Tulisan ini merupakan perenungan mengenai posisi gambar, seni rupa, dan imajinasi dalam tradisi retorika theologis yang hadir dalam liturgi dan ibadah kita. Seni retorika, sebagaimana diajarkan oleh Aristoteles dan dikenal sejak zaman Yunani Kuno, merupakan seni mempersuasi orang lain, baik secara verbal maupun teks, membujuk lewat karakter (ethos), emosi (pathos), dan penalaran (logos). Retorika adalah cabang dari dialektika yang membahas mengenai kemampuan dalam membuat argumen dalam bahasa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata retorika (/re·to·ri·ka/ /rétorika/) merupakan keterampilan berbahasa secara efektif atau studi tentang pemakaian bahasa secara efektif.
Latar Belakang Memulai Petualangan Kita
Sebagai anggota jemaat gereja Kalvinis Modernis, peran dari gambar dalam praktik retorika theologis maupun praktik liturgi ibadah mungkin sering dipandang kurang tepat jika dibandingkan dengan keutamaan dari khotbah ekspositoris. Entah kita sadari atau tidak, tradisi Protestan yang lahir di abad ke-15 dan mencapai kejayaan ortodoksinya berbarengan dengan Abad Pencerahan dan Zaman Modern mewariskan kepada kita banyak asumsi dalam melihat peran dari gambar, seni rupa, dan imajinasi manusia yang ada di belakangnya. Salah satu kecenderungan yang diwariskan bersama melalui Abad Pencerahan dan Zaman Modern adalah penekanan praktik retorika ibadah yang lebih mengutamakan nalar dibandingkan dengan praktik retorika yang menangkap imajinatif dan emosional. Penekanan ini tentu berakar dalam sejarah, tidak terpisahkan dari kebutuhan Protestanisme untuk menyuarakan ajaran dan pandangannya di tengah abad yang didominasi oleh ilmu pengetahuan dan penalaran manusia. Bukan hanya demikian, penekanan akan teks firman Tuhan dan khotbah ekspositoris juga berhadapan dengan tradisi gerejawi yang lahir sebelumnya, di mana peran gambar, imajinasi dan seni rupa begitu efektif digunakan sebagai alat ritual dan pengajaran. Di zaman di mana literasi masyarakat secara umum masih sangat rendah, peran gambar dan imajinasi dalam ritual, ibadah, dan pengajaran menjadi sangat penting.
Bagi tradisi kita yang puncak perkembangannya terjadi seiring Abad Pencerahan dan Zaman Modern, gambar dan bentuk-bentuk eskpresi imajinatif dalam ibadah akhirnya lebih banyak ditempatkan hanya untuk melayani suatu penjelasan theologis atau sebagai elemen narasi sekunder yang mengilustrasikan proposisi atau rumusan kalimat yang diajarkan. Bahkan ada masa di mana muncul gerakan-gerakan seperti Ikonoklasme Protestan yang secara tidak langsung membawa dampak makin jauh terhadap peran gambar, seni rupa, dan imajinasi pada umumnya dalam konsep ibadah yang benar. Mempelajari periode sejarah saat itu, pilihan tersebut sangat bisa dimengerti. Kebutuhan gereja pada waktu itu sangat besar untuk mengidentifikasi dan menjawab segala aspek dari apa yang dipercayai di tengah pertempuran pemikiran dan peradaban. Masa ini kita kenal sebagai zaman di mana tradisi penalaran Protestanisme, baik secara theologis maupun di dalam bidang-bidang pengetahuan lain, berkembang dengan sangat dahsyat.
Lalu apa relevansi dari preseden historis dan tradisi yang kita warisi ini? Seiring dengan perkembangan zaman, kekuatan dari tradisi retorika theologis yang kita warisi sepertinya tetap berlanjut. Warisan tradisi retorika theologis yang jernih, tajam dan memukau nalar masih sering menjadi daya tarik awal terhadap tradisi kita. Namun apa yang menjadi penekanan karena konteks waktu dan tempat pada masa lampau dapat juga turut membentuk kecenderungan ketidakpahaman dan kelemahan merespons di wilayah lain. Penekanan tradisi retorika theologis di wilayah nalar, ketika diterapkan secara normatif, seringkali melupakan bahwa apa yang harus dijangkau dan dipersuasi dalam seni retorika tidak hanya berada di tataran penalaran saja. Secara tidak sadar, retorika terhadap penalaran bukan hanya mendominasi tujuan berkhotbah, namun juga ritual dan prosesi ibadah. Ketika hal ini terjadi, maka tradisi liturgi yang diwariskan dengan tahapan ritual, gestur tubuh, dan imajinasi kosakata puji-pujian, akhirnya hanya diterima secara nalar, diperlakukan hanya sebatas logika urutan dan kegunaan tanpa lagi menjangkau sisi karakter (ethos) dan emosi (pathos). Elemen retorika theologis yang ditujukan kepada karakter (ethos) dan emosi (pathos) akhirnya dijalankan, dipandang, diterima hanya sebatas kognitif, dan sedikit sekali secara afektif. Apa yang hilang ketika fenomena ini terjadi? Tradisi retorika theologis ibadah kita mungkin kehilangan dua wilayah besar dalam jiwa manusia yang seharusnya juga dipersuasi dan dimenangkan.
Mengapa memulai perenungan mengenai hal ini? Sebagai pribadi yang menjalankan panggilan hidup di ranah pendidikan desain yang sangat sarat dengan bahasa gambar dan imajinasi, perubahan zaman yang makin didominasi oleh gambar dan imajinasi telah membawa dampak yang besar bagi saya. Peran dari gambar dan ekspresi imajinatif sebagai instrumen retorika kini mendominasi hidup keseharian kita. Pertarungan gagasan dan nilai hidup bukan lagi dilakukan dalam bentuk rumusan-rumusan proposisi, namun lebih melalui narasi imajinatif yang menjadi penentu seseorang berpihak dan berpartisipasi. Intensitas gambaran mental dari zaman pra-modern hadir kembali di masa kini, dengan kekuatan retorika yang berlipat ganda melalui teknologi digital, virtual reality, bahkan artificial intelligence.
James K. A. Smith dalam trilogi bukunya Desiring the Kingdom, Imagining the Kingdom, dan Awaiting the King memperkenalkan suatu konsep yang disebutnya sebagai liturgi kultural dan pentingnya menyadari berbagai dimensi manusia yang kompleks dalam ibadah. Desiring the Kingdom dimulai dengan suatu pemahaman dasar yang juga diutarakan kembali dalam pengantar Imagining the Kingdom:
“Kita adalah, terutama dan pada akarnya, makhluk afektif yang dunianya terbentuk oleh imajinasi daripada intelek, bahwa manusia adalah mahluk yang berhasrat dan hidup dari cerita-cerita, narasi-narasi, gambar-gambar, dan poiesis.” – James K. A. Smith, Imagining the Kingdom
Dari trilogi James K. A. Smith ini, saya menemukan korelasi yang begitu kuat antara ibadah, liturgi, dan imajinasi yang mewujud dalam peradaban di mana kita hidup. Peradaban ini tidak bisa dipisahkan antara wilayah sakral atau rohani versus wilayah sekuler atau duniawi. Dalam dimensi afeksi kita, kedua sisi ini tidak pernah bisa dipisahkan. Kebiasaan konsumsi indrawi, kepekaan etis dan emosional kita di luar dan di dalam gereja senantiasa berhubungan. Jikalau demikian, pergeseran peradaban yang makin didominasi oleh gambar, cerita, narasi untuk membentuk nilai-nilai hidup, hasrat dan kehendak kita merupakan sesuatu yang harus digumulkan dengan sungguh. Dalam konteks ibadah secara khusus, retorika theologis yang sepenuhnya mengutamakan penalaran perlahan makin berjarak dari mereka yang seluruh kebiasaan afektifnya didominasi oleh liturgi kultural gambar, cerita, dan narasi imajinatif. Ada kebutuhan yang makin besar untuk mengorelasikan apa yang memuaskan nalar dengan afirmasi etis dan emosional. Retorika theologis harus dituturkan dengan indah, bukan hanya secara nalar, namun juga indah secara etis dan emosional. Merenungkan hal ini, saya teringat akan satu kalimat dari Hans Urs von Balthasar:
“Kita tidak lagi memiliki keberanian untuk percaya akan keindahan dan kita menjadikan keindahan sekadar penampilan agar lebih mudah membuangnya. Namun situasi kita hari ini menunjukkan bahwa keindahan menuntut demi dirinya setidaknya keberanian dan keputusan yang sama dengan yang kita berikan kepada kebenaran dan kebaikan, dan keindahan tidak akan membiarkan dirinya dipisahkan atau diasingkan dari kedua saudarinya tanpa membawa keduanya pergi bersamanya dalam suatu tindakan balas dendam yang misterius.”
Balthasar di sini memahami sejarah perkembangan relasi triadik antara kebenaran, kebaikan, dan keindahan dalam peradaban Barat dan memperingatkan kita bahwa ketiganya tidak bisa berdiri sendiri. Kebenaran tidak diterima atau diyakini manusia semata-mata karena ia tak terbantahkan, akurat, dan jernih disampaikan. Kebenaran itu harus pada saat yang sama ditopang oleh integritas dan kebaikan, baru ia dapat mengubah kehendak manusia, membuat seorang manusia melibatkan diri sepenuhnya dalam kebenaran itu, menerima segala konsekuensi demi mendukungnya. Meskipun demikian, ini tetap tidak cukup, kebenaran yang sejati tidak mungkin tidak indah adanya. Bukan hanya karena ia akurat atau menyentuh komitmen hati yang terdalam, namun juga kebenaran itu memukau seluruh indra kita, mendatangkan suatu kenikmatan dan sukacita yang menarik semua manusia untuk menghampirinya.
Hal yang sama dapat kita temukan dalam tradisi ibadah gerejawi dan retorika theologis. Kebenaran penalaran memang mendatangkan kepuasan dan kenikmatan, namun cukupkah kebenaran penalaran jika tidak dibarengi dengan otoritas yang lahir dari kebaikan dan integritas pemberitanya? Bahkan ketika kebenaran dan kebaikan sudah terpenuhi, bagaimana dengan keindahan yang memikat kita untuk menikmatinya? Keindahan di sini harus menyertakan keindahan indrawi, melibatkan keseluruhan tubuh kita. Keindahan kognitif tidak bisa menggantikan keindahan yang dirasakan melalui seluruh tubuh kita. Jika sampai di sini kita kembali pada pokok perenungan awal mengenai retorika theologis, bagaimana sebenarnya relasi antara kebenaran, kebaikan dan keindahan ini ditemukan dalam khotbah? Bagaimana juga ketiganya ditemukan dalam tata ibadah atau liturgi yang dialami? Dalam tradisi pemikiran Barat yang turut mempengaruhi tradisi gerejawi kita, perkembangan seni rupa, khususnya terkait gambar dan imajinasi, tidak selalu dekat diasosiasikan dengan kebenaran. Kebenaran tentunya lebih dekat dan sering diasosiasikan dengan nalar dan sisi intelektual manusia. Sementara keindahan lebih umum diasosiasikan dengan musik, seni rupa, gambar, cerita, dan imajinasi. Liturgi atau tata ibadah tentu menghadirkannya, khususnya melalui musik gerejawi, atau bahkan arsitektur bangunan ibadah yang kita gunakan. Namun bagaimana dengan khotbah? Bagaimana khotbah dan keseluruhan tata ibadah menawan bukan hanya kapasitas nalar kita, namun juga kapasitas etis dan emosional kita?
Perenungan ini membawa saya untuk bertemu dengan sebuah tradisi retorika visual yang pernah hidup dalam gereja pada masa Byzantium. Tradisi ini adalah ekphrasis. Tradisi ekphrasis menarik perhatian saya karena keunikannya yang memadukan pengajaran theologis gerejawi secara intelektual dengan objek seni rupa atau gambar dan keterampilan merangkai kata-kata yang diucapkan secara lisan. Pada zamannya, tradisi ekphrasis merupakan keindahan terpadu gambar, teks dan retorika yang ditemukan dalam ibadah. Salah satu ekphrasis yang paling terkenal misalnya digubah oleh Michael Psellos secara puitis dan dibantu oleh karya gambar, merefleksikan peristiwa penyaliban Kristus. Tradisi ekphrasis juga masih ditemukan turunannya hingga saat ini dalam seni literatur modern dan film. Dalam perenungan ini saya akan mengajak teman-teman sekalian untuk menelusuri tradisi ekphrasis ini. Saya akan mengajak kita juga untuk kemudian melihat ekphrasis sebagai salah satu bentuk seni rupa yang memadukan retorika, gambar, dan imajinasi dalam liturgi atau ibadah gereja.
Sebagaimana sudah saya ceritakan di awal tulisan ini, sejarah Protestanisme memiliki relasi yang pasang surut dengan gambar, seni rupa, dan tentunya imajinasi. Peristiwa Ikonoklasme Protestan Beeldenstorm di abad ke-16 misalnya, menjadi lembaran hitam perusakan karya seni gambar maupun hiasan di berbagai gereja dan tempat ibadah di Eropa. Seiring dengan perkembangan Protestanisme, penekanan akan teks yang sejalan dengan semangat Reformasi sola scriptura menjadikan teks sebagai medium paling penting dalam peradaban Protestan.
Kita perlu terbang dahulu dengan mesin waktu menuju zaman di mana ekphrasis dipraktikkan. Saya rindu untuk menyelidiki bagaimana dahulu gambar dan imajinasi pernah menjadi salah satu instrumen retorika theologis yang begitu dahsyat. Apa yang menjadi kekuatannya, apa pula yang menjadi kelemahannya? Kelemahan apa saja yang dalam situasi dan kondisi sejarah masa tertentu turut berkontribusi membuatnya ditinggalkan dari dalam ibadah dan strategi pengajaran gerejawi (setidaknya dalam konteks tradisi kita)?
Kita akan sedikit belajar dari satu karya tradisi ekphrasis yang terkenal, ditulis oleh Michael Psellos di abad ke-11 dengan judul “Khotbah tentang Penyaliban”. Lewat penelitian yang banyak dilakukan terhadap karya ini, saya akan mengajak kita mempertimbangkan apa yang terjadi di masa itu. Bagaimanakah gambar dan imajinasi menjadi bagian penting dalam retorika theologis, bahkan menjadi komponen utama khotbah dan liturgi? Apa sih kekuatannya? Apa yang bisa kita pelajari darinya? Bagaimana tradisi ekphrasis bisa membantu kita merenungkan kembali peran dari gambar, seni rupa pada umumnya, dan kapasitas imajinasi manusia dalam ibadah kita? Penasaran? Ikuti terus seri ini ya! Kiranya perenungan bersama ini membuat kita makin menghargai ibadah gerejawi kita, memahami tradisi panjang di baliknya, dan makin rindu menikmati waktu ibadah yang Tuhan karuniakan secara utuh.
Elya Kurniawan Wibowo
Redaksi Editorial PILLAR
Referensi:
- Ruth Webb, Ekphrasis, Imagination and Persuasion in Ancient Rhetorical Theory and Practice, (Surrey UK: Ashgate Publishing Limited, 2009)
- Roland Betancourt, Representation as indwelling: Contextualizing Michael Psellos empsychos grapheacross artistic, liturgical, and literary theory (Byzantine and Modern Greek Studies, 2020)
- Elizabeth A. Fisher, Image and Ekphrasis in Michael Psellos’s Sermon on The Crucifixion, 1994
- James K.A Smith, Imagining the Kingdom: How Worship Works, Baker Academic, 2013
- Charles Barber and Stratis Papaioannou (Eds.), Michael Psellos on Literature and Art: A Byzantine Perspective on Aesthetics, University of Notre Dame Press, 2017
- Bruce Ellis Benson, Liturgy as a Way of Life: Embodying the Arts in Christian Worship, Baker Academic, 2013
- Hans Urs von Balthasar, The Glory of The Lord: A Theological Aesthetics: Volume I Seeing The Form, Ignatius Press, 2009