“I should be sorry if I only entertained them, I wish to make them better.” – G. F. Handel
Kalimat ini dicatatkan sebagai sebuah anekdot yang merupakan respons Handel terhadap pujian yang diberikan oleh Lord Kinnoul atas salah satu pementasan Messiah Oratorio. Walaupun masih terdapat perdebatan, namun pemikiran di balik kalimat ini adalah hal yang sangat penting untuk kita renungkan dan pikirkan baik-baik. “Apakah musik itu ada untuk mendidik pendengar, atau untuk memberikan kenikmatan bagi pendengarnya?” Pertanyaan ini menjadi perdebatan yang cukup panjang mulai dari zaman Enlightenment hingga saat ini. Mungkin kita berpikir pertanyaan ini tidak relevan untuk konteks musik gerejawi atau sacred song, karena sudah jelas musik itu untuk memuliakan Tuhan. Namun, pada kenyataannya banyak musik gerejawi yang sulit kita terima, karena tidak dapat dinikmati, salah satunya adalah genre musik klasik. Sebelum masuk ke dalam interpretasi dan juga refleksi terhadap lagu-lagu Messiah Oratorio, kita perlu mengerti dengan baik apa sebenarnya tujuan keberadaan musik itu. Maka pada artikel ini, kita akan membahas mengenai apa yang seharusnya menjadi tujuan dari musik, dan kita akan mengulas maksud penulisan dari Messiah Oratorio ini.
Sadar atau tidak sadar, kita terpengaruh oleh semangat dunia ini, khususnya di dalam aspek musik. Semangat pop culture merebak di mana-mana, sehingga kita terbawa pengaruhnya tanpa kita sadari. Kita cenderung memilih lagu-lagu yang easy listening, disertai dengan alunan melodi yang terdengar sangat mudah dinikmati. Tidak heran jikalau dalam budaya ini para seniman berlomba-lomba untuk menciptakan karya yang iconic, mudah dinikmati, mudah diingat, dan mudah diikuti. Makin iconic dan mudah dinikmati, makin cepat suatu karya mencapai puncak popularitas. Sehingga seniman pada zaman ini terlihat sangat produktif berkarya, tetapi sering kali karya-karya ini pun mudah sekali meredup. Alasannya adalah karena hasil karya mereka banyak yang bersifat instan dan belum matang, sehingga sulit untuk memberikan kesan yang mendalam di dalam karyanya.
Semangat zaman dari pop culture ini memengaruhi selera kita terhadap seni, khususnya musik. Kita lebih memilih musik-musik yang lebih mudah dinikmati. Bahkan yang lebih ironis lagi, zaman ini bukan hanya menuntut musik yang mudah dinikmati, tetapi juga si pemain musik juga harus memiliki penampilan yang enak dilihat (contohnya budaya K-Pop). Akibatnya, karya-karya klasik dari zaman-zaman sebelumnya cukup sulit diterima karena tidak mudah atau tidak dapat dinikmati secara instan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jikalau konser musik pop yang mahal lebih laku dibanding konser musik klasik yang cenderung lebih murah. Padahal, secara kompleksitas dan kualitas, musik-musik klasik berada pada level yang lebih tinggi. Namun, harus diakui bahwa secara umum menikmati dan mengerti musik-musik klasik memerlukan effort yang lebih tinggi.
Semangat yang menjadikan kenikmatan atau entertainment sebagai hal utama dalam seni, khususnya musik, adalah warisan dari semangat zaman Enlightenment atau Pencerahan. Jikalau kita menelusuri kembali sejarah perkembangan wawasan dunia, kita akan menyadari adanya perbedaan yang sangat kontras di dalam semangat pada zaman Enlightenment dari dan zaman sebelumnya, seperti Baroque dan Medieval. Walaupun semangat untuk mengutamakan kenikmatan ini mulai tumbuh dari zaman Baroque, namun semangat ini menjadi besar pada zaman Enlightenment.
A Brief Overview of the Musical Characteristics of Several Eras (Renaissance – Romantic)
Perkembangan musik yang cukup signifikan terjadi mulai dari zaman Renaisans. Salah satu ciri khas dari zaman ini adalah semangat humanisme. Semangat humanisme ini adalah semangat yang ingin mengembalikan martabat manusia dengan menggali segala potensi yang ada di dalam diri manusia. Semangat ini berbeda dengan semangat humanisme pada zaman ini, karena semangat humanisme zaman Renaisans masih menempatkan diri di bawah Allah. Selain semangat humanisme ini, ada juga semangat “ad fontes” atau back to the first source, yang menggali kembali literatur-literatur kuno, khususnya literatur filsafat zaman Yunani Kuno. Hal inilah yang memengaruhi perkembangan musik zaman itu yang mengaplikasikan teori Pythagoras ke dalam bidang musik. Teori yang sama pun diterapkan dalam komposisi harmoni musik pada zaman itu, yang berbeda dengan teori harmoni musik yang kita kenal saat ini. Teknik harmoni musik ini dikenal juga dengan istilah counterpoint. Di sini kita bisa melihat bahwa musik pada zaman Renaisans lebih mementingkan struktur musik yang rapi dan teratur dibanding dengan ekspresi di
dalam musik.
Beriringan dengan perkembangan zaman, maka musik pun mengalami perkembangan. Di masa transisi zaman Renaisans dan Baroque, para musikus mulai mencoba untuk memberikan ekspresi ke dalam musik yang mereka ciptakan. Semangat ini pun makin berkembang sehingga semangat pada zaman Baroque adalah music for the purpose of the text. Semangat ini cukup bertolak belakang dengan musik Renaisans yang mengutamakan musik dan teks ditambahkan belakangan. Sedangkan musik Baroque berada untuk menyatakan meaning dari text atau yang kita kenal juga dengan istilah word painting. Di dalam konteks ini, semangat zaman Baroque bukanlah semangat yang membuang zaman sebelumnya, tetapi musik Baroque tetap menggunakan teknik dan komposisi musik dari zaman Renaisans untuk menyatakan ekspresi emosi mereka. Jikalau pada zaman Renaisans mereka menciptakan melodi terlebih dahulu baru memasukkan text, pada zaman Baroque prosesnya terbalik, yaitu penggubahan musik atau komposisi melodi berdasarkan text yang akan dinyanyikan. Jikalau kita sederhanakan, semangat zaman Baroque adalah menjadikan musik sebagai media untuk memuliakan Tuhan dan memberikan pengajaran kepada para pendengarnya.
Setelah zaman Baroque, sejarah memasuki zaman Klasik yang mengutamakan rasio. Zaman ini menempatkan rasio sebagai otoritas tertinggi. Maka musik-musik di dalam zaman ini cenderung terdengar lebih teratur dan lebih sederhana dibanding lagu zaman Baroque dan Renaisans. Secara komposisi musik, zaman Klasik lebih banyak menggunakan homophony karena terdengar lebih teratur dan lebih cocok dengan konsep estetika yang lebih rasional pada zaman itu. Secara keseluruhan, musik zaman Klasik akan lebih mudah diterima karena terdengar lebih sederhana dan teratur dibandingkan zaman Baroque yang terdengar lebih kompleks tetapi sarat akan makna.
Zaman selanjutnya adalah zaman Romantik. Semangat zaman ini merupakan respons terhadap semangat zaman Klasik. Semangat Romantik menolak rasio sebagai otoritas yang tertinggi dan menggantikannya dengan emosi, bahkan mereka pun menolak akan kekakuan dan struktur. Di dalam zaman inilah musik lebih mengutamakan aspek emosi pendengar dan lebih bersifat entertaining. Semangat inilah yang memengaruhi zaman selanjutnya hingga saat ini, di mana musik akhirnya lebih dibawa ke dalam aspek entertainment. Tanpa disadari, hal seperti inilah yang memengaruhi kita pada zaman ini menjadi lebih sulit menikmati musik-musik pada zaman-zaman yang lebih mengutamakan aspek penyampaian makna.
Jikalau kita kembali kepada pertanyaan “seharusnya musik itu mendidik atau memberikan kenikmatan kepada pendengar?”, jawaban seharusnya adalah kedua-duanya harus ada di dalam musik. Musik merupakan sebuah aspek di dalam hidup yang banyak mencerminkan aspek estetika, sehingga tidak mungkin kita mengesampingkan aspek keindahan yang dapat dinikmati di dalamnya. Namun, musik pun Tuhan berikan dalam kehidupan ini sebagai salah satu aspek yang mencerminkan kebijaksanaan dan kemuliaan-Nya, sehingga tidak terlepas dari aspek pembelajaran. Maka baik keindahan yang bisa dinikmati maupun aspek pengajaran di dalamnya adalah kedua aspek yang seharusnya ada di dalam musik yang kita persembahkan untuk kemuliaan nama Tuhan. Tuhan memakai ciri khas dan karakteristik musik setiap zaman untuk menyatakan kebijaksanaan dan kemuliaan-Nya. Hal ini bukan berarti kekristenan setuju dengan segala jenis musik, karena tetap ada musik-musik yang begitu rusak, sehingga harus kita tolak. Namun, yang lebih penting adalah bagaimana kita sebagai orang Kristen harus mengerti akan warisan-warisan berharga yang Tuhan berikan di dalam sejarah melalui musik, dan untuk menikmati musik-musik yang agung ini, kita harus mengerti konteks zaman di mana musik itu digubah.
Oratorio Messiah: Context and Purpose
Oratorio Messiah digubah di dalam zaman Baroque. Maka, di dalam Oratorio Messiah kita akan melihat banyak sekali word painting yang digunakan untuk menggambarkan apa yang tertulis di text-nya baik melalui rangkaian melodi maupun harmoni lagu. Sehingga, Oratorio Messiah ini bukan sekadar sebuah karya yang kita nikmati melalui keindahan musiknya saja, tetapi juga dalam makna mendalam yang tertuang di dalam rangkaian musiknya. Oleh karena itu, dalam mengapresiasi Oratorio Messiah, kita tidak bisa hanya menikmati sekadar alunan musiknya saja, tetapi kita perlu mengaitkan antara teks dan komposisi musiknya. Jikalau kita mengerti teori musik dasar, kita bisa memperoleh makna yang lebih jelas lagi dari setiap lagu di dalamnya. Beberapa hal mendasar dalam musik yang perlu diketahui berkaitan dengan oratorio ini sudah sedikit dibahas dalam artikel sebelumnya dan akan dibahas juga bersamaan dengan refleksi setiap lagu dalam Oratorio Messiah ini di dalam artikel selanjutnya.
Selain dari konteks sejarah penggubahan Oratorio Messiah dari sisi musik, kita pun perlu mengetahui konteks sejarah dari sisi dunia pemikiran. Berkaitan dengan hal ini, Calvin Stapert menyatakan demikian:
“Messiah also tells a deliverance story—the story of God’s ultimate deliverance of His people from bondage to sin and death. But it is a story that increasing number of Europeans were disbelieving… The Enlightenment was in full swing, and the church was severely threatened by those who denied that Christ was a son of God, the long-promised Messiah who would deliver his people from bondage of sin and death. But the number of unbelievers in Europe increased significantly during the Enlightenment, a movement that fostered ‘natural’ religion that proclaimed a commonsense social morality and an optimistic view of human nature. Typically it took the form of deism.”
Salah satu tantangan yang dihadapi pada masa itu adalah tantangan dari kaum Deist. Motif untuk menjawab tantangan Deist ini muncul dari Charles Jennens (1700-1773). Ia adalah teman Handel yang membantunya dalam mempersiapkan text untuk digunakan dalam oratorio, atau dikenal juga dengan istilah libretto. Jennens adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang mendalam mengenai Alkitab dan dengan pengetahuannya ini, ia membantu Handel dalam mempersiapkan libretto untuk karya-karya Handel seperti Saul, Messiah, Belshazzar, Israel in Egypt, dan lain-lain. Menurut Stapert, ada kemungkinan Jennens menuliskan libretto untuk Oratorio Messiah ini dengan ingatan masa lalunya, yaitu kematian saudaranya, yang masih membekas di dalam hatinya. Dicatatkan bahwa saudara kandung dari Jennens, yaitu Robert, mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri. Robert mengakhiri hidupnya kemungkinan karena depresi. Robert bergumul dengan imannya di kala ia menghadapi tantangan dari rekan-rekannya yang menganut paham Deist. Kemungkinan, kisah tragis ini membekas di dalam hati Jennens dan mendorong dirinya untuk menyatakan imannya sebagai orang Kristen yang saleh, bahwa Kristus adalah Mesias atau Juruselamat. Maka di balik Oratorio Messiah ini, terdapat sebuah pernyataan iman, atau bisa kita katakan juga sebagai sebuah apologetika terhadap pemikiran dunia yang menyangkal akan keberadaan Allah, khususnya yang menyangkal identitas Kristus sebagai Anak Allah dan Juruselamat.
Dengan ulasan singkat mengenai konteks dan tujuan dari karya Oratorio Messiah ini, seharusnya kita menyadari pentingnya kita mengapresiasi dan menggunakan karya ini sebagai refleksi iman. Dengan apresiasi terhadap karya ini, kita dapat dibawa makin mengenal akan siapa Kristus. Bukan hanya itu, bahkan dengan kita mementaskan karya ini, kita pun sedang menyatakan iman kita sebagai orang Kristen mengenai siapa Kristus. Di dalam artikel-artikel selanjutnya, kita akan mulai menggali, menginterpretasi, dan merenungkan setiap lagu dari karya ini. Kiranya melalui ulasan singkat ini, kita makin didorong untuk menghargai warisan musik Kristen yang begitu agung dan berharga dengan mengapresiasi dan menggalinya sebagai sebuah perenungan dalam mengenal Kristus, dan melalui karya ini kita menyatakan siapa Kristus kepada dunia. Kiranya Tuhan menolong kita.
Simon Lukmana
Pemuda FIRES