Dulu saya sehat sekali, sekarang tidak lagi. Itu berarti waktu menggeser kita. Sepertinya kita didorong dan kita pasif; ataukah kita yang sedang menggeser waktu ke belakang? Pikirkan relasi keberadaan Anda dengan keberadaan waktu! Apa yang bisa kita kerjakan sekarang mungkin tidak lagi bisa kita kerjakan 10 tahun yang akan datang. Saat itu Anda menyesal mengapa tidak mengerjakannya waktu itu. Tidak ada siapapun yang bisa menolong kita ketika kita kehilangan kesempatan. Itu sebabnya dalam Alkitab ada 3 hal yang senantiasa terkait menjadi satu, yaitu waktu, moral, dan bijaksana. Relasi seperti ini tidak ada dalam filsafat Gerika. Di dalam filsafat klasik Gerika ada 3 hal yang dijadikan satu, yaitu: bijaksana, moral, dan bahagia. Jadi bijaksana yang sungguh mengakibatkan moral yang baik, dan moral yang baik mengakibatkan bahagia yang sejati. Alkitab mengajarkan bahwa orang bijak adalah orang yang pandai mempergunakan waktu dan melakukan moral yang sejati. Ini semua adalah perbedaan antara Alkitab dan pemikiran manusia yang sudah jatuh di dalam dosa. Kitab Suci memberikan pengajaran yang tertinggi. Kita tidak boleh mengandalkan kebenaran yang berasal dari rasio manusia setelah jatuh dalam dosa, tetapi berdasarkan pencerahan dari Sumber Kebenaran dan Kebenaran itu sendiri.
Di dalam Roma 7 dikatakan bahwa Taurat diberikan supaya manusia mengetahui kesucian, keadilan, dan kebajikan Tuhan Allah. Allah itu Mahasuci, Mahaadil dan Mahabaik. Ketiga hal ini menjadi inti Taurat. Dan ketiga hal dari Taurat ini menjadi pengertian manusia tentang Tuhan Allah. Taurat mencerminkan ketidaksanggupan kita melakukan kehendak Allah dan mencerminkan kejatuhan kita dari status yang ditetapkan oleh Allah, ketidakmungkinan kita untuk mencapai target yang ditetapkan oleh Allah, sehingga akhirnya kita mengetahui yang Allah kehendaki agar kita menjadi orang yang suci, adil, dan baik. Kesucian, keadilan, dan kebaikan adalah diri Tuhan Allah sendiri. Ini adalah target yang sekaligus sumber, bukan sekedar sebuah ide, bukan suatu ideologi ciptaan manusia. Kita dicipta oleh Allah yang suci, adil, dan baik. Semua agama mempunyai ide yang tertinggi, dan ide yang tertinggi menjadi standar moral. Semua agama mempunyai target ultimat bagi kebajikan manusia, tetapi mereka tidak tahu yang disebut target itu sebenarnya sekaligus adalah Sumber. Kalau “target” adalah titik terakhir, “sumber” adalah titik paling mula. Maka di sini kita melihat suatu garis yang mewakili proses. Maka kita sadar bahwa hanya Allah yang berhak mengatakan, “Akulah Alfa dan Omega.”
Ketika Tuhan mengatakan, “Akulah Alfa, Akulah yang Awal,” itu berarti Dia sumber, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berasal dari diri Anda sendiri. Kepintaran maupun kesehatan kita berasal dari Sumber, bukan dari diri kita sendiri. Kemuliaan harus kita kembalikan hanya kepada Tuhan yang menjadi Sumber Pemberi Anugerah. Kita juga tidak boleh lupa bahwa Tuhan, Pemberi Anugerah, mau kita hidup bertarget, bersasaran, dengan standar yang harus kita capai. Yang disebut “mimpi itu tiba, berarti engkau membayangkan, engkau berjuang mencapainya, dan ingin mendapatkan sesuatu di akhir perjuanganmu.” Di dalam kita berharap untuk bisa mencapai sesuatu, harapan itu menjadi sumber dan sekaligus merupakan potensi yang merangsang seseorang untuk mengaktualisasikan diri mencapai hasil akhir. Dan Allah mengatakan, “Aku bukan hanya yang Awal, tetapi juga yang Akhir. Akulah Alfa dan Omega.”
Asal-Usul Kebajikan
Dari mana konsep kebajikan yang bisa manusia miliki? Ketika manusia ingin mencapai kebajikan ultimat (summum bonum), kebajikan itu siapa? Kebajikan yang ultimat (tertinggi) itu sebenarnya adalah diri Tuhan Allah, yang menjadi Sumber dan sekaligus menjadi Sasaran terakhir bagi hidup kita. Sasaran terakhir itu menjadi tujuan, menjadi sesuatu yang kita ingin dapatkan, seperti melepaskan panah menuju target. Tidak tercapainya target dalam bahasa Gerika adalah hamartia (artinya: dosa). Jangan hanya mengerti dosa sebagai perbuatan salah yang kita lakukan, itu terlalu dangkal. Banyak ahli hukum di dunia mulai dari mengerti hukum, membuat hukum, lalu menghukum orang lain. Ketika mengerti seluk-beluk hukum, lalu menjadi ahli melanggar hukum sambil tidak mau dihukum. Banyak orang belajar hukum belum tentu motivasinya mau menegakkan keadilan, mungkin karena ingin mendapatkan gaji besar. Manusia menuntut kebenaran, tapi akhirnya memperalat kebenaran hanya untuk mencari profit dalam pelayanan egosentris (berpusat pada kepentingan diri). Itu sebabnya setiap orang yang melibatkan diri dalam satu wilayah yang tinggi sekali nilainya dengan motivasi yang mempunyai egosenter (pusat pada kepentingan diri) sebagai titik tolak atau dorongan, orang itu sudah tidak memiliki kebajikan. Seorang hakim yang tidak melakukan keadilan, dia adalah penginjak, perobek, perusak keadilan. God-centered people (orang-orang yang berpusat pada Allah) menyadari bahwa Sumbernya adalah Tuhan dan targetnya juga Tuhan. Seorang dokter Kristen berbeda bukan karena ia pergi ke gereja tiap minggu, tetapi karena ia mempunyai Weltanschauung (wawasan dunia) Kristen, apa yang diwahyukan oleh Tuhan, untuk menjadi suatu motivasi seorang berprofesi dokter. Inilah pengertian Theologi Reformed. Di dalam kehidupan kita tidak ada satu inci di mana Tuhan tidak bertakhta (Abraham Kuyper), sehingga kita menaklukkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, dan berkata, “Engkaulah Allahku, Engkaulah Tuhanku, tuanku. Aturlah hidupku, milikilah hidupku dan pimpinlah hidupku.” Itulah orang Kristen.
Sumber kita adalah Kebajikan dan kita dicipta menurut peta teladan Allah, sehingga kita diberi benih kebajikan dalam hati kita. Kita senang melihat orang yang bersih hatinya dan kita tidak senang melihat orang berliku-liku, tidak pernah sungguh-sungguh jujur. Seorang ayah minta anaknya menemui tamu yang datang ke rumah untuk mengatakan dia tidak ada di rumah. Anak itu dengan polosnya berkata, “Baru saja papa berkata bahwa dia tidak ada.” Anak ini menurut, ia menyampaikan perkataan papanya, tetapi papanya marah sekali. Marah, karena tujuan papanya bukan supaya dia menyampaikan secara jujur, tetapi supaya tamunya yang menagih hutang pulang. Anak kecil ini tidak mengerti, terlalu polos. Polos dianggap bodoh. Maka, anak kecil itu mulai berpikir bahwa “Polos itu sama dengan bodoh.” Akhirnya pendidikan tidak berjalan, karena pendidikan berlawanan antara di dalam kata dengan di dalam fakta.
Lebih dari 200 tahun yang lalu terjadi revolusi besar di Perancis. Dalam Revolusi Perancis, ada pemikir-pemikir penting, termasuk d’Alembert, Diderot, La Mettrie, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Para filsuf Encyclopedic school (Arus pikir Encyclopedic) itu sangat menghina gereja. Mereka mengatakan, gereja adalah suatu sistem yang diperalat oleh kelompok pemimpin agama untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Maka mereka berusaha membongkar semua dosa-dosa uskup, pendeta, dan para pimpinan gereja. Lalu mereka meluncurkan suatu kalimat, kalimat itu menggunakan istilah summum bonum (the highest good). Summum akhirnya menjadi istilah summit. Bonum berarti kebajikan atau kebahagiaan yang paling tinggi. Hal ini menjadi salah satu hal yang paling dituntut oleh manusia dari zaman ke zaman. Dalam setiap zaman, manusia akan memikirkan apa itu yang terbaik, bagaimana menjadi orang terbaik, bagaimana mencapai kebaikan yang terbaik, bagaimana menjadi orang yang lebih baik daripada yang lain, dan menjadi yang sungguh-sungguh baik. Summum bonum itu menjadi sasaran semua agama; menjadi sasaran semua etika, moral, kebudayaan, dan pikiran para filsuf. Di dalam teori Revolusi Perancis, mereka mengatakan: “Yang disebut summum bonum itu selalu diperalat, karena sebenarnya mereka tidak mencapai, hanya memperalat istilah summum bonum untuk mencapai profit pribadi, profit egoisme.” Maka summum bonum harus didefinisikan kembali, yaitu sesuatu kebajikan yang tidak boleh dipakai menjadi suatu alat untuk menuju tujuan yang lain. Orang yang datang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan tetapi untuk mencari untung, maka keagamaan menjadi hal yang paling rendah, dan profit menjadi ilah mereka. Mereka memakai nama Allah, berdoa kepada Allah untuk mencapai sesuatu yang rendah sekali. Hal seperti ini telah dibongkar oleh orang Perancis lebih dari 200 tahun yang lalu. Mereka mengatakan, semua agama yang mempunyai motivasi yang tidak baik harus keluar dari panggung kebudayaan manusia. Dunia tidak mungkin damai kecuali memakai usus dari uskup yang terakhir untuk mencekik mati Paus terakhir, baru ada damai di dalam dunia. Pada saat itu orang dunia, orang berbudaya, orang cendekiawan menghina agama sampai serendah-rendahnya, karena banyak orang memperalat agama untuk mencari profit untuk diri sendiri. Mereka melihat orang dunia jauh lebih baik dari orang yang masuk gereja dan para pemimpin gereja. Muncullah kalimat, “Jangan lupa, di belakang toga pendeta tersimpan dosa lebih banyak daripada orang biasa.”
Summum bonum tidak boleh menjadi alat. Summum bonum harus selalu menjadi titik terakhir yang dituntut. Jadi summum bonum bukan media, bukan alat, juga bukan penghubung. Summum bonum di dalam dirinya sendiri adalah tujuan akhir. Maka, jika Anda mencari kebajikan tertinggi, Anda mau bertemu dengan sommum bonum itu sendiri. Summum bonum adalah sifat ilahi. Summum bonum adalah sumber di mana kita dicipta menurut peta teladan itu, sekaligus adalah target yang dituju. Menuju berarti belum mencapai. Suatu kali Tuhan berkata kepada seorang pemuda, “Engkau sudah tidak jauh dari Kerajaan Sorga.” Tidak jauh berarti belum sampai. Banyak kecelakaan pesawat terjadi justru ketika sudah begitu dekat dengan landasan. Sudah begitu dekat tidak berarti sudah sampai. Ketika Anda mengatakan, “Saya mau percaya Tuhan,” mau percaya berarti belum percaya. Mau percaya hanyalah sebuah keinginan, tetapi belum menyatakan realita sesungguhnya.
Kalau summum bonum itu sumber, dan Allah adalah Alfa sekaligus Omega, berarti summum bonum itu juga target. Itu berarti seumur hidup saya harus menuntutnya, mengejarnya, supaya bisa mencapai, atau mendekatinya. Tetapi itu bukan berarti saya sudah menjadi orang yang paling baik. Itu sebabnya kita harus terus-menerus mengejar menuju kesempurnaan. Itulah theologi Reformed.
Theologi Reformed tidak mengatakan kita mungkin mencapai kesempurnaan sepanjang dalam dunia ini, tetapi theologi Reformed juga mengajar kita bisa menjadi orang sempurna di dalam dunia ini, karena orang sempurna justru adalah orang yang tidak sadar dan tidak merasa diri sudah sempurna. Ini paradoks. Orang yang makin sempurna makin merasa diri kurang sempurna; orang yang makin rohani makin merasa diri kurang rohani; orang yang makin pintar merasa diri kurang pintar; orang yang makin baik selalu merasa diri kurang baik. Barangsiapa menganggap diri sudah cukup baik, pasti dia kurang baik. Orang yang menganggap diri tidak sempurna mungkin dia lebih sempurna dari orang lain. Ini teori dan ajaran kebenaran yang disebut sebagai paradoxical truth.
Bagaimana Mengerti Arti Kebajikan?
Pertama, orang yang baik adalah orang yang tidak egois. Jika seseorang senantiasa mementingkan diri dan tidak menghiraukan orang lain, ia akan memonopoli semua keuntungan dan merampas hak orang lain. Wang Mingdao, 26 tahun dikurung dalam suatu penjara dan diberikan sinar berpuluh-puluh ribu watt, sehingga sarafnya tegang dan kacau, lalu dipaksa minta pengampunan dari pemerintah Komunis. Setelah berpuluh-puluh ribu watt lampu disorot kepadanya berhari-hari, akhirnya dalam keadaan tidak sadar dia tanda tangan. Setelah tanda tangan, dia tidak lagi disorot, dia boleh tidur, dan dibebaskan. Setelah keluar, dia baru tahu bahwa yang dia tanda tangani adalah surat permintaan pengampunan kepada Komunis dan surat itu sudah masuk ke seluruh surat kabar di Beijing. Dia mengatakan, “Saya mau kembali masuk penjara. Saya tidak mau kebebasan. Ini penipuan, saya diperalat untuk menjadi propaganda Komunisme.” Selama 26 tahun lagi dia masuk penjara, ketika bebas, usianya sudah 78 atau 79 tahun. Di penjara tidak boleh ada Kitab Suci sehingga dia terus menghafal ayat-ayat yang pernah dia baca. Dia menulis satu makalah pendek, tidak lebih dari 800 huruf. Di dalamnya terdapat kalimat: “Seorang Kristen yang baik, waktu lihat ada keuntungan, jangan lari ke depan. Mundur sedikit, biar orang lain dapat. Orang Kristen yang baik, waktu lihat ada bahaya, lari ke depan, jangan sampai orang lain kena bahaya.” Berapa banyak orang Kristen tidak pernah mengerti kedua kalimat ini? Selalu di depan ketika ada keuntungan dan lari paling dulu ketika ada bahaya. Yang lebih ironis, orang-orang seperti ini menjadi majelis, bahkan pendeta. Hai orang beriman, nyatakanlah itu dalam kelakuan! Bagi Confucius, gentleman berarti orang yang mengerti kebenaran, sementara orang kerdil mencari profit. Gentleman membicarakan keadilan, orang kerdil membicarakan kesenangan diri. Mengapa sudah menjadi majelis atau penatua masih sibuk dengan keuntungan diri dan kalau ada bahaya lari paling cepat. Kebajikan adalah ketika seorang tidak egois dan mau mengutamakan kepentingan orang lain.
Kedua, orang baik mau mengerti orang lain. Orang yang baik suka damai. Ada orang-orang yang suka ribut, suka berdebat, suka meruncingkan segala perbedaan pendapat agar menjadi suatu pertikaian, suka mendendam yang tidak habis-habis. Orang seperti ini di mana saja tidak cocok. Tenang dan berdamai dengan orang lain, memang bukanlah hal yang mudah, tetapi itulah yang Tuhan inginkan. Kita harus belajar menjadi orang baik. Ketika ada orang membenci kita, kita perlu mendoakan dia, karena itu adalah kelemahannya. Dengan demikian kita tidak membenci dia, karena dengan demikian kita merendahkan derajat kita dan jatuh ke dalam kelemahan yang sama. Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengasihi musuh kita. Itulah kebajikan.
Ketiga, orang yang baik selalu menaruh pengharapan dan selalu sabar menunggu saat penuaian. Paulus berkata, “Jikalau engkau melakukan suatu hal yang baik, jangan kecewa. Bersabarlah, tunggu sampai hari itu tiba. Engkau akan menuai buah yang baik.” Inilah bagaimana kebajikan yang diintegrasikan dengan proses waktu. Waktu itu begitu serius dan menyiksa. Menunggu adalah siksaan yang luar biasa. Tetapi Paulus berkata, “Tunggulah, ketika engkau sudah menanamkan benih yang baik, sudah melakukan sesuatu yang baik, seperti benih ditanam, tunggu, dia tumbuh perlahan. Engkau terasa seperti disiksa, tetapi makin pelan, makin akan menghasilkan buah yang baik sekali.” Orang yang sabar seperti menerima siksaan waktu, tetapi akhirnya melihat buah itu betul-betul dihasilkan, ini namanya orang baik. Kebaikan, keadilan, dan kesucian Tuhan tidak bisa difragmentasikan. Tuhan yang baik adalah baik di dalam kesucian-Nya, Tuhan yang baik adalah Tuhan yang baik di dalam keadilan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil di dalam kebaikan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil dalam kesucian-Nya. Tuhan yang suci adalah suci dalam kebaikan-Nya, suci dalam keadilan-Nya. Jika Anda melaksanakan hidup yang baik, maka kebajikan itu menjadi sumber dan sekaligus target. Dengan demikian, kita tidak akan menjadi orang yang egois.
Terakhir, orang baik mau selalu menanam sesuatu dan dengan tidak mengharapkan imbalan. Memberi, melayani, berbagian, mengorbankan diri, dan menyangkal diri, adalah jiwa pelayanan. Ini disebut baik. Bisa memberi lebih berbahagia daripada bisa menerima. Agar lilin terus bercahaya, dia harus melelehkan diri sedikit demi sedikit. Tidak mungkin orang mau melakukan kebaikan tetapi tidak mau menyangkal diri, tidak mau merugikan diri, dan tidak mau berkorban diri. Kiranya kita melakukan segala kebajikan di hadapan orang, agar Bapa di sorga dipermuliakan. Dengan demikian kita menyatakan peta teladan Tuhan melalui hidup kita masing-masing. Amin.
Dulu saya sehat sekali, sekarang tidak lagi. Itu berarti waktu menggeser kita. Sepertinya kita didorong dan kita pasif; ataukah kita yang sedang menggeser waktu ke belakang? Pikirkan relasi keberadaan Anda dengan keberadaan waktu! Apa yang bisa kita kerjakan sekarang mungkin tidak lagi bisa kita kerjakan 10 tahun yang akan datang. Saat itu Anda menyesal mengapa tidak mengerjakannya waktu itu. Tidak ada siapapun yang bisa menolong kita ketika kita kehilangan kesempatan. Itu sebabnya dalam Alkitab ada 3 hal yang senantiasa terkait menjadi satu, yaitu waktu, moral, dan bijaksana. Relasi seperti ini tidak ada dalam filsafat Gerika. Di dalam filsafat klasik Gerika ada 3 hal yang dijadikan satu, yaitu: bijaksana, moral, dan bahagia. Jadi bijaksana yang sungguh mengakibatkan moral yang baik, dan moral yang baik mengakibatkan bahagia yang sejati. Alkitab mengajarkan bahwa orang bijak adalah orang yang pandai mempergunakan waktu dan melakukan moral yang sejati. Ini semua adalah perbedaan antara Alkitab dan pemikiran manusia yang sudah jatuh di dalam dosa. Kitab Suci memberikan pengajaran yang tertinggi. Kita tidak boleh mengandalkan kebenaran yang berasal dari rasio manusia setelah jatuh dalam dosa, tetapi berdasarkan pencerahan dari Sumber Kebenaran dan Kebenaran itu sendiri.
Di dalam Roma 7 dikatakan bahwa Taurat diberikan supaya manusia mengetahui kesucian, keadilan, dan kebajikan Tuhan Allah. Allah itu Mahasuci, Mahaadil dan Mahabaik. Ketiga hal ini menjadi inti Taurat. Dan ketiga hal dari Taurat ini menjadi pengertian manusia tentang Tuhan Allah. Taurat mencerminkan ketidaksanggupan kita melakukan kehendak Allah dan mencerminkan kejatuhan kita dari status yang ditetapkan oleh Allah, ketidakmungkinan kita untuk mencapai target yang ditetapkan oleh Allah, sehingga akhirnya kita mengetahui yang Allah kehendaki agar kita menjadi orang yang suci, adil, dan baik. Kesucian, keadilan, dan kebaikan adalah diri Tuhan Allah sendiri. Ini adalah target yang sekaligus sumber, bukan sekedar sebuah ide, bukan suatu ideologi ciptaan manusia. Kita dicipta oleh Allah yang suci, adil, dan baik. Semua agama mempunyai ide yang tertinggi, dan ide yang tertinggi menjadi standar moral. Semua agama mempunyai target ultimat bagi kebajikan manusia, tetapi mereka tidak tahu yang disebut target itu sebenarnya sekaligus adalah Sumber. Kalau “target” adalah titik terakhir, “sumber” adalah titik paling mula. Maka di sini kita melihat suatu garis yang mewakili proses. Maka kita sadar bahwa hanya Allah yang berhak mengatakan, “Akulah Alfa dan Omega.”
Ketika Tuhan mengatakan, “Akulah Alfa, Akulah yang Awal,” itu berarti Dia sumber, sehingga tidak ada sesuatu pun yang berasal dari diri Anda sendiri. Kepintaran maupun kesehatan kita berasal dari Sumber, bukan dari diri kita sendiri. Kemuliaan harus kita kembalikan hanya kepada Tuhan yang menjadi Sumber Pemberi Anugerah. Kita juga tidak boleh lupa bahwa Tuhan, Pemberi Anugerah, mau kita hidup bertarget, bersasaran, dengan standar yang harus kita capai. Yang disebut “mimpi itu tiba, berarti engkau membayangkan, engkau berjuang mencapainya, dan ingin mendapatkan sesuatu di akhir perjuanganmu.” Di dalam kita berharap untuk bisa mencapai sesuatu, harapan itu menjadi sumber dan sekaligus merupakan potensi yang merangsang seseorang untuk mengaktualisasikan diri mencapai hasil akhir. Dan Allah mengatakan, “Aku bukan hanya yang Awal, tetapi juga yang Akhir. Akulah Alfa dan Omega.”
Asal-Usul Kebajikan
Dari mana konsep kebajikan yang bisa manusia miliki? Ketika manusia ingin mencapai kebajikan ultimat (summum bonum), kebajikan itu siapa? Kebajikan yang ultimat (tertinggi) itu sebenarnya adalah diri Tuhan Allah, yang menjadi Sumber dan sekaligus menjadi Sasaran terakhir bagi hidup kita. Sasaran terakhir itu menjadi tujuan, menjadi sesuatu yang kita ingin dapatkan, seperti melepaskan panah menuju target. Tidak tercapainya target dalam bahasa Gerika adalah hamartia (artinya: dosa). Jangan hanya mengerti dosa sebagai perbuatan salah yang kita lakukan, itu terlalu dangkal. Banyak ahli hukum di dunia mulai dari mengerti hukum, membuat hukum, lalu menghukum orang lain. Ketika mengerti seluk-beluk hukum, lalu menjadi ahli melanggar hukum sambil tidak mau dihukum. Banyak orang belajar hukum belum tentu motivasinya mau menegakkan keadilan, mungkin karena ingin mendapatkan gaji besar. Manusia menuntut kebenaran, tapi akhirnya memperalat kebenaran hanya untuk mencari profit dalam pelayanan egosentris (berpusat pada kepentingan diri). Itu sebabnya setiap orang yang melibatkan diri dalam satu wilayah yang tinggi sekali nilainya dengan motivasi yang mempunyai egosenter (pusat pada kepentingan diri) sebagai titik tolak atau dorongan, orang itu sudah tidak memiliki kebajikan. Seorang hakim yang tidak melakukan keadilan, dia adalah penginjak, perobek, perusak keadilan. God-centered people (orang-orang yang berpusat pada Allah) menyadari bahwa Sumbernya adalah Tuhan dan targetnya juga Tuhan. Seorang dokter Kristen berbeda bukan karena ia pergi ke gereja tiap minggu, tetapi karena ia mempunyai Weltanschauung (wawasan dunia) Kristen, apa yang diwahyukan oleh Tuhan, untuk menjadi suatu motivasi seorang berprofesi dokter. Inilah pengertian Theologi Reformed. Di dalam kehidupan kita tidak ada satu inci di mana Tuhan tidak bertakhta (Abraham Kuyper), sehingga kita menaklukkan seluruh hidup kita kepada Tuhan, dan berkata, “Engkaulah Allahku, Engkaulah Tuhanku, tuanku. Aturlah hidupku, milikilah hidupku dan pimpinlah hidupku.” Itulah orang Kristen.
Sumber kita adalah Kebajikan dan kita dicipta menurut peta teladan Allah, sehingga kita diberi benih kebajikan dalam hati kita. Kita senang melihat orang yang bersih hatinya dan kita tidak senang melihat orang berliku-liku, tidak pernah sungguh-sungguh jujur. Seorang ayah minta anaknya menemui tamu yang datang ke rumah untuk mengatakan dia tidak ada di rumah. Anak itu dengan polosnya berkata, “Baru saja papa berkata bahwa dia tidak ada.” Anak ini menurut, ia menyampaikan perkataan papanya, tetapi papanya marah sekali. Marah, karena tujuan papanya bukan supaya dia menyampaikan secara jujur, tetapi supaya tamunya yang menagih hutang pulang. Anak kecil ini tidak mengerti, terlalu polos. Polos dianggap bodoh. Maka, anak kecil itu mulai berpikir bahwa “Polos itu sama dengan bodoh.” Akhirnya pendidikan tidak berjalan, karena pendidikan berlawanan antara di dalam kata dengan di dalam fakta.
Lebih dari 200 tahun yang lalu terjadi revolusi besar di Perancis. Dalam Revolusi Perancis, ada pemikir-pemikir penting, termasuk d’Alembert, Diderot, La Mettrie, Voltaire, dan Jean-Jacques Rousseau. Para filsuf Encyclopedic school (Arus pikir Encyclopedic) itu sangat menghina gereja. Mereka mengatakan, gereja adalah suatu sistem yang diperalat oleh kelompok pemimpin agama untuk mencari keuntungan bagi diri mereka sendiri. Maka mereka berusaha membongkar semua dosa-dosa uskup, pendeta, dan para pimpinan gereja. Lalu mereka meluncurkan suatu kalimat, kalimat itu menggunakan istilah summum bonum (the highest good). Summum akhirnya menjadi istilah summit. Bonum berarti kebajikan atau kebahagiaan yang paling tinggi. Hal ini menjadi salah satu hal yang paling dituntut oleh manusia dari zaman ke zaman. Dalam setiap zaman, manusia akan memikirkan apa itu yang terbaik, bagaimana menjadi orang terbaik, bagaimana mencapai kebaikan yang terbaik, bagaimana menjadi orang yang lebih baik daripada yang lain, dan menjadi yang sungguh-sungguh baik. Summum bonum itu menjadi sasaran semua agama; menjadi sasaran semua etika, moral, kebudayaan, dan pikiran para filsuf. Di dalam teori Revolusi Perancis, mereka mengatakan: “Yang disebut summum bonum itu selalu diperalat, karena sebenarnya mereka tidak mencapai, hanya memperalat istilah summum bonum untuk mencapai profit pribadi, profit egoisme.” Maka summum bonum harus didefinisikan kembali, yaitu sesuatu kebajikan yang tidak boleh dipakai menjadi suatu alat untuk menuju tujuan yang lain. Orang yang datang ke gereja bukan untuk mencari Tuhan tetapi untuk mencari untung, maka keagamaan menjadi hal yang paling rendah, dan profit menjadi ilah mereka. Mereka memakai nama Allah, berdoa kepada Allah untuk mencapai sesuatu yang rendah sekali. Hal seperti ini telah dibongkar oleh orang Perancis lebih dari 200 tahun yang lalu. Mereka mengatakan, semua agama yang mempunyai motivasi yang tidak baik harus keluar dari panggung kebudayaan manusia. Dunia tidak mungkin damai kecuali memakai usus dari uskup yang terakhir untuk mencekik mati Paus terakhir, baru ada damai di dalam dunia. Pada saat itu orang dunia, orang berbudaya, orang cendekiawan menghina agama sampai serendah-rendahnya, karena banyak orang memperalat agama untuk mencari profit untuk diri sendiri. Mereka melihat orang dunia jauh lebih baik dari orang yang masuk gereja dan para pemimpin gereja. Muncullah kalimat, “Jangan lupa, di belakang toga pendeta tersimpan dosa lebih banyak daripada orang biasa.”
Summum bonum tidak boleh menjadi alat. Summum bonum harus selalu menjadi titik terakhir yang dituntut. Jadi summum bonum bukan media, bukan alat, juga bukan penghubung. Summum bonum di dalam dirinya sendiri adalah tujuan akhir. Maka, jika Anda mencari kebajikan tertinggi, Anda mau bertemu dengan sommum bonum itu sendiri. Summum bonum adalah sifat ilahi. Summum bonum adalah sumber di mana kita dicipta menurut peta teladan itu, sekaligus adalah target yang dituju. Menuju berarti belum mencapai. Suatu kali Tuhan berkata kepada seorang pemuda, “Engkau sudah tidak jauh dari Kerajaan Sorga.” Tidak jauh berarti belum sampai. Banyak kecelakaan pesawat terjadi justru ketika sudah begitu dekat dengan landasan. Sudah begitu dekat tidak berarti sudah sampai. Ketika Anda mengatakan, “Saya mau percaya Tuhan,” mau percaya berarti belum percaya. Mau percaya hanyalah sebuah keinginan, tetapi belum menyatakan realita sesungguhnya.
Kalau summum bonum itu sumber, dan Allah adalah Alfa sekaligus Omega, berarti summum bonum itu juga target. Itu berarti seumur hidup saya harus menuntutnya, mengejarnya, supaya bisa mencapai, atau mendekatinya. Tetapi itu bukan berarti saya sudah menjadi orang yang paling baik. Itu sebabnya kita harus terus-menerus mengejar menuju kesempurnaan. Itulah theologi Reformed.
Theologi Reformed tidak mengatakan kita mungkin mencapai kesempurnaan sepanjang dalam dunia ini, tetapi theologi Reformed juga mengajar kita bisa menjadi orang sempurna di dalam dunia ini, karena orang sempurna justru adalah orang yang tidak sadar dan tidak merasa diri sudah sempurna. Ini paradoks. Orang yang makin sempurna makin merasa diri kurang sempurna; orang yang makin rohani makin merasa diri kurang rohani; orang yang makin pintar merasa diri kurang pintar; orang yang makin baik selalu merasa diri kurang baik. Barangsiapa menganggap diri sudah cukup baik, pasti dia kurang baik. Orang yang menganggap diri tidak sempurna mungkin dia lebih sempurna dari orang lain. Ini teori dan ajaran kebenaran yang disebut sebagai paradoxical truth.
Bagaimana Mengerti Arti Kebajikan?
Pertama, orang yang baik adalah orang yang tidak egois. Jika seseorang senantiasa mementingkan diri dan tidak menghiraukan orang lain, ia akan memonopoli semua keuntungan dan merampas hak orang lain. Wang Mingdao, 26 tahun dikurung dalam suatu penjara dan diberikan sinar berpuluh-puluh ribu watt, sehingga sarafnya tegang dan kacau, lalu dipaksa minta pengampunan dari pemerintah Komunis. Setelah berpuluh-puluh ribu watt lampu disorot kepadanya berhari-hari, akhirnya dalam keadaan tidak sadar dia tanda tangan. Setelah tanda tangan, dia tidak lagi disorot, dia boleh tidur, dan dibebaskan. Setelah keluar, dia baru tahu bahwa yang dia tanda tangani adalah surat permintaan pengampunan kepada Komunis dan surat itu sudah masuk ke seluruh surat kabar di Beijing. Dia mengatakan, “Saya mau kembali masuk penjara. Saya tidak mau kebebasan. Ini penipuan, saya diperalat untuk menjadi propaganda Komunisme.” Selama 26 tahun lagi dia masuk penjara, ketika bebas, usianya sudah 78 atau 79 tahun. Di penjara tidak boleh ada Kitab Suci sehingga dia terus menghafal ayat-ayat yang pernah dia baca. Dia menulis satu makalah pendek, tidak lebih dari 800 huruf. Di dalamnya terdapat kalimat: “Seorang Kristen yang baik, waktu lihat ada keuntungan, jangan lari ke depan. Mundur sedikit, biar orang lain dapat. Orang Kristen yang baik, waktu lihat ada bahaya, lari ke depan, jangan sampai orang lain kena bahaya.” Berapa banyak orang Kristen tidak pernah mengerti kedua kalimat ini? Selalu di depan ketika ada keuntungan dan lari paling dulu ketika ada bahaya. Yang lebih ironis, orang-orang seperti ini menjadi majelis, bahkan pendeta. Hai orang beriman, nyatakanlah itu dalam kelakuan! Bagi Confucius, gentleman berarti orang yang mengerti kebenaran, sementara orang kerdil mencari profit. Gentleman membicarakan keadilan, orang kerdil membicarakan kesenangan diri. Mengapa sudah menjadi majelis atau penatua masih sibuk dengan keuntungan diri dan kalau ada bahaya lari paling cepat. Kebajikan adalah ketika seorang tidak egois dan mau mengutamakan kepentingan orang lain.
Kedua, orang baik mau mengerti orang lain. Orang yang baik suka damai. Ada orang-orang yang suka ribut, suka berdebat, suka meruncingkan segala perbedaan pendapat agar menjadi suatu pertikaian, suka mendendam yang tidak habis-habis. Orang seperti ini di mana saja tidak cocok. Tenang dan berdamai dengan orang lain, memang bukanlah hal yang mudah, tetapi itulah yang Tuhan inginkan. Kita harus belajar menjadi orang baik. Ketika ada orang membenci kita, kita perlu mendoakan dia, karena itu adalah kelemahannya. Dengan demikian kita tidak membenci dia, karena dengan demikian kita merendahkan derajat kita dan jatuh ke dalam kelemahan yang sama. Tuhan Yesus mengajar kita untuk mengasihi musuh kita. Itulah kebajikan.
Ketiga, orang yang baik selalu menaruh pengharapan dan selalu sabar menunggu saat penuaian. Paulus berkata, “Jikalau engkau melakukan suatu hal yang baik, jangan kecewa. Bersabarlah, tunggu sampai hari itu tiba. Engkau akan menuai buah yang baik.” Inilah bagaimana kebajikan yang diintegrasikan dengan proses waktu. Waktu itu begitu serius dan menyiksa. Menunggu adalah siksaan yang luar biasa. Tetapi Paulus berkata, “Tunggulah, ketika engkau sudah menanamkan benih yang baik, sudah melakukan sesuatu yang baik, seperti benih ditanam, tunggu, dia tumbuh perlahan. Engkau terasa seperti disiksa, tetapi makin pelan, makin akan menghasilkan buah yang baik sekali.” Orang yang sabar seperti menerima siksaan waktu, tetapi akhirnya melihat buah itu betul-betul dihasilkan, ini namanya orang baik. Kebaikan, keadilan, dan kesucian Tuhan tidak bisa difragmentasikan. Tuhan yang baik adalah baik di dalam kesucian-Nya, Tuhan yang baik adalah Tuhan yang baik di dalam keadilan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil di dalam kebaikan-Nya. Tuhan yang adil adalah adil dalam kesucian-Nya. Tuhan yang suci adalah suci dalam kebaikan-Nya, suci dalam keadilan-Nya. Jika Anda melaksanakan hidup yang baik, maka kebajikan itu menjadi sumber dan sekaligus target. Dengan demikian, kita tidak akan menjadi orang yang egois.
Terakhir, orang baik mau selalu menanam sesuatu dan dengan tidak mengharapkan imbalan. Memberi, melayani, berbagian, mengorbankan diri, dan menyangkal diri, adalah jiwa pelayanan. Ini disebut baik. Bisa memberi lebih berbahagia daripada bisa menerima. Agar lilin terus bercahaya, dia harus melelehkan diri sedikit demi sedikit. Tidak mungkin orang mau melakukan kebaikan tetapi tidak mau menyangkal diri, tidak mau merugikan diri, dan tidak mau berkorban diri. Kiranya kita melakukan segala kebajikan di hadapan orang, agar Bapa di sorga dipermuliakan. Dengan demikian kita menyatakan peta teladan Tuhan melalui hidup kita masing-masing. Amin.