KONSEP ETIKA KONFUSIANISME (LANJUTAN)
Secara umum, manusia mengakui adanya common grace, yaitu segala sesuatu yang Allah berikan kepada semua manusia secara umum, bukan hanya untuk orang Kristen semata. Hal ini agar kita tidak sembarangan beranggapan karena kita sudah memiliki Kitab Suci, maka semua yang non-Kristen itu kita anggap remeh, lalu kita fitnah seolah-olah semua itu dari setan. Ada banyak dalil alamiah yang ditemukan oleh orang-orang yang mendapatkan anugerah umum, yang justru orang Kristen sendiri tidak atau belum tahu. Dengan demikian kita harus menghormati mereka.
Namun demikian, di lain pihak, itu juga bukan berarti kita kemudian mengakui bahwa kebenaran-kebenaran di dalam lingkup common grace itu dapat membawa orang untuk mempunyai kemungkinan untuk mendapatkan jalan keselamatan. Itu tidak dimungkinkan. Theologi Reformed tahu jelas membedakan mana anugerah umum (common grace) dan mana anugerah khusus (saving grace), bukan special grace. Lawannya general revelation adalah special revelation, tetapi lawannya common grace adalah saving grace.
Kita tidak mengakui di dalam kebenaran-kebenaran agamawi atau kebenaran-kebenaran kultural mengandung kemungkinan manusia bisa diselamatkan atau mempunyai hidup yang kekal. Namun demikian, dimungkinkan untuk seorang ilmuwan (scientist) yang bukan Kristen menemukan hasil penyelidikan mereka, rumus-rumus, yang lebih tepat daripada yang dilakukan orang Kristen yang sembarangan. Banyak pendeta yang ngawur menafsirkan Alkitab secara salah dan mengatakan hal-hal tentang moral yang juga salah. Sekalipun dia pendeta, bukan berarti dia langsung menjadi benar. Demikian pula bukan karena kita orang Kristen, maka kita pasti lebih benar dan hidup lebih baik dibanding orang bukan Kristen.
Tuhan tidak peduli akan bait-Nya, bait Allah. Ketika hal itu sudah tidak benar, maka Tuhan membiarkan bait-Nya dihancurkan, dibakar habis oleh orang Romawi. Itu terjadi karena mereka sudah menyandarkan hidup mereka pada materi dan bukan pada Allah. Mereka beranggapan bahwa bait itu gedung milik Tuhan, maka pasti Allah akan lindungi. Itu adalah takhayul. Allah mengatakan bahwa bait Allah hanyalah lambang tubuh Kristus. Tubuh orang Kristen itu adalah bait Allah yang sejati. Jadi Tuhan itu mengajar banyak hal di dalam Alkitab dan kita harus menelitinya dengan baik-baik.
Kalimat Allah yang muncul dari mulut Petrus telah menjadi satu penerobosan yang besar, yaitu ketika dia berkata-kata di rumah Kornelius. Saat itu Petrus mengatakan bahwa dia baru tahu apa yang sebenarnya disebut melakukan kebajikan yang diperkenan Tuhan. Dia tidak mengatakan “diselamatkan” tetapi mengatakan “diperkenan Tuhan.” Kalau mereka melakukan kebajikan, mereka berbuat moral yang cukup baik, mereka diperkenan Tuhan. Dan Tuhan mengetahui bahwa moral mereka itu tidak mungkin menyelamatkan mereka, maka orang kafir yang paling baik sekalipun masih memerlukan Yesus Kristus untuk menyelamatkan mereka dan mereka tetap masih memerlukan penginjilan.
Namun, itu bukan berarti di dalam diri mereka sama sekali tidak ada kemungkinan untuk melakukan kebajikan yang mungkin diperkenan Tuhan. Namun, secara total tidak ada seorang pun yang melakukan kebajikan yang cukup untuk diselamatkan. Itu yang ditegaskan kemudian oleh Theologi Reformed sebagai total depravity (kerusakan total). Tidak ada kemungkinan untuk melakukan kebajikan yang sampai pada standar yang dituntut seturut kriteria Allah. Di dalam standar Allah, tidak ada seorang pun yang cukup kebajikannya. Tetapi menurut common grace (anugerah umum), ada orang kafir yang juga cukup jujur, ada kesungguhannya, ada ketekunannya, ada kesetiaannya, ada keikhlasannya dan sebagainya, tetap ada. Hanya saja, dibawa ke dalam kategori keselamatan, tidak mungkin mereka mendapatkan keselamatan, karena itu hanya suatu sisa-sisa dari peta Allah yang sesudah dinodai oleh perasaan dosa dan dosa asal; masih ada sisa-sisa yang sebenarnya tidak cukup untuk menyelamatkan manusia. Itu sebabnya Theologi Reformed mempunyai tugas untuk mengintegrasikan lalu memberikan kritik berdasarkan standar Alkitab. Jadi janganlah kita menghina orang agama lain. Sebaliknya, kita harus sebagai manusia berdosa terhadap sesama manusia berdosa berkawan baik dengan mereka, belajar bergaul dengan mereka secara adil.
Indonesia sulit menerima kekristenan dan akhirnya lebih memilih Islam. Ini terjadi karena ketika orang Arab datang berdagang, mereka lebih jujur daripada orang Portugis (yang mengaku Kristen). Orang Portugis datang dan menipu, menjajah, menindas, sehingga orang Indonesia merasa ini agama yang tidak benar. Kita tidak bisa mengatakan, “Oh tidak demikian. Karena saya ada Tuhan Yesus, ada Juruselamat, ada pengampunan dosa, saya boleh sembarangan.” Itu hal yang tidak masuk akal. Orang Islam lebih jujur di dalam berdagang dan memperlakukan rekan dagangnya, sehingga orang Indonesia berespons, ya kita tentu menerima Islam, bukan menerima kekristenan. Melalui kesulitan yang terjadi di Bosnia, sekali lagi menanamkan kebencian orang Indonesia terhadap kekristenan. Kita sering kali tidak melihat hal-hal seperti ini. Kita menjadi orang Kristen tetapi bertindak tidak adil dan berbuat hal yang tidak menyatakan kebajikan.
Sebenarnya peperangan yang terjadi di Bosnia yang mengakibatkan begitu banyak orang Islam dianiaya adalah pembalasan sejarah ratusan tahun di tempat itu yang selama itu belum pernah damai. Saat itu Jenderal Tito menggabungkan suku-suku dan bangsa di daerah itu lalu menyebutnya sebagai Yugoslavia. Ini adalah daerah di Jazirah Balkan dan berbagai suku baik Kristen maupun Islam digabungkan di situ. Dan karena waktu itu Islam begitu kejam dan terlalu menindas orang Kristen, maka pada akhirnya terjadilah perang balas dendam ini. Oleh karena itu, ketika terjadi peperangan, kita tidak boleh hanya melihat yang terjadi saat itu, karena sebenarnya itu memiliki latar belakang dan asal-usul yang cukup panjang di belakangnya. Ada suatu penyebab panjang yang sering kali tidak terlihat nyata di permukaan. Tetapi bagi orang Indonesia dan dunia Islam pada umumnya di akhir abad ke-20 ini, kejadian kejahatan yang dilakukan terhadap orang Islam di Bosnia diangkat dan dianggap sebagai tindakan penganiayaan sesaat, tanpa mau melihat cerita dan sejarah sebelumnya apa yang mereka lakukan terhadap orang Kristen dan agama lainnya di sana. Orang Islam menganggap ini adalah kejahatan yang ingin melakukan genosida terhadap orang Islam di Bosnia. Akibatnya, timbul kembali kebencian sejarah antara Islam dan Kristen.
Pertama kali kebencian ini terjadi di zaman Crusader (Perang Salib). Perang Salib adalah kebangkitan peperangan besar yang dimotori oleh Inggris untuk melawan Islam yang sedang melakukan invasi ke seluruh wilayah kekristenan. Mereka menganggap agama Kristen adalah agama yang jelek, kejam, dan sebagainya. Sekali terjadi hal seperti ini, sangat sulit untuk mengembalikan kepada konsep yang benar. Menjadi orang Kristen sebagai minoritas di daerah di mana kebanyakan masyarakatnya adalah orang Islam, harus hati-hati dan memberi kesan sebaik mungkin kepada orang Islam. Bukan karena saya Kristen lalu saya melihat semua yang bukan Kristen sebagai setan, lalu kita marah-marah kepada orang yang dianggap salah, menyembah Toapekong, yang percaya Konfusius, ke wihara, dan sebagainya. Justru sikap kita harus terbalik. Kita harus tahu bagaimana menyatakan suatu mutu moral setelah diselamatkan yang melampaui ide-ide filsafat dan kultural mereka, yang tidak mungkin membawa mereka kepada taraf kita. Kita tidak perlu berbicara banyak, tetapi kita perlu mendemonstrasikan kualitas kita, kebajikan kita, serta menyatakannya di dalam tindakan yang nyata.
Konfusius mengajarkan, “Perlakukanlah orang lain seperti memperlakukan diri sendiri.” Prinsip yang saya setuju untuk diri saya sendiri, haruslah saya berlakukan untuk orang lain juga. Etika mulai menjadi tidak beres ketika seseorang melihat orang lain sebagai orang lain dan melihat diri sebagai diri. Akhirnya diri terpisah dari orang lain dan kemudian orang lain itu diinjak-injak oleh dirinya, di mana diri mulai mau menjadi yang utama dan memonopoli segala sesuatu dengan menyingkirkan orang lain. Inilah rusaknya etika.
Etika sejati pada dasarnya dimulai dari bagaimana berurusan dengan orang lain, bagaimana menilai orang lain di luar diri. Bagaimana seharusnya kita bisa memiliki pengertian perasaan orang lain, bagaimana menghargai orang lain yang disebut orang, karena diri kita juga orang. Golden rule (hukum emas) etika selalu berdiri di atas perbandingan ini. Di dalam Perjanjian Lama, ada pernyataan: Cintailah sesamamu seperti mencintai dirimu sendiri. Di sini kita melihat bahwa Kitab Suci selalu bersikap positif. Kalau Konfusius mengatakan, “Jangan beri kepada orang lain yang engkau sendiri tidak inginkan.” Kalau makanan yang rusak, engkau sendiri tidak mau makan, jangan diberikan ke orang lain. Sesuatu yang membahayakan dirimu yang engkau jauhi, jangan engkau justru dekatkan dan berikan ke orang lain. Sesuatu yang sudah tidak berguna engkau berikan kepada orang lain, lalu mengharapkan orang lain akan memuji engkau dan berterima kasih karena engkau adalah seorang dermawan yang murah hati. Semua sikap seperti ini tidak benar, karena tidak mencintai orang lain seperti engkau mencintai diri sendiri. Ketika engkau mendidik anakmu begitu keras sampai dia tidak punya pengharapan lagi, bayangkan kalau pendidikan seperti itu dikenakan ke dirimu, apakah engkau mau diperlakukan seperti itu? Jika engkau tidak mau diperlakukan seperti itu, jangan perlakukan orang lain demikian. Jadi kita harus selalu memikirkan golden rule: Yang engkau tidak ingin diperlakukan, jangan perlakukan itu kepada orang lain.
Ajaran Perjanjian Baru, apalagi yang diajarkan oleh Tuhan Yesus, jauh lebih mulia. Jika semua orang sedang meraba-raba tentang firman, maka Kristus bukan firman yang perlu diraba, tetapi Dia adalah Firman yang datang untuk mendidik orang yang sedang meraba-raba. Maka apa pun yang diajarkan oleh Kristus jauh lebih tinggi, lebih dalam, lebih sempurna, dan lebih unggul daripada semua yang lain. Hanya, ketika kita mengatakan kata “unggul” atau “lebih” dan didengar oleh orang lain, mereka selalu merasa terganggu oleh semacam perasaan patriotisme, meninggikan suatu nasional, atau bangsa, atau sejarah, atau agama, sehingga mereka menjadi tidak suka dan menolaknya.
Saya pernah mengatakan kalimat yang keras sekali di Taiwan kepada lebih dari sepuluh ribu orang: Neo-Confusianism is nothing, but just to protect the pride of Chinese history (Neo-Konfusianisme bukan upaya mencari kebenaran, tetapi hanyalah upaya untuk memproteksi kebanggaan orang Tionghoa, yang akhirnya menjadikan diri tertutup terhadap kebenaran yang Tuhan berikan.) Kalau mendengar kalimat ini, orang Neo-Konfusianisme akan marah sekali. Tetapi saya berharap melalui shock therapy ini, banyak orang mulai berpikir. Kita memiliki konsep yang tidak mudah diubah, sampai suatu saat engkau mengalami kejutan yang besar, yang membuat engkau benci, engkau marah, tetapi tidak bisa membantah, karena ternyata benar. Ada orang yang jatuh cinta pada seseorang diawali dengan ia benci sekali pada orang itu, karena ternyata yang dia lakukan itu menyadarkan dia untuk menjadi lebih baik, akhirnya dia mulai sayang dan berubah konsepnya. Bagaimana dengan kita? Amin.