Setiap kali memasuki tahun yang baru, kita tahu bahwa setiap kita akan menjadi makin tua. Terima tidak terima, akan mulai bermunculan insan-insan di dalam gereja yang memanggil kita dengan sebutan “om” dan “tante”. Sekalipun setiap kali kita meresponsnya dengan kalimat, “Gua tidak setua itu woy!” Tapi tubuh, terutama pinggang, kadang terlalu jujur. Encok is the new normal nowadays. Sakit pinggang kini telah menjadi sahabat karib yang mau tidak mau harus kita embrace (dengan sedikit koyo dan minyak oles misalnya).
Alkitab sering membicarakan tentang kehidupan umat Tuhan yang menua, dan menaruhnya dalam bingkai pertumbuhan. Alkitab tidak berbicara tentang proses menjadi tua tanpa tuntutan pertanggungjawaban, seolah-olah menjadi tua adalah hal yang akan berlalu begitu saja. Alkitab justru memberikan tolok ukur bahwa “penuaan” harus berkaitan dengan kualitas keimanan, karakter, dan kematangan rohani seseorang. Kita mungkin pernah mendengar pepatah “menjadi tua adalah keharusan, sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan”. Tetapi kekristenan memberikan pengajaran yang melampaui itu, bahwa memang menjadi makin tua adalah fakta, namun menjadi dewasa dalam iman dan karakter adalah keharusan.
Keharusan untuk terus bertumbuh dalam iman ini nuansanya dapat kita tangkap dalam Surat Ibrani. Betul bahwa pertumbuhan itu berasal dari Tuhan (1Kor. 3:6), namun pada saat yang bersamaan, Paulus juga mengajarkan bahwa proses menanam dan menyiram tetap berlangsung di dalam ketekunan. Dalam tulisannya, penulis Ibrani mengingatkan kembali mengenai dasar-dasar utama dan vital dari iman Kristen, yaitu tentang supremasi dan pengenalan terhadap Kristus sebagai pilar utama yang menegakkan bangunan kehidupan kristiani. Tetapi tentang dasar ini, penulis Ibrani juga sempat menyampaikan nada kekecewaannya terhadap umat Tuhan (Ibr. 5:11-14).
Kita mungkin pernah mendengar pepatah “menjadi tua adalah keharusan, sedangkan menjadi dewasa adalah pilihan”. Tetapi kekristenan memberikan pengajaran yang melampaui itu, bahwa memang menjadi makin tua adalah fakta, namun menjadi dewasa dalam iman dan karakter adalah keharusan.
Kekecewaan itu tertuang di sepanjang ayat 11 hingga 15. “We have much to say about this, but it is hard to explain because you are slow to learn.” – Ibrani 5:11, NIV. Dalam versi terjemahan ESV, “slow to learn” diterjemahkan sebagai “become dull of hearing”. Lalu penulis Ibrani melanjutkan, “Sebab sekalipun kamu, ditinjau dari sudut waktu, sudah seharusnya menjadi pengajar, kamu masih perlu lagi diajarkan asas-asas pokok dari pernyataan Allah, dan kamu masih memerlukan susu, bukan makanan keras.” – Ibrani 5:12. Hal ini menunjukkan suatu kondisi di mana warga gereja mengalami “spiritual stunting”; suatu kondisi di mana kedewasaan pola pikir dan karakter kristiani pada jemaat tidak mengalami pertumbuhan, sekalipun mereka telah cukup lama berada di dalam gereja dan terlihat “aktif melayani” dalam berbagai kegiatan.
Bagi penulis Ibrani, spiritual stunting ini dapat terlihat dari pemahaman atas doktrin-doktrin dasar yang masih harus diajarkan ulang, pasif dalam mengambil bagian untuk membangun tubuh Kristus (mengajar), dan rasa tanggung jawab yang minim atas setiap tugas yang diemban (belajar dan bertumbuh), sekalipun telah diberikan cukup waktu untuk bertumbuh.
Mencari Hikmat dari Amsal
Dalam bahasa Yunaninya, kata “lamban” pada ayat 11 memiliki arti “malas”. Jadi “lamban” yang dimaksud bukanlah soal terbatasnya kemampuan kognitif/motorik atau sarana prasarana yang dibutuhkan untuk berkembang, melainkan soal sikap hati yang malas untuk berkembang (sinful attitude). Ini masalah keberdosaan, masalah spiritualitas yang bengkok. Kita tahu Amsal berbicara banyak soal kemalasan. Amsal-amsal tersebut selalu menyindir pemalas, tak jarang dengan bahasa yang jenaka dan humoris, tetapi juga sarkastis dan ironis. Ayat-ayat ini dapat kita gunakan sebagai bingkai untuk memahami kemalasan spiritual dengan lebih kaya. Beberapa contohnya dapat kita lihat di bawah ini.
“Pada musim dingin si pemalas tidak membajak; jikalau ia mencari pada musim menuai, maka tidak ada apa-apa” – Amsal 20:4; pemalas berharap kerohaniannya dapat bertumbuh, tetapi ia tidak pernah mendisiplinkan diri di dalam pengenalan dan pengamalan akan kebenaran firman Tuhan. “Ladang” kehidupannya tidak pernah ia “bajak”, tetapi ia berharap dapat menemukan buah yang muncul daripadanya. Ironis.
“Seperti pintu berputar pada engselnya, demikianlah si pemalas di tempat tidurnya” – Amsal 26:14; kemalasan rohani itu seperti pintu pada engselnya, ia terlihat banyak bergerak (aktif melayani kesana-kemari) tetapi kedewasaan karakter kristianinya tidak pernah berkembang; di situ-situ saja, dari “tidak bertanggung jawab” kepada “tidak bertanggung jawab” lainnya.
“Orang yang bermalas-malasan dalam pekerjaannya sudah menjadi saudara dari si perusak” – Amsal 18:9; kemalasan dalam pekerjaan saja bisa menjadi sumber kerusakan, apalagi kemalasan rohani. Kita tidak pernah peka bahwa kemalasan rohani dapat merusak bukan saja diri sendiri, melainkan juga orang di sekitar kita dan komunitas gerejawi. Baik secara aktif maupun pasif, kemalasan itu akan menarik orang-orang di sekeliling untuk menjauh dari “… pertemuan-pertemuan ibadah kita, seperti dibiasakan oleh beberapa orang …” – Ibrani 10:25. Merespons hal ini, marilah kita saling menasihati, saling menguatkan, dan makin giat melakukan disiplin ibadah kita menjelang hari Tuhan yang makin dekat. Ibadah di sini bukan saja mencakup kebaktian Minggu, melainkan seluruh aspek kehidupan kita, sebuah praksis sebagai umat Allah.
“Si pemalas mencelup tangannya ke dalam pinggan, tetapi tidak juga mengembalikannya ke mulut.” – Amsal 19:24; sekalipun sudah Tuhan berikan begitu banyak sarana anugerah, kemalasan rohani menjadikan orang-orang Kristen bagaikan ayam yang mati di dalam lumbung padi; anugerah begitu limpah, tetapi itu semua tak pernah sampai pada menghasilkan buah-buah pertobatan yang sejati dalam kehidupan si pemalas. Ia begitu dekat dengan kebangunan rohani, begitu dekatnya, namun Ia tidak kunjung juga melihat dan memanfaatkan semua anugerah yang ada untuk membangun dan mengembangkan hidup yang telah Allah sediakan. Bagaikan orang yang diberikan satu talenta oleh tuannya, ia menguburnya dan merasa tuannya adalah orang yang jahat.
“Si pemalas berkata: ‘Ada singa di luar, aku akan dibunuh di tengah jalan.’” – Amsal 22:13, “Berkatalah si pemalas: ‘Ada singa di jalan, ada singa di lorong!’” – Amsal 26:33; pemalas itu selalu membuat alasan yang mengada-ada. Demikian pula pemalas rohani (spiritual sluggard) akan selalu mencari-cari alasan untuk tidak mau melatih diri, mendisiplin diri, menyangkal diri, memikul salib, dan mengikut Tuhan. Misalnya, kita tahu bahwa tidak bisa datang kebaktian dengan alasan tertindih sebutir nasi merupakan sebuah alasan yang sangat konyol! Suatu alasan yang sangat absurd, bukan?
Tetapi dalih di atas juga sama konyolnya dengan alasan ini: “Allah itu kan Mahakasih, maka Dia pasti mengampuni kemalasan-kemalasan rohani kita dan membiarkan kita, di dalam kasih-Nya, untuk terus tidak menghasilkan buah.” Ini pun absurd. Kita menyamakan kasih dengan pembiaran, bukan pendisiplinan. Kita lupa bahwa anak-anak Allah yang sesungguhnya, yang sungguh-sungguh dikasihi oleh Allah, adalah mereka yang akan selalu dihajar oleh Tuhan (Ibr. 12:6). Jikalau sampai hari ini Tuhan belum menghajar kita karena kehidupan rohani kita yang penuh dengan kemalasan, benarkah kita ini merupakan anak-anak Allah?
Masih banyak Amsal lain tentang kemalasan, tetapi sebagian kecil ini setidaknya sudah dapat memberikan kita gambaran tentang bagaimana Alkitab memberikan peringatan tentang kemalasan, yang prinsipnya juga berlaku pada isu spiritual slumber atau sluggishness. Kita perlu mewaspadai kondisi spiritualitas yang semacam demikian. Bila kita, atau rekan-rekan kita, sedang berada dalam kondisi semacam demikian, mari meminta pertolongan Roh Kudus dan saling bahu-membahu, mendorong, menarik sesama rekan untuk bangkit dan kembali berjalan sebagai sekumpulan musafir Kristus di dalam dunia.
Kita lupa bahwa anak-anak Allah yang sesungguhnya, yang sungguh-sungguh dikasihi oleh Allah, adalah mereka yang akan selalu dihajar oleh Tuhan (Ibr. 12:6). Jikalau sampai hari ini Tuhan belum menghajar kita karena kehidupan rohani kita yang penuh dengan kemalasan, benarkah kita ini merupakan anak-anak Allah?
Mencari Jawaban dari Para Penafsir
Matthew Henry memberikan penjelasan yang menarik mengenai Ibrani 5:11 ini. Kesulitan umat Tuhan untuk memahami hal-hal mendasar tentang Kristus sebagai Imam Besar mereka pertama-tama bukanlah karena sulitnya pemahaman tersebut, melainkan karena kemalasan para pendengar. Henry menyatakan bahwa memang terkadang setiap topik memiliki tingkat kesulitannya tersendiri untuk dimengerti, ataupun terdapat keterbatasan pada orang-orang yang diberikan otoritas untuk menjelaskan hal-hal tersebut. Namun pada konteks pembaca Ibrani, penyebab utama yang ditekankan oleh penulis adalah soal sikap hati umat Tuhan yang malas. Mereka menjadi acuh tak acuh, tidak memberikan atensi penuh, menganggap rendah dan merasa sudah paham atas hal-hal yang diajarkan/dipraktikkan.
Henry menambahkan, dull hearer membuat khotbah tentang Injil menjadi hal sulit untuk dipahami. Hal ini mengakibatkan orang-orang Kristen lemah dalam bijaksana, hikmat, dan pemahaman untuk dapat hidup bagi Tuhan. Padahal, dari bagian ini kita dapat menangkap pesan bahwa pertama, Tuhan memperhatikan banyaknya waktu dan anugerah pertolongan yang sudah kita dapatkan untuk dapat mengerti dan bertumbuh. Kedua, kata Henry, mereka yang diberikan anugerah juga dituntut tanggung jawab untuk berbuah. Ketiga, mereka yang sudah memiliki pemahaman dan pertumbuhan yang baik sudah seharusnya mengajar yang lain, bukan menyimpannya untuk diri sendiri. Dan keempat, yang patut untuk mengajar adalah mereka yang bertumbuh dalam pemahaman dan kehidupan spiritualitas secara nyata.
Pada bagian ini juga terdapat ekspresi kekecewaan dari penulis Ibrani. Penulis Kitab Ibrani menyatakan, sekalipun ditinjau dari sudut waktu mereka sudah seharusnya menjadi pengajar dan sanggup untuk mencerna hal-hal yang sulit (makanan keras), mereka masih seperti kanak-kanak dan tidak berkembang secara rohani. Dengan kata lain, penulis Ibrani menunjukkan bahwa umat Tuhan bagaikan orang yang sudah berusia dewasa, tetapi pemahaman, kelakuan dan rasa tanggung jawabnya masih seperti anak kecil (childish). Spiritually stunted. Beberapa orang, daripada maju di dalam karakter dan pemahaman kristiani, malah melupakan hal-hal mendasar tentang arti dan tujuan dari iman itu sendiri serta tidak bertumbuh melalui berbagai sarana anugerah yang sudah diterima.
Kalau kita renungkan, bukankah biasanya hal semacam ini yang menjadi sumber perpecahan dalam gereja? Anak kecil selalu ingin di-entertain, dilayani, dituruti segala keinginannya, sedangkan orang yang sudah dewasa paham kalau dalam hidup ini ada tanggung jawab-tanggung jawab yang harus dijalankan sebagai seorang manusia; demikian pula sebagai seorang Kristen yang dewasa.
John Calvin dalam tafsirannya terhadap Kitab Ibrani membaca bahwa ayat 12 berisi “teguran yang mengandung dorongan yang sangat tajam untuk menyadarkan orang-orang Yahudi dari kemalasannya”. Calvin melanjutkan, “… adalah tidak masuk akal dan amat memalukan untuk mereka bila mereka terus berada pada tahap dasar ketika mereka seharusnya sudah menjadi pengajar.” Dalam hal ini, Calvin melihat penulis Ibrani memberikan teguran yang sangat keras dengan menyatakan kondisi orang-orang yang sudah lama menjadi Kristen tetapi tidak bertumbuh sebagai “tidak masuk akal” dan “amat memalukan”.
Tuhan memperhitungkan bukan saja tahun-tahun, tetapi juga hari-hari yang telah Ia berikan bagi mereka untuk bertumbuh. Karena itu setiap orang harus berjuang untuk menghasilkan kemajuan. Bila tidak, setiap kita akan dihukum dengan adil oleh karena kemalasan kita, sebab kita tetap masih seperti anak-anak, lanjut Calvin. Calvin menyatakan, kondisi ini terjadi karena sikap hati yang ignorant, tidak peduli atas anugerah dan tanggung jawab yang harus diemban oleh tiap individu kepada Tuhan dan gereja.
Refleksi Kita atas Kondisi Spiritual Stunting
Melalui bagian ini kita menyadari bahwa akan selalu ada dua kelompok warga gereja; mereka yang bertumbuh, dan yang tidak; di luar kategori lalang dan gandum yang dinyatakan Tuhan. Kehidupan kristiani bukanlah kehidupan yang membiarkan spiritual stunting terus terjadi dalam kehidupan individu dan komunitas. Pembiaran (normalizing) atas kondisi ini merupakan efek dari dosa yang merasuk kepada cara pandang dan cara hidup masyarakat gereja. Orang Kristen yang bertumbuh akan makin merindukan makanan keras. Mereka tidak akan pernah merasa cepat puas atas pengajaran dasar, dan terus mencari nutrisi lebih. Hal ini sangat wajar terjadi karena mereka sedang bertumbuh dalam anugerah Tuhan dan membutuhkan segala nutrisi rohani yang diperlukan untuk merespons pertumbuhan dari Tuhan itu.
Sayangnya, terkadang kawan-kawan yang ignorant dan tidak bertumbuh (dull hearer) menjadi penghalang bagi pemuda/i yang sedang berjuang untuk berkembang, sebab pergaulan yang buruk dapat merusak kebiasaan yang baik (1Kor. 15:33). Hal ini membuktikan bahwa sekalipun mereka terlihat “aktif” dan relatif sudah cukup lama berada di gereja, mereka masih kanak-kanak juga dalam kedewasaan iman dan kerohanian. Ini makin menegaskan bahwa mereka memang tidak bertumbuh sekalipun terlihat sering berada di dalam gereja. Ketidakbertumbuhan ini bukan masalah waktu, atau masalah anugerah Tuhan kurang tercurah, melainkan masalah sins of ignorance (Matthew Henry) yang terus dipelihara, baik secara individu maupun kolektif. Individu terus memanfaatkan pelayanan untuk membenarkan/menutupi ketidakberesan rohaninya, dan komunitas selalu memaklumi/membiarkan ketidakberesan tersebut.
Maka dari itu, setiap kita yang sadar bahwa kita telah berada cukup lama dalam gereja, kita perlu mengevaluasi diri dan menyadari bahwa kita haruslah menjadi teladan dalam kesalehan, kesetiaan, ketekunan, dan kesucian iman. Kita, para pemuda yang makin “senior”, dihadirkan Tuhan bukanlah untuk menjadi makin bossy, melainkan untuk makin menjadi teladan dan pengajar dalam iman dan praksis kehidupan. Tentu hal ini bukan berarti mereka yang masih junior menemukan alasan untuk menjadi belagu pula. Keduanya, baik senior maupun junior, harus memberikan pertanggungjawaban kepada Tuhan atas setiap anugerah yang telah diterimanya dari Allah, dan bekerja sama bahu-membahu untuk menggenapkan kehadiran Kerajaan Allah dalam dunia.
Sebenarnya prinsip “ordo” yang benar, yang dibangun di atas asas Firman Tuhan, dan yang menjadi bangunan yang sehat bagi relasi seperti suami-istri, orang tua-anak, senior-junior, pemerintah-rakyat, dan seterusnya, merupakan kekayaan hikmat dalam dunia ciptaan yang berasal dari Allah Tritunggal. Keindahan relasi di dalam ke-Tritunggal-an Allah ini (perikoresis) menjadi archetype yang indah atas setiap bentuk relasi di dalam dunia; dan semua relasi tersebut akan menjadi sehat hanya ketika posisi dan perannya dikembalikan ke dalam bingkai derivatif dari relasi Allah Tritunggal. Perihal konsep perikoresis, aplikasi, dan implikasi derivatifnya terhadap ragam bentuk relasi yang terdapat pada dunia ciptaan tidak akan dibahas dalam tulisan ini; mungkin di lain kesempatan.
Kembali lagi, bagi gereja, kondisi spiritual stunting ini sangat berbahaya, apalagi ketika keberadaannya bersifat dominan, mayoritas, dan mengisi posisi-posisi strategis dalam struktur gerejawi. Gereja yang semacam ini akan sangat rentan terhadap perkembangan ajaran sesat, perpecahan, dan manipulasi. Sebab gereja tidak memiliki instrumen yang vital untuk menghadapi serangan Iblis, baik dari luar maupun dalam, yaitu discernment. Discernment merekah dari kerohanian yang bertumbuh dewasa. Keberadaannya substantif, karena hanya melalui instrumen ini gereja dapat “… distinguish between good and evil” – Ibrani 5:14.
Haruslah kita menjadi gelisah bila spiritual stunting ini dinormalisasi dalam komunitas gerejawi. Bila komunitas menutup mata atas kondisi yang terjadi di dalam, dan di sekitarnya, maka cepat atau lambat gereja akan menghadapi konsekuensi yang tidak ringan. Komunitas gerejawi akan kesulitan dalam merespons panggilan Tuhan, dan tak jarang Tuhan akan menjatuhkan hukuman atasnya. Hal ini terpampang jelas dalam berbagai kisah di Perjanjian Lama. Tiga tanda gereja yang sehat menurut Calvin adalah gereja yang (1) memberitakan firman yang sejati, (2) menjalankan sakramen dengan setia, dan (3) menjalankan disiplin gereja; dan biasanya kita lemah dalam poin yang ketiga.
Kalau tidak ada pendisiplinan, tidak ada sanksi, manusia sulit untuk bertumbuh dewasa. Dari hidup ini kita paham, anak-anak sekolah yang tidak pernah dididik untuk mengetahui kesalahan, mendidik kelakuan, dan melakukan apa yang benar, akan menjadi liar. Contohnya saja ketika anak-anak yang tidak mengerjakan PR tidak pernah diberikan sanksi, mereka akan terus terbiasa untuk tidak mengerjakan tugas mereka. Mereka merasa tidak masalah kalau tidak mengerjakan tugas, apalagi bila guru di sekolah juga tetap menyambut perilaku demikian dengan riang gembira dan “penuh kasih”. “Tidak apa-apa, jangan dipaksa. Kalau dipaksa nanti mereka akan benci untuk mengerjakan PR.” Atau, “Tidak apa-apa, setiap orang ada waktunya untuk bertumbuh. Biarkan saja, yang penting kita rangkul mereka.”
Kita tahu anak-anak yang diperlakukan semacam demikian sudah pasti tidak akan pernah menguasai mata pelajaran mereka. Mereka tidak akan pernah bisa berhitung, membaca, bahkan menulis. Tidak perlu seorang jenius untuk memahami konsekuensi sederhana ini. Karena itu, banyak orang tua mendidik anak mereka dengan sanksi dan disiplin agar anak-anak mereka maju dan berkembang.
Permasalahannya, kita justru menerapkan perilaku yang rusak tersebut di dalam gereja. Maka tidak heran bila di gereja dapat ditemukan orang-orang yang terlihat “banyak” aktivitas dan “kesibukan” di mana-mana, tapi tidak pernah bertumbuh menjadi dewasa. Hanya spiritualitas dan karakter yang kekanak-kanakan yang dapat kita temukan, persis seperti apa yang Paulus tuliskan kepada jemaat di Korintus (1Kor. 13:11), dan yang juga terdapat pada Ibrani 5:13.
Komunitas yang peka atas kondisi kerohanian komunitas mereka akan selalu mengevaluasi diri; apa yang sedang tidak beres, rawan, berbahaya, dan segera mengambil sikap yang diperlukan untuk membenahinya. Sekali lagi, kita sadar betul bahwa segenap warga gereja bertanggung jawab atas kondisi gereja di hadapan Tuhan, karena gereja adalah milik Tuhan, didirikan dengan cara Dia membayar menggunakan darah Anak Tunggal-Nya yang paling Ia kasihi, sehingga tidak mungkin Dia akan membiarkan gereja-Nya dirusak oleh siapapun.
Dengan menimbang anugerah dan tanggung jawab kita sebagai bagian dari gereja Tuhan, kita semua muda-mudi Kristen didorong oleh penulis Ibrani untuk berhenti menjadi orang yang ignorant dan malas dalam mengupayakan pertumbuhan. Janganlah kita menggunakan semua sarana gerejawi untuk menutupi kemalasan kita dalam bertanggung jawab kepada Tuhan. Janganlah kita datang ke gereja hanya untuk “setor muka”, apalagi hanya untuk bersenang-senang tanpa menggumulkan dengan serius posisi kerohanian kita saat ini. Tiada gunanya kita memanfaatkan segala sarana anugerah dalam gereja hanya untuk agenda kita pribadi. Kita semua dipanggil untuk beribadah kepada Allah (baik dalam arti luas maupun sempit), dengan tidak menjauhi pertemuan-pertemuan ibadah yang diperlukan untuk membentuk jiwa dan kerohanian kita. Mari memohon belas kasihan-Nya agar Ia berkenan untuk “menanam, menyiram, dan memberikan pertumbuhan” kepada kita. Amin.
“It is a sin and shame for persons that are men for their age and standing in the church to be children and babes in understanding.” – Matthew Henry
Nikki Tirta
Pemuda GRII Kebon Jeruk