Oratorio Messiah adalah salah satu karya musik klasik berbentuk oratorio yang paling terkenal di sepanjang sejarah musik. Setiap tahun pasti ada yang mementaskan karya ini di dalam event Paskah, Natal, ataupun acara lainnya. Di dalam Gerakan Reformed Injili sendiri, kita sudah berkali-kali menampilkan karya ini baik secara lengkap maupun parsial. Salah satu lagunya yang paling terkenal, Hallelujah Chorus, sudah menjadi lagu wajib di dalam event-event besar gerakan ini. Namun, sudah seberapa jauh kita coba mencari tahu, menggali, dan memahami lagu ini baik dari segi musikalitas maupun pesan serta makna alkitabiah yang ada di baliknya? Merupakan hal yang sangat disayangkan jikalau kita hanya menikmati lagu ini tanpa ada pengertian makna theologis yang bisa kita renungkan ketika mendengarkan lagu-lagu ini dinyanyikan. Oratorio Messiah ini adalah salah satu warisan berharga musik Kristen yang seharusnya diapresiasi oleh orang-orang Kristen pada setiap zaman. Adalah sebuah ironi yang besar jikalau orang-orang non-Kristen bisa mengapreasiasi karya ini dengan begitu tinggi, sedangkan orang-orang Kristen sendiri tidak bisa menghargainya. Oleh karena itu, melalui serial artikel ini, penulis mengajak para pembaca untuk bersama-sama mengapreasiasi karya ini baik di dalam refleksi makna theologis di dalamnya, maupun di dalam integritasinya secara musikalitas dari karya tersebut. Pada artikel yang pertama ini, kita terlebih dahulu akan mengulas secara singkat mengenai latar belakang dari karya yang diciptakan oleh George Frederic Handel.
Oratorio
Secara genre di dalam musik klasik, Messiah ini termasuk dalam kategori oratorio. Oratorio adalah sebuah karya musik untuk orkestra, paduan suara, dan solois, yang pada umumnya mengambil tema dari Alkitab. Secara latar belakangnya, istilah oratorio itu sendiri diambil dari bahasa latin “orare” yang berarti “to pray”. Istilah ini digunakan sebagai tempat untuk mengadakan sebuah persembahan musik atau pujian di gereja. Tradisi ini berkembang dari sebuah gerakan religius gereja Katolik, pada zaman Counter-Reformation, dipimpin seorang bernama Philip Neri (1515-1595). Pada saat itu, Philip Neri sering mengadakan sebuah pertemuan kecil informal di ruang doa. Beberapa orang diajaknya untuk berdoa dan mendiskusikan hal-hal rohani. Hal yang unik adalah Neri juga mengajak mereka untuk bernyanyi, karena ia merasa puji-pujian adalah suatu latihan spiritual yang sangat baik. Pertemuan ini mulai dari beberapa orang, berkembang hingga ratusan orang dan menjadi sebuah pertemuan yang terkenal. Berkembangnya hal ini juga memberikan dampak pada musik yang dinyanyikan. Musik-musik yang dinyanyikan dalam pertemuan tersebut kebanyakan berdasarkan laude (lagu rohani sederhana yang menggunakan bahasa sehari-hari). Musik ini dapat dinyanyikan sebagai pujian jemaat, ataupun oleh penyanyi profesional dengan teknik menyanyi dan tingkat polyphonic (dua atau lebih melodi yang dibunyikan bersama-sama secara independen tetapi harmonis) yang lebih tinggi. Akan tetapi, oratorio tidak akan menjadi oratorio seperti sekarang tanpa adanya perkembangan yang terjadi dalam ranah sekuler, salah satunya dari perkembangan yang terjadi di Italia.
Komponis-komponis di Florence, Italia, pada akhir abad ke-16 menciptakan sebuah ragam baru dalam nyanyian solo yang disebut stile rappresentativo (representative style). Stile Rappresentativo adalah gaya musik yang terdiri dari seorang solois yang bernyanyi dan hanya diiringi oleh basso continuo, sejenis iringan yang memainkan bagian bas secara terus-menerus sebagai dasar dari harmoni yang diciptakan. Basso continuo dimainkan oleh instrumen nada rendah, seperti cello atau bassoon, dan sebuah harpsichord, atau sejenisnya, untuk mengisi harmoni antara bas yang dimainkan dan nyanyian solo. Nyanyian solo ini dapat berupa pernyataan seperti berbicara, sampai menyanyikan teks dengan sangat melodius. Gaya ini menjadi salah satu yang esensial baik dalam opera maupun oratorio, sebab mengakomodasi penyanyi agar dapat merepresentasikan perkataan manusia, sehingga memungkinkan untuk menyanyi teks dialog dengan cara yang dramatis. Gaya ini berkembang hingga sekarang dan sering dikenal dengan nama recitative (gaya yang menghidupkan dialog-dialog dalam cerita dengan memberikan nada supaya dapat dinyanyikan serta memberi kesan yang menarik) yang berarti reciting style.
Salah satu contoh karya oratorio mula-mula adalah Jephte (atau Yefta) yang diciptakan oleh Giacomo Carissimi (1605-1674). Jephte mengambil teks, yang dalam oratorio disebut juga libretto, dari cerita dalam Hakim-Hakim 11:28-38, ketika Yefta bernazar untuk mempersembahkan orang yang pertama kali keluar dari rumahnya menjadi korban bagi Tuhan setelah peperangan dengan bani Amon. Kisah ini diceritakan, dalam Jephte, oleh seorang narator yang kalimatnya dinyanyikan oleh solois, instrumen, dan paduan suara. Kalimat Yefta dan anak perempuannya dinyanyikan oleh solois tenor dan sopran. Dalam oratorio ini, sang penggubah memberi tambahan “bumbu” cerita yang mungkin tidak ada dalam Alkitab. Contohnya, seorang prajurit yang menyanyikan lagu perang oleh solois bas dan diikuti oleh seluruh tentara yang dinyanyikan oleh paduan suara. Lalu sebuah nyanyian kemenangan yang dinyanyikan oleh anak perempuan Yefta dan diikuti oleh temannya dinyanyikan oleh dua sopran, serta nyanyian yang menyatakan ratapan anak perempuan Yefta di gunung diikuti dengan suara paduan suara yang menyatakan ratapan bangsa Israel. Carissimi membuatnya dengan sangat dramatis dan emosional sehingga karya ini menjadi salah satu karya yang dikenang sepanjang sejarah. Perkembangan dari opera dan oratorio ini merambah hingga ke negara-negara sekitar seperti Jerman dan Inggris, dan menjadi tren pada masa itu walaupun di dalam bentuk yang berbeda. Dan tradisi ini memengaruhi banyak musisi yang sekarang kita kenal sebagai komponis-komponis besar seperti J. S. Bach dan G. F. Handel.
Handel mengenal Italian Oratorio saat ia masih muda dan menjadi composer di Italia. Di tempat kelahirannya, Jerman, bentuk musiknya menggunakan kisah-kisah Alkitab yang lebih tepat disebut sebagai genre historiae. Genre ini berakar dari tradisi practice of chanting the Gospel accounts of the Passion story yang biasanya dipentaskan saat Holy Week di liturgi Katolik Roma. Genre ini berbeda denganitalian opera yang mengambil kisah heroik dari Perjanjian Lama. Kisah yang diambil dalam historiae, adalah mengenai Christ’s birth, passion, resurrection, atau ascension yang secara langsung mengambil teks dari terjemahan Perjanjian Baru oleh Martin Luther. Tokoh yang terkenal dalam genre ini adalah Heinrich Schütz (1685-1750). Johann Sebastian Bach (1685-1750) pun termasuk salah satu komponis yang mengembangkan historiae, walaupun pada masanya genre ini sudah berkembang dan lebih dikenal sebagai oratorio. Namun karya Passion Bach dan juga Christmas Oratorio-nya lebih tepat dikategorikan dalam genre historiae. Salah satu kontribusi Handel dalam genre ini adalah dalam memberikan setting bagi passion yang menggunakan puisi Barthold Heinrich Brockes.
Di Inggris, masa sebelum Handel berkarya di sana, native opera tidak terlalu berkembang karena pengaruh dari kaum Puritan. Karena oratorio itu sendiri berkembang mengikuti perkembangan opera, maka tradisi oratorio sulit berkembang di Inggris. Salah satu dramatic sacred music yang berkembang adalah dengan menggunakan anthem yang dikembangkan dalam bentuk dialog. Contohnya adalah karya John Hilton yang berjudul King Solomon and the Two Harlots dan The Dialogue of Job, God, Satan, Job’s Wife, and the Messengers. Komponis seperti Henry Purcell pun pernah menciptakan, hanya, satu sacred dialogue yang berjudul In Guilty Night yang mengambil kisah dari King Saul and the Witch of Endor. Sehingga, hampir tidak ada tradisi oratorio di Inggris sebelum masa Handel berkarya. Di Inggris, oratoriodipelopori oleh Handel.
Messiah – The Oratorio
Messiah, seperti oratorio lainnya, menceritakan seorang Pahlawan, bahkan pahlawan yang terbesar di dalam sejarah umat manusia karena Ia juga Raja di atas segala raja dan Tuhan di atas segala tuhan. Inilah drama mengenai pembebasan manusia di bawah tirani setan dan dosa melalui kematian seorang Mesias yang telah lama dijanjikan. Drama ini dibagi ke dalam tiga bagian: pertama, mengenai kelahiran Sang Mesias; kedua, mengenai penderitaan, kematian, kebangkitan, dan kenaikan-Nya ke sorga; ketiga, mengenai pengharapan kepada Sang Mesias akan kebangkitan orang kudus dan pemerintahan-Nya yang kekal. Messiah memiliki keunikan tersendiri dibanding dengan oratorio Handel yang lain. Seluruh teks dari Oratorio Messiah secara eksklusif berasal dari Alkitab (juga dari Book of Common Prayer). Charles Jennens menulis teks dari Messiah dan memberikannya kepada Handel agar digunakan untuk membuat karya yang agung ini. Handel menerima teks dari Jennens dan mulai mengerjakannya pada tanggal 22 Agustus 1741 dan menyelesaikannya pada tanggal 14 September 1741. Kecepatan dalam menggubah Messiah adalah hal yang biasa untuk Handel. Seperti banyak komposer di zaman dia, Handel dapat menciptakan karya musik dalam waktu yang relatif pendek. Messiah pertama kali dipentaskan pada tahun 1742 di New Music Hall, Fishamble Street, Dublin, dan hasilnya ditujukan untuk membantu orang-orang yang kekurangan. Sejak saat itu, karya Messiah menjadi karya yang digunakan untuk menggalang dana guna memberikan bantuan baik bagi korban sakit-penyakit, maupun para narapidana. Sedangkan di London, Messiah pertama kali dipentaskan pada tanggal 23 Maret 1743.
Meskipun menuai kesuksesan, banyak kontroversi yang muncul dalam pementasan pertama dari Messiah, salah satunya ketidaksetujuan beberapa pihak untuk mementaskan karya ini di teater umum. Kontroversi ini menyebabkan Messiah tidak lagi ditampilkan. Tetapi pada tahun 1745 di hari Selasa dan Kamis pada Minggu Suci, Messiah kembali ditampilkan. Hal ini terjadi karena pada tahun ini sudah tidak ada kontroversi yang muncul untuk menampilkan sacred work dalam teater umum. Mulai tahun 1750, karya Messiah menjadi oratorio yang dipentaskan setiap tahunnya baik untuk pertunjukan maupun penggalangan dana. Setelah Handel meninggal dunia pada hari Jumat, 13 April 1759, Oratorio Messiah makin menyebar luas ke negara-negara sekitar. Sebelum abad ke-18 berakhir, Messiah sudah dipentaskan di jajaran British Isles, bahkan melewati Samudra Atlantik. Di Jerman, Michael Arne memimpin pertunjukan Messiah pertama di Hamburg pada tahun 1772. Di Berlin tahun 1789, Johann Adam Hiller mementaskan Messiah untuk pertama kalinya. Sedangkan pertunjukan pertama di Amerika terjadi di tahun 1770. Pada waktu itu, yang dipentaskan hanya 17 dari 53 lagu yang diciptakan. Mulai tahun 1854, Handel and Haydn Society of Boston sudah mementaskannya secara rutin setiap tahun. Messiah juga terdengar hingga di negara-negara Timur. Bahkan, di India sudah dipentaskan sekitar tiga dekade sebelum pementasan di Amerika.
Salah satu anekdot yang terkenal tentang Handel dan Messiah adalah ketika Lord Kinnoull memberikan Handel pujian, dan Handel berespons, “Saya seharusnya sedih jika saya hanya menghibur mereka, saya ingin membuat mereka menjadi lebih baik.” Terlepas dari kejadian ini nyata atau tidak, pesan yang disampaikan sangat tepat. Oratorio yang Handel ciptakan ini tidak hanya memiliki tujuan sebagaientertainment belaka, melainkan juga memiliki nilai moral, yang merangsang intelektual bahkan menumbuhkan kerohanian. Inilah yang menjadi harapan dari Jennens dan Handel, agar Oratorio Messiah menjadi karya yang memberi kenikmatan serta pengajaran bagi kita untuk mengenal kembali siapa Mesias yang datang ke dalam dunia.
Gaya Penulisan dalam Messiah
Dari sisi musik Handel, salah satu aspek penting yang patut diperhatikan adalah pemilihan bentuk pujian dalam opera. Secara umum opera dibagi dalam dua bentuk pujian solois yaitu: recitative dan aria. Dalam nyanyian recitative, teks dinyanyikan tanpa pengulangan kata, kecuali bagian yang memerlukan penekanan. Selain itu, setiap suku kata hanya dinyanyikan dalam satu not. Ritme yang digunakan seperti orang berbicara, dan tentunya lebih dramatis. Karena kejelasan dari kata-kata menjadi yang utama, iringan musik biasanya dibuat sangat minimal agar tidak mengganggu pesan yang ingin disampaikan. Sering kali, iringannya berupa basso continuo, sehingga jenis ini disebut dengan secco recitative. Style ini digunakan untuk membawa efek dramatis pada dialog dan aksi dari cerita.
Jenis kedua yang dipakai dalam nyanyian solois adalah aria. Berbeda dengan recitative, aria bukan mengenai pernyataan, namun lebih menonjolkan melodi dan virtuosity atau keahlian. Aria cenderung mengulang-ulang teks serta menggunakan ritme, bukan seperti orang berbicara, tetapi menari. Sering kali banyak nada dinyanyikan hanya dalam satu suku kata. Iringan yang dipakai juga tidak seminim yang dipakai untuk recitative, tetapi mewakili suara lain seperti pasangan menyanyi dari sang solois. Dalam opera, aria biasanya menggambarkan emosi yang utama yang ingin dibagikan oleh penggubah.
Dalam nyanyian oratorio, aria sering kali dinyanyikan setelah dialog dari recitative. Jadi, dalam tradisi Baroque, opera dapat terdiri dari banyak segmen yang disusun dari recitative dan diikuti oleh sebuah aria yang menyatakan emosi utama, pengembangan dari recitative sebelumnya.
Di antara kedua style yang ekstrem ini, ada dua jenis sub-bagian yang lain. Pertama, accompanied recitative, adalah jenis lagu yang menggunakan instrumen lainnya dalam orkestra, bukan hanya basso continuo. Kedua adalah arioso, jenis recitative yang lebih condong ke aria tetapi tidak sedramatis aria yang sesungguhnya.
Aspek penting lainnya yang dapat diperhatikan dari pembuatan oratorio oleh Handel adalah madrigalism atau yang lebih umum disebut dengan tone/text painting. Text painting adalah ciri khas dari Handel yang dapat ditemukan hampir di setiap karyanya. Text painting berarti mengimitasi makna dari kata yang sedang diucapkan dan digambarkan dalam musik yang dinyanyikan. Seperti contoh, ketika menyanyikan kata “climb”, Handel akan menggunakan melodi yang makin naik. Contoh lain adalah ketika sedang menyanyikan kata “run”, maka Handel akan menggunakan melodi yang cepat dan lebih melompat. Cara penulisan musik seperti ini adalah ciri khas dari musik Baroque yang kental. Aspek yang terakhir dalam oratorio adalah diksi. Diksi yang baik dapat digunakan untuk menggambarkan dengan jelas pesan yang ingin disampaikan dan membuat penonton mengerti pesan tersebut dengan dukungan musik, movement, teknik, dan iringan musik. Dalam Messiah, Handel akan memakai hal-hal yang secara umum dimengerti oleh penonton sehingga tidak menimbulkan kesalahan tafsir bagi penonton. Hal inilah yang menjadi harapan Handel dalam musiknya, yaitu penonton dapat menikmati pujian dan mendapatkan pengertian yang tepat.
Di dalam artikel-artikel selanjutnya, kita akan mengulas interpretasi dari setiap lagu yang ada di dalam karya Oratorio Messiah ini. Lalu kita akan menggali interpretasi ini sebagai sebuah refleksi theologis yang berguna untuk pengenalan kita akan Kristus. Kiranya melalui rangkaian artikel ini, kita dapat lebih mengapresiasi karya Oratorio Messiah ini, bukan hanya dari segi musikalitas tetapi juga dari pesan alkitabiah yang ada di dalamnya.
Simon Lukmana (Pemuda FIRES)
Howard Louis (Pemuda GRII Batam)