“Cogito ergo sum” atau dalam terjemahan bahasa Inggris I think, therefore I am adalah pernyataan yang dikemukakan oleh seorang filsuf terkenal bernama René Descartes (1596-1650). Descartes dapat dikatakan sebagai bapa filsafat modern dan dapat dikatakan filsuf modern pertama. Bukan hanya dalam filsafat, Descartes juga sangat berkontribusi dalam matematika, ia bahkan juga dijuluki bapa matematika modern. Dunia matematika saat ini sangat banyak dipengaruhi oleh pemikirannya.
Jika kita mendengar pernyataan di atas, I think, therefore I am, sepertinya pernyataan ini sangat bertentangan dengan keberadaan iman. Kesadaran keberadaan diri diakibatkan oleh kemampuan berpikir diri tersebut. Tidak ada tempat bagi iman untuk Pencipta, atau bahkan tidak perlu iman untuk meyakini bahwa diri ini berada. Semua hal seperti dapat dipikirkan dan dideduksi sendiri, sehingga sistem logika dari deduksi tersebutlah yang membuktikan suatu kebenaran. Hal ini dapat dilihat sangat jelas dalam dunia matematika saat ini. Semua argumen matematika harus berasal dari deduksi melalui argumen-argumen sebelumnya dan harus dapat dibuktikan benar melalui sistem logika.
Iman & Pembuktian
Sebagai contoh, ada tak terhingga banyaknya bilangan genap. Mungkin pernyataan tersebut sangatlah jelas bagi kita dan tidak mungkin salah, untuk apa lagi dipertanyakan kebenarannya. Tapi di dalam dunia matematika, pernyataan tersebut pun harus dibuktikan melalui sistem dan runtutan logika. Contoh pembuktian seperti berikut:
Asumsikan ada terbatas banyaknya bilangan genap jika dan hanya jika terdapat M yang merupakan bilangan terbesar dari sekumpulan bilangan genap tersebut
M = 2N karena setiap bilangan bulat dapat dibagi oleh 2
Lihat bilangan 2N + 2 = 2(N + 1) juga adalah bilangan bulat
Tetapi 2N + 2 = M + 2 lebih besar dari M
Kontradiksi dengan asumsi awal, jadi asumsi awal salah
Maka terbukti bilangan genap ada tak terhingga banyaknya
Sebenarnya asumsi pertama pun masih harus dibuktikan, tetapi pembuktian tersebut bukan hal yang mau dituju dalam artikel ini.
Contoh lainnya: dua buah garis lurus pasti berpotongan paling banyak di satu titik. Pernyataan ini juga sepertinya sangat jelas dan tidak perlu dipertanyakan lagi. Tetapi sekali lagi, dalam dunia matematika, hal ini pun harus dibuktikan. Contoh pembuktian seperti berikut:
Asumsikan 2 garis lurus l dan m berpotongan di lebih dari 1 titik
Misal perpotongannya adalah titik A dan B
Maka kedua garis l dan m mengandung kedua titik A dan B
Tetapi untuk tiap 2 titik hanya mungkin ada 1 garis lurus yang mengandung 2 titik tersebut
Kontradiksi, maka terbukti bahwa 2 garis berpotongan tidak lebih dari 1 titik
Dalam pembuktian ini pun terdapat asumsi yang harus dibuktikan terlebih dahulu, tetapi untuk penyederhanaan, pembuktian tersebut tidak dibahas.
Dengan pembacaan seperti ini kita dapat melihat seakan-akan iman tidak memiliki tempat dalam matematika, karena iman sepertinya hanya untuk meyakini sesuatu yang tidak bisa dibuktikan. Seperti tertulis di Ibrani 11:1: “Iman adalah dasar dari segala sesuatu yang kita harapkan dan bukti dari segala sesuatu yang tidak kita lihat.” Benarkah tidak ada tempat bagi iman dalam matematika?
Dalam artikel ini, penulis ingin menyatakan bahwa ternyata ada kesamaan fundamental antara iman dan kebenaran dalam matematika. Iman bisa dimengerti sebagai hal yang menjadi dasar, tidak perlu dibuktikan, dan di atasnyalah segala aspek lain bisa dibangun dan berdiri. Tidak usah diragukan lagi, iman yang sejati kepada Yesus Kristus adalah aspek sentral dalam hidup setiap orang Kristen. Jika kita berpikir lebih lanjut, ternyata dalam matematika, kita dapat menemukan suatu hal yang mirip, yaitu perlunya satu asumsi dasar untuk suatu pembuktian. Dalam contoh-contoh di atas, jika kita terus menelusurinya, kita akan terus menemukan bahwa selalu ada asumsi yang harus dibuktikan sampai pada akhirnya kita harus berhenti pada suatu asumsi yang tidak dapat dibuktikan lagi.
Aksioma
Matematika memiliki pengertian mengenai aksioma, yakni suatu pernyataan yang dianggap selalu benar dan tidak pernah berubah dalam konteks apa pun tanpa perlu dibuktikan. Dalam tiap pembuktian matematika, pasti ada suatu aksioma yang menjadi awal dan dasar bagi matematikawan untuk membangun teori-teori mereka. Sebagai contoh, dalam pembuktian kedua dalam contoh di atas, ada beberapa aksioma yang digunakan:
1. Di antara dua titik, terdapat satu dan tepat satu garis.
2. Sebuah garis dapat diperpanjang melewati titik ujungnya.
3. Sebuah lingkaran dapat dibuat dengan diketahui titik pusatnya dan jari-jarinya.
4. Seluruh sudut 90 derajat itu ekuivalen dengan sudut 90 derajat lainnya.
Dalam pembuktian di atas, kita menggunakan aksioma nomor 1 untuk menyatakan bahwa pernyataan “2 buah garis dapat berpotongan di lebih dari 1 titik” salah.
Lalu, bagaimana dengan aksioma tersebut? Apakah perlu dibuktikan? TIDAK, aksioma-aksioma tersebut diterima dengan iman bahwa mereka selalu benar. Aneh bukan? Tidak aneh, sebenarnya orang-orang yang mengatakan bahwa tidak perlu iman dalam matematika adalah orang-orang yang mungkin bermatematika. Justru ketika kita mempelajari suatu ilmu dengan sungguh-sungguh, kita akan melihat bahwa banyak hal-hal yang manusia tidak bisa jelaskan dan harus diterima dengan iman, yang kemudian kita namakan aksioma. Aksioma-aksioma ini adalah anugerah umum dari Allah yang diberikan pada pikiran manusia.
Properti Matematika dan Atribut Allah
Dalam bagian ini, penulis akan sedikit membandingkan properti dalam bidang matematika yang ternyata cukup menarik kalau kita bandingkan dengan atribut Allah.
Beberapa properti dari matematika:
Kekal
Tuhan tidak pernah berubah, tidak peduli apa pun yang terjadi, walaupun dapat terlihat fenomena yang seperti menunjukkan Tuhan berubah. Misalnya Tuhan terlihat jahat karena adanya bencana alam, yang sebenarnya Tuhan tidak sedang berubah, fenomena bencana alam hanyalah bagian dari rencana Tuhan untuk menunjukkan kebaikan-Nya. Matematika juga tidak akan pernah berubah dalam teori-teorinya. Sekali terbukti benar, maka teori tersebut akan terus benar sampai ke kekekalan selama aksioma yang mendasarinya tidak berubah. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara iman kepada firman Tuhan yang kekal tidak berubah dan iman kepada aksioma yang relatif adanya.
Berbeda dengan ilmu alam, matematika tidak mendasarkan teori-teorinya pada observasi. Matematikawan selalu berusaha menjelaskan segala sesuatu dengan argumen deduktif. Argumen deduktif di sini selalu bersifat kausal yang berarti bahwa segala sesuatu disebabkan oleh sesuatu lainnya. Maka dari itu, untuk mencapai suatu kesimpulan, haruslah seorang matematikawan menarik sejauh mungkin ke belakang dari kesimpulan tersebut sampai kepada sesuatu yang benar. Contoh: Kesimpulan A benar karena argumen B, argumen B benar karena C, C benar karena D, dan seterusnya. Matematikawan selalu mengatakan bahwa mereka tidak pernah mengasumsikan apa pun dalam penarikan kesimpulan dan segala sesuatu harus ada pembuktiannya. Walaupun pada akhirnya matematikawan akan mencapai asumsi terakhir dan diterima sebagai tidak mungkin salah, cara penarikan kesimpulan ini menjamin bahwa pernyataan terakhir tidak akan pernah berubah kecuali aksioma tersebut jatuh.
Jika kita bandingkan dengan ilmu alam lainnya, misalnya astronomi, pernyataan “bumi adalah pusat alam semesta” sangatlah bergantung pada observasi. Teori tersebut harus berubah ketika Galileo bisa melakukan observasi yang lebih akurat, bahkan juga harus berubah ketika manusia dapat membangun teleskop luar angkasa dan dapat menyimpulkan bahwa ada banyak galaksi dan sekumpulan galaksi juga memiliki pusat, sehingga bukan matahari yang menjadi pusat alam semesta.
Otoritatif
Firman Tuhan bersifat otoritatif. Semua orang mau tidak mau harus tunduk kepada apa yang diucapkan Tuhan. Jika Tuhan berkata A maka semua orang harus berbuat A, jika Tuhan berkata B maka semua orang harus berbuat B. Sama seperti orang-orang pilihan Allah pasti akan beriman kepada-Nya. Dengan kata lain, tidak mungkin ada orang pilihan yang tidak beriman kepada Tuhan Yesus.
Sifat kausal dan deduktif dari matematika memastikan bahwa suatu kesimpulan pastilah benar. Dan dapat dikatakan bahwa observasi pasti mengikuti kesimpulan tersebut. Observasi baru tidak akan pernah mengubah kesimpulan yang diambil dari teori-teori matematika. Yang dapat dilakukan hanyalah membandingkan suatu observasi dengan teori tersebut, sang pengamat harus mengoreksi cara ia mengamati jika hasil pengamatannya berbeda dengan teori. Mungkin saja alat pengamatannya memiliki kesalahan. Sebagai contoh, teorema Pythagoras akan selalu benar, tidak akan pernah ditemukan segitiga siku-siku yang jumlah kuadrat kaki-kakinya tidak sama dengan kuadrat dari sisi miringnya. Kalau sampai ditemukan, berarti penggambar segitiganya yang salah.
Universal
Firman Allah dalam konteksnya akan selalu berlaku di mana pun dan kapan pun. Seperti tertulis dalam Roma 8:28: “Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah.” Kapan pun dan di mana pun, kita dapat mengamini bahwa segala sesuatu akan mendatangkan kebaikan walaupun ada saatnya Allah mengerjakan sesuatu untuk menunjukkan murka-Nya kepada orang berdosa.
Dalam pembuktian suatu teori matematika, suatu argumen harus ditempatkan dalam sebuah konteks. Misal: teorema Pythagoras ditempatkan dalam konteks bilangan riil. Sifat deduktif dan kausal dari matematika menyebabkan kesimpulan yang ditarik dalam konteks tersebut tidak akan pernah salah. Selama kita masih berbicara dalam konteks yang sama, teori tersebut akan selalu benar di mana pun mereka berada. Contoh: teorema Pythagoras akan selalu berlaku di ilmu fisika, kimia, biologi, dan lainnya, selama bilangan yang dibicarakan adalah bilangan riil, teorema tersebut akan selalu berlaku. Teori ini akan selalu berlaku pada 10 tahun mendatang, 1.000 tahun mendatang, atau 2.000 tahun yang lampau.
Akhir kata, dari pembahasan di atas, kita dapat melihat bahwa sebenarnya matematika adalah suatu kebenaran dari Allah yang kita sebut sebagai wahyu umum-Nya. Wahyu umum diberikan Allah kepada manusia melalui anugerah umum-Nya. Sama seperti anugerah khusus atau anugerah keselamatan, anugerah umum juga hanya dapat diterima dengan iman. Selain itu, seluruh kebenaran Allah dalam wahyu umum-Nya membawa sifat-sifat Allah di dalamnya, sehingga sebenarnya setiap orang mau tidak mau harus melihat Allah melaluinya. Lebih jauh lagi, seluruh kebenaran ini menuntut manusia untuk tunduk kepadanya. Tidak ada manusia yang sanggup melawannya. Sifat keabsolutan otoritas Allah pun dinyatakan di dalam wahyu umum-Nya, termasuk matematika. Kiranya semakin kita mempelajari kebenaran dalam dunia ilmu, semakin kita dapat melihat kebesaran Allah dan memuliakan Dia, Sang Pencipta langit dan bumi.
Theo Ariandi
Pemuda GRII Singapura