa Israel, dan di antara semua imam, hanya satu orang saja yang dapat masuk ke dalam Ruang Maha Kudus. Jika seorang non-imam melihat pada benda yang tersimpan di dalam Ruang Kudus, dia akan mati. Jika seorang imam masuk ke Ruang Maha Kudus, dia akan mati. Jika seorang Imam Besar masuk ke Ruang Maha Kudus tanpa didamaikan terlebih dahulu melalui korban penghapus dosa, dia akan mati. Di hadapan Allah yang Maha Kudus, manusia berdosa akan dimatikan, sebab tidak ada seorang pun yang layak untuk masuk ke dalamnya, terlebih lagi untuk menatap wajah Allah sendiri. Itulah tempat di mana Allah berada dan bersinggah di tengah bangsa Israel di padang gurun dan di dalam bait-Nya.
Yom Kippur adalah sebuah hari pendamaian atas dosa-dosa yang diperbuat oleh bangsa Israel selama satu tahun itu. Dosa yang paling besar sampai terkecil “dikompres” dan disimpan pada seekor kambing yang dilepaskan ke padang gurun. Bagi bangsa Israel pada saat itu, dapat dikatakan bahwa Hari Raya Pendamaian adalah sebuah hari pembebasan dan sebuah restart dari kehidupan yang baru. Tahun yang lalu dengan segala dosa sudah berlalu, dan tahun baru dengan lembar hidup baru sudah datang. Di antara Allah dan umat-Nya, Imam Besar Harun berdiri untuk mengadakan pendamaian, yaitu sebuah pemulihan hubungan antara kita yang berdosa dan Allah yang Maha Kudus. Dalam konteks kehidupan orang Indonesia, dapat dikatakan bahwa yang dikenal oleh Idul Fitri adalah “hari Pendamaian” setelah kaum Muslim melewati masa puasa di bulan Ramadan. Demikian juga, dalam konteks kehidupan orang Israel dan orang Yahudi, Yom Kippur adalah hari pendamaian merupakan sebuah kehidupan baru, di tahun yang baru, di suatu bangsa yang sudah diperbaharui oleh Allah.
Yesus sebagai Imam Allah yang Maha Tinggi
Dalam banyaknya agama dan kepercayaan dunia, terdapat pengantara-pengantara seperti demikian yang mewakili manusia untuk berhadapan dengan Allah. Di dalam agama Islam yang merupakan agama monotheistik, ada Muhammad yang berdiri sebagai nabi dan rasul. Di dalam kepercayaan politheistik, ada “peramal-peramal” (oracles) atau para shaman yang menjadi jembatan komunikasi antara para dewa dan manusia. Peran dari para imam berfungsi sebagai mediator yang mendoakan umat, mengajarkan tata cara ibadah, dan prinsip hidup kepadanya. Jika kita memperhatikan lebih lanjut para imam dalam agama di luar Alkitab, setidaknya para imam tersebut akan diposisikan sebagai “orang kudus yang tidak bersalah”. Sebagai contoh, dalam budaya kejawen Jawa, seorang imam adalah mereka yang mempunyai kuasa Ilahi atau kemampuan mistis sehingga dapat dikatakan sebagai orang sakti.
Tidaklah demikian dalam Alkitab. Imam Besar dan para imam adalah manusia berdosa yang perlu ditebus oleh korban penghapus dosa. Adapun demikian, mereka tidak boleh terus memakai baju keimaman dan membawanya keluar dari bait Allah. Setelah menjalankan peran sebagai imam dalam upacara yang kudus dan meninggalkan bait Allah, mereka melepaskan baju kudus dan menjadi orang biasa. Mereka kembali ke rumah sebagai manusia biasa. Status keimaman memang tetap melekat pada diri mereka, dan orang lain bisa saja memandangnya sebagai “orang sakti”. Akan tetapi, bagi orang yang menjadi imam dan Imam Besar, dia mengetahui sedalam-dalamnya bahwa dia hanyalah manusia biasa yang berdosa. Dia bisa saja mengajar tata ibadah, membedakan hal yang tahir dan tidak tahir, melakukan persembahan korban untuk orang lain (awam), tetapi dia mengetahui di dalam keberdosaannya, dia juga membutuhkan pendamaian. Setiap kali dia melakukan persembahan korban, itu mengingatkan dirinya sebagai orang berdosa, dan dia juga harus menyiapkan korban penghapus dosa bagi dirinya sebelum mengadakan upacara penghapusan dosa.
Pada akhirnya, baik setiap imam yang melayani di bait Allah maupun para pengantara yang mewakili umat di agama lain harus mati karena dosa. Sebab upah dosa adalah maut, dan darah binatang ataupun pengorbanan tidak dapat menyelamatkan para pengantara yang berdosa. Sesakti dan “sekudus” apa pun manusia berdosa, dia tetaplah manusia berdosa. Dan barangkali, para pengantara seperti demikian juga memohon kepada para pengikutnya untuk mendoakannya agar dia juga dapat diterima di sisi sebelah sana. Hal itu menunjukkan bahwa pencarian manusia untuk menemukan “jalan” menuju Ruang Maha Kudus adalah sia-sia, sebab ruang itu yang adalah kehadiran Allah di surga, tidak pernah bisa dicapai oleh pekerjaan manusia. Dengan kata lain, tidak ada pendamaian yang sejati jika manusia menjadi pengantara bagi sesamanya. Dan di tengah situasi hati seperti demikian, manusia akan merasa ragu akan diri sendiri, merasa curiga dan benci akan orang lain, sebab manusia hidup dalam kegelapan dosa. Semua pekerjaan baik manusia hanyalah kain kotor di mata Allah yang tidak bisa berfungsi sebagai persembahan penghapus dosa. Hanya seorang manusia (bukan malaikat) yang tidak berdosa yang dapat mati dan menjadi pengganti manusia berdosa. Dan untuk menjadi penghapus dosa bagi seluruh umat manusia, entitas yang tidak berdosa ini haruslah Tuhan itu sendiri.
“Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya. Dan lihatlah, tabir Bait Suci terbelah dua dari atas sampai ke bawah dan terjadilah gempa bumi, dan bukit-bukit batu terbelah.” (Matius 27:50-51)
“Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.” (Kisah Para Rasul 4:12)
Ketika Yesus mati di kayu salib, tirai yang menutupi Ruang Maha Kudus itu terkoyak dari atas ke bawah. Tirai itu tidak dirobek dari “bawah ke atas” dengan pekerjaan manusia, tetapi dari “atas ke bawah” oleh karena Allah sendiri yang membuatnya. Hal itu menunjukkan bahwa halangan dosa yang memisahkan manusia dari Allah sudah tidak lagi ada. Dahulu Adam dan Hawa diusir oleh para malaikat kerub yang menjaga takhta-Nya di taman Eden, dan Harun dengan para imam dijauhkan oleh tirai yang memisahkannya dari Tabut Perjanjian yang dijaga oleh gambar kerub. Namun sekarang, sudah ada seorang Imam yang masuk ke Ruang Maha Kudus, bukan di Taman Eden ataupun di Kemah Pertemuan, bukan di bait Allah buatan manusia yang dapat dihancurkan, melainkan kepada Ruang Maha Kudus di surga, yaitu di hadirat Allah Bapa.
Tuhan Yesus bukan membawa darah domba atau binatang-binatang yang fana, melainkan darah-Nya sendiri. Jika darah binatang dapat menghapus dosa manusia untuk sementara waktu, alangkah besar dan kudusnya darah Tuhan sendiri yang menebus kita untuk kekekalan. Dosa masa lalu, sekarang, dan masa depan sudah terhapus di dalam persembahan satu kali untuk selamanya. Dari manusia pertama sampai terakhir dalam sejarah, dosanya sudah diampuni di dalam Kristus. Tirai yang memisahkan doa-doa kita dengan Allah sudah ditiadakan. Setiap kali kita berdoa dengan memanggil nama Allah, menutupnya dengan “amin” di dalam nama Yesus, itu seperti sebuah keberanian dan langkah untuk masuk ke dalam Ruang Maha Kudus, yaitu sisi kanan Allah Bapa. Seperti seorang anak yang meminta menatap wajah Allah tanpa mengalami kematian, demikianlah Yesus yang menjadi Imam Maha Tinggi bagi umat yang percaya dalam nama-Nya.
Ketika kita percaya akan hal ini, maka kita akan melihat bahwa semuanya ini menjadi mungkin bukan karena perbuatan manusia. Bukan karena kita sudah kudus atau mempersembahkan korban bakaran (perbuatan baik) maka kita bisa diperkenan oleh Tuhan, sebab Tuhan tidak berkenan kepada korban bakaran atau persembahan. Bukan karena ada Imam Besar ini atau para imam itu sehingga kita dapat berjumpa dengan Allah, sebab para imam sendiri adalah manusia berdosa dan akan mati. Bukan karena kita berhasil menjadi orang yang percaya kepada-Nya, maka Allah mengasihi kita. Bukan, itu semua bukan. Akan tetapi, karena Allah telah mengasihi kita di dalam pengorbanan Anak-Nya di kayu salib, itulah satu-satunya jaminan bahwa kita dapat mendatangi takhta Allah sebagai seorang anak yang dikasihi Sang Bapa di surga.
“Tetapi, karena Ia tetap selama-lamanya, imamat-Nya tidak dapat beralih kepada orang lain. Karena itu Ia sanggup juga menyelamatkan dengan sempurna semua orang yang oleh Dia datang kepada Allah. Sebab Ia hidup senantiasa untuk menjadi Pengantara mereka.” (Ibrani 7:24-25)
“Karena Allah itu esa dan esa pula Dia yang menjadi pengantara antara Allah dan manusia, yaitu manusia Kristus Yesus, yang telah menyerahkan diri-Nya sebagai tebusan bagi semua manusia: itu kesaksian pada waktu yang ditentukan.” (1 Timotius 2:5-6)
Jika kita dikasihi Allah karena perbuatan kita, maka ada sebuah ruang di dalam hati kecil kita yang merasa bahwa Tuhan bisa melupakan kita jika kita tidak berhasil berbuat baik. Jika kita dikasihi karena ini atau itu, kita belum sungguh-sungguh dikasihi sampai kepada inti diri sebagai seorang pribadi. Dan kita akan merasa takut kepada Allah yang menghakimi seperti demikian, berlari dari hadapan-Nya, dan mencari manusia lain untuk menjadi “pengantara semu” untuk menghadap Allah. Andaikan saja kita sudah dilepaskan dari hukuman dosa, kita tetap tidak mengasihi Allah. Kita bisa merasa bersyukur kepada-Nya karena lega tidak lagi dihukum. Akan tetapi, kita tetap tidak dapat sungguh-sungguh mengasihi Allah sebab kita yang berdosa berada di bawah hukum Taurat. Allah seperti demikian menjadi hakim, dan bukan Bapa.
Bukanlah demikian ketika kita percaya kepada Kristus. Dialah Sang Jalan yang mengantar kita untuk berjumpa dengan Bapa. Di dalam-Nya kita sudah ditebus. Kita tidak perlu “menjual perbuatan baik” dan segala korban-korban sebagai “nilai plus” untuk menyucikan dosa. Kita tidak lagi merasa perlu “membeli surga” untuk melarikan diri dari dosa dan konsekuensi neraka. Kita tidak lagi merasa ragu dan minder, sombong dan benci, karena bukan lagi manusia yang membeli keselamatan. Kita tidak lagi sedang berdagang pahala dengan Tuhan sebagai akuntan untuk membeli dan mengemis surga. Semuanya itu sudah ditanggung oleh Yesus di kayu salib. Hanya anugerah Allah sajalah yang menyelamatkan. Dengan demikian, segala persembahan korban (perbuatan baik) yang adalah buah dari iman, akan menjadi persembahan yang diperkenan oleh Allah. Kita sudah dibebaskan oleh Sang Anak. Seandainya kita sungguh-sungguh mengenal Yesus sebagai satu-satunya Imam Allah yang tidak tergantikan, kita akan merasakan kepercayaan penuh bahwa diri ini sudah didamaikan dengan Allah.
Jika kita dikasihi Allah karena perbuatan kita, maka ada sebuah ruang di dalam hati kecil kita yang merasa bahwa Tuhan bisa melupakan kita jika kita tidak berhasil berbuat baik. Jika kita dikasihi karena ini atau itu, kita belum sungguh-sungguh dikasihi sampai kepada inti diri sebagai seorang pribadi. Dan kita akan merasa takut kepada Allah yang menghakimi seperti demikian, berlari dari hadapan-Nya, dan mencari manusia lain untuk menjadi “pengantara semu” untuk menghadap Allah.
Pendamaian itu dapat ditemukan dalam Tuhan Yesus, yang menjadi korban pendamaian kekal, bagi yang percaya kepada-Nya. Manusia yang didamaikan dengan Allah akan berdamai dengan dirinya sendiri. Manusia yang berdamai dengan diri akan berdamai dengan sesamanya. Hanya manusia yang sudah didamaikan oleh Allah, barulah dia mampu untuk membawa damai kepada dunia. Kita dijadikan Tuhan sebagai imamat rajani, bangsa terpilih, milik kesayangan Allah sendiri (1Ptr. 2:9) untuk mewartakan pendamaian kepada dunia yang dikuasai oleh kegelapan dan peperangan, yaitu untuk membawa harapan dan kasih Allah.
“Kata Yesus kepadanya: Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yohanes 14:6)
“Damai sejahtera Kutinggalkan bagimu. Damai sejahtera-Ku Kuberikan kepadamu, dan apa yang Kuberikan tidak seperti yang diberikan oleh dunia kepadamu. Janganlah gelisah dan gentar hatimu.” (Yohanes 14:27)
Kevin Nobel Kurniawan