“Baper” atau “bawa perasaan” merujuk kepada suatu kondisi hati di mana seseorang terlalu sensitif dalam merespons sebuah peristiwa. Perasaan kita adalah pemberian Tuhan, dan kita patut bersyukur Tuhan menciptakan kita dengan kemampuan untuk merasa dan mengekspresikan perasaan. Seorang ibu mengekspresikan kasih sayang kepada anaknya dengan melindungi anaknya, seorang guru menyampaikan kasih sayang kepada muridnya melalui teguran yang mendidik. Tidak ada yang salah dengan perasaan yang kita rasakan, walaupun mungkin perasaan itu adalah sesuatu yang “negatif”, seperti kesedihan atau kemarahan. Ketika kita menerima kenyataan ini, kita juga menerima realitas diri kita sebagai manusia yang Tuhan cipta menurut gambar dan rupa-Nya.
Namun kita juga perlu melihat bahwa dalam dunia yang berdosa ini, terdapat dua ekstrem dalam merespons perasaan kita. Pertama, kita terlalu berfokus pada perasaan diri sendiri. Kita menjadi orang yang mudah marah, mengasihani diri, menganggap orang lain selalu salah dan kita menjadi korban atas segala hal yang terjadi di sekeliling kita. Kita menjadi begitu defensif, bahkan pada orang-orang yang cukup peduli dengan kita. Kita menjadi lelah dan orang-orang yang berinteraksi dengan kita pun juga lelah. Perasaan yang seharusnya kita kontrol menjadi perasaan yang mengontrol kita. Seseorang yang hidupnya penuh dengan mengasihani diri sendiri akan sulit untuk mengasihi orang lain, karena hatinya tidak ada ruang lagi untuk mengasihi sesama.
Ekstrem lainnya adalah kita memilih untuk menjadi dingin dan tidak “berperasaan”. Bagi kita yang bergumul dan memilih jalan ini, mungkin kita sudah terlalu lelah dipermainkan perasaan sendiri atau kita mengalami kepahitan yang begitu dalam. Stoikisme menjadi ide yang menarik dan terdengar cukup bijak bagi kita, karena kita pun tidak dapat mengontrol hal-hal yang terjadi di luar kita, tetapi kita bisa memilih untuk mengontrol perasaan kita sendiri. Bahaya dari pandangan ini adalah kita mencoba menjadi tuan atas diri kita sendiri. Kita berusaha menekan perasaan sedemikian rupa, sehingga kita tidak bisa merasakan dukacita dan pada saat yang sama kita juga tidak merasakan sukacita. C. S. Lewis mengatakan, “To love at all is to be vulnerable. Love anything, and your heart will certainly be wrung and possibly be broken. If you want to make sure of keeping it intact, you must give your heart to no one, not even to an animal.”
Stoikisme menjadi ide yang menarik dan terdengar cukup bijak bagi kita, karena kita pun tidak dapat mengontrol hal-hal yang terjadi di luar kita, tetapi kita bisa memilih untuk mengontrol perasaan kita sendiri. Bahaya dari pandangan ini adalah kita mencoba menjadi tuan atas diri kita sendiri.
Namun apakah hal tersebut merupakan solusi yang terbaik? Bagaimana seharusnya kita merengkuh kerapuhan ini namun juga tidak kehilangan penguasaan diri atas emosi? Tuhan menciptakan kita juga dengan aspek emosi, dan emosi tersebut bukan untuk dihilangkan tetapi untuk ditebus. Alih-alih cepat tersinggung, kita bisa belajar menjadi orang yang lembut hatinya. Kita menggunakan perasaan kita untuk mengerti kesulitan orang lain dan mendoakannya. Tidak mudah mendoakan orang lain, apalagi jika kita memiliki masalah personal dengannya.
Pdt. Billy Kristanto dalam bukunya yang berjudul Ajarlah Kami Bertumbuh mengatakan bahwa jika Tuhan mengizinkan kita melihat kelemahan orang lain, maka kita dipanggil juga untuk mendoakannya. Saat kita melihat kelemahan orang lain, kita cenderung komplain dan menyalahkan segala sesuatu, termasuk menyalahkan Tuhan. Mari kita mengingat fakta bahwa kita sendiri juga bukan orang yang mudah untuk dikasihi, namun dalam anugerah-Nya, Tuhan memilih untuk tetap mengasihi kita. Tuhan memanggil kita untuk melakukan hal yang sama kepada orang lain. Kita sudah dikasihi maka kita dapat dengan bebas mengasihi orang lain. Kasih Tuhan yang sudah kita terima itulah yang menjadi dasar kita mengasihi sesama.
Seni memperhatikan orang lain dengan tulus perlu kita kembangkan di tengah kehidupan yang semakin individualistis ini. Dalam dunia yang berdosa ini, pasti banyak orang yang kesulitan. Selalu ada kesempatan bagi kita untuk melayani orang lain yang Tuhan tempatkan di sekitar kita. Lalu bagaimana dengan kita sendiri? Apakah tidak ada ruang bagi kita untuk berkeluh kesah? Kita bisa datang dengan jujur ke hadapan Tuhan, mengakui bahwa kita lemah dan membutuhkan pertolongan Tuhan. Ia menerima kita dan Ia rindu untuk mempertumbuhkan kita. Dalam proses bertumbuh, Tuhan menyediakan komunitas orang percaya untuk saling mengasah satu sama lain. Besi menajamkan besi, orang menajamkan sesamanya (Ams. 27:17). Tidak mungkin dalam relasi tidak ada gesekan sama sekali. Kita diproses dan sesama kita pun diproses Tuhan. Justru melalui konflik kita dapat belajar menyelesaikan masalah bersama. Kita dapat belajar terbuka juga kepada orang lain yang menyakiti kita. Motivasi kita menegur juga bisa bertumbuh, bukan lagi untuk melampiaskan kemarahan diri tetapi karena kita rindu orang lain juga boleh bertumbuh dengan cara menegur. Tuhan pun dapat membentuk orang lain melalui diri kita.
Kita sendiri juga perlu belajar untuk membuka mata dan hati lebih dalam, bahwa belum tentu yang terdengar keras pasti jahat. Ketika kita dapat merasakan emosi dan menerimanya, kita akan dimampukan untuk berubah menjadi lebih baik, dan berempati kepada orang lain yang juga bergumul dengan hal yang sama. Akhir kata, dengan anugerah Tuhan, marilah kita manfaatkan setiap sarana untuk bertumbuh, baik itu firman Tuhan, doa, dan komunitas orang percaya. Penguasaan diri, yang merupakan salah satu buah Roh, tidak terjadi dalam waktu singkat dan dengan cara yang mudah. Akan ada jatuh bangun ketika kita mau belajar menuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita, termasuk perasaan. Kiranya Tuhan menolong setiap kita.
Fifi Kurniawan
Guru Sekolah Kristen Calvin