Bagi Jonathan Edwards, mengenal Allah bukan menjadi suatu tanda yang menjamin bahwa seseorang adalah Kristen sejati. Dia mengatakan bahwa setan pun tahu bahwa Allah ada, dan setan gemetar mendengar nama-Nya, dia telah mengenal Allah jauh sebelum manusia diciptakan, dia lebih tahu tentang apa yang Allah dapat lakukan, apa yang Allah ketahui dan kebesaran-Nya. Dalam bagian awal surat Roma 1:21 dikatakan bahwa “sebab sekalipun mereka mengenal[1] Allah, mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah atau mengucapkan syukur kepada-Nya…”. Ayat ini menunjukkan bahwa ada orang-orang yang mengenal Allah. Mungkin mereka yang mengaku Kristen adalah orang-orang yang sangat rajin dalam pelayanan, namun mereka tidak memuliakan Dia sebagai Allah. Mungkin mereka melayani agar tidak terlihat sebagai orang yang malas. Pelayanan dianggap sebagai suatu harga yang harus dibayar demi menjaga image mereka di hadapan jemaat lainnya, atau bahkan menggunakan hal ini untuk menaikkan derajat mereka di mata jemaat lainnya. Ada banyak orang semacam ini di gereja tentunya, mereka dibiarkan untuk tetap di gereja supaya jangan “gandum itu ikut tercabut pada waktu kamu mencabut lalang itu”[2]. Meskipun mirip, lalang dan gandum masih tetap dapat dipisahkan. Bagi Edwards, hal terpenting yang menjadi pembeda antara orang Kristen sejati dengan yang bukan adalah satu hal ini, yaitu apakah orang itu terus mencari kesukaan Allah dan melakukannya? Ataukah dia melakukan sesuatu karena tertekan oleh peraturan? Jikalau kita telah membaca Alkitab dan tetap tidak melakukannya, maka jelas bahwa kita tidak suka terhadap Allah, karena perkataan-Nya sebenarnya tidak kita inginkan. Prinsip yang kita dapat dari pembacaan dan perenungan Alkitab ini mungkin sulit untuk kita lakukan, karena kita masih hidup di dalam dunia yang berdosa, di mana kedagingan kita terus mengusik dan mengganggu kita untuk tidak terus mendekat kepada Allah. Tetapi, orang Puritan benar-benar menghidupi apa yang dikatakan oleh Mazmur 119:9, “Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.” Inilah pergumulan orang Puritan, yaitu menghidupi prinsip Alkitab yang mereka dapat dari Alkitab dan hidup sesuai dengan prinsip tersebut sambil melihat kepada Kristus yang telah memampukan mereka dalam segala hal. Mereka adalah orang-orang yang benar-benar sadar bahwa mereka sedang di dalam peperangan rohani dan mereka harus menjaga spiritualitas mereka dalam kondisi yang prima, agar mereka tidak jatuh dalam jerat dan perangkap setan. Mereka bukan hanya menekankan pada pembelajaran mereka akan Alkitab, tetapi juga pada hidup mereka. Sangat salah jika kita berpikir bahwa orang Puritan tidak mementingkan pembelajaran. Sebagai contoh, John Owen merupakan seseorang yang sangat rohani tetapi dia menuliskan bukunya dalam bahasa Latin, di mana pada saat itu seluruh hal yang berhubungan dengan hal-hal akademis dituliskan dalam bahasa Latin. Seluruh pergumulan mereka ini menjadi suatu harta karun yang sudah terlupakan oleh gereja pada zaman setelah mereka, yakni zaman kita sekarang ini. Tuhan telah memberikan warisan yang begitu indah kepada kita di dalam pergumulan orang Puritan di masa lalu, maka sepatutnya kita kembali menggali warisan yang begitu berharga ini untuk membantu kita hidup di hadapan Allah.
Who were the Puritans?
Puritanisme adalah sebuah gerakan yang muncul pada abad 16-17.Mereka adalah orang-orang yang mengharapkan reformasi yang lebih radikal terhadap dan oleh Church of England. Mereka sangat tidak puas terhadap apa yang berlangsung di Inggris. Ketika Ratu Elizabeth naik takhta, Ratu Elizabeth yang adalah orang Katolik ini kembali memasukkan unsur-unsur Katolik dalam ibadah gereja di Inggris pada saat itu. Banyak dari mereka melarikan diri dari Inggris dan memisahkan diri mereka dari Church of England dan pergi ke Amerika yang saat itu dikenal dengan nama New England. Sangat sulit bagi sejarawan gereja untuk mendefinisikan puritanisme. Ada yang mengatakan bahwa puritanisme adalah keragaman dari reformasi protestan yang lebih dekat dengan gereja-gereja Calvinis ketimbang Lutheran[3]. Meskipun sebagian besar orang Puritan adalah orang-orang yang lebih dekat kepada tradisi Calvinis, perlu diingat bahwa tidak semua orang Puritan adalah Calvinis. Contohnya Richard Baxter, Puritan terkenal yang menuliskan buku yang berjudul “The Reformed Pastor” ini bukanlah seorang Calvinis. Baxter dan John Owen mempunyai perbedaan pendapat mengenai Canons of Dort[4]. Mereka menekankan pada kehidupan yang sangat saleh dan percaya bahwa perubahan dimulai dari cara kita beribadah. Maka kita akan melihat nanti bagaimana mereka menekankan pada Family Worship yang sudah hilang pada saat ini.
What can we learn from them?
Pembenaran (justification) dan pengudusan (sanctification) merupakan dua sisi dari koin yang sama. John Calvin pernah mengungkapkan bahwa jikalau di dalam hidup seorang Kristen tidak telihat terjadinya pengudusan, maka pembenarannya (justification) sangat mungkin dipertanyakan. Begitu juga halnya dengan pembelajaran doktrin mereka. Orang Puritan percaya bahwa pembelajaran mereka akan doktrin ini harus menarik mereka untuk mengenal Kristus dan makin serupa dengan-Nya dan keserupaan ini ditunjukkan dalam perbuatan hidup mereka yang semakin menyerupai Kristus. “Theology is the science of living unto God” atau “Theology is the science of living before God”[5], begitulah menurut William Ames seorang Puritan yang cukup besar pada masa awal abad ke-16 yang ia tulis di dalam bukunya yang berjudul Marrow of Sacred Divinity. Bagi Ames, theologi merupakan suatu panduan untuk bagaimana kita hidup di hadapan Allah dengan benar. Jikalau pada hari ini kita menyimpan pengetahuan theologi hanya sebagai suatu pengetahuan yang kita pakai untuk mengangkat status kita di hadapan jemaat lainnya, kita harus bertobat. Karena jikalau kita melakukan hal itu, itu berarti kita sedang mempermainkan firman Tuhan.
Orang Puritan adalah orang-orang yang sangat mengasihi Allah. Ketika kita membaca karya-karya mereka dalam buku yang mereka tulis, kita akan mendapatkan suatu kesan yang begitu jelas bahwa mereka begitu merindukan kedatangan Kristus yang kedua kali dan mereka betul-betul sadar bahwa mereka adalah mempelai Kristus. Kesadaran mereka bahwa mereka adalah mempelai Kristus inilah yang mendorong mereka untuk mempertahankan kesucian hidup mereka dan hidup untuk memuaskan Allah. Melakukan apa yang menjadi “delight” (kesenangan) Allah. Mereka tidak hidup seperti orang Farisi atau si anak sulung yang ada di dalam perumpamaan anak yang hilang yang hidup mengikuti peraturan saja tanpa kasih. Kakak dari anak yang terhilang ini, pada saat melihat ayahnya mengadakan perjamuan karena kepulangan adiknya malah menjadi marah. Ia malah menuntut bahwa ayahnya tidak adil, dan “tidak pernah bahkan memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatnya”[6]. Kalimat yang mencengangkan adalah argumentasinya yang muncul di kalimat sebelumnya dalam pasal yang sama. Si sulung ini mengatakan, “Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum…”. Kalimat itu jelas-jelas menunjukkan bahwa selama masa hidupnya, si sulung itu melayani bapanya bukan karena ia ingin melakukan apa yang disukai oleh bapanya, tetapi ia melakukan semua itu untuk menimbun baginya jasa yang suatu hari ia akan tagih. Jikalau kehidupan Kristen menjadi seperti ini dan melakukan sesuatu demi kepentingan kita sendiri, maka kita telah gagal menjadi orang Kristen yang seharusnya menyangkal diri. Bukan berarti kita tidak boleh menagih, kita boleh. Kita boleh menagih Allah akan janji-Nya yang Dia pernah ucapkan, justru Allah senang mendengarkan kita menagih dan mengingatkan Allah tentang janji yang Dia pernah berikan kepada anak-anak-Nya. Hal itu menunjukkan bahwa kita membaca perkataan-Nya dan senantiasa merindukan Dia untuk menggenapkan firman-Nya. Begitulah seharusnya kita menuntut Allah, menuntut janji yang Dia pernah ucapkan, bukan menuntut hal lain menurut kedagingan kita. Hal serupa juga dilakukan oleh Musa di dalam Keluaran 33.
Kesadaran mereka sebagai mempelai Kristus inilah yang akhirnya membuat mereka terus mempertahankan kesucian hidup mereka pribadi dan juga gereja. The church’s militancy is the proof of her holiness.[7] Hal yang sama jugalah yang akhirnya mengakibatkan mereka untuk keluar dari Church of England yang pada saat itu sudah sangat rusak. Mereka percaya bahwa kerusakan dalam cara mereka beribadah akan merusak iman mereka, dan atas dasar ini mereka kemudian pergi ke New England.
Orang-orang seperti Richard Sibbes dan John Owen ketika menuliskan buku, kita dapat melihat dalam tulisan-tulisannya bahwa mereka begitu merindukan kemuliaan Allah. Karena kesadaran mereka akan status mereka sebagai mempelai Kristus, mereka kemudian merindukan Allah, mereka ingin melihat Allah, merindukan Allah untuk berbicara kepada mereka. Mungkin konteks di mana mereka ditekan sedemikian rupa oleh Ratu Elizabeth menyebabkan mereka berpikir seperti pada saat penulis Kidung Agung mengatakan bahwa mempelai pria itu membawa mempelai wanitanya ke padang gurun agar mereka tidak lagi terganggu dengan hal-hal lain dan mereka dapat berbicara berdua. Tekanan tersebut malah membuat mereka semakin merindukan dan ingin mendekat kepada Allah. Sangat berbeda dengan respons kita pada hari ini. Ketika masalah datang, kita malah menyalahkan Tuhan dan mulai mengecam Tuhan. Orang Puritan pada saat itu sangat berbeda responsnya dengan kita, mereka mulai mencari Allah, semakin mendekat kepada Allah. Hal inilah yang membuat Allah berkenan kepada mereka dan akhirnya meskipun jumlah mereka kecil, mereka sanggup memengaruhi kebudayaan. Orang Puritan mampu membuat kebudayaan mereka merasuk dalam semua bidang pekerjaan. Orang-orang yang bekerja di bidangnya masing-masing bekerja dengan suatu perasaan takut akan Allah dan mereka sangat tidak mau mempermalukan nama Allah, maka mereka bekerja dengan sungguh-sungguh. Orang Puritan dikenal dengan gaya hidup mereka yang sangat suci dan lurus, mereka juga mempunyai jam yang mereka khususkan untuk membaca Alkitab. Seorang Puritan bernama Edward Calamy mengatakan, “A sermon is like foods on the table, not only you have to eat it, but you have to concoct it and digest it for it to take effect. So is a sermon. A sermon well meditated upon is better than 20 sermons heard unmeditated.”[8] Kemajuan teknologi dunia telah membantu kita untuk mendapatkan bahan-bahan yang dapat membantu pertumbuhan rohani kita dalam hal mengenal Allah lebih dalam lagi, tetapi pada saat yang sama, karena keberdosaan kita, kita malah membuat hal yang Tuhan berikan untuk membantu kita ini menjadi suatu hal yang merusak kita. Ada beberapa orang yang tidak lagi ingin pergi ke gereja pada hari Minggu, karena dia berpikir bahwa khotbah sudah begitu mudah didapatkan sekarang ini. Dia dapat mengaksesnya setiap saat, maka tidak lagi ada kepentingan untuk pergi ke gereja pada hari Minggu. “Saya bisa beribadah kepada Tuhan kapan saja saya mau sekarang.” Cara pandang demikian adalah salah. Salah satu doktrin yang membuat Theologi Reformed menjadi unik adalah doktrin kedaulatan Allah. Kita harus selalu mengingat bahwa bukan kita yang menentukan kapan kita mau beribadah, tetapi Allahlah yang telah menentukan hari Minggu sebagai hari di mana kita harus beribadah di rumah-Nya. Jangan sampai kita menjadi ilah-ilah kecil bagi diri kita sendiri yang berpikir bahwa Allah sanggup kita atur.
Poin di atas membawa kita untuk menyadari bahwa salah satu “means of grace” (alat pertumbuhan) yang Allah berikan kepada kita adalah komunitas. Mengapa? Di dalam buku “Counsel from the Cross”, ada sebuah penjelasan yang cukup baik mengapa komunitas penting dalam pertumbuhan kita, “It is very difficult to see ourselves as we really are; we need the help of others who will both encourage us with the evidences of God’s grace and confront us with the areas of sin that they see. This kind of encouragement and confrontation is meant to occur within ongoing relationships with other believers.”[9] “Untuk saling menguatkan” adalah kalimat yang sangat tidak asing lagi di telinga kita dan memang itu benar, tetapi itu hanya suatu bagian dari apa yang disebut dengan relasi Kristen. Manusia berdosa sangat sensitif dengan keberdosaannya. Manusia berdosa merasa sangat risih dan terganggu apabila dosanya ditegur. Saling menegur adalah hal yang sangat penting dalam pertumbuhan rohani seseorang, pada saat yang sama juga adalah hal yang paling sulit di dalam berelasi. J. R. R. Tolkien pernah menuliskan, “But it may be the hard part of a friend to rebuke a friend’s folly.” Yang harus kita ingat pada saat kita ditegur adalah mengintrospeksi diri apakah teguran itu benar, dan jikalau memang itu benar, ingatlah bahwa Allah sendiri yang telah menegur kita dan orang yang Allah pakai untuk menegur kita hanya menjadi alat sebagai sarana anugerah yang Tuhan tempatkan dalam hidup kita. Kaum Puritan sangat dikenal dengan konseling mereka, mereka sangat mengerti kejiwaan manusia berdosa dan bagaimana menyelesaikannya dalam terang firman Tuhan.
Di dalam 95 tesis Martin Luther yang dipakukan di pintu gereja Schloßkirche Wittenberg, ada sebuah kalimat yang sangat dipraktikkan oleh para kaum Puritan ini. Tesis #1. “When our Lord and Master, Jesus Christ, said “Repent”, He called for the entire life of believers to be one of repentance.” Kaum Puritan sangat sadar bahwa pertobatan yang sejati tidak hanya terjadi sekali dalam masa hidup seseorang, tetapi terjadi terus-menerus. Ketika mereka makin memikirkan tentang kesucian Allah dan mengerti, mereka akan makin melihat keberdosaan mereka sekecil apa pun itu dan ketika kesadaran itu muncul, pertobatan harus segera dilakukan. Mereka sadar bahwa ketika pertobatan itu tidak terjadi, maka itu berarti iman mereka sedang mundur, dan kemunduran iman ini berakibat sangat fatal terhadap kehidupan rohani mereka. Salah satu tanda bahwa iman seorang Kristen sedang mundur adalah kehilangan kasih yang mula-mula itu. Mereka mulai tidak berdoa dan tidak lagi menantikan firman Tuhan. Seorang theolog bernama Joel R. Beeke berkata, “A prayerless life is a sign of a backsliding Christian.”[10] Bagi kaum Puritan, masalah backsliding/kemunduran iman ini merupakan hal yang sangat membahayakan, bukan sekadar hanya untuk orang Kristen yang sedang mundur itu, tetapi juga bagi komunitasnya. Untuk “menangani” masalah ini, kaum Puritan sangat menekankan pada family worship yang mereka adakan setiap hari dengan keluarga mereka sendiri. Mereka menggunakan family worship ini untuk saling membangun dan mendalami firman Tuhan. Itu sebabnya pada abad 16-18 awal, unit pembentuk masyarakat yang paling mendasar adalah keluarga. Ada suatu kedekatan yang tidak lagi kita miliki dalam keluarga hari ini. Kedekatan ini didapat dari saling menegur dan menguatkan yang terjadi di dalam keluarga Kristen. Kita berpikir bahwa jikalau kita menegur orang, pasti kita akan membuat jarak dalam relasi kita (hal ini benar pada masa kini) tetapi justru yang sebaliknya terjadi pada masa itu. Tetapi setelah adanya Revolusi Industri, semuanya itu berubah, orang menjadi semakin individualistik dan kebiasaan untuk family worship pun menghilang, sampai hari ini. Relasi yang sejati justru terjalin ketika ada kesadaran bahwa mereka dipersatukan oleh darah Kristus sebagai satu tubuh dan tugas mereka adalah saling menegur, menguatkan, dan membangun sesama untuk semakin mengenal Kristus.
The Puritans in Context
Era para kaum Puritan telah selesai, tetapi apa yang mereka tinggalkan untuk kita terlalu berharga untuk kita. Setelah Luther melakukan Reformasi, pada saat tuanya ia menjadi seseorang yang sangat temperamen. Salah satu alasannya mungkin adalah karena kekecewaan dia terhadap Jerman dan bahwa Reformasi tidak merata pada seluruh dataran Jerman.[11] Setelah Luther meninggal, banyak orang yang mengatakan bahwa kaum Lutheran memiliki doktrin yang kuat tetapi kehidupan mereka sangat rusak, maka hal ini membuka celah untuk mencela Reformasi. Untuk tetap membela kekristenan, Zinzendorf dan pietismenya muncul sebagai respons terhadap masalah ini, namun dia pun akhirnya jatuh ke dalam ekstrem yang lain di mana dia terlalu mementingkan perilaku hidup tetapi mengompromikan doktrin yang benar. Jangan sampai kita mengulangi kesalahan mereka. Kaum Puritan mengajarkan kita untuk terus melihat kepada Kristus, merindukan Dia berbicara kepada kita bagaikan mempelai Kristus yang merindukan-Nya.
Ryan Putra
Pemuda FIRES
Endnotes:
[1] Penekanan oleh penulis.
[2] Matius 13:29.
[3] John Coffey and Paul C. H. Lim, Introduction to The Cambridge Companion to Puritanism (Cambridge University Press, 2008), 2. Kalimat aslinya di dalam bahasa Inggris adalah sebagai berikut. “Puritanism was a variety of Reformed Protestantism, aligned with the continental Calvinistic churches rather than with the Lutherans.”
[4] Joel R. Beeke and Mark E. Jones, A Puritan Theology (Reformed Heritage Books). Yang memunculkan 5 poin Calvinisme bukanlah John Calvin sendiri melainkan hasil dari Synod of Dort.
[5] Ada beberapa terjemahan mengenai kalimat itu, kalimat aslinya adalah berikut, “Theologia est scientia vivendo deo.”
[6] Lukas 15:29.
[7] R. B. Kuiper, The Glorious Body of Christ (Banner of Truth Trust).
[8] Douglas F. Kelly, History of the Puritans (RTS Virtual Campus) audio.
[9] Elyse M. Fitzpatrick and Dennis E. Johnson, Counsel from the Cross (Crossway), 47-48.
[10] Joel R. Beeke, Recognizing Injured Runners (a sermon on the series of backsliding).
[11] Pendapat ini dicetuskan oleh Dr. Timothy George dalam kelas intensif “Spiritual Theology in: Augustine, Martin Luther, John Calvin, and John Bunyan”.