Kreativitas, sebuah istilah yang sangat populer pada saat ini. Baik di dunia pendidikan maupun usaha, kreativitas adalah hal yang sangat dicari. Melalui kreativitas diharapkan adanya suatu inovasi atau terobosan dari suatu sistem yang ada, yang dirasa sudah usang dan tidak relevan lagi. Hal ini sesuai dengan definisi dari kreativitas yang kita ketahui pada umumnya yaitu sebagai upaya dalam merealisasikan ide atau konsep baru, menjadi suatu realitas yang bernilai atau berguna baik dalam memecahkan masalah di berbagai bidang, hingga perkembangan budaya dan ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, kreativitas merupakan bagian yang penting dalam manusia menjalankan tugasnya sebagai gambar dan rupa Allah. Tanpa adanya kreativitas, manusia tidak akan memiliki kebudayaan yang begitu maju seperti sekarang. Melalui kreativitas, manusia mengembangkan berbagai macam keindahan dari ciptaan hingga menjadi bidang-bidang ilmu seperti seni, ekonomi, sains, bahasa, dan banyak bidang lainnya. Bahkan hingga hal-hal detail dalam kehidupan, seperti misalnya ketika orang tua memberikan nama untuk kita, tanpa adanya kreativitas, nama yang muncul mungkin hanya itu-itu saja atau bahkan kita tidak memiliki nama sama sekali karena bahasa tidak bisa berkembang tanpa adanya kreativitas. Coba bayangkan bila tidak ada kreativitas di dalam kedua bidang ini, budaya dan bahasa, sudah pasti akan terjadi kemandekan, ketimpangan, atau bahkan kekacauan yang besar.
Selain itu, kita pun sering kali menjumpai hubungan kreativitas dengan ekspresi dan karakteristik manusia. Hal ini sangat jelas terlihat dalam bidang seni, baik seni musik, seni lukis, dan lain-lain. Kita bisa melihat berbagai karya yang begitu jelas menggambarkan ekspresi seniman yang membuatnya. Setiap karya seorang seniman bisa kita lihat perbedaannya dengan karya seniman lain. Hal ini karena seni tersebut lahir dari seorang seniman yang personal, yang memiliki karakteristik yang unik. Demikian juga dalam bidang-bidang lain, manusia menggali wahyu Tuhan dan melalui kreativitasnya menghasilkan ilmu pengetahuan dan teknologi yang juga merupakan ekspresi manusia yang tidak terlepas dari karakteristik ilmuwan tersebut. Oleh karena itu, bisa dikatakan bahwa salah satu penyebab penting adanya keberagaman di dalam dunia ini adalah kreativitas manusia.
Jikalau melalui kreativitas manusia bisa mengembangkan banyak hal menjadi begitu beragam, apakah yang menjadi dasar kreativitas tersebut? Adakah batasan-batasan yang harus kita pahami di dalam menggunakan kreativitas tersebut? Pdt. Stephen Tong pernah mengatakan bahwa manusia memiliki daya kreativitas karena manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah yang adalah Sang Kreator. Atau bisa dikatakan bahwa daya kreativitas manusia mencerminkan akan daya kreasi Allah. Yang menjadi perbedaan mendasar antara daya kreativitas manusia dan daya kreasi Allah adalah bahwa Allah dapat menciptakan dari tidak ada menjadi ada, sedangkan manusia menghasilkan sesuatu dari apa yang sudah diciptakan Allah. Di sini kita dapat memahami bahwa Allah adalah dasar dan sumber dari kreativitas manusia.
Permasalahan terjadi ketika manusia dengan kreativitasnya tidak lagi peduli dengan apa yang benar sesuai dengan yang Allah telah ciptakan. Kreativitas manusia dipandang sebagai kemampuan manusia yang diberikan Allah agar manusia mampu menghasilkan sesuatu secara otonom dan juga sebagai kemungkinan manusia mengembangkan ciptaan Allah sebebas dan sesuka manusia. Semua yang dihasilkan oleh kemampuan kreativitas manusia ini dianggap sah dan benar adanya.
Jadi, bagaimanakah kreativitas yang benar? Bagi banyak orang zaman sekarang, kreativitas tidak berhubungan dengan kebenaran secara langsung. Bagi mereka, sesuatu benar ketika sesuatu bisa bekerja atau berjalan. Yang penting… it works! Sebenarnya, masalah ini hanyalah pengulangan peristiwa Menara Babel yang dicatat di Kejadian 11. Manusia menggunakan kreativitasnya untuk melawan Allah, tetapi berujung pada malapetaka bagi dirinya. Oleh karena itu, di dalam menggunakan kreativitasnya, manusia harus selalu me-refer kepada kehendak dan rencana kekal Allah. Menara Babel adalah hasil kreativitas manusia yang “works” tetapi justru membangkitkan amarah Allah atas manusia. Di sini kita melihat bahwa kreativitas itu tidaklah netral atau kreativitas itu tidaklah bersifat bebas tanpa batasan.
Jika kreativitas tidak boleh lepas dari Sang Kreator, maka pengenalan akan Allah bersifat absolute necessity dalam kehidupan manusia. Pengenalan akan Allah Alkitab, Allah Tritunggal, menjadi dasar bagi kreativitas manusia. Bahkan dapat dikatakan bahwa kreativitas bisa ada dan bisa kita miliki hanya karena Sang Kreator, Allah Tritunggal.
Self-Existence and Self-Sufficient God
Allah Tritunggal adalah Allah yang ada pada diri-Nya dan cukup pada diri-Nya sendiri atau self-existence and self-sufficient God. Allah tidak memerlukan keberadaan lain untuk menopang keberadaan diri-Nya, Ia bisa berada secara independent dan tidak membutuhkan apa pun dari luar diri-Nya. Allah tidak membutuhkan ciptaan-Nya, Ia juga tidak perlu mengaktualisasikan diri-Nya melalui menciptakan sesuatu supaya Ia memperoleh pengagungan. Ia sudah mulia dan agung, tidak memerlukan ciptaan untuk mengagungkan dan memuliakan-Nya. Justru sebaliknya, karena Ia mulia dan agung maka ciptaan-Nya memuliakan dan mengagungkan-Nya. Pemuliaan dan pengagungan kepada Sang Kreator ini menyadarkan kita bahwa Allahlah pemilik dari segala yang ada (ciptaan); termasuk manusia dan kreativitas di dalamnya.
Keberadaan kreativitas manusia yang begitu menakjubkan menyadarkan kita betapa menakjubkan Sang Kreator kita, Allah Tritunggal. Keberadaan ini juga sekaligus menyadarkan kita bahwa kreativitas manusia tidak pernah melampaui “kreativitas” Sang Kreator. Manusia hanya mampu berkreasi berdasarkan apa yang telah ada. Manusia tidak mungkin berpikir tentang apa yang tidak ada, misalnya, kita mencoba berpikir tentang warna yang tidak pernah ada. Keberadaan warna-warna sendiri berasal dari gabungan warna primer (merah, biru, kuning), yang digabungkan jadi berbagai warna yang kaya seperti sekarang. Kita tidak pernah mampu untuk berpikir mengenai warna di luar gabungan warna primer tersebut. Kita hanya bisa menggunakan dari apa yang telah ada dan kita harus tunduk di dalam hukum yang telah ada. Lebih jauh lagi, kita tidak mampu berpikir melampaui ruang dan waktu yang di mana kita ditempatkan oleh Sang Kreator, bahkan kita mencoba memikirkan atau membayangkan “ketiadaan” sekali pun, “ketiadaan” kita tidak pernah bisa lepas dari ketiadaan ruang dan waktu.
Kreativitas kita sebagai manusia hanyalah sebatas menggunakan apa yang sudah Allah sediakan. Demikianlah kreativitas seharusnya merupakan proses berpikir sejauh sebagaimana yang Tuhan pimpin dalam hidup kita. Inilah yang dimaksud dengan “Thinking after God’s own thought”, berpikir sebagaimana yang Tuhan mau. Hal ini kembali menekankan bahwa proses mencipta yang dilakukan oleh manusia berbeda dengan proses mencipta yang dilakukan Allah. Allah itu kekal, yang mencipta dari tidak ada menjadi ada. Allah menciptakan langit dan bumi dari tidak ada menjadi ada. Manusia yang merupakan ciptaan yang terbatas, hanya mampu menciptakan sesuatu dari apa yang telah diciptakan oleh Allah. Manusia diberikan potensi dan bahan di dalam berkreativitas sehingga manusia mampu melakukan proses discover kekayaan alam. Betapa bahagianya orang Kristen yang menggunakan daya kreativitasnya sesuai dengan kehendak Allah di dalam dirinya sehingga seluruh hasil kreativitas itu memancarkan pujian kepada dan bagi Sang Kreator itu sendiri, Allah Tritunggal.
Absolut – Personal God
Allah Tritunggal merupakan Allah yang personal. Kita sering mendengar Tritunggal dideskripsikan sebagai “satu essensi dan tiga pribadi”. Hal ini menjadi keunikan yang berbeda dengan semua konsep allah lainnya, karena hanya pada Allah Tritunggal terdapat pengertian absolut dan personalitas menjadi satu. Pada pemikiran politheisme kita bisa melihat allah yang personal, namun tidak absolut, sedangkan pada agama monotheistik murni kita bisa melihat allah yang absolut, namun tidak personal. Hal ini menjadikan adanya kesulitan pada monotheistik murni ketika berbicara tentang sifat personal. Ketika monotheistik murni berbicara akan sifat personal allahnya, diskusi pada umumnya akan berujung pada kebergantungan allah kepada manusia. Allah monotheistik murni perlu bergantung pada manusia untuk mendapatkan sifat personal dan bisa dikatakan allah monotheistik murni tidak self-suffcient. Sebaliknya allah politheistik begitu menekankan sifat personal namun kehilangan sifat absolutnya. Di dalam allah politheistik tidak ada suatu kuasa yang absolut. Akibatnya adalah tidak ada absolut dan terjadi chaos, tidak ada perbedaan antara Pencipta dan yang dicipta.
Di dalam kekristenan, kita percaya bahwa Allah yang personal dan juga berelasi dalam ke-Tritunggal-annya, menciptakan manusia yang juga personal. Hal inilah yang menjadikan kita bisa berelasi dengan Allah dan manusia-manusia lainnya. Terlebih dari itu, yang sangat indah adalah di dalam relasi ini terdapat interaksi yang terasa begitu kaya karena adanya kesatuan sekaligus keunikan pada masing-masing personal dalam setiap manusia. Konsep ini juga yang mendasari keberagaman di dalam kreativitas. Setiap personal yang berbeda memiliki kreativitas yang berbeda dalam keberagaman yang saling berkaitan. Kita dapat melihat dalam kehidupan kita, hasil kreativitas setiap manusia akan memberikan pengaruh kepada manusia lainnya. Kreativitas satu pribadi bisa melengkapi, mengembangkan, atau bahkan merusak kreativitas pribadi lainnya.
Kreativitas yang benar memperlihatkan keunikan masing-masing pribadi manusia yang melakukannya tetapi di satu sisi kreativitas ini memiliki kesinambungan dengan kreativitas yang lain juga. Hal ini menjadi salah satu dasar dalam kita menilai apakah kreativitas tersebut adalah kreativitas baik atau tidak. Salah satu contoh kreativitas yang tidak baik adalah kisah Sergei Mavrodi yang menciptakan suatu sistem ekonomi skema piramida. Setiap orang tinggal menaruh uang dan akan mendapat bunga sangat besar setiap bulan. Pada akhirnya, perusahaannya bangkrut dan menyimpan hutang yang begitu besar pada begitu banyak investor. Suatu sistem yang berusaha untuk kreatif, tapi di luar batas.
Dalam Allah Tritunggal, kita tidak hanya melihat personalitas semata atau absolut semata, tapi keduanya. Jika hanya berpegang pada personalitas semata, kreativitas akan liar, tanpa adanya yang absolut. Jika hanya berpegang pada absolut semata, tidak akan ada keragaman di dalam dunia ini. Hanya di dalam Allah Tritunggal kita bisa melihat adanya keragaman (Personal) dan juga ada yang Absolut. Dari situlah bisa ditemukan kreativitas yang benar.
Relasi antara Allah Tritunggal dalam Kreativitas: Kasih dan Kebebasan
Sejauh ini kita telah melihat bahwa manusia harus tunduk pada hukum yang telah ada dan kreativitas manusia harus tunduk pada Allah yang Absolut – Personal. Namun ketertundukan ini tidak bisa kita lihat sebagai satu hal yang memaksa kita untuk melakukan hal tertentu. Seperti relasi antara Allah Bapa – Allah Anak – Allah Roh Kudus, relasi tersebut tidak berdasarkan paksaan, tapi relasi itu didorong dengan kasih dan kebebasan. Yesus Kristus datang ke dunia bukan karena paksaan dari Allah Bapa, namun karena kasih. Allah Bapa pun mengutus Anak-Nya yang tunggal karena kasih, bukan karena Allah Anak yang memaksa ingin turun ke dunia. Begitu juga dengan Roh Kudus, Yesus Kristus mengutus Roh Kudus berdasarkan kasih dan kebebasan-Nya.
Sebagai manusia yang berpribadi, sudah menjadi implikasi bahwa kita memiliki kebebasan. Dengan kebebasan ini kita menggunakan kreativitas yang Tuhan sudah berikan. Tanpa adanya kebebasan, maka kreativitas ini hanya sebuah kekakuan, bahkan kehilangan unsur personalnya. Tetapi kebebasan yang dimaksudkan di sini bukanlah kebebasan yang liar dan tidak terkendali, tetapi kebebasan yang didasarkan pada prinsip kasih (kasih yang rela mengikatkan diri). Kebebasan tanpa kasih hanya membawa kreativitas manusia pada kreativitas yang bersifat destruktif atau berdaya hancur karena egoisme. Dengan adanya kasih (yang rela berkorban), maka kebebasan kreativitas akan menghasilkan kreativitas yang peduli akan dampaknya bagi kebaikan sesama manusia. Lebih lagi ketika kreativitas didorong oleh kasih kepada Allah, kreativitas akan membawa kemuliaan bagi nama-Nya, Sang Kreator yang Ultimat.
Penutup
Sebagai penutup, kita bisa berkaca pada apa yang dikisahkan dalam Kejadian 4:17-5:24 di mana terdapat dua garis keturunan yang dikategorikan berdasarkan kaum orang percaya dan kaum orang tidak percaya. Dua kaum tersebut diwakilkan oleh Kain – Lamekh dan Set – Henokh. Yang pertama adalah kaum yang tidak percaya, Kain – Lamekh. Kain telah membunuh adiknya, Habel, dan mengalami kutukan yang begitu mengerikan. Kain dikutuk akan mendapatkan kesusahan ketika mengusahakan tanahnya dan akan menjadi seorang pelarian di bumi. Namun Tuhan masih berbelas kasih kepada dia dan menaruh tanda pada Kain supaya ia jangan dibunuh. Lalu Kain pergi dan berjuang untuk kehidupan yang lebih baik dan memilih allahnya sendiri. Hari demi hari, Kain bekerja begitu keras sampai hasil kerja kerasnya terbayar, jadilah suatu kota. Keturunannya pun tidak kalah hebatnya, terdapat Yabal yang menjadi penemu kemah dan pemelihara ternak, Yubal sebagai penemu kecapi dan suling, dan ada juga Tubal-Kain sebagai penemu tukang tembaga dan tukang besi. Betapa mengagumkannya keturunan Kain, mereka melakukan pengembangan besar-besaran dalam sejarah umat manusia. Namun justru prestasi itu akan menjadi begitu mengerikan ketika yang dilakukan hanya dilandaskan dengan nafsu akan kekuasaan. Keturunan Kain yang begitu jahat diwakilkan dengan Lamekh yang menempatkan dirinya sebagai otoritas tertinggi yang bisa membalas dendamnya berkali-kali lipat kepada musuhnya. Keturunan Kain begitu mengagumkan, dengan kreativitasnya mereka mengembangkan budaya tetapi beriringan dengan perkembangan budaya ini, terdapat dosa yang juga berkembang bagaikan bom waktu yang sewaktu-waktu dapat meledak dan membawa kebudayaan yang ada kepada kehancuran.
Di sisi lain, keturunan kedua adalah keturunan Set yang menggantikan Habel, kaum orang percaya. Keturunan Set terlihat tidak seistimewa keturunan Kain, yang menghasilkan begitu banyak perkembangan. Di tengah perjuangan dalam menjalani hidup, Set tetap menyadari bahwa dia adalah gambar dan rupa Allah, Ia menyadari akan kasih dan kebebasan yang Allah berikan dan bekerja menggali potensi dunia ini. Sampai puncaknya berada pada masa Henokh yang dikatakan bergaul dengan Allah dan dinyatakan berkenan kepada Allah. Orang percaya melakukan pekerjaan besar yang berbeda dengan orang tidak percaya. Di saat keturunan Kain mengembangkan dunia ini, keturunan Set hidup bergaul dengan Allah.
Jikalau kita mengontraskan kedua keturunan ini, sepintas kita akan mengambil kesan bahwa keturunan Kain lebih berhasil menggunakan kreativitasnya sebagai manusia dalam mengembangkan kebudayaan manusia. Sedangkan keturunan Set tidak dengan baik menggunakan kreativitasnya karena tidak dicatatkan ada perkembangan budaya yang berarti, yang ada hanyalah memuji Allah. Tetapi jikalau kita menelusuri terus perkembangan kedua keturunan ini hingga ke zaman para nabi, lalu kepada para rasul, Bapa-bapa gereja hingga kepada masa kita saat ini, maka kita akan mendapati bahwa keturunan Set atau orang percaya, Tuhan pelihara dan kebudayaan yang ada pun dikembangkan secara bertahap tetapi memiliki signifikansi yang sangat besar bagi umat manusia. Sedangkan kebudayaan keturuan Kain atau orang tidak percaya, menjadi kebudayaan yang timbul-tenggelam ditelan oleh waktu karena kebudayaan ini begitu rapuh.
Oleh karena itu, melalui pembahasan keterkaitan antara kreativitas dan Allah Tritunggal ini, kita diingatkan untuk sadar dan dengan setia menggunakan kreativitas kita dengan benar. Mulailah dengan mengenal diri-Nya melalui firman-Nya, dan taatilah firman-Nya selangkah demi selangkah di dalam hari ke sehari. Percayalah kreativitas yang sudah ada dalam diri kita akan lebih “bernyawa” dari hanya sekadar mengeluarkan hasil/produk dari sebuah kreativitas. Mari berkreasi secara kreatif sesuai kehendak Sang Kreator!
Yonathan Febri
Pemuda GRII Bandung