Sudah hampir setahun sejak Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2024 diterbitkan. Keputusan ini secara resmi menetapkan perubahan nomenklatur hari-hari besar keagamaan umat Kristiani di Indonesia, dari sebelumnya menggunakan istilah “Isa Almasih” menjadi “Yesus Kristus”. Tiga momen utama dalam kalender keagamaan umat Kristiani—Kelahiran, Wafat, dan Kenaikan—kini secara legal disebut sebagai: Kelahiran Yesus Kristus, Wafat Yesus Kristus, dan Kenaikan Yesus Kristus. Ini bukan perubahan kecil, melainkan sebuah koreksi yang mendasar terhadap representasi iman dalam ruang publik negara.
Namun, dalam kenyataan sehari-hari, implementasi dari kebijakan ini berjalan dengan sangat lamban. Masih banyak institusi negara, sekolah, media, dan bahkan lembaga keagamaan, yang tetap menggunakan nomenklatur lama. Istilah “Isa Almasih” masih tercetak di kalender, terucap dalam ucapan selamat hari raya, dan terpampang di papan-papan pengumuman resmi. Padahal, perubahan ini bukan sekadar administratif; ia menyentuh dimensi theologis, sosiologis, dan bahkan konstitusional. Pemerintah sendiri, dalam hal ini Kementerian Agama dan Kementerian Sekretariat Negara, telah menerbitkan daftar resmi hari libur nasional dengan nomenklatur baru. Wakil Menteri Agama RI, Saiful Rahmat Dasuki, menegaskan bahwa perubahan ini merupakan bentuk penghormatan terhadap iman umat Kristiani dan bagian dari strategi nasional dalam memperkuat moderasi beragama.
Perubahan nama dari “Isa Almasih” ke “Yesus Kristus” memang menyentuh titik sensitif dalam hubungan antar agama. Di satu sisi, “Isa Almasih” adalah istilah yang dikenal luas dalam tradisi Islam dan telah lama digunakan dalam dokumen administratif negara. Namun di sisi lain, penggunaan istilah tersebut justru menimbulkan kesenjangan identitas bagi umat Kristiani yang tidak menyebut Juruselamat mereka dengan nama tersebut dalam liturgi, theologi, dan kehidupan rohani. Dalam hal ini, negara harus berdiri bukan sebagai pendamai simbolik, tetapi sebagai fasilitator keadilan identitas: menyebut setiap agama sebagaimana mereka menyebut dirinya sendiri.
Dari sisi theologis, khususnya dalam tradisi Reformed, persoalan penyebutan nama Allah bukanlah hal remeh. Martin Luther, dalam refleksinya terhadap penyembahan dan pengajaran gereja, menegaskan pentingnya pemurnian ibadah melalui ketepatan pengajaran. Dalam “The Large Catechism”, Luther menulis bahwa nama Allah harus disebut dengan penuh hormat dan ketepatan, karena nama itu mengandung kehadiran dan otoritas Allah sendiri. Ketika gereja atau negara menyebut nama yang bukan berasal dari pengakuan iman gereja, maka hal itu bukan saja menyesatkan, tetapi juga merusak penyembahan sejati. Dalam sejarah Reformasi, Luther mengkritik keras penyebutan dan pengajaran yang tidak sesuai dengan wahyu Alkitab, karena ia melihat bahwa kesalahan dalam kata akan menuntun pada kesalahan dalam iman.
John Calvin melangkah lebih jauh. Dalam “Institutes of the Christian Religion”, Calvin menyatakan bahwa segala bentuk penyembahan yang tidak berakar pada pewahyuan Allah sebagaimana diberikan dalam Kitab Suci adalah bentuk penyembahan palsu. Nama “Yesus Kristus” adalah manifestasi dari Allah Tritunggal dalam sejarah keselamatan. Menyebut-Nya dengan istilah dari kepercayaan lain bukan hanya merupakan kesalahan linguistik, melainkan juga pelanggaran terhadap prinsip sola Scriptura dan solus Christus. Calvin bahkan menyatakan bahwa salah menyebut nama Tuhan berarti salah menyembah Tuhan. Bagi Calvin, bahasa dalam penyembahan bukan semata sarana, tetapi substansi dari iman itu sendiri. Maka negara, dalam menggunakan istilah keagamaan, harus mencerminkan ketepatan yang sama agar tidak menjadi bagian dari distorsi theologis.
Benjamin Breckinridge Warfield, theolog besar Princeton di akhir abad ke-19, menyumbangkan pemikiran penting dalam kaitannya dengan otoritas Kitab Suci dan integritas doktrin. Warfield memperingatkan bahaya kompromi theologis dengan masyarakat sekitar. Dalam karyanya “The Inspiration and Authority of the Bible”, ia menyatakan bahwa segala bentuk penyimpangan dari wahyu Allah yang tertulis akan menghasilkan dekonstruksi terhadap isi iman. Maka jika negara atau masyarakat sipil memakai nama yang tidak diwahyukan untuk menyebut Yesus Kristus, mereka sedang meletakkan dasar sosial di atas fondasi theologi yang tidak kokoh. Warfield mengajarkan bahwa bahkan bentuk penyebutan yang paling kecil pun—jika tidak berdasarkan Alkitab—dapat menggiring umat pada kesalahan doktrinal yang besar.
Cornelius Van Til menutup lingkaran argumentasi ini dengan pendekatan apologetika presuposisional. Menurut Van Til, tidak ada wilayah netral dalam berpikir dan beriman. Jika umat Kristen membiarkan penyebutan Yesus Kristus digantikan oleh istilah dari worldview lain, maka umat Kristen telah menyerahkan ranah epistemologis mereka kepada sistem kepercayaan yang tidak mengakui otoritas Kristus. Van Til menekankan bahwa setiap nama membawa konsekuensi theologis. Dalam kerangka berpikirnya, penyebutan yang salah bukanlah bentuk toleransi, tetapi ketundukan terhadap sistem nilai yang bertentangan. Hal ini berarti negara, jika ingin benar-benar bersikap netral dan adil, harus menyebut setiap agama sesuai dengan istilah yang bersumber dari doktrin masing-masing agama, bukan dengan istilah yang dibuat atau diimpor dari sistem iman lain.
Dalam terang pemikiran-pemikiran ini, kita dapat menyimpulkan bahwa penyebutan yang benar atas Yesus Kristus bukanlah perkara semantik. Ia adalah bentuk pengakuan iman, penghormatan terhadap pewahyuan Ilahi, serta tanda kedewasaan dalam relasi lintas iman. Maka ketika negara mengambil langkah formal untuk menyebut nama itu dengan tepat, negara sedang melakukan koreksi terhadap masa lalu sekaligus memberikan tempat yang pantas bagi iman umat Kristiani.
Namun, koreksi formal harus diikuti oleh implementasi struktural. Jika negara hanya mengubah peraturan tetapi tidak mengubah praktik birokrasi, maka kebijakan itu akan menjadi dokumen kosong. Ketika kementerian agama, pendidikan, dan institusi publik lainnya tidak segera menyesuaikan nomenklatur dalam surat edaran, kalender akademik, dan komunikasi resmi, maka mereka telah gagal menjalankan amanat konstitusional untuk berlaku adil terhadap semua pemeluk agama. Inkonsistensi ini menimbulkan ketegangan sosial dan psikologis, serta memberi kesan bahwa kebijakan negara hanya bersifat simbolik tanpa komitmen riil.
Dalam laporan-laporan yang tersebar di media nasional, ditemukan bahwa masih banyak sekolah negeri dan kantor pemerintahan daerah yang menggunakan istilah “Isa Almasih” dalam agenda libur resmi mereka. Bahkan sebagian media nasional yang berafiliasi dengan jaringan besar juga belum seluruhnya mengikuti nomenklatur yang telah ditetapkan. Ketidaksinkronan ini menunjukkan bahwa instrumen pengawasan dan edukasi publik masih lemah. Padahal, pemerintah memiliki kekuatan untuk menyosialisasikan perubahan ini melalui peraturan menteri, surat edaran resmi, hingga kerja sama dengan lembaga pendidikan dan media massa.
Secara sosiologis, kegagalan ini berisiko menurunkan kepercayaan umat terhadap niat negara dalam menjalankan prinsip-prinsip pluralisme. Umat Kristen yang setiap harinya membaca papan pengumuman atau menerima surat resmi yang tidak mencerminkan imannya secara benar akan merasa tak diakui secara utuh sebagai warga negara. Ini bukan soal privilese, ini soal representasi. Negara harus dapat menjamin bahwa setiap iman diberi tempat sebagaimana mestinya dalam ruang publik.
Kebijakan ini, jika dijalankan secara konsisten, dapat menjadi tonggak penting dalam membangun masyarakat sipil yang sehat. Di sinilah letak kekuatan transformasional dari sebuah kata. Ketika kita menyebut “Yesus Kristus” dan bukan “Isa Almasih”, kita bukan sedang melakukan perlawanan simbolik terhadap agama lain, tetapi sedang melakukan afirmasi terhadap iman Kristen sebagaimana adanya. Sebagaimana negara menyebut “Idul Fitri” dan bukan “Hari Kemenangan Islam” atau menyebut “Nyepi” bukan “Hari Hening Hindu”, maka demikian pula seharusnya negara menyebut “Yesus Kristus” dalam hari-hari besar umat Kristen.
Moderasi beragama yang sejati bukanlah sekadar hidup berdampingan tanpa konflik. Moderasi yang sejati adalah pengakuan dan penghormatan aktif terhadap identitas spiritual orang lain, termasuk dalam kata-kata yang dipakai untuk menyapa, menyebut, dan mencatat nama Tuhan mereka. Jika negara abai terhadap hal ini, maka semangat moderasi yang digaungkan akan kehilangan kredibilitas.
Maka, marilah kita bersama-sama menjaga makna dari perubahan nomenklatur ini. Ia bukan sekadar soal kata. Ia adalah cermin dari bagaimana kita melihat dan menghargai iman sesama. Ia adalah ujian kecil yang membawa konsekuensi besar terhadap kualitas pluralisme yang kita bangun. Dan dalam semangat itulah, saya menyerukan kepada seluruh lembaga negara, institusi pendidikan, media massa, dan masyarakat luas untuk mulai menyebut dengan benar. Karena dari kata yang benar, lahir sikap yang benar. Dan dari sikap yang benar, lahir masyarakat yang dewasa, adil, dan saling menghargai.
Hans Yulizar Sebastian
Jemaat GRII Pusat
