Kesulitan Resepsi
Dalam rangkaian SPIK untuk generasi baru, Pdt. Stephen Tong telah mengulas dua tema penting mengenai Tritunggal dan Predestinasi.[1] Rangkaian SPIK ini memang diadakan untuk mengulas topik-topik sulit dan cenderung menuai kontroversi. Tema mengenai Doktrin Predestinasi (pilihan) juga dibahas dalam beberapa sesi penting saat Konvensi Injil Nasional (Remaja) 2015. Begitu mendengar Doktrin Pilihan, rasio kita yang sudah jatuh dalam dosa langsung secara otomatis mengajukan pertanyaan, keberatan, keraguan, dan bahkan berbagai serangan. Mulai dari pertanyaan mengenai di manakah kebebasan atau tanggung jawab manusia, seberapa detail Allah menetapkan berbagai aspek hidup, kecurigaan mengenai Allah yang bersifat diktator, tuduhan bahwa Allah tidak adil, Allah sebagai penyebab dosa, perdebatan single/double predestination, sengaja dikontraskan dengan aspek doa dan penginjilan, dan masih banyak lagi. Artikel ini tidak berusaha menjawab secara detail mengenai aspek dan pertanyaan tersebut. Sudah cukup banyak khotbah, buku, dan artikel yang membahas bagian tersebut.[2] Pengalaman pribadi penulis, hal-hal seperti itu kerap kali diperdebatkan dengan berlandaskan logika semata, kurang referensi atau dukungan ayat-ayat yang limpah. Juga diperdebatkan dengan minimnya aspek ibadah dan kerendahan hati di hadapan Tuhan. Artikel ini akan membahas Doktrin Pilihan dari aspek pastoral, suatu perspektif yang cukup sering terlewatkan atau bahkan tidak terlalu dipikirkan ketika kita mempelajari mengenai doktrin ini.
Sekilas Dasar dan Perkembangan
Penulis yakin bahwa banyak dari pembaca setia Buletin PILLAR yang cukup familiar dengan ayat-ayat yang terkait dengan Doktrin Pilihan. Baik itu yang terdapat di Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru. Misalkan saja:
Sebab engkaulah umat yang kudus bagi TUHAN, Allahmu; engkaulah yang dipilih oleh TUHAN, Allahmu, dari segala bangsa di atas muka bumi untuk menjadi umat kesayangan-Nya. Bukan karena lebih banyak jumlahmu dari bangsa mana pun juga, maka hati TUHAN terpikat olehmu dan memilih kamu – bukankah kamu ini yang paling kecil dari segala bangsa? Tetapi karena TUHAN mengasihi kamu dan memegang sumpah-Nya yang telah diikrarkan-Nya kepada nenek moyangmu, maka TUHAN telah membawa kamu keluar dengan tangan yang kuat dan menebus engkau dari rumah perbudakan, dari tangan Firaun, raja Mesir. (Ul. 7:6-8)
Sebab waktu anak-anak itu belum dilahirkan dan belum melakukan yang baik atau yang jahat, supaya rencana Allah tentang pemilihan-Nya diteguhkan, bukan berdasarkan perbuatan, tetapi berdasarkan panggilan-Nya dikatakan kepada Ribka: “Anak yang tua akan menjadi hamba anak yang muda,” seperti ada tertulis: “Aku mengasihi Yakub, tetapi membenci Esau.” Jika demikian, apakah yang hendak kita katakan? Apakah Allah tidak adil? Mustahil! Sebab Ia berfirman kepada Musa: “Aku akan menaruh belas kasihan kepada siapa Aku mau menaruh belas kasihan dan Aku akan bermurah hati kepada siapa Aku mau bermurah hati.” Jadi hal itu tidak tergantung pada kehendak orang atau usaha orang, tetapi kepada kemurahan hati Allah. Sebab Kitab Suci berkata kepada Firaun: “Itulah sebabnya Aku membangkitkan engkau, yaitu supaya Aku memperlihatkan kuasa-Ku di dalam engkau, dan supaya nama-Ku dimasyhurkan di seluruh bumi.” Jadi Ia menaruh belas kasihan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Ia menegarkan hati siapa yang dikehendaki-Nya. (Rm. 9:11-18)
Sebab di dalam Dia Allah telah memilih kita sebelum dunia dijadikan, supaya kita kudus dan tak bercacat di hadapan-Nya. Dalam kasih Ia telah menentukan kita dari semula oleh Yesus Kristus untuk menjadi anak-anak-Nya, sesuai dengan kerelaan kehendak-Nya, supaya terpujilah kasih karunia-Nya yang mulia, yang dikaruniakan-Nya kepada kita di dalam Dia, yang dikasihi-Nya. (Ef. 1:4-6)
Dari ayat-ayat tersebut, kita sadar bahwa pemilihan Allah bukanlah karena suatu aspek apa pun yang berada di dalam diri manusia. Bukan karena kita kuat, hebat, baik, suci, mulia, dan sebagainya. Bahkan untuk konteks Israel, mereka justru adalah bangsa yang kecil jika dibandingkan bangsa-bangsa lain. Paulus sendiri di Surat Roma mengakui keterbatasan dirinya dan tidak mungkin ia bisa menjadi penasihat Allah. Ia tidak dapat dan tidak berhak untuk mempertanyakan keputusan Allah. Kemudian Paulus mengakui bahwa segala sesuatu adalah dari Dia, oleh Dia, dan kepada Dia. Seluruh kemuliaan kembali kepada Allah semata. Perenungan mengenai Doktrin Pilihan tentunya juga akan terkait dengan doktrin-doktrin lainnya. Misalkan saja mengenai aspek kedaulatan Allah, kemahatahuan Allah, dosa asal, rencana kekal Allah, relasi Allah dengan ciptaan, keadilan Allah, kemuliaan Allah, dan pengertian mengenai anugerah. Beberapa tokoh sepanjang sejarah juga memberikan berbagai kontribusi terhadap kedalaman dan kekayaan pengertian mengenai topik ini, seperti Agustinus, Thomas Aquinas, Martin Luther, Ulrich Zwingli, John Calvin, George Whitefield, dan Jonathan Edwards. Berbagai perdebatan dan tentangan juga terjadi dari waktu ke waktu. Misalkan saja dengan Pelagius dan Jacobus Arminius.[3] Dalam perkembangannya, pengertian mengenai Doktrin Pilihan diformulasikan dengan lebih detail dan sistematis[4] seperti dalam The Westminster Confession of Faith, Chapter III:
III. By the decree of God, for the manifestation of His glory, some men and angels are predestinated unto everlasting life; and others foreordained to everlasting death. IV. These angels and men, thus predestinated, and foreordained, are particularly and unchangeably designed, and their number so certain and definite, that it cannot be either increased or diminished. V. Those of mankind that are predestinated unto life, God, before the foundation of the world was laid, according to His eternal and immutable purpose, and the secret counsel and good pleasure of His will, has chosen, in Christ, unto everlasting glory, out of His mere free grace and love, without any foresight of faith, or good works, or perseverance in either of them, or any other thing in the creature, as conditions, or causes moving Him thereunto; and all to the praise of His glorious grace.
Calvin dan Para Pengungsi
Pada bagian ini, penulis ingin sedikit menyoroti konteks pergumulan dan pelayanan dari Calvin ketika ia mengembangkan pemikiran mengenai Doktrin Pilihan. Dari perspektif konteks umum Reformasi, terdapat tekanan karena kaum Protestan dianggap berada di luar gereja secara institusi (yakni Roma Katolik), dan bahkan diekskomunikasi. Pada saat itu, orang-orang yang berada di luar gereja secara institusi dianggap tidak diselamatkan. John Calvin sendiri pernah melayani dalam konteks jemaat yang adalah kaum pengungsi. Pada periode tersebut, banyak jemaat Protestan mengungsi dari Perancis ke Swiss setelah terjadinya insiden St. Bartholomeuw. Insiden ini adalah suatu tragedi pembantaian yang korbannya adalah kaum Huguenots, jemaat Protestan yang berada di Perancis. Setelah insiden ini, kaum Huguenots banyak berpindah ke Jenewa, yang pada waktu itu hanyalah suatu kota kecil dan sederhana di Swiss. Dengan kondisi dan tantangan seperti ini, bisa dibayangkan berbagai kesulitan yang dialami oleh jemaat, baik dari sisi sosial, agama, ekonomi, politik, dan hukum. Dan justru di dalam keadaan seperti ini, pengertian mengenai Doktrin Pilihan memiliki suatu kekuatan dan keistimewaan tersendiri. Kepastian keselamatan bukanlah berdasarkan keanggotaan secara institusi gerejawi. Kepastian keselamatan justru berada di dalam kedaulatan Allah, jauh sebelum dunia diciptakan. Doktrin Pilihan juga sangat relevan bagi jemaat yang hidup sebagai pengungsi dan nasibnya tidak menentu. Bagi Calvin, perenungan mengenai Doktrin Pilihan tidak bisa dilepaskan dari prinsip hidup sebagai musafir dan sekaligus keyakinan akan teguhnya providensia Allah. Doktrin Pilihan bukanlah sesuatu yang sekadar diutak-atik secara logis semata. Pengertian akan Doktrin Pilihan sangat kental dengan elemen penghiburan dan penguatan, terutama di masa-masa sulit dan penuh tekanan. Dalam buku John Calvin a Pilgrim’s Life, Herman Selderhuis menuliskan: “Those who do not relate predestination and providence with the concept of being “on the road”, however will never understand any of these ides. For Calvin, providence and election are not merely doctrines to teach, but realities to experience, and those who abstract these teachings out of life can only handle them in a way that further extinguishes life.” Kita tahu bahwa hidup Calvin sendiri dipenuhi dengan gejolak dan berbagai hal yang sulit untuk diprediksi. Bahkan kesehatannya pun sering kali terganggu. Jauh dari keinginan hatinya untuk tinggal menetap dengan tenang dan damai di satu tempat, sambil meneruskan pendalaman studinya.
Tidak Sehelai Rambut pun
Salah satu bagian yang juga kerap dikomentari dan dianalisis adalah Lukas 12:7-8 yang berbunyi “bahkan rambut kepalamu pun terhitung semuanya. Karena itu jangan takut, karena kamu lebih berharga dari pada banyak burung pipit. Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang mengakui Aku di depan manusia, Anak Manusia juga akan mengakui dia di depan malaikat-malaikat Allah.” Dari ayat-ayat ini, sering muncul pertanyaan mengenai seberapa detailkah penetapan Allah. Apakah Allah menentukan berapa rambut kita yang tumbuh dan jatuh ke tanah? Nantinya pertanyaan ini bisa ditarik ke banyak bidang lain seperti masalah calon pasangan hidup, bidang studi yang harus diambil, lamanya bekerja di satu perusahaan, dan lain-lain. Namun ketika kita mempertanyakan hal-hal tersebut, kita agak melupakan konteks dekat dari ayat tersebut. Setelah pembicaraan mengenai rambut yang terhitung, Lukas langsung bergerak kepada aspek keberanian bersaksi atau mengakui Allah di hadapan manusia. Sekali lagi, di sini terdapat kaitan antara aspek kedaulatan Allah dan providensia Allah. Ketika kita sadar betapa Allah itu begitu berdaulat dan memerhatikan kita, maka implikasi langsungnya adalah kita mendapatkan keberanian untuk bersaksi dan hidup untuk Allah. Mungkin bagian ini bisa menjadi refleksi bagi kita semua. Ketika kita semakin mendalami Doktrin Pilihan, apakah kita semakin menyadari betapa indah dan manisnya penopangan Tuhan? Seberapa banyak pengertian mengenai Doktrin Pilihan akhirnya memberikan pengaruh terhadap hidup kita? Dan kemudian semakin mendorong kita untuk dengan tegar dan berani untuk bersaksi dan hidup bagi Tuhan.[5]
Penutup
Dalam theologi Reformed, kedaulatan Allah memang merupakan salah satu tema sentral dan banyak dibahas. Allah yang berdaulat adalah Allah yang juga memilih dan menopang umat-Nya. Semoga artikel singkat ini bisa membawa kita untuk lebih menghayati Doktrin Pilihan, terutama dari perspektif pastoral, juga implikasinya dalam hidup dan pelayanan. Secara lebih spesifik, semoga SPIK yang telah berlalu mengenai “Predestinasi dan Kebebasan Manusia” tidak hanya mengisi pikiran atau menambah gudang informasi kita. Keyakinan kita terhadap pilihan dan kedaulatan Tuhan seharusnya semakin mendorong kita untuk lebih berelasi dengan-Nya (terutama melalui doa), hidup dengan lebih bertanggung jawab, dan diberikan keberanian untuk hidup melayani-Nya. Ketika kita melewati masa-masa hidup yang sulit dan pelik, Doktrin Pilihan bisa menjadi penghiburan dan penguatan tersendiri. Sama seperti jemaat yang mengungsi di Jenewa yang juga telah mendapatkan kekuatan dan kestabilan melalui Doktrin Pilihan.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
http://www.ccel.org/ccel/calvin/institutes.v.xxii.html
http://www.desiringgod.org/articles/does-god-really-desire-all-to-be-saved
http://www.desiringgod.org/articles/election-handle-with-care
http://www.desiringgod.org/sermons/pastoral-thoughts-on-the-doctrine-of-election
http://www.ligonier.org/learn/series/predestination/?mobile=off&page_series_list=13&page=14
http://www.ligonier.org/learn/devotionals/predestination-and-foreknowledge/
Endnotes:
[1] SPIK “Tritunggal” diadakan pada tanggal 6 Desember 2014, SPIK “Predestinasi dan Kebebasan Manusia” diadakan pada tanggal 14 Maret 2015.
[2] Misalkan saja: Reformed Doctrine of Predestination (Loraine Boettner), Institutes of Christian Relgion – Book III, Chapter 21 (John Calvin), Divine Sovereignty and Human Responsibility (D. A. Carson), Still Sovereign: Contemporary Perspectives on Election, Foreknowledge, and Grace (Thomas R. Schreiner), Five Points of Calvinism (Edwin Palmer).
[3] Pelagius menentang Agustinus, khususnya dengan pemikiran Pelagius bahwa manusia tidak tercemar oleh dosa asal. Manusia mampu kembali kepada Tuhan dengan upaya sendiri. Ia kemudian dianggap bidat oleh Konsili Carthage. Sedangkan perdebatan lain dengan Jacobus Arminius akhirnya terus merangsang diskusi, sampai kepada Synod of Dort. Rangkumannya kita kenal dengan 5 poin Calvinisme yang sering disingkat sebagai TULIP.
[4] Misalkan saja Canons of Dort, Belgic Confession of Faith, Westminster Confession of Faith, Westminster Shorter Cathecism, Westminster Larger Cathecism.
[5] Beberapa hari sebelum artikel ini selesai ditulis, pernikahan sesama jenis baru saja dilegalisasi di Amerika. Dalam berbagai khotbah dinyatakan bahwa untuk ke depan, ada kemungkinan bahwa orang yang menentang LGBT bisa saja dimasukkan ke dalam penjara. Sebagai orang Kristen, bagaimanakah kita hidup dan menyerukan kebenaran di tengah-tengah situasi demikian?