Seorang yang menjadi pemerintah harus mendapatkan posisi dengan nama yang lurus. Jadi, barang siapa mendapatkan satu posisi tidak dengan nama yang lurus, atau barang siapa mempunyai alasan cukup dan nama yang lurus, tetapi tidak mendapatkan posisi yang cocok, kedua-duanya itu tidak benar. Ini harus mendapatkan peringatan.
Jika kita membandingkan kalimat di atas dengan Alkitab, maka pernyataan Konfusius mirip dan senada dengan kalimat di dalam Amsal 22:1, “Nama baik lebih berharga daripada kekayaan besar.” Jikalau engkau memiliki keuangan yang banyak sekali, tetapi tidak mempunyai nama yang harum, maka itu tidak ada gunanya. Alkitab mengatakan bahwa ketika engkau memiliki nama yang baik, itu bukan hanya dirimu dipuji, tetapi Bapamu yang di sorga akan dimuliakan, dan menjadi berkat bagi orang lain.
Ketika kita mendapatkan kedudukan seperti itu, kita bisa memikirkan dua hal: segala sesuatu yang dapat memuliakan Allah, akan saya lakukan; dan semua yang akan menjadi berkat dan manfaat bagi orang lain, saya akan lakukan. Segala sesuatu yang tidak memuliakan Allah dan tidak menjadi berkat manfaat bagi orang lain, saya tidak akan melakukannya. Hal ini masih diikat oleh kalimat Paulus di dalam Korintus bahwa segala sesuatu boleh saya lakukan, tetapi tidak boleh diikat oleh dosa di dalamnya. Kalau saya berbuat sesuatu karena kebebasan, saya bebas; tetapi sesudah bebas, akhirnya perbuatanmu itu menjadi ikatan dosa bagimu, maka jangan lakukan itu. Ini menjadi prinsip ketiga yang harus dipegang. Itu berarti ada tiga prinsip: 1) Memuliakan Allah; 2) Menjadi berkat bagi orang lain; 3) Tidak ada ikatan dosa di dalamnya. Ini tiga dasar etika Kristen. Tiga hal ini yang harus dipegang oleh orang Kristen untuk menjadi dasar kehidupannya.
Bajik, Bijak, dan Kuasa
Di dalam filsafat pemerintahan Konfusius, dia mengatakan, “Jikalau engkau memang baik, tetapi tidak mendapat kedudukan, itu disayangkan. Kalau engkau mendapatkan kedudukan, tetapi tidak mempunyai nama yang lurus, itu tidak boleh.” Ini dua-dua tidak boleh. Pemikiran ini bisa dibandingkan dengan filsafat Plato. Plato mengatakan, “Jikalau punya kuasa tanpa kebijaksanaan, atau mempunyai kebijaksanaan tetapi tidak mempunyai kuasa, itu akan mengakibatkan kekacauan masyarakat.” Masyarakat kacau karena yang berkuasa tidak bijak, sementara yang berbijaksana tidak memiliki kuasa. Ketika tiga aspek ini dipadukan—Bijak (wisdom), Bajik (virtue), dan Kuasa (politik)—maka itulah pemerintahan yang baik. Kalau ketiga hal ini tidak dipadukan menjadi satu, maka masyarakat pasti menjadi kacau. Masyarakat kacau karena yang berkedudukan dan berkuasa tidak memiliki moral dan kebijaksanaan. Atau mereka yang mempunyai kebijaksanaan dan mempunyai moral tidak mendapatkan kesempatan untuk menjadi pemerintah. Maka semuanya akan gagal. Jadi Plato memberikan satu kesulitan, di mana kuasa dan kebijaksanaan tidak bertemu, di situ akan timbul kekacauan. Kekacauan terjadi karena kuasa dan kebijaksanaan tidak bertemu.
Di dalam Alkitab dikatakan, “Seseorang yang menjadi raja harus selalu memakai Taurat Tuhan di sisinya, senantiasa mengingat firman Tuhan, dan raja yang baik senantiasa mau mendengar nasihat dari bawahannya.” Ini semua adalah ajaran yang bukan saja teorinya konkret, tetapi juga menjadi filsafat politik dari Kitab Suci. Jadi apabila semua pemerintahan itu mendengarkan semua filsafat-filsafat yang tinggi di dalam dunia, langsung dibandingkan dengan Kitab Suci, dan taat kepada apa yang dijadikan prinsip di dalam firman Tuhan, pasti masyarakat ini beres. Semua ini adalah ajaran yang sangat baik. Maka Konfusius menganjurkan perlunya satu filsafat yang disebut: lurus.
Kemudian Konfusius mengutarakan dua kalimat lagi: Memerintah dengan politik dan mengatur lurus masyarakat dengan hukum. Ketika kita memerintah rakyat, kita memerintah dengan politik. Jadi ketika seseorang berkuasa politik, lalu memerintah rakyat, ia membutuhkan hukum. Hukum digunakan untuk apa? Hukum harus digunakan untuk mengatur dan mengikis (membersihkan). Semua yang tidak beres dan tidak rapi dibersihkan dan diratakan. Ini adalah tujuan mengatur dan menghukum dengan hukuman-hukuman. Barang siapa yang tidak mau dengar, bunuh. Pemikiran ini menjadikan pembunuhan di Tiongkok menjadi begitu keras. Kalau bunuh, dibersihkan semua seluruh 9 elemen: 1) keluarga papa, 2) keluarga mama, 3) seluruh anak; 4) menantu, 5) cucu; 6) dari saudara pihak laki, 7) saudara pihak perempuan, 8) keluarga dari saudara papa; 9) keluarga dari saudara mama. Dan kesalahan yang bersifat pribadi hukuman matinya kejam sekali. Ada yang diikat tangan kakinya ke empat kuda, lalu ditarik ke empat arah berbeda, sehingga tubuh orang itu terkoyak hidup-hidup. Atau yang lebih kejam lagi, memotong separuh badanmu lalu dicelupkan ke meja berisi cat setelah dua hingga tiga sentimeter, sehingga orang itu tidak bisa mati, karena badan yang direndam cat tidak bisa kena bakteri dan menutup, tetapi peredaran darah kacau karena tidak bisa mengalir dan mengalir balik. Jadi seperti kutukan tidak bisa mati. Kejam luar biasa. Dengan demikian, satu orang dihukum, menjadi peringatan bagi sepuluh keturunan. Akibatnya orang takut sekali berbuat salah.
Konfusius mengatakan, “Pemerintah yang memerintah dengan politik lalu membereskan segala sesuatu yang tidak beres dengan hukuman, maka rakyat tidak akan berani berbuat salah, tetapi mereka tidak tahu malu.” Kalimat ini menarik, tidak berani berbuat dosa, tetapi tidak tahu malu. Akibatnya, karena takut maka berbuat baik. Tetapi orang yang takut berbuat jahat hanya karena takut dihukum, orang itu hati nuraninya tidak tahu malu, cuma tahu takut. Tahu takut dan hanya tahu takut hukuman. Takut hukuman menjadi tidak berani tidak berbuat baik, maka segala kelakuan mereka juga tidak berarti moral yang sungguh-sungguh. Jikalau satu bangsa sampai tidak tahu malu, semua ada tetapi malu tidak ada, itu bagaikan orang tidak pakai celana dalam. Masih pakai celana, masih berani dansa-dansa. Bagaimana mengubahnya?
Kita perlu memerintah dengan moral, memerintah semua rakyat dengan moral, lalu mengatur kerapian itu dengan tata krama. Maka hukum masih perlu disertai dengan tata krama. Kita bukan hanya tidak berbuat jahat, tetapi harus tahu sopan santun. Manusia perlu dididik sampai mempunyai tata krama. Hanya masyarakat yang mempunyai tata krama akan memiliki rasa malu ketika dia berbuat hal yang tidak sopan. Mereka akan memiliki perasaan malu dan memiliki karakternya sendiri.
Orang bisa memiliki perasaan malu itu merupakan harta yang besar dalam kerohanian. Binatang tidak ada yang memiliki rasa malu. Kita disebut malu-malu kucing, tetapi kucing tidak pernah malu. Tidak ada kucing ingin pakai baju karena malu. Hanya manusia yang memiliki rasa malu. Itulah mulainya moralitas. Ketika seseorang mulai memikirkan bagaimana ia harus berperilaku supaya ia tidak dihina orang, maka seseorang mulai memperhatikan dan menjaga harga dirinya.
Jika rakyat sudah sampai tidak tahu malu, cuma tahunya takut mati, takut dihukum, rakyat itu tidak ada harapan. Tetapi, jikalau rakyat sudah mempunyai perasaan takut malu, jangan sampai saya sendiri tidak ada harkat, tidak mempunyai suatu penghargaan diri, malu sekali ketika berbuat salah, ada harapan besar di depan. Hanya manusia yang mukanya bisa merah. Ketika seseorang malu, mukanya merah. Orang bisa rasa malu. Anak kecil yang tahu malu itu, waduh kita rasa lucu sekali ya, kok bisa malu ya. Anak saya yang paling kecil waktu kecil itu, kalau dia salah dia tahu sendiri, terus dia mulai berlaku aneh, bersembunyi, takut, lalu mengintip saya. Ia mau melihat saya itu marah atau tidak. Waktu saya melihat dia seperti itu, saya tahu kalau dia berbuat suatu kesalahan. Lebih mengumpet lagi. Bagi saya, hal itu jauh lebih berharga daripada dolar yang mahal, karena saat dia sudah tahu malu, pasti ada karakternya sendiri.
Orang tidak tahu malu sudah tidak bisa diajar lagi. Berbuat apa pun orang seperti ini tidak bisa dikontrol, karena tidak tahu malu. Bukan saja mengetahui perasaan malu, rakyat harus memiliki kewibawaan, memiliki karakternya sendiri. Negara yang bermoral maka negara itu memiliki tata krama, ada sopan santun yang baik dan dijalankan di dalam negara. Negara sedemikian memiliki karakternya sendiri.
Perkataan yang Serasi
Perkataan yang lurus dengan sendirinya alurnya mudah dimengerti dan menjadi kelancaran yang mudah didengar. Serasi. Ini adalah peribahasa yang banyak dipakai, tetapi tidak banyak orang tahu kalau ini dari Konfusius. Jika seseorang memiliki sebutan atau diakui “lurus”, maka apa pun yang dia katakan dengan sendirinya akan menjadi satu kelancaran bagi yang mendengar. Ketika alasan engkau tidak beres, lalu berbicara apa pun orang tidak mau mendengarnya. Orang yang namanya tidak beres, kedudukannya tidak beres, tidak akan didengar perkataannya.
Ada orang Kristen biasa yang mengerti Kitab Suci dan membaca banyak, tetapi karena dia bukan pendeta, maka ketika ia naik mimbar orang lain tidak mau dengar dia. Di satu kota ada seseorang yang ikut-ikut memberkati orang, padahal dia hanya seorang majelis, bukan pendeta. Dia berani membawakan renungan dan ikut-ikut angkat tangan memberkati orang. Begitu dia angkat tangan jemaat sudah jengkel, ketika dia berbicara orang benci, karena dia bukan pendeta. Kalau dia sudah pendeta, wah rasanya berkat betul-betul turun. Apakah pemikiran seperti ini benar? Tidak pasti. Orang bisa menjawab seperti ini berarti ia pernah bertemu dengan pendeta yang buruk. Kalau pendetanya betul-betul baik, dia memberi berkat, itu dirasakan cocok sesuai. Ini yang disebut serasi dan sesuai.
Kalau perkataan seseorang sudah beres, maka yang dikerjakan menjadi mudah. Posisi benar, nama benar. Yang dimaksud dengan nama adalah status atau jabatanmu dan kedudukanmu sudah cocok, maka perkataanmu cocok dengan jabatanmu, dan pekerjaanmu cocok dengan perkataanmu, maka semua sisanya akan jadi. Ini berarti langkah menuju kepada kesuksesan harus dimulai dari meluruskan dirimu dahulu, lalu luruskan perkataanmu, lalu yang kau katakan betul-betul diterapkan, maka semua yang kau ingin kerjakan itu pasti akan berhasil. Ini merupakan rentetan konsekuensi atau suatu urutan untuk menyukseskan sesuatu. Bukan saja demikian, sesudah yang dikerjakan itu jadi, maka tata krama dan musik akan mendapatkan kebangunan.
Kalau pemerintahan itu sudah baik, masyarakat sudah damai, rakyat sudah sejahtera, maka tata krama dan kebudayaan itu dengan sendiri akan subur. Kalau pemerintahan itu tidak baik, yang digumuli masyarakat hanya sembako (kebutuhan pokok). Mereka tidak memiliki pengharapan lebih, tidak punya angan-angan yang lebih tinggi. Asal semua sudah makan, selebihnya tidak jadi soal. Kondisi di mana setelah semua sudah makan sudah cukup, semua di dalam kesejahteraan, ada tempat tinggal yang baik, ada makanan yang cukup, ada pakaian yang cukup, kemudian mulai berpikir, mari kita dansa, mari kita mendengar musik yang indah, mari kita membacakan sajak, mari kita membenahi dan menikmati sastra atau drama, dan sebagainya. Ketika masyarakat sudah merasakan damai sejahtera, maka hal-hal kebudayaan akan mengalami kebangunan. Amin.
