Belakangan ini dunia sedang melihat sebuah peperangan yang hangat terjadi di Timur Tengah, yaitu tentang negeri Israel yang berhadapan dengan Hamas dan Iran. Bagi banyak orang Kristen, mendengar kata “Israel” dapat dimaknai secara beragam. Ada yang mendengar “Israel” sebagai sebuah negara kedaulatan di Timur Tengah. Ada juga yang memahaminya sebagai “umat pilihan” yang dipilih oleh Allah seperti yang ditulis dalam Kitab Kejadian dan Keluaran. Ada juga yang memandangnya sebagai sebuah negara-bangsa yang melakukan kejahatan kemanusiaan terhadap warga Palestina. Di tengah kompleksitas tersebut, artikel ini mencoba untuk menguraikan makna “Israel” menurut arti sebagai kelompok orang Yahudi dan perjalanan historisnya. Tujuannya adalah supaya orang Kristen mempunyai gambaran yang lebih utuh dan mampu membedakan secara spesifik arti yang berbeda-beda itu.
Pertama-tama, mari kita mulai dengan kata “Israel” itu sendiri. Kata itu berasal dari dua kata Ibrani, Yisra yang berarti bergulat dan El yang berarti Allah. Israel berarti “bergumul dengan Allah”, yaitu sebuah arti nama yang Allah berikan kepada Yakub ketika dia sedang bergulat dengan “seorang manusia” di suatu tepian sebelum dia berjumpa dengan kakaknya, Esau. “Bertanyalah orang itu kepadanya: “Siapakah namamu?” Sahutnya: “Yakub.” Lalu kata orang itu: “Namamu tidak akan disebutkan lagi Yakub, tetapi Israel, sebab engkau telah bergumul melawan Allah dan manusia, dan engkau menang.” (Kejadian 32:27-28). Sejak peristiwa inilah, istilah kata “Israel” bersinonim dengan Yakub yang dipandang sebagai seseorang yang bergumul “melawan” Allah, yaitu pribadi yang meminta pertolongan Tuhan dan akhirnya berhasil memenangkan hati Allah.
Ada beberapa kelompok dalam umat Kristen yang menganggap bahwa orang Yahudi adalah “umat pilihan Allah”. Sampai tahap tertentu, memang itu ada benarnya sebab berkat Allah atas kelompok tersebut besar karena janji-Nya yang diberikan kepada mereka di padang gurun ketika Musa memimpinnya keluar dari Mesir. Ada ayat yang mengatakan bahwa memang orang Israel atau orang Yahudi adalah bangsa yang diberkati dan dilindungi Allah. “Bagaimanakah aku menyerapah yang tidak diserapah Allah? Bagaimanakah aku mengutuk yang tidak dikutuk TUHAN?” (Bilangan 23:8). Di saat yang sama, apabila kita membaca Ulangan Pasal 11 mengenai berkat dan kutuk yang akan diberikan kepada orang Israel, mereka memang diberikan berkat melebihi banyak bangsa, tetapi di saat yang sama, mereka juga akan ditimpa kutuk dan balasan atas dosa yang lebih keras daripada segala bangsa lainnya. Menjadi “umat pilihan Allah” berarti menjadi umat yang dibebani tanggung jawab lebih besar, dan memang itu terlihat bahwa prestasi orang-orang Yahudi sangat banyak. Akan tetapi resiko, potensi bahaya, dan kepahitan yang disebabkan kepada bangsanya sendiri maupun bangsa lain juga terhitung lebih besar daripada yang lain.
Sejarah Orang Yahudi
Dua belas suku Israel yang terkenal itu adalah suku-suku yang diturunkan dari anak-anak Yakub. Ruben melahirkan suku Ruben, Yehuda menurunkan suku Yehuda (atau Yahudi), Lewi menurunkan suku Lewi yang berperan sebagai imam, dan seterusnya. Setelah pemerintahan Salomo, terjadi pemisahan besar-besaran antara 10 suku di Israel Utara (mirip Korea Utara) dengan 2 suku di Israel Selatan (mirip Korea Selatan), yakni suku Yehuda dan Benyamin. Perpecahan tersebut terjadi oleh karena Salomo menyembah berhala. Lalu, oleh karena 10 suku di Israel Utara tidak mengalami pertobatan melainkan setiap raja yang lahir semuanya jahat di mata Tuhan, maka Tuhan mengirimkan bangsa Asiria untuk menguasai Israel Utara, mengangkut 10 suku tersebut ke wilayah lain, dan mereka hilang dalam sejarah. Hal ini terjadi pada tahun 722 sebelum Masehi.[1]
“Dalam tahun kesembilan zaman Hosea maka Raja Asyur merebut Samaria. Ia mengangkut orang-orang Israel ke Asyur ke dalam pembuangan dan menyuruh mereka tinggal di Halah, di tepi sungai Habor, yakni sungai negeri Gozan, dan di kota-kota orang Madai. Hal itu terjadi, karena orang Israel telah berdosa kepada TUHAN, Allah mereka, yang telah menuntun mereka dari tanah Mesir dari kekuasaan Firaun, Raja Mesir, dan karena mereka telah menyembah allah lain, dan telah hidup menurut adat istiadat bangsa-bangsa yang telah dihalau TUHAN dari depan orang Israel, dan menurut ketetapan yang telah dibuat raja-raja Israel.” (2 Raja-raja 17:8). Sejak itu, tidak ada lagi “12 suku Israel”, melainkan tersisa suku Yehuda dan Benyamin.
Dalam bahasa Ibrani, kata “YHD” (יְהוּדִי) dapat dibaca sebagai Yehuda atau Yahudi, dan itulah yang kita kenal sebagai suku yang tersisa dari Israel. Masih ada tokoh seperti Paulus yang merupakan orang Benyamin asli atau Zakharia yang adalah keturunan Lewi. Dalam konteks hari ini, biasanya seseorang yang merupakan keturunan Lewi akan mempunyai nama belakang sebagai “Kohen” atau “Kohanim”. Akan tetapi, mereka dikategorikan di bawah nama “Yahudi”, yaitu suku mayoritas dan representasi dari suku-suku Israel. Orang Yahudi mulai berkumpul di Yerusalem setelah masa pembuangan di Babel dan Persia yaitu seperti yang diceritakan dalam Kitab Daniel dan Esther. Kemudian, mereka mengalami persekusi di zaman Raja Yunani (Antiokus) yang merupakan salah satu pewaris kerajaan dari Iskandar Agung (Alexander the Great), dan mengalami penjajahan dan persekusi pada masa kekaisaran Romawi yaitu pada masa kepemimpinan Julius Caesar, Augustus, dan Tiberius. Pada masa kekaisaran Romawi yang dipimpin oleh Augustus itulah Tuhan Yesus lahir, dan Dia disalibkan pada masa pemerintahan Tiberius. Yesus dipandang sebagai ancaman terhadap tradisi Yudaistik, serta dihukum mati juga oleh kekaisaran Romawi karena dipandang sebagai ancaman terhadap kekuatan politik kekaisaran.
Catatan mengenai keberadaan Yesus dan kematiannya dapat dibaca dalam tulisan Tacitus dan Josephus. Sumber ekstra-biblikal dari kedua orang tersebut, yang satu adalah sejarahwan Romawi dan yang satu lagi adalah sejarahwan Yahudi, sama-sama mencatat tentang “revolusi” yang dilakukan oleh pengikut seseorang yang disebut Yesus, dan akhirnya menjadi suatu kelompok yang sangat besar. Pengikut awal kekristenan adalah orang-orang Yahudi, dari seorang zealot (die-hard Yahudi) seperti Simon Petrus, Yahudi “pengkhianat” seperti Matius, sampai Rabi Yahudi kelas tinggi yaitu Paulus. Paulus adalah murid dari Gamaliel, “Einstein” dari guru-guru Yahudi pada masa itu. Lalu, Gamaliel adalah murid dari Hillel, “Isaac Newton” dan guru mahabesar bagi orang Yahudi. Sampai hari ini, hampir semua orang Yahudi mengenal nama Hillel (Hillel the Elder). Bagi kita orang Kristen, pengenalan akan sejarah orang Yahudi berhenti pada Kisah Para Rasul, yaitu ketika banyak orang Yahudi, Samaria, orang Yunani dan Romawi mulai percaya kepada Kristus dan di situlah munculnya gereja mula-mula. Akan tetapi, kita kurang mengetahui apa yang terjadi dengan orang Yahudi yang tidak bergabung dalam sekte yang disebut sebagai “Kristen”. Seolah-olah di tengah persimpangan jalan dalam sejarah, kita mengikuti catatan Perjanjian Baru yaitu perjalanan kehidupan gerejawi, dan kurang mendalami apa yang terjadi dengan orang Yahudi yang tidak percaya kepada Yesus.
Pada tahun 70, Kaisar Vespasian memerintahkan Jenderal Titus untuk menghancurkan Bait Allah yang dibangun oleh Herodes Agung (Second Temple). Kalangan para Imam, mazhab Saduki yang merupakan sinkretisme dari tradisi Yudaisme dan Yunani-Helenis, tidak lagi mempunyai posisi kekuatan untuk bertahan dan akhirnya mazhab yang tersisa adalah Farisi, yaitu suatu mazhab Rabinik yang terdiri dari para guru-guru keagamaan. Hillel sebetulnya sudah memprediksi bahwa Bait Allah Kedua akan dihancurkan sebagaimana Tuhan Yesus juga menyebutkan bahwa “tidak ada satu batu yang akan tersisa dari Bait Allah ini.” Ketika beberapa orang berbicara tentang Bait Allah dan mengagumi bangunan itu yang dihiasi dengan batu yang indah-indah dan dengan berbagai-bagai barang persembahan, berkatalah Yesus: “Apa yang kamu lihat di situ — akan datang harinya di mana tidak ada satu batu pun akan dibiarkan terletak di atas batu yang lain; semuanya akan diruntuhkan.” ( Lukas 21:5-6 ). Batu-batu yang tersisa adalah batu-batu raksasa bagian luar yang mengelilingi Bait Allah itu, yang saat ini diketahui sebagai “Tembok Ratapan”, tempat paling suci bagi orang Yahudi. Maka dari itu, Hillel meminta beberapa kota untuk mulai membangun “sekolah-sekolah Yahudi” yang dikenal sebagai Yeshiva. Pendidikan Yahudi inilah yang menjadi kekuatan untuk melestarikan identitas Yahudi dari abad ke abad.
Perjalanan Orang Yahudi di Eropa Barat
Semenjak Yerusalem jatuh oleh karena kekaisaran Romawi, orang Yahudi kehilangan tanah asal mereka dan berpencar ke seluruh dunia. Pada umumnya, ada dua kelompok Yahudi yang cukup dominan. Yahudi Ashkenazi merupakan diaspora Yahudi yang menetap di Eropa Barat. Yahudi Sephardic adalah diaspora Yahudi yang menetap di peradaban Islam atau di luar Eropa Barat. Apabila kita mengambil sudut pandang hidup orang Yahudi, mereka merasa kehidupan yang jauh lebih nyaman di peradaban Islam daripada di peradaban Kristendom di Barat. Saat ini kita merasa bahwa kelompok “Ishmael” (Islam) dan “Ishak” (Yahudi) sedang bertempur keras di Timur Tengah sebab itu dikarenakan konflik tanah di Israel dan Palestina yang merupakan warisan konflik dari tanah yang dijajah dan dipecahkan oleh kolonialisme Inggris pada tahun 1948. Akan tetapi, sebelum semuanya itu, orang Yahudi yang tinggal di peradaban Islam mengalami kehidupan yang lebih nyaman. Mereka tentu perlu membayar “pajak” sebagai kelompok monoteis minoritas, tetapi mereka boleh mempunyai tanah, berdagang, dan bekerja sebagai guru besar di universitas-universitas Islam pada masa itu.
Di Eropa Barat, orang Yahudi dikelompokan sebagai kambing hitam. Seorang Bapa Gereja, Justin Martir pernah memberi sebuah istilah kepada orang Yahudi sebagai “Pembunuh Yesus” (Jesus Killer) atau “Pembunuh Tuhan” (Deicide). Banyak orang Kristen pada masa itu yang menyetujui pandangan ini, sebab mereka memandang kematian Yesus sebagai konsekuensi dari perkataan orang Yahudi sendiri. “Dan seluruh rakyat itu menjawab: “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Matius 27:25). Lagipula ketika kekristenan “berkawin” dengan kekaisaran Romawi pada tahun 313 saat Kaisar Konstantin bermimpi tentang simbol salib, disitulah kekristenan berubah menjadi kristendom yang melakukan balas dendam terhadap orang Yahudi. “Dulu, aku agama sesat menurut orang Yahudi, sekarang aku agama resmi dan mempunyai kekuasaan orang Romawi. Jika kamu Yahudi, pastinya kamu bukan Kristen. Jika aku Kristen, pastinya aku bukan Yahudi”. Dari situlah cikal bakal perkembangan rasisme di Eropa Barat. Bagi orang Yahudi, mereka memandang agama Kristen-non-Yahudi seperti ajaran agama Samaria, di mana seseorang menyembah kepada Tuhan dan kepada berhala yang namanya adalah “Yeshua” (Yesus). Ada juga sebutan lain bagi orang Kristen. Bagi orang Yahudi, Herodes adalah keturunan Edom, dan Herodes didukung oleh kekaisaran Romawi. Maka dari itu, orang Kristen juga dipandang sebagai “Edom” menurut tradisi Yudaistik karena orang Kristen mendapatkan dukungan kekaisaran Romawi-Kristen (Holy Roman Empire) yang kemudian menjadi kelompok yang menjajah dan menguasai orang Yahudi.
Singkat cerita, perjalanan hidup orang Yahudi semakin dipersulit di Eropa Barat. Gereja Katolik Roma melakukan Inkuisisi dan konversi paksa orang Yahudi, muncullah istilah gettho yang merupakan “kecamatan orang Yahudi”, mereka dipisahkan dari masyarakat pada umumnya. Martin Luther juga bersikap antisemitik terhadap orang Yahudi ketika dia gagal menariknya untuk masuk ke dalam agama Kristen-Protestan, sehingga dia menulis sebuah traktat The Jews and Their Lies. Dalam teologi kekristenan, juga muncul sebuah istilah replacement theology, di mana Perjanjian Baru sudah menggantikan Perjanjian Lama. Yesus menggantikan hukum Musa, anugerah menggantikan hukum, gereja menggantikan bait Allah, dan apa yang merupakan “Perjanjian Lama” sudah direvisi dan di-overwrite oleh “Perjanjian Baru”. “Tuhan sudah membuang orang Yahudi, dan Tuhan memberkati orang Kristen”, kira-kira seperti demikian. Sampai hari ini, menariknya cukup banyak teologi dalam tradisi Kristen yang kental dengan nuansa replacement theology. Orang Kristen juga lebih tertarik untuk mendalami Perjanjian Baru ketimbang Perjanjian Lama, sehingga hal-hal seperti ini yang menyebabkan kesulitan untuk melakukan penginjilan kepada orang Yahudi. “Jika orang Yahudi sudah digantikan dan dibuang Tuhan, lantas apa alasannya aku harus menginjili mereka?”
Menjadi orang Kristen pada zaman itu juga sangat dikuasai di bawah otoritarianisme gereja dan negara. Bagi banyak orang Kristen pada masa itu, mereka cenderung berpikir secara sentimental dan irasional. Dasar untuk membangun identitas sebagai “orang Kristen” bukan lagi terletak pada Injil dan pengenalan akan Kristus, melainkan digerakkan oleh oposisi terhadap “orang Yahudi” yang dipandang sebagai kelompok barbar atau “satanik”. Pada masa gereja mula-mula dan abad pertengahan, menjadi Kristen adalah menjadi “anti-Yahudi”. Kewarganegaraan sebagai anggota kekaisaran Romawi-Kristendom atau Katolik Roma adalah untuk tidak menerima ajaran Yudaistik maupun kelompoknya. Cara berpikir yang penuh takhayul inilah yang menyebabkan orang Kristen pada abad pertengahan menjadi terikat pada karikatur orang Yahudi yang tidak tepat. Jemaat gereja pada zaman itu percaya bahwa Yesus bukanlah orang Yahudi, melainkan “Kaisar Italia” seperti yang dicuplikkan oleh sistem kepausan. Ditambah pula karena orang Yahudi sangat mengalami diskriminasi, mereka tidak boleh memiliki tanah atau bekerja, maka mereka harus bekerja pada sektor perbankan (finansial) sebagai peminjam uang dengan bunga yang besar agar dapat bertahan hidup. Bahkan, sampai masuk ke dalam dunia sastra, William Shakespeare menggambarkan orang Yahudi sebagai bankir yang kejam. Di dunia sastra Eropa Barat, hal-hal seperti itu muncul dan melukiskan orang Yahudi sebagai kelompok yang jahat.
Hubungan antara orang Kristen dan orang Yahudi
Bagi banyak orang Kristen hari ini, kita akan menganggap kekristenan zaman abad pertengahan itu sangat aneh. Yesus adalah orang Yahudi, bukan kaisar Itali asal Roma. Tuhan tidak pernah meninggalkan orang Yahudi, sebab itu adalah janji-Nya bahwa suatu hari nanti Tuhan akan tetap menarik orang Yahudi. “Sebagian dari Israel telah menjadi tegar sampai jumlah yang penuh dari bangsa-bangsa lain telah masuk.” (Roma 11:25b). Ya mungkin kita bisa merasa seperti itu karena dua alasan: Pertama, kita hidup pada zaman di mana agama Kristen berkembang secara sudah lebih friendly kepada orang Yahudi. Kedua, kita bukan orang Kristen yang hidup di Eropa Barat yang sudah terbiasa bersikap antisemitik (anti-Yahudi). Hal itu menunjukkan bahwa cara membaca Alkitab yang tepat dan konteks sosial sangat amat berpengaruh terhadap lensa kita memandang orang Yahudi. Jika Allah yang sama dari Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru mengasihi orang Israel dan Yahudi, terlepas apa saja kesalahan yang mereka lakukan terhadap Allahnya dan Mesias, maka kita tetap akan mengasihi mereka sebagaimana Allah mengasihi mereka. Kedua, budaya diskriminasi merupakan sentimen yang berbahaya. Eropa Barat dibangun berdasarkan identitas ras. Ras Roma sebagai kulit putih dan pertanda kewarganegaraan terhadap ras non-kulit putih atau barbar ternyata cukup berpengaruh terhadap kehidupan sosial dan kemasyarakatan sampai hari ini. Bermula dari diskriminasi terhadap orang Yahudi, berlanjut kepada orang kulit hitam, dan sekarang juga terhadap orang yang mengenakan kerudung (Islam, Sikh, dan lainnya).
Pada abad pertengahan, orang Yahudi dibenci karena agamanya yang menolak untuk tunduk pada agama “kekaisaran” yang maha besar pada zamannya. Pada abad modern, orang Yahudi dibenci karena ekonomi dan rasnya yang berada di berbagai wilayah Eropa Barat, sehingga mereka dipandang sebagai “mata-mata” dan kapitalis serakah. Pada abad pertengahan, orang Yahudi bersikeras dengan agamanya dan mencoba untuk mempertahankan identitasnya sebagai “Yahudi = Yudaisme”. Pada abad modern, orang Yahudi mengalami asimilasi dengan mengikuti gaya hidup modern dan mulai melepaskan agama, dan menjadikan identitasnya sebagai “Yahudi = kapitalis”. Dulunya mereka tidak diizinkan bekerja sebagai petani, maka mereka menjadi kapitalis. Lalu mereka menjadi kapitalis dan itu tetap tidak diperbolehkan, sehingga mereka sulit mendapatkan posisi strategis sebagai politikus maupun akademisi di universitas. Selama ribuan tahun sejak tahun 313, orang Yahudi memiliki sebuah “nuansa” yang kurang enak didengar oleh orang Eropa Barat. Seolah-olah mereka adalah hantu yang berbahaya, kelompok barbar yang merusak tata negara, dan manusia yang mengerikan.
Itulah sebabnya Hitler sangat membenci orang Yahudi. Di tengah kehancuran Jerman dan kehancuran ekonomi pada masa Great Depression, orang Yahudi yang sudah hidup dengan sistem perbankan dapat makan. Hitler mewarisi kebencian terhadap orang Yahudi di Jerman dan merancang sebuah sistem pembersihan etnis yang menghabisi 6,5 juta orang Yahudi pada masa Perang Dunia Kedua. Perhatikan baik-baik, Holocaust yang mengerikan itu bukanlah sebuah produk dari peradaban Islam atau suatu suku terbelakang di Afrika. Akan tetapi, itu adalah sebuah produk “mesin pembunuh terbesar” dalam sejarah dunia yang diproduksi di suatu negara Protestan, yaitu Jerman, dan Hitler sendiri adalah seorang pengikut Katolik Roma dan Paus pada zaman itu tidak memberikan deklarasi keras untuk mengekskomunikasikan Hitler. Terlepas ideologi Nazi Jerman menentang kekristenan atau tidak, faktanya sejarah gereja dan peradaban modern di negara-negara Kristen, bahkan tanpa adanya Nazi sekalipun, sudah mempunyai sejarah antisemitik yang mendalam. Ketika seseorang sudah terbiasa “menjadi Kristen” dan memilih menjadi jahat, bisa jadi dia adalah orang yang paling jahat, sebab dia menolak untuk mengikuti hukum anugerah Allah.
Sampai hari ini, orang Yahudi yang religius maupun sekuler mempunyai kebencian yang sangat mendalam terhadap “Yesus”, “Kristen”, “Gereja”, dan lain sebagainya. Di negara Israel hari ini, tidak ada Perjanjian Baru yang disediakan untuk dibeli di toko buku. Persentase orang Yahudi yang percaya kepada Yesus (Messianic Jews) sangat amat kecil. Pada tahun 1948 ketika negara Israel didirikan, hanya terdapat 23 Yahudi Mesianik. Pada hari ini, di tengah 9 juta orang Israel, hanya 0,3% yang adalah Jewish-Believers in Jesus.[2] Bukankah Injil lahir dari negeri ini? Bukankah Yesus lahir dan hidup di tempat itu?[3] Berdasarkan data tersebut, kita mendapatkan sebuah kesan bahwa Israel, yaitu negara Yahudi di Timur Tengah, merupakan sebuah bangsa-negara yang bersikap “Anti-Yesus”. Bagi kelompok Yahudi Ortodoks, seorang Muslim adalah “saudara beda suku dan bahasa” yang menyembah Tuhan yang sama. Sebaliknya, seorang Kristen, bagi mereka, adalah seperti “agama Mormon yang melahirkan nabi palsu yang disembah sebagai Tuhan”. Sebagaimana banyak orang Kristen membenci Mormon karena “keanehan doktrin-doktrin”, demikian juga orang Yahudi membenci orang Kristen-Samaria yang satu ini sebab menyembah manusia sebagai Tuhan, membuat Kitab sesat (Perjanjian Baru), dan menghancurkan hukum-hukum Allah (Perjanjian Lama).
Dan tidak salah juga, banyak hal yang dilakukan oleh orang Kristen dan gereja yang jahat terhadap orang Yahudi justru menjadi batu sandungan. Ketika ada kereta-kereta yang mengangkut orang Yahudi ke kamp konsentrasi, dan orang Yahudi di situ berteriak, jemaat gereja bernyanyi semakin kencang agar mereka tidak mendengar suara teriakan itu. Gereja berdiam. Akhirnya, gereja dan orang Kristen seperti demikian malah tidak dipakai oleh Tuhan, dan di mana ada diskriminasi keras terhadap orang Yahudi, di situ gereja mengalami penurunan dan pelemahan iman oleh karena kesombongan. “Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah, janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu. Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di antaranya sebagai tunas. Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah! Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu.” (Roma 11:17-21)
Sekarang, teologi Yudaisme pasca Holocaust juga mengalami berbagai modifikasi terhadap makna “mesias” yang dinantikan itu. Ada yang menafsirkannya bahwa yang dimaksud dengan “mesias” itu adalah orang Yahudi sendiri yang telah menanggung banyak penderitaan seperti yang dikisahkan dalam Yesaya 53. Mesias yang akan datang itu memang akan datang di akhirat, yaitu ketika orang Yahudi sudah memenuhi seluruh Hukum Taurat atau menolak seluruh Hukum Taurat. Namun, pada saat ini, orang Yahudi mempunyai teologi yang berkata bahwa mereka berperan untuk turut memperbaiki dunia (tikkun olam) dengan menjadi berkat sekaligus mengalami penderitaan di tengah dunia. Ketika bangsa Yahudi memandang dirinya sebagai “mesias” yang dilukai oleh kelompok yang mengaku mempunyai “mesias Yesus”, mereka justru akan mempertanyakan mengapa mereka harus bertobat dan menerima Yesus sebagai Mesias. “Bukankah Yesusmu datang ke dunia untuk menyelamatkan umat manusia dan membawa damai, lalu mengapa penderitaan orang Yahudi menjadi lebih besar, dan penderitaan kami disebabkan oleh gerejamu yang mengaku percaya Yesus sebagai mesias dan penyelamat dunia itu?”
Negara Israel dan Zionisme
Semenjak terjadinya Holocaust, orang Yahudi terpikir untuk mempunyai sebuah tanah sendiri di Timur Tengah agar tidak lagi mengalami diskriminasi sosial seperti yang terjadi di Eropa Barat. Maka dari itu, ada sekelompok orang Yahudi sekuler memikirkan untuk bermigrasi dan mendirikan negara sendiri. Zionisme adalah sebuah ideologi yang dirancang oleh Theodor Herzl pada tahun 1897-1917 (sebelum Holocaust) dan semakin menjadi sebuah ideologi yang trendy semenjak Hitler kalah dalam Perang Dunia Kedua. Orang-orang Yahudi berbondong-bondong ke Palestina, tanah yang dikuasai oleh Inggris setelah dikalahkannya kerajaan Ottoman, dan di situ mereka diterima baik sebagai pengungsi ketika melarikan diri dari Hitler. Ada kelompok Yahudi yang sudah lama tinggal bersama masyarakat Muslim di Palestina. Ada kelompok Yahudi yang menjadi pengungsi. Ada juga kelompok Yahudi yang menjadi penjajah atau Zionist yang nantinya mengambil jatah tanah yang diberikan oleh Inggris untuk mendirikan negara Israel di wilayah Palestina. Akhirnya, kelompok Zionist ini melakukan “pengusiran etnis” (Nakbah) dari tanah yang mereka kuasai dengan dalil bahwa mereka sudah mendapatkan “surat tanah” dari Inggris, sedangkan warga Palestina merasa sangat dikhianati oleh Inggris ketika mereka mengharapkan kembalinya kondisi yang damai dan tentram pada zaman kerajaan Ottoman.
Negara Israel yang dipimpin oleh Yahudi-Sekuler-Konservatif (kanan) bagaikan “Orde Baru Yahudi-nesia”. Kekuatan militer dan perkembangan politik-ekonomi yang kuat menjadikan mereka negara kecil yang tangguh. Akan tetapi, sebetulnya di situ juga banyak orang Yahudi yang tidak setuju dengan kebijakan dari Zionist. Kelompok Zionist ini cukup berseberangan dengan kelompok Yahudi-Ortodoks (Farisi). Bagi Yahudi-Ortodoks, doktrin agama mengajarkan bahwa bangsa Yahudi akan kembali ke Tanah Perjanjian ketika sang mesias memimpin mereka ke sana dengan damai. Jadi tidak akan ada peperangan dengan Palestina atau bangsa Arab seperti yang terjadi saat ini. Maka dari itu, bagi kelompok Yahudi Ortodoks, apa yang dilakukan oleh Yahudi Zionist adalah sebuah kejahatan. Namun, tetap perlu dicatat ada juga Yahudi Ortodoks yang mendukung Zionisme di mana mereka akhirnya dapat kembali ke Israel, tanah leluhur mereka.
Ada juga orang Yahudi-Liberal (kiri) yang mengkritik keras kepemimpinan Zionist tersebut. Ketika negara Israel dan Palestina “ribut-ributan” mengenai persoalan kebijakan dua negara (dual state policy) untuk mendamaikan dua sisi, kelompok Yahudi ini yang berargumen bahwa apa yang dilakukan oleh Zionist bukanlah untuk mencapai kedamaian tersebut. Sebaliknya, mereka berupaya untuk membangun three-class solution (solusi tiga kelas) di negara Israel yang mengokupasi seluruh wilayah Palestina: Orang Yahudi Zionist sebagai yang “kelas pertama”, orang non-Yahudi yang tinggal di Israel yang pro-Zionist sebagai “kelas kedua”, dan orang non-Yahudi dan non-Zionist sebagai “kelas ketiga”. Kritik terhadap pemerintahan “Orde Baru Israel” akan menimbulkan represi yang keras.
Seandainya kita melihat adanya orang Kristen dari berbagai dunia dan khususnya Amerika yang sangat “pro-Israel”, para Zionist akan memberikan “apresiasi”. Sekali lagi, perlu dicatat bahwa Zionist tidak sungguh-sungguh menghormati kekristenan sebagai sebuah agama, sebab Kristofobia cukup membekas dalam benak kultural. Ibaratnya, “Kristen adalah agama Hitler”. Apresiasi yang diberikan terhadap orang Kristen adalah untuk kepentingan kapitalisme dan hubungan transaksional. Ujung-ujungnya duit. Amerika dan berbagai negara Kristen-Katolik di dunia mengirimkan pendatang (tourist) untuk melakukan ziarah ke Israel. Akan tetapi, setiba di sana, orang Kristen dipandang sebagai “orang Samaria” seperti pada zaman Tuhan Yesus atau “orang Mormon” yang sesat seperti di mata kita. Simbol salib atau simbol keagamaan Kristen tidak boleh ditampilkan di tanah Israel. Kristofobia, yaitu ketakutan dan kebencian terhadap orang Kristen, dapat dirasakan paling kuat di Israel. Sebaliknya, orang Kristen telah “cinta buta” (blind love) dalam melakukan idealisasi dan memandang Israel dan orang Yahudi dengan cara pandang seperti demikian.
Di saat yang sama, Israel sebagai sebuah negara sekuler telah melakukan banyak hal yang melanggar hukum Yudaistik itu sendiri. Andai kata, Israel hari ini sudah berdamai dengan Palestina, tidak bersikap anti terhadap ras maupun agama lain, Israel sudah melakukan hal-hal yang cukup membahayakan. Di antaranya adalah gerakan LGBT yang paling kental di dunia, itu bukan terjadi di Amerika maupun Australia, melainkan di Israel. Jadi bangsa satu ini yang telah menjadi negara sekuler, cukup memberikan sebuah gambaran yang sangat membingungkan, bukan hanya kepada orang Kristen maupun kepada warga Palestina dan warga negara Arab di sekitarnya, tetapi juga terhadap orang Yahudi itu sendiri. Lifestyle dan gaya hidup konsumeris di Israel melebihi yang terjadi di Amerika maupun negara Barat lainnya. Saat orang Yahudi berada di bawah kekaisaran Katolik Roma, mereka mencoba sekuat tenaga untuk menjadi Yudaistik. Saat mereka mendapatkan tanah di Israel, mereka langsung berubah menjadi lebih sekuler daripada negara lain.
Siapakah “Orang Israel” yang sesungguhnya?
Setelah kita mempelajari secara ringkas mengenai sejarah orang Yahudi dan penderitaan mereka yang disebabkan oleh orang gereja, kira-kira apa sikap dan reaksi yang harus diberikan? Mari berandai bahwa pada saat ini ada orang Yahudi yang duduk di depan Anda, dan mereka meminta pertanggungjawaban, dan kita harus mewartakan Injil bahwa Mesias mati dan bangkit, dan Yesus mengasihinya. Di saat yang sama, ada juga rasa bersalah dan beban tanggung jawab yang dimiliki oleh orang Kristen atas kesalahan gereja. Kesalahan itu bukan sekadar gereja secara organisatoris, tetapi juga kesalahan yang dilakukan oleh bapak-bapak gereja seperti Justin Martir dan Agustinus, tokoh-tokoh gereja seperti Thomas Aquinas dan Martin Luther, dan sistem teologi yang kita anut hari ini yang cenderung kuat dengan replacement theology.
Mungkin ada di antara kita yang berkata, “tetapi aku bukan orang Kristen dan gereja di Eropa Barat yang melakukan persekusi terhadap orang Yahudi”. Ada juga di antara kalangan Reformed yang bisa berkata, “tetapi teologi Calvin sangat mementingkan konsep perjanjian dari era Perjanjian Lama, maka sistem teologi kita paling friendly dengan Yudaisme”. Dan masih bisa banyak alasan lain yang dikeluarkan untuk “menangkis” fakta sejarah yang mengerikan, yaitu ternyata kejahatan terbesar yang terjadi di dunia bukan dilakukan oleh orang Yahudi yang dipandang sebagai “monster” oleh gereja, melainkan kejahatan juga dilakukan oleh gereja itu sendiri. Bagi saya, agama yang paling berbahaya adalah agama Kristen secara organisasi dan substansi. Pertama, gereja mempunyai kapasitas birokrasinya yang besar sehingga dapat melakukan kekerasan yang masif, sistematis, dan terorganisir dan lebih canggih daripada terorisme dalam agama Timur Tengah yang lain. Kedua, ketika orang Kristen sudah terbiasa mendengar kisah “Yesus”, anugerah, dan keselamatan, tapi tetap tidak bertobat menjadi lebih kudus, itu berarti orang Kristen bisa jadi lebih jahat daripada yang non-Kristen.
“Jikalau roti sulung adalah kudus, maka seluruh adonan juga kudus, dan jikalau akar adalah kudus, maka cabang-cabang juga kudus. Karena itu apabila beberapa cabang telah dipatahkan dan kamu sebagai tunas liar telah dicangkokkan di antaranya dan turut mendapat bagian dalam akar pohon zaitun yang penuh getah, janganlah kamu bermegah terhadap cabang-cabang itu! Jikalau kamu bermegah, ingatlah, bahwa bukan kamu yang menopang akar itu, melainkan akar itu yang menopang kamu. Mungkin kamu akan berkata: ada cabang-cabang yang dipatahkan, supaya aku dicangkokkan di antaranya sebagai tunas. Baiklah! Mereka dipatahkan karena ketidakpercayaan mereka, dan kamu tegak tercacak karena iman. Janganlah kamu sombong, tetapi takutlah! Sebab kalau Allah tidak menyayangkan cabang-cabang asli, Ia juga tidak akan menyayangkan kamu. Sebab itu perhatikanlah kemurahan Allah dan juga kekerasan-Nya, yaitu kekerasan atas orang-orang yang telah jatuh, tetapi atas kamu kemurahan-Nya, yaitu jika kamu tetap dalam kemurahan-Nya; jika tidak, kamu pun akan dipotong juga.” (Roma 11:16-22)
Maka dari itu, kita perlu memahami bahwa definisi “Israel” sebagai umat Allah tidak dapat disempitkan pada permasalahan ras atau suatu kelompok organisasi keagamaan. Bukan karena Paulus adalah “ras Yahudi” maka dia diselamatkan, melainkan karena anugerah Tuhan. Bukan karena pengikut Kristus adalah warga negara kekaisaran “gereja” menurut denominasinya, maka dia diselamakatan, melainkan karena anugerah Tuhan. Konsep anugerah seharusnya membuat kita rendah hati dan mampu melihat anugerah Allah yang mengalir kepada orang lain yang berbeda, bahkan yang dipandang sebagai “pembunuh Yesus”, “pembunuh Tuhan”, dan yang melakukan persekusi terhadap orang Kristen. Sebab dosa-dosa kitalah yang membunuh Tuhan Yesus, entah itu orang Yahudi maupun non-Yahudi, dan terhadap musuh yang menganiaya kita seharusnya kita berdoa baginya dan mengasihinya sebagaimana yang diteladani oleh Tuhan Yesus.
“Akan tetapi firman Allah tidak mungkin gagal. Sebab tidak semua orang yang berasal dari Israel adalah orang Israel, dan juga tidak semua yang terhitung keturunan Abraham adalah anak Abraham, tetapi: “Yang berasal dari Ishak yang akan disebut keturunanmu.” Artinya: bukan anak-anak menurut daging adalah anak-anak Allah, tetapi anak-anak perjanjian yang disebut keturunan yang benar. (Roma 9:6-8)
Tuhan Yesus adalah keturunan yang dijanjikan Allah kepada Abraham, dan melalui-Nya banyak bangsa akan mendapatkan berkat keselamatan. Bukan orang Yahudi yang adalah keturunan Abraham, Ishak, dan Yakub yang pasti selamat. Sebab banyak cerita dalam Alkitab di mana Allah menghukum orang Israel dan menghapuskan nama-namanya dari Kitab-Nya (orang Israel yang menyembah lembu emas). Sebaliknya, ada juga kisah dalam Alkitab di mana orang dari bangsa asing yang percaya kepada Allah, dan bahkan, keturunannya dipakai menjadi garis leluhur bagi kelahiran Mesias (Rahab dan Rut). Janji Allah menunjukkan bahwa Tuhan memang memakai orang Yahudi untuk mewartakan berita keselamatan melalui Yesus sang Mesias. Namun, berhubungan dengan Allah sebagai “TUHAN-ku” (YHWH) hanyalah mungkin di dalam YH-Shua (Yesus), yaitu bukan berdasarkan keturunan daging, tetapi di dalam Roh Allah dan Kebenaran yang membebaskan kita dari dosa.
“Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. Allah itu Roh dan barangsiapa menyembah Dia, harus menyembah-Nya dalam roh dan kebenaran.” (Yohanes 4:22-24)
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat
Referensi
Buku
Bauman, Zygmunt. 1989. Modernity and the Holocaust. Polity Press.
Buber, Martin. 2005. A Land of Two Peoples: Martin Buber on Jews and Arabs. University of Chicago Press
Website
https://www.pewresearch.org/religion/2016/03/08/israels-religiously-divided-society
Eitan Bar. Why Jews Don’t Believe in Jesus. https://www.youtube.com/watch?v=57etWKMMbOg&t=216s
David Solomon. The Whole Jewish History in One Hour
Video-Video dari One for Israel
[1] Josephus, The Antiquities of the Jews, Book 11 chapter 1
[2] https://www.youtube.com/watch?v=57etWKMMbOg&t=216s
[3] https://www.oneforisrael.org/bible-based-teaching-from-israel/findings-of-new-research-on-the-messianic-movement-in-israel/