Pada suatu kesempatan, saya membaca sebuah artikel di majalah pesawat tentang kisah para pendaki
Indonesia yang hendak menaklukkan puncak gunung Kilimanjaro. Di tengah perjalanan mereka
mendaki, mereka menemui jejak kaki hewan berkaki empat, yang menurut guide mereka adalah jejak
kaki banteng Kilimanjaro. Di balik jejak itu terdapat ancaman yang hanya guide lokal yang
menyadarinya yaitu biasanya rombongan banteng itu selalu diikuti oleh singa atau cheetah. Mereka
harus cepat-cepat beranjak dari tempat tersebut kalau tidak ingin bertemu dengan bahaya. Si penulis
menuturkan betapa cemasnya hati mereka ketika memikirkan hal tersebut.
Memang memikirkan melihat singa dekat-dekat di alam terbuka, bukan di kebun binatang, akan
membuat bulu kuduk berdiri, jantung berdebar, dan lutut bergoyang. Tidak heran ketika Petrus
menasihati jemaat di suratnya, ia menuliskan, “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis,
berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang dapat ditelannya”
(1Pet. 5:8). Iblis digambarkan seperti singa yang buas dan menyeramkan. Namun ada karakteristik
lain yang juga tidak kalah menyeramkan: Ia sabar menanti untuk menerkam. Sangat sabar… Sabar
hingga waktu yang tepat ketika kita tidak lagi waspada.
Dalam Injil Lukas, perikop Yesus dicobai ditutup dengan ayat ini: “Sesudah Iblis mengakhiri semua
pencobaan itu, ia mundur dari pada-Nya dan menunggu waktu yang baik.” Ia menunggu waktu yang
baik. Waktu yang baik bagi Iblis adalah waktu ketika kita tidak berjaga sehingga siap diterkam
olehnya.
Ada teman saya yang ketika anaknya kritis dirawat di ICU, dan ketika di masa-masa paling sulit, ada
saudaranya yang menasihatinya agar mencari nasihat “orang pintar” bagi kesembuhan anaknya,
bahkan dengan embel-embel, “Kamu bisa melakukannya sesuai agamamu juga koq”. Di saat biasa hal
itu pasti akan ditolak mentah-mentah. Namun di saat semuanya gelap, secercah harapan (termasuk
yang palsu) sekecil apa pun bisa menjadi tawaran yang menarik. Untunglah teman saya ini masih bisa
tetap berpegang pada ajaran Alkitab, dan ia menolak dengan halus. Ia berujar, “Wah memang setan
pinter banget, menyerang di waktu yang pas banget, di waktu kami paling down.” Ia bisa menepis,
karena “untunglah” ia sadar dan ada teman-teman seiman yang terus berjaga-jaga bersamanya.
Cara terbaik untuk sadar dan berjaga-jaga adalah terus mendekatkan diri kepada Tuhan. Domba-
domba akan aman dari serangan singa dan serigala, ketika mereka dekat dengan Sang Gembala.
“Tuhan adalah gembalaku… sekalipun aku berjalan dalam lembah kekelaman, aku tidak takut bahaya,
sebab Engkau besertaku; gada-Mu dan tongkat-Mu, itulah yang menghibur aku.” Lantunan Mazmur
23 ini begitu meneduhkan hati kita karena Daud, seorang yang sangat berjiwa gembala, mengerti
hanya dekat Allah – Sang Gembala yang Baik – saja ia tenang.
Apakah Saudara sedang jauh dari Tuhan? Apakah relasimu dengan-Nya sedang hambar? Apakah
engkau sedang mendapatkan godaan dan serangan Iblis? Sadarlah engkau dalam bahaya besar!
Mendekatlah segera pada-Nya! Hanya dekat Tuhan, kita akan tenang dan menemukan kesegaran jiwa.
Kembalilah pada-Nya sekarang!