Di Myanmar sedang terjadi protes besar-besaran untuk menolak pemerintahan militer yang melakukan kudeta terhadap pemerintahan yang menang pemilu secara sah. Setiap orang yang melawan ditangkap, setiap suara yang kritis dibungkam, setiap aksi perlawanan ditindas semena-mena. Inilah ciri khas penguasa militer hasil kudeta: mereka ingin berkuasa penuh, berdaulat mutlak, tanpa adanya protes dan perlawanan.
Mungkin, karena itu ada yang terpikir bahwa jikalau Tuhan yang berdaulat mutlak, kita akan mengucapkan selamat tinggal kepada kebebasan. Tuhan seperti diktator di langit. Mana ada yang berani protes, siap-siap hilang atau disambar petir seketika.
Untuk mengenyahkan pemikiran yang menyamakan Tuhan dengan para diktator di bumi, mari kita melihat Mazmur 88. Mazmur ini sangat unik. Mazmur 88 dimulai dengan keluhan dan protes, bahkan hingga akhir tanpa ada resolusi. Kata terakhir dari Mazmur 88 adalah kegelapan. Gelap hingga akhir. Mazmur ratapan lainnya dimulai dengan gelap tetapi selalu berakhir dengan setidaknya secercah terang di ujung terowongan. Mazmur ratapan sering kali dimulai dengan keluhan tetapi ditutup dengan pujian atau sikap berserah. Adanya mazmur ratapan saja sudah menyatakan bahwa di dalam kekristenan ternyata ada tempat untuk umat Tuhan mengeluh, bertanya, mengutarakan kesedihan, kekhawatiran, dan bahkan protes kepada Tuhan.
Namun Mazmur 88 dan juga 39 mendorong lebih jauh lagi karena kedua mazmur ini tidak ditutup dengan resolusi. Apakah Tuhan tidak sensor firman-Nya? Tuhan tidak berkata, “Ah, umat Tuhan macam apa ini? Umat Tuhan sejati tidak seharusnya bicara seperti ini! Sensor saja! Beredel!” Fakta bahwa Mazmur 88 yang gelap ini masuk sebagai bagian dari kitab Mazmur, menunjukkan karakter Tuhan. Kita melihat Tuhan yang berdaulat mutlak, tetapi Dia juga memberikan ruang kebebasan untuk manusia berekspresi, menyatakan isi hati umat-Nya yang terkadang pedas dan pahit.
Tuhan kita bukan diktator yang dingin dan kejam. Tuhan kita adalah Bapa yang sabar terhadap protes anak-anak-Nya yang terbatas, yang sulit mengerti rencana dan kedaulatan-Nya. Dia menginginkan anak-anak yang bebas memilih taat dan mengasihi-Nya. Sedangkan diktator menginginkan rakyat yang tunduk karena ketakutan dan tidak ada pilihan lain selain taat. Diktator tidak berdaulat mutlak karena mereka hanya bisa memakai kekerasan untuk mendapatkan ketaatan. Tuhan memberikan kebebasan dan Dia mengasihi mereka sebelum mereka bahkan dapat taat. Dia memakai kasih-Nya, bukan kekerasan, karena hanya kasih yang bisa memenangkan hati seseorang.