Siang itu, seperti biasa saya sedang termenung di depan laptop, memutar otak karena sedang buntu dengan urusan pekerjaan. Namun tiba-tiba konsentrasi segera terpecah ketika saya melihat semut-semut sedang berlarian kian kemari menuju sebuah tempat di dekat kaki saya. Wah! Ternyata remah-remah roti sisa sarapan tadi pagi masih berserakan di lantai karena saya tidak menyapu dengan lebih teliti. Alhasil, semut-semut ini dengan bahagianya datang satu per satu, bergantian, dan masing-masing segera bekerja sebagai humas demi mengabarkan berita sukacita ini. Dan tanpa ragu-ragu, mereka pun terlihat sedang membagi-bagikan remah-remah roti tersebut sesuai dengan keperluan masing-masing.
Hmm… asingkah dengan kalimat terakhir di atas? Ya, saya pun segera memikirkan tentang cara hidup jemaat mula-mula yang senang bersekutu, bersatu, segala kepunyaan menjadi milik bersama. Bahkan ada dari mereka yang menjual harta miliknya, lalu membagi-bagikannya sesuai dengan keperluan masing-masing. Hal macam ini sepertinya lebih mudah saya lihat dari kehidupan persekutuan semut-semut daripada kehidupan persekutuan gereja masa kini.
Hal yang tidak seharusnya terjadi ini membuat saya bertanya: Bersekutu? Apa sih arti istilah ini? Kamus Bahasa Indonesia memberikan beberapa arti untuk istilah ini, antara lain: berekanan, berkawanan, menggabungkan diri, berserikat, berkomplot, bersekongkol. Namun uniknya, kamus yang menjadi acuan saya tersebut memberikan contoh kalimat yang sangat penting untuk kata tersebut, yaitu: “manusia adalah makhluk yang bersekutu.”
Nah, melihat pengertian dan contoh kalimat yang diberikan bapak-ibu ahli bahasa kita, kita menjadi tahu bahwa bersekutu bukanlah istilah yang dimiliki oleh semua makhluk di muka bumi ini, melainkan secara khusus selalu terikat dengan manusia sebagai subjeknya. Dengan demikian kita tidak dapat menyebut binatang-binatang “bersekutu” melainkan “bergerombol”.
Semut-semut di daratan bergerombol, bahkan ada gerombolan burung di angkasa terbang menari-nari. Dalam langit jingga di sore hari, gerombolan burung ini membentuk pola fenomena Black Sun yang indah dan menakjubkan. Kumpulan burung ini tentulah bukan terbang dengan tiada arah, melainkan terbang mengikuti pemimpinnya dan mereka bergerombol untuk saling menjaga dari predator.
Jika kita terjun ke dalam air Sungai Amazon, kita akan segera menemui segerombolan ikan piranha yang sedang menghabisi mangsanya. Dengan gigi-giginya yang tajam mereka mencabik-cabik mangsanya dengan tiada ampun, hanya menyisakan tulang-belulang yang akhirnya langsung terkubur kembali ke bumi di dasar sungai. Uniknya, sebuah hasil penelitian memastikan bahwa perilaku piranha yang bergerombol tersebut bukanlah strategi menyerang secara berkoalisi, melainkan muncul sebagai bentuk pertahanan terhadap predator. Sebab, piranha merupakan salah satu mangsa lumba-lumba air tawar dan ikan berbadan besar lainnya. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa ikan-ikan yang sedang dalam fase reproduksi akan dilindungi di bagian tengah gerombolan. Maka, banyak sedikitnya jumlah ikan yang bergerombol juga menunjukkan seberapa besar ancaman yang mereka hadapi.
Nah, setelah mempelajari alasan para binatang-binatang itu bergerombol, saya teringat akan kehidupan kampus yang seringkali memakai alasan serupa demi mengajak mahasiswa yang beragama Kristen untuk ikut dalam persekutuan. Yah... kurang lebih sama dengan alasan para binatang tadi deh. Dalam kehidupan kampus, di mana orang-orang dari berbagai pelosok daerah berdatangan, dengan warna kulit yang beragam dan jenis rambut yang berbeda-beda, mereka membawa bahasa daerahnya masing-masing, dilengkapi dengan logatnya yang berbeda satu dengan yang lain, bahkan dengan agama yang beragam pula. Maka, persekutuan mahasiswa Kristen hadir menjadi tempat perlindungan bagi mahasiswa Kristen yang biasanya merupakan kelompok minoritas. Sehingga persekutuan ini bertujuan menggalang massa sebanyak mungkin atau untuk memperbanyak pasukan sehingga tetap kuat menghadapi tantangan dari kelompok mahasiswa dengan ideologi lain. Atau bahkan di gereja pun alasan mengapa kita sebagai pemuda harus ikut persekutuan pemuda adalah demi bekal pemuda sebelum terjun ke masyarakat, dan menjadi kumpulan pemuda yang hidup bergerombol memperkuat diri dari ancaman dunia berdosa ini. Hmm… apa benar alasan inilah yang seharusnya menjadi dasar mengapa pemuda di gereja harus ikut persekutuan pemuda?
Atau bahkan sebenarnya jika kita memikirkan lebih jauh, persekutuan pemuda kita hanyalah tempat untuk kita bernyanyi bersama, mendengarkan khotbah bersama, saling berbagi cerita, kadang makan bersama, kadang jalan-jalan bersama sambil menanti datangnya waktu kita hengkang dari persekutuan tersebut, entah saatnya kita menikah, mempunyai anak, atau dipindahtugaskan atau sekadar dipanggil orang tua balik ke kampung halaman. Jikalau alasannya seperti ini, maka persekutuan pemuda kita tidaklah berbeda dengan perkumpulan-perkumpulan di luar gereja yang bahkan kegiatannya jauh lebih menarik.
Ada klub pengendara sepeda, klub pecinta alam, sampai klub pecinta wisata kuliner. Dan klub ini menampung semangat jiwa kreativitas pemuda sehingga pada akhirnya mereka akan menghabiskan waktu bersama, bersepeda bersama, mendaki gunung bersama, makan-makan bersama. Semua dilakukan bersama-sama dan pada akhirnya persahabatan mereka adalah perkumpulan yang doing something together. Maka, jika kita berani jujur, jangan-jangan alasan kita melakukan kegiatan bersama-sama ini lebih dangkal daripada segerombolan semut dan piranha yang mungkin memiliki alasan yang lebih masuk akal daripada yang seringkali kita kerjakan. Atau, seperti gerombolan burung yang melayang-layang di udara mengikuti pemimpin mereka, demikianlah kita pun melayang-layang, bergerombol mengikuti ilah zaman ini.
Kita tidak lagi bersekutu secara benar dengan pemuda lain di dalam gereja Tuhan karena kita telah melupakan ikatan perjanjian kita dengan Pencipta langit dan bumi ini. Perjanjian yang menyatakan identitas kita sebagai umat-Nya sehingga dengan konsekuensi logis menempatkan-Nya sebagai Allah kita. Perjanjian ini sudah berusia ribuan tahun, dan pertama kali Allah ucapkan kepada seorang Abraham yang akhirnya berkembang menjadi sebuah bangsa. Dan ketika mereka berada di dalam penganiayaan, Allah kembali memanggil mereka dan mengingatkan mereka bahwa Ia tidak pernah melupakan perjanjian yang pernah dibuat-Nya. Sekelompok umat yang kecil, tegar tengkuk, dan tidak tahu mengucap syukur, namun akhirnya Tuhan angkat mereka untuk mengadakan perjanjian kekal dengan mereka.
Mereka inilah yang kemudian di dalam Perjanjian Baru diberikan nama sebagai Gereja, yaitu mereka yang dikuduskan dalam Kristus Yesus dan dipanggil menjadi orang-orang kudus. Yaitu semua orang di segala tempat, yang berseru kepada nama Tuhan kita Yesus Kristus, yaitu Tuhan mereka, yang juga adalah Tuhan kita. Maka kepada sekelompok umat ini tidak pernah Allah perintahkan untuk melakukan rutinitas bersama-sama, atau mengerjakan event bersama-sama yang sebenarnya ujung-ujungnya pun hanya doing something together. Melainkan kepada umat yang sudah Allah khususkan dan ikat perjanjian ini, Allah memberikan hak istimewa yaitu mengenal Allah yang telah memilih mereka sebelum dunia dijadikan.
Itu sebabnya ketika Tuhan mengutus Musa, Ia memerintahkan Musa untuk mengatakan hal ini kepada bangsa Israel, “Akulah TUHAN, Aku akan membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir, melepaskan kamu dari perbudakan mereka dan menebus kamu dengan tangan yang teracung, dan dengan hukuman-hukuman yang berat. Aku akan mengangkat kamu menjadi umat-Ku, dan Aku akan menjadi Allah-Mu, supaya kamu mengetahui, bahwa Akulah, TUHAN, Allahmu, yang membebaskan kamu dari kerja paksa orang Mesir”.
Tujuan Allah yang lebih langsung dalam mengikatkan perjanjian ini bukan supaya bangsa lain takut kepada-Nya, melainkan secara istimewa perjanjian ini diberikan demi bangsa Israel mengenal diri-Nya dan bukan yang lain. Maka, inilah identitas Gereja yang sebenarnya, yaitu sebagai umat yang sudah mencicipi hidup yang kekal itu, yaitu mereka yang mengenal Allah sebagai satu-satunya Allah yang benar, dan mengenal Yesus Kristus yang diutus-Nya.
Akan tetapi, sudahkah Gereja mengenal Allah dan Yesus Kristus? Sadarkah kita bahwa orang yang selalu bersama-sama dengan kita, yang selalu kita habiskan waktu bersama itu bukan selalu saudara kita. Melainkan sangatlah mungkin, saudara kita justru adalah orang yang secara fisik ribuan mil jauhnya dengan kita. Pernahkah kita sebagai Gereja Tuhan sadar bahwa kita sedang didoakan oleh para misionaris atau hamba Tuhan yang tidak pernah kita kenal, ketika mereka mendengar tentang penganiayaan Gereja Tuhan di Indonesia. Maka sesungguhnya dengan mereka yang jauh inilah kita bersaudara. Dan seperti yang Tuhan Yesus katakan, bahwa ibu-Nya, saudara-Nya lelaki dan perempuan tidak lain adalah siapa pun yang melakukan kehendak Bapa-Nya di sorga. Maka sadarkah kita jikalau kita sebagai Gereja Tuhan dipersatukan dengan semua orang dari segala tempat ketika kita bersama-sama berjuang menjadikan kehendak-Nya jadi di atas muka bumi ini seperti di dalam sorga? Dan bukankah persatuan yang tidak dibatasi tempat dan waktu ini merupakan sesuatu yang menakjubkan?
Bahkan sebenarnya persatuan ini tidaklah terjalin antar Gereja Tuhan di seluruh bumi saja, melainkan persatuan antara tubuh Kristus dengan Kristus sendiri. Itu sebabnya ketika Gereja yang dianiaya, Kristus yang adalah Kepala Gereja pun merasa menderita. Ketika Saulus dipertemukan dengan Kristus, Kristus bertanya, “Saulus, Saulus mengapakah engkau menganiaya Aku?” Padahal saat itu kita tahu jelas bahwa Saulus tidaklah sedang menganiaya Kristus. Kristus sudah naik ke sorga, tetapi Gereja Tuhan saat itu sedang dianiaya oleh Saulus. Maka saat itu pulalah Allah membela umat-Nya sekali lagi, dengan membutakan si predator Saulus dan mempertobatkannya menjadi sang apologet ulung. Maka sesuai dengan apa yang kemudian Paulus katakan di surat Roma yaitu kepada gereja, umat pilihan yang dikasihi-Nya, yang telah diberikan Anak-Nya sendiri untuk mati. Bahkan Anak-Nya yang telah bangkit itu, duduk di sebelah kanan Allah adalah pembela kita sehingga tidak ada yang dapat memisahkan kita dari kasih Kristus. Inilah identitas Gereja.
Jikalau burung pun tahu bahwa mereka harus memiliki pemimpin yang kepakan sayapnya senantiasa mereka ikuti, mengapa manusia cenderung menyangkal bahwa keberadaannya harus mengikuti Allah Pencipta mereka? Maka, jika titik awal ini sudah kita bereskan, tentunya kita juga mengerti bahwa tuntutan untuk bersekutu bukanlah muncul dari diri yang berespons pada ancaman bahaya dari luar, melainkan pada panggilan Sang Kepala supaya seluruh anggota tubuhnya bersatu, bersekutu, dan bekerja dengan sinergis. Dan jika kita terus sadar bahwa kita adalah bagian dalam tubuh Kristus, melihat identitas kita sebagai Gereja Tuhan di zaman ini, dan berada di bawah visi yang Tuhan berikan kepada hamba-Nya Pdt. Dr. Stephen Tong pada zaman ini, tentulah kita tidak akan kehilangan arah.
Pemuda di dalam konteks Gerakan Reformed Injili merupakan suatu komunitas yang vital. Seluruh masa depan dari gerakan ini diletakkan pada punggung seluruh pemuda yang berada dalam gerakan ini. Maka, mari sebagai pemuda yang mengenal identitas sebagai Gereja di dalam gerakan yang Tuhan anugerahkan pada zaman ini, biarlah kita terus menjadi persekutuan pemuda yang terus menantang zaman, bukan hanya menjadi segerombolan orang terus ditelan oleh pengaruh zaman.
Rebecca Puspa Sari
Pemudi GRII Pusat
Referensi:
http://kamusbahasaindonesia.org/bersekutu#ixzz1SwSCX1vy
http://id.shvoong.com/society-and-news/environment/2058003-fenomena-alam-matahari-hitam-black/#ixzz1SvoJiaWg