Judul Buku: Lament for a Son
Pengarang: Nicholas Wolterstorff
Penerbit: Eerdmans
Jumlah Halaman: 128 halaman
Pendahuluan
Buku ini ditulis oleh Wolterstorff untuk keluarganya, khususnya anaknya Eric yang meninggal dunia akibat kecelakaan dalam pendakian gunung di Austria saat usia 25 tahun. Dalam buku ini Wolterstorff mengungkapkan penghormatan serta rasa dukanya yang begitu dalam atas peristiwa tersebut. Meskipun kadar kedukaan dia sudah tidak sekuat dulu, tetapi dukacita atas kehilangan anak ini tetap belum hilang selama belasan tahun. Wolterstorff mengatakan memang demikianlah harus terjadi, apabila Eric bernilai untuk dicintai, maka ia pun bernilai untuk menerima rasa dukacita. Wolterstorff menerima dukacita tersebut, dia tidak menyangkalinya, bahkan dia mengatakan bahwa jika ditanya siapa dirinya, dia menjawab dia adalah seorang yang kehilangan seorang anak. Dia mengakui bahwa ratapan merupakan bagian dari kehidupan.
Isi
Wolterstorff memulai isi buku ini dengan mengenang bagaimana Eric lahir dan meninggalkan dunia ini. Kelahiran dan kematian Eric dekat dengan musim salju. Eric dilahirkan di malam bersalju, dan 25 tahun kemudian meninggal di lereng bersalju. Wolterstorff hampir-hampir tak percaya bahwa dia akan menghadapi kematian anaknya Eric, yang berambut merah, berlesung pipit, dan berwajah lucu.
Kabar kematian Eric diterima Wolterstorff lewat telepon. Dia menjelaskan perasaannya ketika mendengar kabar tersebut, untuk 3 detik pertama ada kedamaian di hatinya dikarenakan keyakinan bahwa Eric sudah bersama Bapa di sorga. Namun setelahnya, muncul kepedihan-kepedihan yang sangat mendalam.
Eric adalah seorang yang cerdas dan cekatan. Luar biasa dalam matematika dan sains. Meskipun begitu, dia memilih untuk mendalami seni sebab di dalam seni dia dapat merasakan hal berbau kemanusiaan. Di bidang musik pun dia memiliki pengetahuan yang luas, dan dapat memainkan musik juga dengan baik. Dia merupakan pekerja keras dan suka berpetualang.
Eric memiliki rasa cinta yang besar terhadap banyak hal. Dia mencintai gunung, teman-temannya, seni, dan katedral-katedral Eropa. Tapi dengan jelas dalam kehidupannya ia lebih mencintai teman-temannya. Hanya saja gunung-gunung itu memikat dan tak tertahankan baginya, sehingga rasa cintanya terhadap gununglah yang membawa pada kematiannya.
Wolterstorff dan istrinya menyadari bahwa Eric adalah karunia yang diberikan Tuhan selama 25 tahun. Namun ketika karunia itu diambil, barulah mereka menyadari betapa agungnya karunia itu. Ketika banyak surat berdatangan kepada mereka mengenai penghargaan dan pujian kepada Eric, itu membuat Wolterstorff menangis, betapa kehilangan Eric itu menjadi sebuah tikaman baginya. Wolterstorff mengakui bahwa dia bersyukur atas kepergian Eric, tetapi kepedihan atas kehilangan itu lebih berat dari rasa syukurnya. Dia baru mengetahui bahwa betapa dirinya mengasihi Eric setelah ia meninggal.
Kesedihan akibat kematian Eric ini begitu menyakitkan bagi Wolterstorff. Ketiadaan Eric di tengah-tengah keluarga membuat dirinya sadar sisa hidupnya harus dia jalani tanpa Eric. Wolterstorff dan istrinya mengakui, hanya kematianlah yang dapat menghentikan kepedihan atas kematian Eric. Bagi Wolterstorff, adalah kesalahan besar jika seorang anak meninggal mendahului orang tuanya. Sebab untuk menguburkan orang tua, hal tersebut telah semua orang duga, tetapi menguburkan anak yang adalah masa depan orang tua, tidak pernah terbayangkan oleh Wolterstorff.
Selain itu, Wolterstorff juga menceritakan bagaimana keadaan kehidupan setelah kepergian Eric. Mulai dari teman-teman yang mengajak Eric bermain, tapi Wolterstorff harus mengatakan Eric sudah meninggal. Kamar Eric yang tersusun rapi, tetapi yang menyusun kamar tersebut sudah tidak ada lagi. Peralatan gunung yang biasa dipakai Eric untuk mendaki masih tersisa, tetapi pemiliknya sudah tiada. Ini menimbulkan kesedihan bagi Wolterstorff. Setelah kematian Eric, Wolterstorff benar-benar merenungkan segala kehidupan tentang Eric. Dia sangat mengasihi Eric, dia kenal benar siapa anak yang Tuhan percayakan kepada dirinya dan istrinya. Wolterstorff tahu gunung yang didaki Eric, dia juga menelitinya. Dia tahu Eric menulis skripsi tentang asal mula arsitektur modern, dia tahu perpustakaan di mana Eric banyak menghabiskan waktunya. Dia tahu kebiasaan Eric, dia tahu pribadi Eric, dia sungguh sangat mengasihi Eric.
Wolterstorff membagikan kondisi hidupnya yang baru tanpa Eric. Dia mengatakan dia dan keluarganya harus belajar menjalani hidup tanpa Eric, sama seperti saat Eric ada. Maksudnya adalah bukan berarti melupakan Eric, tetapi tetap membiarkannya. Mengingat dia. Mengingat adalah salah satu ciri paling mencolok dari cara orang Kristen dan Yahudi berada di dalam dunia dan berada di dalam sejarah. Ingatlah, jangan melupakan. Manusia perlu mengenang masa lalu, bukan mengingkarinya. Karena di dalam masa lalu yang merupakan sejarah, kita menemukan Allah.
Kemudian Wolterstorff mulai mengaitkan realitas kematian Eric dengan kebenaran-kebenaran Injil. Uniknya, apa yang dianggap dapat menghibur oleh Wolterstorff, ternyata tidak demikian. Pengharapan akan kebangkitan? Rupanya tidak menghibur Wolterstorff. Tetapi dia tahu bahwa dia tidak boleh berdukacita seperti orang tak berpengharapan. Yang dia rasakan dengan kuat adalah “Eric telah pergi, sekarang ini ia telah tiada; sekarang saya tak dapat lagi berbicara dengannya, sekarang saya tak dapat lagi melihatnya, sekarang saya tak dapat lagi mendengar rencana-rencana masa depannya.”
Wolterstorff juga berpandangan bahwa kematian merupakan hal yang buruk. Tapi tidak apa-apa, setiap orang bisa mendampingi dirinya yang sedang berada dalam kesedihan akibat kehilangan anaknya. Baik orang yang berhikmat dalam berkata-kata, ataupun yang tidak bisa. Yang paling penting adalah ungkapan kasih bahwa mereka ada bersama Wolterstorff. Pelukan atau kata-kata penghiburan yang sedikit, sudah cukup baginya. Bukan konsep atau pemahaman yang mau menyatakan kejadian ini bukan hal buruk. Kepada orang yang memiliki konsep kematian bukan hal buruk, kematian tidak perlu diratapi, Wolterstorff mengatakan bahwa mereka perlu dikoreksi. Kematian memang memilukan.
Tibalah Wolterstorff dan istrinya menghadapi tubuh anaknya yang sudah tak bernyawa itu. Ini adalah langkah terakhir di mana mereka merasakan kematian yang sesungguhnya. Finalitas yang kejam tentang kematian adalah ketika mata dan tangan kita perlu mengusap-usap tubuh yang telah kaku dan dingin itu, tubuh bersentuhan dengan tubuh, itu sungguh memilukan. Mengetahui kematian hanya dengan pikiran, tidaklah memahami kematian itu sepenuhnya. Wolterstorff dan istrinya melihat bahwa jasad Eric terkoyak dengan sangat parah. Wolterstorff menambahkan, di dalam melihat dan menyentuh, itu merupakan suatu cara terbaik untuk mengucapkan selamat berpisah.
Wolterstorff benar-benar menerima kesedihan akibat meninggalnya Eric. Dalam kehidupannya setelah Eric tiada, dia sering kali berimajinasi dan memikirkan Eric selama 25 tahun kehidupannya tersebut. Bayang-bayang Eric, tetap ada selama berminggu-minggu. Suaranya pun dia harapkan terdengar. Tapi sayang sekali, segalanya telah menjadi kenangan. Apakah ada rasa penyesalan di dalam hati Wolterstorff? Dia mengungkapkan dengan jelas bahwa dia menyesal dengan segala hal yang dia tidak lakukan kepada Eric untuk mencegah kecelakaannya. Saat dia tidak hiking bersama Eric, saat dia lebih mementingkan pekerjaan daripada bersama diri Eric, saat menunda menulis surat padanya, saat secara tidak masuk akal marah kepada Eric, dan saat selama dia melukai hati Eric. Wolterstorff menyadari bahwa penyesalan itu bisa saja ditebus ketika Eric masih hidup. Tetapi sekarang Eric sudah tiada, yang ada adalah penyesalan.
Meskipun Wolterstorff menyesal, dia tidak berhenti di sana. Dia melanjutkan dengan iman bahwa Allah mengampuni segala kesalahannya sehingga masalah antara Allah dan dirinya sudah selesai. Tetapi bagaimana antara dirinya dan Eric? Yang dia hanya bisa lakukan adalah menyesal sebaik mungkin yang bisa dia lakukan dan membiarkan kenangan-kenangan itu mendorongnya untuk berbuat dengan lebih baik terhadap orang-orang yang masih hidup. Wolterstorff menggunakan penyesalan itu demi mempertajam visi dan memperkuat pengharapan akan Hari Besar yang akan datang kelak.
Wolterstorff tidak malu mengakui bahwa keadaan sudah berbeda tanpa Eric. Dia sedih, dia galau, tetapi dia pun menyadari bahwa imannya tidaklah mati. Adakalanya dia berfokus kepada ayat-ayat dalam Kitab Mazmur, untuk menguatkan dirinya bahwa tetap ada pengharapan di dalam Allah.
Pada bagian akhir bukunya, Wolterstorff tidak lupa membawa pembaca untuk kembali melihat Allah yang adalah kasih, Allah yang menderita bagi umat-Nya, dan pengorbanan Yesus Kristus di kayu salib. Sebagai orang Kristen kita harus memercayai kebangkitan Kristus dari kubur, dan itu berarti menerima kebangkitan kita sendiri dari kubur. Wolterstorff ingin hidup di dalam realitas kebangkitan Kristus dan kematian dari kematian. Dalam hidupnya, kematian putranya tidak akan menjadi akhir dari segalanya, tetapi dia akan bangkit mengenakan bilur-bilur dari kematian Eric. Dan terutama di dalam bilur-bilur Yesus, umat-Nya akan menjadi sembuh.
Wolterstorff adalah seorang ayah yang baik. Dia mengingat segala kebaikan hati seorang anaknya selama 25 tahun. Mulai dari kecil sampai dia besar. Oleh karena itulah, sebagai seorang ayah dia dapat menuliskan satu buku khusus yang begitu menyentuh mengenai ratapan, untuk mengenang anak laki-lakinya yang tercinta, Eric Wolterstorff. Buku ini ditulis dengan gaya penulisan narasi. Bagaimana Wolterstorff mencurahkan segala isi hati dan pemikirannya yang dia alami ketika Eric tiada. Buku ini tidak dibagi ke dalam beberapa bab, melainkan menjadi tulisan yang terus maju secara kronologis. Bukan pula tulisan yang susah dipahami, melainkan sebuah cerita tentang kenangan Wolterstorff kepada almarhum anaknya, Eric.
Nathanael Marvin Santino
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional
Catatan:
Hal-hal yang membuat sedih, menyakitkan:
- Take it for granted (mengabaikan anugerah). Take people for granted (mengabaikan kehadiran orang, tidak peduli sekitar). Ketika menyadari anugerah dan kehadiran orang itu begitu berharga, baru menyesal.
- Ketiadaan. Dulu ada, sekarang tidak ada lagi.
- The neverness. Tidak akan pernah ada lagi tentang dia.
- Waktu yang tiada henti terus berjalan. Tiada ampun. Ingin menghentikan waktu di mana momen indah terjadi.
- Kematian yang mendadak.
- Kematian seseorang di kala kekuatannya telah menjadi lemah karena sakit penyakit, menggerogoti perlahan-lahan.
- Kematian seseorang ketika tidak sempat mengucapkan selamat tinggal atau selamat jalan.
- Menyatakan kekurangtahuan, kelemahan. Wolterstorff mengatakan, “Saya akan menatap dunia melalui air mata. Barangkali saya akan melihat berbagai hal yang tanpa air mata tidak akan dapat saya lihat.”
- “Air Mata… mengalir turun, dan aku membiarkannya mengalir bebas, menjadikannya sebagai bantal yang nyaman bagi hatiku. Padanya hatiku tenang.” – Agustinus, Confessions IX, 12
- Ketika kematian sudah tak lagi dipandang sebagai pelepasan dari tubuh material yang menyedihkan ini menuju keadaan non-material yang benar, ketika kematian lebih dipandang sebagai kekurangan yang parah dari apa yang telah Allah nyatakan sebagai yang seharusnya, dan apa yang kita semua rasakan sebagai hal yang sangat bernilai, maka kematian bukanlah teman, melainkan musuh.
- Shalom di dalam kematian. Shalom merupakan kepenuhan hidup dalam segala dimensinya. Kematian musuh garang, jahat, tidak ada kedamaian. Wahyu = maut tidak akan ada lagi, tidak ada perkabungan, ratap tangis, dukacita.
- Penyesalan dapat ditebus ketika orang tersebut masih hidup.
- Setiap penderitaan memiliki kualitasnya masing-masing.
- Vere tu es Deus absconditus – sungguh, Engkau adalah Allah yang tersembunyi (Pascal). Yesaya 45:15.
- Allah bukan saja Allah dari orang-orang yang menderita, tetapi Allah adalah Allah yang juga menderita.
- Juru foto selalu meminta kita untuk tersenyum. Kita memalingkan kepala dari orang-orang yang menangis.