Sekitar 75% dari seluruh isi Kitab Suci orang Kristen terdiri dari kitab-kitab Perjanjian Lama. Seluruh isi buku itu juga terdiri dari kisah-kisah mengenai umat Israel. Saya kira di dalam banyak hal, orang Kristen sebetulnya merupakan kelompok agama yang paling memahami Yudaisme. Agama Islam dapat dipahami melalui Al-Qur’an dan hadis-hadis menurut tradisi keagamaannya, tetapi kisah mengenai orang Israel tidak dijelaskan sepercis Alkitab, sebab apa yang tertulis dalam Alkitab Perjanjian Lama adalah sama dengan kitab orang Ibrani (Hebrew Bible). Kitab mereka dan kita disebut sebagai Tanakh yang terdiri dari Torah (Kitab Hukum), Nevi’im (Kitab Nabi), dan Khetuvim (Kitab Puisi).
Kalau memang kitab-kitab inti yang dibaca oleh orang Kristen dan orang Yahudi adalah sama, bahkan buku yang dikutip oleh Tuhan Yesus dan para rasul adalah sama dengan mereka sebelum dituliskan Perjanjian Baru, lalu mengapa orang Yahudi mempunyai pandangan yang sangat berbeda dengan orang Kristen mengenai Mesias? Baiklah, orang Kristen dan penganut Yudaisme bisa bertolakbelakang mengenai kitab Perjanjian Baru dan konsep mengenai Yesus, tetapi kita bisa sama-sama sepakat bahwa kitab Perjanjian Lama adalah wahyu Allah. Tuhan Yesus dan orang Farisi bersama ahli Taurat sama-sama bisa berdiri di meja yang sama ketika membaca Tanakh. Namun, mengapa hasil ajaran theologi mengenai kedatangan Sang Mesias bisa sangat berbeda, bahkan bertolakbelakang?
Untuk memahami hal tersebut, saya perlu mengungkapkan bahwa yang dimaksudkan dengan “Yudaisme” adalah tradisi keagamaan yang dikembangkan oleh orang Yahudi-Farisi. Perkembangan Yudaisme hari ini dipimpin oleh mazhab tersebut, yaitu yang diikuti oleh Rasul Paulus sebelum dia bertobat, yang dikenal juga sebagai tradisi Rabinik yang dipelopori oleh Hillel (Hillel the Elder) dan Gamaliel (murid dari Hillel, guru dari Paulus). Perlu dicatat bahwa terdapat perbedaan antara Perjanjian Lama dan tradisi Yudaisme-Rabinik. Ibaratnya, orang Kristen bisa sama-sama bersepakat bahwa Kitab Suci adalah firman Allah, tetapi tradisi-tradisi gereja yang melakukan interpretasi terhadapnya bisa mempunyai makna-maknanya tersendiri.
Dan untuk memahami Yudaisme, kita perlu berupaya untuk melepaskan “kacamata Kristen”. Cara menafsirkan Perjanjian Lama adalah dengan membaca Perjanjian Lama. Tentu, kita dapat menggunakan lensa Perjanjian Baru untuk memahami apa yang terjadi di dalam Perjanjian Lama, tetapi itu bagaikan seseorang yang menembak panah, lalu membuat lingkaran di sekitar panah tersebut, dan berkata, “Panahku telah mengenai target.” Mari kita coba menggunakan lensa seorang Yahudi atau penganut agama Yudaisme, dan mencoba untuk menyimak bagaimana mereka memandang seorang manusia Yahudi yang bernama Yesus dan para pengikutnya yang disebut sebagai orang Kristen.
Yudaisme: Mengapa Yesus bukan Mesias-Tuhan?
Sekarang, mari kita bayangkan diri kita sebagai orang Yahudi saleh dari suatu tempat yang dikenal buruk, yaitu Galilea. Pada suatu ketika di sekitar tanah Yudea, ada seseorang yang melakukan banyak mujizat. Mujizat itu berupa menyembuhkan orang lumpuh, mencelikkan mata orang yang buta sejak lahirnya, bahkan membangkitkan orang yang sudah mati selama tiga hari di kuburan. Di saat yang sama, orang ini juga mengajarkan suatu ajaran yang mirip sekali dengan agama yang diajarkan oleh orang tua, para guru agama, dan nenek moyang—yang setiap hari diajarkan baik saat kita bangun maupun tidur, makan maupun bekerja, seperti yang diperintahkan oleh Musa. Akan tetapi, kita juga mendapatkan kesan bahwa orang ini sedang mengajarkan suatu prinsip yang baru: Tuhan dapat menjadi manusia, Tuhan adalah Bapa yang mempunyai Anak, dan orang yang bisa melakukan mujizat itu mengaku dirinya adalah Tuhan. Katanya, orang itu bukan saja tidak meminta maaf atas pernyataannya itu, melainkan makin ngotot dan memperkuat argumentasinya bahwa dia juga mempunyai otoritas untuk mengampuni dosa.
Kira-kira kalau kita menjadi orang Yahudi yang taat, apa yang akan kita lakukan?
Dengar-dengar, orang ini mengaku dirinya “Mesias, Anak Manusia, Tuhan yang sudah ada sebelum Abraham”. Namun, dia hidup tidak begitu lama. Di usianya yang ke-33, dia mati disalib. Ya memang ini adalah hal yang sudah biasa, seperti mesias palsu lainnya, seperti Barkochba, yang mengaku mesias tetapi mati di bawah Kekaisaran Romawi saat dia mau membebaskan kita, bangsa Yahudi, dari penjajahan Romawi. Hanya saja, yang satu ini sepertinya agak gila. Dia tidak melakukan revolusi militer, tetapi katanya dia adalah “raja yang kerajaannya dari sorga”. Mujizat sih mujizat, tetapi kalau melawan militer tidak bisa pakai ilmu santet. Masih mending seorang “mesias gagal” yang melakukan revolusi konkret daripada “mesias halu” yang melakukan “revolusi mental” atau “revolusi akhlak” yang tidak jelas ini. Belum lagi dia dikatakan sebagai penghujat Allah. Ya, setidaknya dia tidak lagi menjadi kericuhan publik. Akan tetapi, murid-murid orang ini lebih halusinatif dan percaya bahwa dia bangkit dari kematian. Ya biasalah, ini kelompok yang kehilangan “sang guru abadi” yang menjanjikan dirinya akan bangkit pada hari ketiga. Maka dari itu, guru besar kami, Gamaliel yang adalah murid Hillel, sudah berkata, “Kalau memang itu bukan dari Tuhan, ya kelompok ini bakal gagal.”
Ditambah lagi beberapa hal yang cukup aneh. Kata orang ini, “Mesias itu akan mati.” Mesias adalah tokoh yang akan membawa pendamaian bagi seluruh dunia dan membawa Kerajaan Israel melebihi masa keemasan Raja Daud dan Salomo. Mana mungkin dia bisa mati? Namun, orang-orang itu ngotot berkata bahwa Mesias harus menderita, mati, dan ditolak; dari manakah ajaran itu? Memangnya ada di kitab para nabi? Para guru kami tidak mengajarkan hal yang seperti dikatakan oleh mereka. Andai kata betul semua nubuat dalam kitab kami terbukti benar seperti yang diucapkan oleh orang Kristen, lalu mengapa ketika si Yesus itu datang, malah kita tetap dijajah sampai hari ini, bahkan penderitaan zaman sekarang jauh melebihi zaman Romawi? Holocaust baru-baru saja terjadi, dan kita masih melihat genosida di mana saja.
Kelompok ini cukup laku di kalangan Yahudi mula-mula yang bertobat, tetapi kemudian menarik perhatian orang Samaria yang murtad itu, orang Yunani dan Romawi. Sebagaimana kerajaan datang dan pergi dan mempunyai sistem agamanya sendiri, orang-orang “Kristen” ini adalah “Yudaisme Progresif” yang telah berpindah dari ajaran lurus yang diajarkan oleh para rabi ortodoks. Ya biarkan saja, biarkan orang yang disebut “Yesus” atau “Jesse” menurut bahasa kami (karena orang Yahudi tidak ingin menyebut “Yah-Shua”, nama Tuhan yang menyelamatkan) menjadi mesias untuk orang non-Yahudi. Mereka boleh percaya kepada teladannya, tetapi kami tetap tidak boleh menuhankan seorang manusia.
Mungkin saja, mereka sudah tercemar dengan ajaran Yunani yang mengajarkan bahwa Zeus bisa melahirkan manusia setengah dewa seperti Perseus melalui seorang perempuan, demikian juga “Allah” mereka berhubungan tubuh dengan seorang perawan secara “non-fisik” dan lahirlah manusia Ilahi yang disebut “Yesus” itu. Cukup kasihan ya orang Kristen ini, menganut sebuah “Yudaisme cacat” yang tidak lagi murni. Mereka harus belajar kepada kami yang memegang bahasa asli dari Tanakh (Perjanjian Lama), dan kita tidak boleh mengikuti jejak bangsa asing, karena itulah yang menyebabkan kita dibuang oleh Allah seperti pada masa pembuangan ke Babel dan Persia.
Ya, kita bisa berdebat sesama orang Yahudi. Ada pepatah, “Kumpulkan dua orang Yahudi, maka muncul tiga opini.” Berbicara tentang mesias, “Kumpulkan dua orang Yahudi, maka muncul lima opini tentang mesias.” Ada kebingungan yang besar di antara orang-orang Yahudi mengenai mesias, tetapi yang pasti, mesias mereka sudah dikunci dalam satu frasa: pasti bukan Yesus.
Sebagaimana orang Kristen sangat membenci agama Mormon lebih daripada agama lain, demikian juga orang Yahudi-Ortodoks membenci agama Kristen lebih daripada agama Islam. Sebagaimana orang Kristen memandang penganut Mormonisme sebagai kelompok yang sedang menyembah “tiga tuhan” (Trideisme) layaknya para penyembah berhala, demikian juga orang Yahudi-Ortodoks memandang konsep “Tritunggal” sebagai penyembahan berhala yang sangat bertolakbelakang dengan prinsip-prinsip dasar pengakuan iman Yudaistik. Oleh karena itu, di mata orang Yahudi nabi palsunya yang adalah “Yesus” sangatlah mirip dengan Joseph Smith, dan kitab Perjanjian Barunya tidaklah lain daripada “kitab Mormon”. Di tengah hal seperti ini, bagaimana seharusnya orang Kristen memberi respons yang meyakinkan orang Yahudi-Ortodoks tentang Yesus sebagai Mesias dan Tuhan? Bagaimana kita dapat berdialog dari posisi yang sama, yaitu kitab Perjanjian Lama?
Perjanjian Lama dan Tradisi Rabinik
Jika para pembaca merenungkan pengalaman seorang Yahudi, sepertinya sah untuk “cukup percaya kepada Allah, dan tidak perlu percaya kepada Yesus”. Atau, seandainya seorang Yahudi tidak lagi memiliki sikap “anti-Kristen” sekalipun, maka langkah iman yang dapat diambil adalah percaya kepada Yesus sebagai “teladan moral” dari gerakan Yudaisme Baru (Neo-Judaism), memandangnya sebagai “Mesias yang akan datang” yang bisa melakukan mujizat luar biasa, bahkan bangkit dari orang mati pada hari ketiga dan naik ke sorga, tetapi tetap saja ada satu prinsip utama yang tidak boleh dilepas: Tuhan itu hanya satu, tidak ada manusia lain bisa menjadi Allah, bahkan sekalipun dia adalah seorang mesias. Inilah pertanyaan yang saya gumulkan ketika mendalami Yudaisme sebagai agama yang paling sulit untuk diinjili: Jika dengan menjalankan 613 mitzvah atau perintah Allah kita sudah mencintai Allah, lalu lantas mengapa kita masih perlu percaya kepada Yesus? Dan jangan menganggap pernyataan itu sebagai sebuah penolakan terhadap agama Kristen secara mentah, melainkan kita perlu memandangnya dari sisi orang Yahudi bahwa mereka betul-betul giat mencari Allah dengan mematuhi semua hukum-hukum dan perintah.
Untuk lebih memahami agama Yudaisme, kita perlu merujuk kepada 13 prinsip Yudaisme yang diberikan oleh Maimonides (Moshe ben Maimon atau Rambam), seorang filsuf dan theolog Yahudi pada abad ke-12:
1. Allah adalah Pencipta dan Penguasa dari segala sesuatu. Ia sendiri yang telah menciptakan, masih menciptakan, dan akan menciptakan segala sesuatu.
2. Allah adalah esa. Bagaimanapun juga tidak ada kesatuan yang seperti Dia.
3. Allah tidak mempunyai tubuh. Hukum alam tidak berlaku bagi Dia.
4. Allah adalah yang awal dan yang akhir.
5. Patut untuk berdoa kepada Allah saja. Seseorang tidak boleh berdoa kepada siapa pun atau kepada apa pun.
6. Semua firman para nabi adalah benar.
7. Nubuat dari Musa sama sekali benar. Ia adalah yang utama dari semua nabi, sebelum maupun sesudahnya.
8. Keseluruhan Torah yang sekarang kita punya adalah yang diberikan kepada Musa.
9. Torah tidak akan diubah, dan tidak pernah akan ada yang lain yang diberikan oleh Allah.
10. Allah mengetahui segala perbuatan dan pemikiran manusia.
11. Allah memberi pahala kepada orang yang memelihara perintah-perintah-Nya, dan menghukum orang yang berdosa terhadap Dia.
12. Sang Mesias akan datang.
13. Orang mati akan dihidupkan kembali.
Apabila kita menyimak 13 butir tersebut yang adalah “Pengakuan Iman Rasuli” versi Yudaisme, atau yang bisa dijuluki juga sebagai “Pengakuan Iman Yahudi”, kita bisa mempelajari beberapa hal yang menyatakan bahwa mesias bukanlah Allah, dan Yesus bukanlah Tuhan ataupun Mesias. Secara khusus, butir ke-2, ke-3, ke-5, ke-7, dan ke-12 adalah beberapa butir yang sudah jelas “menihilkan” kemungkinan bahwa Yesus adalah Mesias dan Allah. Jadi pertanyaannya adalah, “Bagaimana kita sebagai orang Kristen dapat menanggapi kepercayaan agama Yudaisme?” Perlu dicatat, kita tidak bisa menggunakan kitab Perjanjian Baru, sebab itu sudah dipandang “auto-sesat”. Jadi orang Kristen perlu kembali kepada Perjanjian Lama, yaitu kitab yang dikutip oleh Tuhan Yesus dan para rasul ketika mereka menginjili orang Yahudi.
Salah satu sebab adanya sebuah “tirai” yang membutakan orang Yahudi adalah hati manusia yang lebih mengikuti warisan tradisi Rabinik daripada mempelajari Tanakh (Perjanjian Lama). Orang Yahudi lebih mementingkan adat-adat istiadat dan warisan nenek moyang seperti yang tertera dalam Talmud, Midrash, Mishnah, Gemara, dan Kabalah, yaitu kitab komentari-komentari dan ilmu mistis daripada membaca Kitab Suci itu sendiri. Dengan demikian, tradisi Yudaistik yang mengambil inspirasi dari Perjanjian Lama sebetulnya tidak sepenuhnya setia kepada Perjanjian Lama itu sendiri. Ada bukti yang menyatakan bahwa Tuhan hadir secara fisik: ketika Dia berjalan di taman Eden (Kej. 3:8), ketika Tuhan memanggil Musa di semak api (Kel. 3:3-4) dan menampilkan sisi belakang-Nya kepada Musa dan di dalam gua (Kel. 33:23), Yosua berjumpa dengan Panglima Balatentara TUHAN (Yos. 5:13-15), Yesaya memandang Allah (Yes. 5:5), Yehezkiel melihat Allah (Yeh. 1:1), Daniel melihat Yang Lanjut Usianya dan Anak Manusia (Dan. 7:13), dan lainnya. Fisikalitas Tuhan itu nyata dalam kitab Perjanjian Lama, dan bukan seperti yang diajarkan oleh Maimonides ataupun agama Islam bahwa Allah itu sama sekali tidak dapat dilihat.
Kedua, di dalam ajaran Yudaisme Rabinik yang berkembang sejak zaman Ezra (537-458 SM), yaitu setelah kembalinya orang Yahudi dari pembuangan, terdapat perkembangan interpretasi mengenai sosok mesias. Pada dasarnya, orang Yahudi sulit menyatukan dua versi mesias: mesias yang harus menderita dan mesias yang membawa perdamaian kekal pada seluruh dunia. Dan itu cukup banyak terlihat dalam para murid Yesus yang sangat shock dan sulit menerima bahwa Mesias harus mati, sampai saja Yesus harus mengingatkan mereka 3-4 kali sebelum kematian-Nya. Dan setelah bangkit pun, barulah mereka paham bahwa Mesias akan mati dan bangkit. Perkembangan Yudaisme Rabinik sejak kehancuran Bait Allah pada tahun 70 juga mengalami proses “evolusi” dan perubahan doktrin yang makin kompleks. Makin membaca melalui lensa “kitab adat istiadat”, makin sulit menemukan keaslian dalam firman Allah.
Makna “mesias” yang tidak lagi Ilahi, dan digantikan oleh bangsa Yahudi itu sendiri, sudah menandai bahwa mereka bukan lagi menunggu Mesias itu sendiri, sebab mereka sudah memosisikan diri pada posisi mesianik. Dan seandainya sungguh sosok mesianis itu datang sebagai pemimpin politik dunia dan non-Ilahi, hal itu cukup dekat dengan makna “anti-Kristus”, sebagaimana disebutkan akan membawa “pendamaian global” tetapi membuat umat manusia dan umat Yahudi menjauh dari Allah. Makna “mesias” zaman Tuhan Yesus dengan “mesias” hari ini sudah berbeda, demikian juga dengan kitab-kitab yang dibaca menurut tradisi Yudaistik zaman Yesus dengan hari ini. Pada zaman Yesus, konsep “Allah” masih lebih dekat dengan makna Trinitarian di mana “Anak Manusia akan duduk di sebelah kanan Allah” dan Anak Manusia itu adalah Ilahi. Sekarang, mesias hanyalah manusia biasa, bukan Anak Manusia seperti yang dijelaskan dalam Daniel 7:13 ataupun hamba yang menderita seperti yang diceritakan dalam Yesaya 53.
Di tengah banyaknya interpretasi mengenai “mesias”, definisi yang paling tepat dapat ditemukan dalam Kitab Suci. Dan andaikan ajaran Yudaisme lebih mengarahkan pada interpretasi tradisi rabinik ketimbang Kitab Suci, maka tetap saja tokoh rabi besar seperti Maimonides dan Rashi (mirip “Agustinus, Thomas Aquinas, dan John Calvin” bagi orang Kristen) juga merujuk kepada Yesaya 53 tentang sosok Mesias yang akan datang. Jika kita setia mengikuti Kitab Suci (sola Scriptura), kita akan menemukan Yesus. Dia sedang menunggu di sana. Jika kita percaya kepada Musa, maka kita akan bertemu dengan Yesus, sebab Musa berbicara tentang Yesus (Yoh. 5:46-47).
Jadi, kira-kira apa saja yang ditulis menurut kitab-kitab itu yang merujuk kepada Mesias yang adalah Yeshua (Yesus) yang kita kenal?
Di Manakah Yesus dan Allah Trinitas dalam Tanakh?
Persoalan utama yang membedakan iman Kristen dari kepercayaan monotheisme seperti Yudaisme (dan Islam) adalah pada pribadi Allah. Bagi agama Islam, “Allah” itu hanya satu secara absolut (Tauhid). Bagi agama Yudaisme, “Hashem” (sebutan untuk nama Tuhan) juga bersifat absolut satu (Yachid) seperti yang disebutkan dalam butir ke-2 dalam 13 prinsip Yudaisme oleh Maimonides. Itulah sebabnya ada kemiripan pengejaan antara Tauhid dalam bahasa Arab dan Yachid dalam bahasa Ibrani yang merujuk kepada monotheisme absolut. Sebaliknya, iman Kristen menyatakan bahwa Allah adalah kesatuan (Echad). Allah adalah kasih dari hubungan antara Tiga Pribadi Maha Kudus: Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus.
Jika Allah adalah absolut satu (Yachid/Tauhid), maka Allah ini adalah Allah yang sendirian. Dengan kemahakuasaannya, dia mencipta dunia agar dapat menyembah dia, dan dari situ prinsip keselamatannya adalah manusia perlu membuktikan perbuatan baik untuk memenangkan hati Allah secara transaksional. Hubungan manusia dengan tuhan seperti ini didasarkan pada rasa takut. Sebaliknya, Allah Trinitas adalah Allah yang penuh kasih. Dia mencipta dunia sebab Dia ingin menyalurkan kasih kekal-Nya kepada umat manusia, dan Allah seperti demikian adalah Tuhan yang mencari manusia berdosa seperti yang dilakukan dalam pribadi Yesus Kristus. Hubungan kita dengan Allah seperti demikian adalah hubungan antara Bapa dan anak, sebagaimana Allah Bapa mengasihi Allah Anak melalui Roh Kudus.
Pada masa penciptaan, Allah Trinitas disebut dengan “pluralitas”, yaitu pada kata “Kita”. Tuhan memberikan manusia gambar dan rupa Kita, yaitu “DNA” dari karakter Allah Trinitas. Allah Trinitas berelasi, maka dari itu, manusia juga dicipta untuk berelasi. Relasi menjadi kepuasan yang diinginkan manusia sebab itu menunjuk kepada kasih Allah yang kekal.
Pada masa di padang gurun, TUHAN Allah mengenalkan diri-Nya kepada umat Israel. TUHAN (YHWH) adalah sebutan nama yang personal, hanya oleh umat percaya, dikenalkan sebagai Tuhan yang “Kesatuan” (Echad). Shema Yisrael YHWH Eloheinu YHWH Echad Echad (אֶחָד). Perhatikan bahwa kata yang digunakan bukan “satu tunggal”, Yachid (יָחִיד). Bangsa lain dapat mengenal Allah, yaitu yang mencipta dan Ilahi, sebagai sosok yang Maha Kuasa tetapi jauh di luar sana, ibarat mengenal ada raja yang duduk di takhta kekuasaan tertinggi. Namun, bagi yang mengenal TUHAN YHWH secara intim dan personal, dia akan mengenali raja itu sebagai my Daddy. Dan, Daddy in Heaven yang kita kenal adalah Allah yang disebut sebagai Allah Bapa yang dikenal melalui Allah Anak (Yesus Kristus).
Dalam Perjanjian Lama, beberapa kali kita sering mendengar Allah menghadirkan diri-Nya sebagai Allah yang Maha Kudus. “Kudus, kudus, kudus!” seruan nyanyian dari para serafim. Itu adalah indikasi Allah sebagai Trinitas. Akan tetapi, salah satu ayat yang paling eksplisit dalam menyatakan Allah Bapa, Yesus sebagai Allah, dan Roh Kudus ada dalam Yesaya 48. Kata “Aku” merujuk kepada Tuhan yang kekal, Dia hadir di permulaan dunia dan akan menjadi akhir. Dia adalah Alfa dan Omega. Tuhan Allah (Allah Bapa) mengutus “Aku” Sang Allah Anak dengan Roh Kudus.
Pribadi Allah Anak juga diwujudkan dalam istilah “Anak Manusia”. Berkali-kali Yesus menyebut diri-Nya bukan sebagai “Anak Allah”, melainkan sebagai “Anak Manusia”. Hal itu merujuk kepada Kitab Daniel yang menampilkan Allah Bapa Yang Lanjut Usianya itu dan seorang Anak Manusia yang kekuasaan-Nya bersifat kekal dan akan disembah oleh segala bangsa.
Lalu dalam Kitab Daniel, diceritakan juga mengenai kapan Sang Mesias akan datang. Makna “diurapi” juga diartikan sebagai pribadi yang disertai oleh Roh Allah. Minyak yang mengalir atas kepala seseorang melambangkan Roh Allah yang mengalir atas hidupnya. Disebutkan bahwa Yang Diurapi itu akan datang, dan dia adalah seorang raja (keturunan Daud) yang pastinya seorang Mesias, dan Mesias itu akan disingkirkan walau tidak melakukan suatu kesalahan apa pun. Barulah setelah itu, raja (Kaisar Vespasian) akan memusnahkan kota dan tempat kudus (Bait Allah) yang dibangun oleh Herodes.
Puncak dari wujud Mesias ada pada Yesaya 53. Pasal ini menceritakan tentang Mesias yang menggantikan umat Allah yang berdosa. Digambarkan sebagai domba yang disembelih sebagai korban, demikian juga dengan Mesias. Mesias bukanlah sosok yang akan membebaskan bangsa Yahudi, membawa pendamaian dunia, dan membawa utopia mesianik itu datang dengan segala kekuatannya. Akan tetapi, bila kita setia mengikuti apa yang tertulis, Mesias juga harus menderita, mati, dan bangkit. Mesias juga akan dihitung pada golongan orang fasik, bukan sebagai pemimpin idola yang diinginkan oleh orang sebangsanya sendiri. Yang membunuh Mesias bukan hanya orang Yahudi, melainkan juga orang Romawi, yaitu kelompok non-Yahudi. Dosa-dosa kitalah yang memakukan Yesus ke kayu salib. Setelah itu, Sang Mesias akan bangkit dari kematian, Dia akan melihat keturunan-Nya, yaitu orang-orang yang telah ditebus-Nya dan menerima-Nya sebagai Mesias-Tuhan dalam hidupnya.
Refleksi bagi Orang Kristen
Berdasarkan semua ayat-ayat ini, sebetulnya kita perlu memahami bahwa yang membedakan iman Kristen dan Yudaisme hanya terletak pada satu pertanyaan: Siapakah Kristus (Mesias) itu? Pertanyaan ini juga yang ditanyakan oleh Saulus ketika dia sedang berjalan menuju Damsyik.
Paulus yang sudah lama belajar dan menjalankan agama Yudaistik tetap tidak mengenal siapa Tuhannya, yang dipanggil dengan nama YHWH atau Adonai itu. Hari ini, Tuhan dalam Yudaisme disebut sebagai Hashem (Sang Nama). Siapakah “Sang Nama” itu? Dialah “YaH (YHWH) Shua (Keselamatan)” atau yang disebut sebagai Yesus Sang Mesias-Tuhan, Anak Allah yang hidup. Tanda bahwa seseorang sudah mengenal Allah adalah dia mempunyai kasih akan Allah dan sesama. Seseorang bisa saja menjalankan agama, menyelidiki isi Kitab Suci untuk memperoleh hidup yang kekal (Yoh. 5:39), tetapi meskipun semuanya itu merujuk kepada Yesus sebagai Mesias-Tuhan, orang belum tentu mau menerima-Nya sebab hatinya dipenuhi dengan kesombongan dan kebencian. Seseorang yang menerima Mesias sebagai Tuhan dan Juruselamat, yaitu domba penebus dosa, akan merasa tidak layak dan memahami kasih Allah yang kekal. Pastinya, dia akan mengasihi sesamanya. Syarat untuk menemukan Mesias-Tuhan dalam Perjanjian Lama adalah kerendahan hati, memandang bahwa hanya anugerah Tuhan yang dapat menyelamatkan, dan itu bukanlah ajaran baru di Perjanjian Baru, melainkan seluruh isi Perjanjian Lama dari kitab Taurat (Torah), kitab Nabi (Nevi’im), dan kitab Puisi (Khetuvim) berbicara seperti demikian.
Dalam buku Haim Cohen, Human Rights in the Bible and Talmud, yang adalah karya seorang hakim agung di negeri Israel, disebutkan bahwa seorang non-Yahudi yang memahami hukum-hukum Musa akan dipandang setara dengan “orang Lewi”. Terlebih lagi seorang non-Yahudi yang memahami kasih Allah seperti yang Tuhan tunjukkan kepada Israel melalui kisah Hosea yang mengasihi Gomer, mau tidak mau orang Yahudi akan melihat bahwa TUHAN Allah bukan hanya Tuhan atas suatu ras, tetapi juga atas seluruh ciptaan. Bukan karena seseorang berasal dari kalangan Yahudi maka dia diselamatkan, dan bukan karena dia berasal dari kalangan Kristiani maka dia menjadi lebih baik. Tuhan menawarkan keselamatan itu dengan cuma-cuma agar seluruh dunia dipenuhi pengetahuan akan Allah. Kasih orang Kristen, yaitu kasih yang diwariskan melalui Sang Mesias, adalah hal yang akan mengingatkan orang Yahudi tentang siapa Tuhan yang sejati, yaitu Tuhan yang menjadi korban penebusan dan Mesias yang membenarkan umat-Nya.
Dalam beberapa perbincangan personal saya dengan orang Yahudi, entah orang Yahudi-Ortodoks atau Yahudi-Sekuler, saya menemukan hal yang istimewa dari mereka. Betul-betul bangsa pilihan Allah yang dijanjikan berkat memang mendapatkan banyak berkat intelektual, finansial, dan lainnya. Di saat yang sama, mereka adalah bangsa yang sangat mengapresiasi perhatian jika ada yang bersimpati dengan sejarah bangsanya: mereka akan memandangmu sebagai bangsanya sendiri. Di tengah rasa sendirian mereka, jika kita mampu untuk menunjukkan kasih akan Allah dan sesama, sebagaimana kasih Allah akan umat-Nya dinyatakan, hal itu akan mengharukan mereka. Mereka cemburu akan kasih ini, yang sebetulnya adalah kasih Allah untuk mereka, anak pertama kebanggaan milik Allah. Maka dari itu, jangan berhenti untuk memberikan kasih Mesias itu kepada saudara sulung umat Allah; kita adalah penjaga saudara sulung kita (we are our elder brother’s keeper). Datanglah dengan firman dan dengan kasih Allah, dan orang Yahudi akan diingatkan kembali akan kasih YHWH yang kekal.
Kevin Nobel Kurniawan
Referensi:
Buku
Buber, Martin. 1951. Two Types of Faith. The Macmillan Company.
Buber, Martin. 2005. A Land of Two Peoples: Martin Buber on Jews and Arabs. University of Chicago Press.
Cohen, Haim. 1989. Human Rights in the Bible and Talmud. Israel ministry of Defense Publishing House.
Lizorkin-Eyzenberg, Eli. 2015. The Jewish Gospel of John: Discovering Jesus, King of All Israel. CreateSpace Independent Publishing Platform.
Reeves, Michael. 2012. Delighting in the Trinity: An Introduction to the Christian Faith. IVP Academic.
Unterman, Isaac. 1997. The Talmud: An Analytical Guide to Its History and Teachings. Bloch Pub Co.
Situs Online
https://thetorahguide.com/is-the-god-of-the-old-testament-a-trinity
https://www.myjewishlearning.com/article/the-thirteen-principles-of-faith
https://www.oneforisrael.org/bible-based-teaching-from-israel/inescapable-truth-isaiah-53
https://www.pewresearch.org/religion/2016/03/08/israels-religiously-divided-society
Eitan Bar. Why Jews Don’t Believe in Jesus. https://www.youtube.com/watch?v=57etWKMMbOg&t=216s
Video-Video dari One for Israel
Michael Brown. Isaiah 53, the Rabbis, and the Messiah.
https://www.youtube.com/watch?v=NcCIOxY5Ul0
Acknowledgement
Penulis banyak mempelajari tema Yudaisme, Yudaisme Mesianik, dan sejarah Yahudi dari beberapa tokoh Yahudi yang percaya kepada Yesus: Dr Igal German dan Aaron Dranoff.