Lukas 5:36-39: “Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.”
Kalimat-kalimat di atas adalah jawaban Yesus ketika orang-orang Farisi menanyakan kepada-Nya satu hal yang dianggap penting dalam tradisi ibadah Yahudi kala itu, yaitu soal makan dan minum. Orang Farisi menuduh Yesus tidak patuh pada “ketentuan” tradisi. Saat orang lain berpuasa, orang Farisi menuding murid-murid Yesus malah makan dan minum.
Atas tuduhan orang Farisi itu, Yesus memang sangat keras menantang meski pada saat yang sama Yesus menjelaskan kebenarannya. Di awal pelayanan-Nya, Yesus tidak main-main dengan konsep orang Farisi yang cenderung legalistik. Yesus bertindak membongkar pemahamanan yang jelas sangat keliru dari mereka. Yesus mengatakan kepada mereka bahwa dalam Perjanjian Lama, puasa makan dan minum sebenarnya ditujukan bukan untuk menjadi roster mingguan seperti yang dipraktikkan oleh orang Yahudi di zaman itu yang berpuasa Senin dan Kamis. Bukan seperti itu maksud asalnya. Yesus mengatakan bahwa seharusnya puasa wajib hanya ada satu hari saja dalam setahun, yaitu tanggal 10 pada bulan yang ketujuh, dan peraturan itu harus dipatuhi sampai selama-lamanya. Nah, di hari puasa wajib yang hanya sekali setahun itu, orang yang berpuasa merendahkan diri di hadapan Tuhan, menyadari keberdosaannya di hadapan Tuhan. Maka puasa yang hakiki, kata Yesus, bukan soal makanan dan minuman, tetapi soal hati yang hancur dan remuk, meminta belas kasihan Tuhan Allah atas diri. Esensi berpuasa seperti itu telah digeser bahkan direndahkan oleh ajaran Yahudi.
Yesus berhadapan dengan tradisi Yahudi dan orang-orang Farisi itu, dan Ia seolah berkata kepada mereka, “Terkutuklah jika engkau justru menambah-nambahkan aturan yang telah dibuat Allah!” Ya, Yesus benar-benar geram menyaksikan sebuah praktik ibadah yang mengerikan oleh orang Yahudi. Alih-alih mereka berjumpa dengan Allah dalam ibadah puasa mereka, ibadah itu justru menjadikan mereka tuhan bagi diri dan tuhan bagi orang lain. Jika dalam Perjanjian Lama berpuasa itu seharusnya dilakukan untuk hati yang hancur dan mau bertobat, di zaman Yesus, orang Farisi justru membuat aturan ibadah yang berpusat kepada manusia semata. Ibadah yang tadinya untuk merenungkan keselamatan jiwa mereka (Im. 16:29-31), dalam praktiknya telah mereka tukar menjadi ketentuan ibadah yang mereka karang sendiri hanya untuk supaya dilihat orang sebagai orang yang saleh.
Maka Yesus kemudian menunjukkan kepada mereka satu prinsip penting dan satu teguran besar. Kedua hal tersebut disampaikan Tuhan dalam bentuk perumpamaan. Yang pertama adalah prinsip penting. Menjawab orang Farisi, Yesus mengatakan dengan jelas bahwa ajaran-Nya tidak cocok dengan apa yang selama ini mereka pahami dan praktikkan. Kata Yesus, ajaran orang Farisi itu selama ini bak kain tua atau kantong anggur lama. Sementara ajaran Yesus seperti kain baru atau kantong anggur yang baru.
Dua gambaran mengenai kantong itu disampaikan Tuhan untuk mengatakan kepada orang Farisi bahwa puasa yang selama ini mereka praktikkan sama sekali jauh dari maksud asal Allah, telah sangat melenceng, dan bukan lagi yang seharusnya. Ajaran dari Allah telah dirusak oleh perbuatan mereka sendiri. Puasa yang diajarkan Allah adalah puasa yang membawa hati kepada-Nya. Namun ajaran-ajaran Farisi beserta Yahudi adalah ajaran yang palsu, yang ujungnya tak akan menyelamatkan jiwa mereka kelak, kecuali untuk pamer di hadapan manusia. Maka dengan memberikan perumpamaan bahwa ajaran Farisi ibaratnya baju yang tua dan kantong anggur yang juga tua, Yesus sedang menegaskan bahwa praktik hidup mereka telah membawa kesia-siaan dan tak bermanfaat sama sekali.
Perkataan Yesus itu jelas amat menegur dan bahkan mempermalukan orang Farisi, karena Yesus seolah mengatakan kepada mereka bahwa ibadah yang hidup mati mereka perjuangkan selama ini dan yang mereka dalami sekuat tenaga itu ternyata tak ada artinya. Sebaliknya, Yesus datang membawa ajaran yang tak mungkin sama dengan ajaran Farisi. Yesus datang dengan ajaran yang bak baju yang baru, anggur yang baru, dan kantong yang baru. Yang baru, yaitu yang dari Allah yang sejati, segera akan membuat ajaran orang Farisi itu menjadi sama sekali tidak bernilai dan tak berguna. Ajaran Yesus tak bisa disandingkan bahkan dicocokkan dengan ajaran Farisi karena bukan hanya isi ajarannya yang berbeda, konteks ajarannya juga sama sekali berbeda, dan Gurunya juga berbeda (bandingkan dengan bagian awal, ayat 33, di mana Farisi membuat perbedaan antara murid-murid Yohanes, murid-murid Farisi, dan murid-murid Yesus).
Dengan perumpamaan itu, sekali lagi, Yesus seperti berkata, “Percumalah saja orang Farisi itu mempraktikkan puasa bahkan jika pun dilakukan setiap hari sekalipun, jika jiwa mereka sendiri kelak tak akan diselamatkan Allah, sebagaimana seharusnya tujuan berpuasa.”
Itu adalah prinsip pertama yang disampaikan Yesus kepada orang Farisi. Tetapi Yesus tak selesai hanya dengan menegaskan garis batas mengenai ajaran-Nya dan ajaran Yahudi. Alih-alih hanya menjelaskan soal perbedaan antara kantong, Yesus masuk pada poin kedua, yaitu teguran keras. Yesus menutup perumpamaan-Nya dengan berkata, “Dan tidak seorangpun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.”
Di sini Yesus kembali mengungkit perilaku orang Farisi yang enggan berubah. Yesus seperti sedang berkata kepada mereka, “Karena kamu sekalian telah merasa bahwa ibadah seperti yang kalian lakukan selama berabad-abad lamanya itu adalah yang paling benar, maka kalian pun sama sekali tidak akan bisa merasakan betapa pentingnya ajaran-Ku. Maka karena itu, kalian akan terusir dari pengertian akan kehadiran Mesias!” Yesus seperti menarasikan sebuah deklarasi kepada mereka, “Kalian tidak akan bisa diselamatkan karena kalian merasa paling benar. Kalian merasa anggur lama kalian itu yang paling enak, padahal sesungguhnya tidak. Akulah Anggur yang baru itu, tetapi meski Aku sudah menjelaskan betapa busuknya perbuatan kalian, yaitu beribadah dalam kepalsuan, dan bahwa ajaran-Ku adalah yang sejati, tetapi kalian sama sekali tak akan bisa lagi keluar dari praktik munafik itu karena kalian sudah tak memiliki kesadaran bahwa kalian telah salah.”
Melakukan hal yang salah, tetapi tak sadar bahwa itu salah! Itulah titik puncak dari hajaran Yesus pada orang Farisi di bagian ini. Yesus membuka topeng ibadah mereka sekaligus memberikan hukuman.
Dalam bukunya tentang Calvinisme, Edwin Palmer menggambarkan kerusakan total manusia. Di dalam kerusakan itu, manusia bukan tidak bisa melakukan hal yang baik. Sama sekali bukan itu. Tetapi yang disampaikan dalam kerusakan total adalah bahwa dalam kebaikan sekalipun, tak ada kebaikan sejati karena manusia selalu ingin memuliakan diri sendiri, menjauh dari Tuhan. Itulah prinsip kerusakan total yang sedang disampaikan oleh Yesus kepada orang Farisi. Orang Yahudi bukan tidak beribadah, bukan tidak berpuasa, bukan tidak hidup dari larangan dan pantangan. Tetapi itu semua mereka lakukan bukan untuk menyenangkan dan memuliakan Tuhan, tetapi memasukkan unsur kemuliaan diri di situ. Dan karena itu Yesus menyampaikan hukuman Allah bahwa mereka akan dibiarkan menikmati “ibadah” itu, seolah mereka sudah menjumpai hadirat Allah padahal tidak. Allah membiarkan mereka menikmati anggur lama mereka, membiarkan mereka berhenti di situ, yaitu supaya mereka dilihat orang; Allah membiarkan mereka merasa seolah kelak akan masuk surga karena merasa sempurna beribadah, padahal ibadah mereka tidak disukai oleh Allah.
Kalimat-kalimat Yesus pada orang Farisi itu adalah kalimat yang penuh otoritas dan agung. Ia bukan hanya mengungkit kepalsuan beribadah tetapi juga akibat fatal dari keberdosaan.
Kisah di atas pun menjadi teguran untuk kita. Kita bisa berteriak-teriak, memuji Tuhan, meneriakkan nama Tuhan, berdoa dan berpuasa, bahkan melayani. Tetapi itu bisa bukan untuk membuat kita makin mengenali diri di hadapan Allah, melainkan hanya untuk menjadikan kita seolah lebih rohani dari orang lain. Esensi ajaran Allah, yaitu membawa hati yang rapuh dan ingin dipulihkan oleh Allah, sering tersingkirkan oleh rutinitas pelayanan yang menjadikan kita hanya sekadar mengisi roster ibadah belaka.
Dan itu juga teguran Yesus untuk kita, yaitu bahwa kita bisa terjebak dalam legalitas ibadah dan pelayanan. Kita bisa menganggap bahwa yang kita kerjakan telah memenuhi standar, padahal sesungguhnya Allah tidak berkenan. Allah pun akan “membiarkan” kita merasa bahwa yang kita kerjakan telah menyenangkan hati-Nya, padahal tidak.
Fotarisman Zaluchu
Jemaat GRII Medan