Doktrin Allah Tritunggal adalah salah satu doktrin terpenting yang menjadi dasar bangunan iman Kristen. Tanpa doktrin ini, kita akan kehilangan sebuah pijakan yang kokoh dalam memahami keutuhan iman Kristen. Salah satu contoh adalah dalam penciptaan. Bagaimana mungkin kita dapat mengerti unity in diversity dan diversity in unity yang nyata dalam seluruh dunia ciptaan-Nya, tanpa kembali ke dalam pengertian Tritunggal? Cara pandang kita akan dunia ini tidak akan berdasar dan kehilangan esensinya. Selain itu, Allah mengerjakan seluruh rencana keselamatan manusia dalam tiga pribadi dari Allah Tritunggal. Pekerjaan keselamatan telah secara lengkap dan agung direncanakan oleh Allah Bapa sejak kekekalan, digenapi secara sempurna oleh Allah Anak, dan diaplikasikan dengan kelimpahan oleh Allah Roh Kudus. Terlebih lagi, doktrin ini mengajarkan relasi yang seharusnya manusia miliki antarsesamanya. Melalui relasi antarpribadi Tritunggal yang menjadi dasar, kita akan memiliki hikmat yang tepat dalam memperlakukan sesama kita.
Namun, doktrin ini juga merupakan salah satu doktrin tersulit untuk dipahami manusia. Seperti yang Agustinus pernah katakan, doktrin ini adalah wilayah yang berbahaya dalam pengertian dan kepercayaan. Sebabnya adalah, jika kita tidak menangkap keseluruhan doktrin, kita dapat masuk ke dalam pandangan yang salah mengenai Allah dan hal ini sudah sangat banyak sekali terjadi dalam sepanjang sejarah manusia. Pengertian ini akan mencemari pelayanan, ibadah, harmoni, kedamaian, bahkan dapat menyebabkan perpecahan gereja. Salah satu penyebabnya ialah orang yang mengerti pemahaman Allah Tritunggal tanpa menumbuhkan rasa takjub dan kagum kepada Dia. Keadaan seperti ini akan berujung pada pengetahuan tanpa adanya kerendahan hati untuk tunduk kepada Tuhan. Bahkan, memanipulasi pengertiannya untuk keuntungan diri sendiri. Marilah dalam mempelajari Allah Tritunggal, kita terus mempersiapkan hati untuk tunduk dan bertanggung jawab dalam pengertiannya.
Doktrin Allah Tritunggal pada Abad Mula-mula
Doktrin Allah Tritunggal dalam perkembangan sejarahnya telah melalui masa yang panjang. Dengan mempelajari sejarah kekristenan, kita akan menemukan warisan pengertian yang melimpah telah disusun sejak Abad Mula-mula. Selama ratusan tahun sejak abad ke-2, para theolog sudah mencoba untuk merumuskan pengertian mengenai Allah Tritunggal, sebab banyak aliran sesat yang masuk dalam kekristenan pada zaman itu. Dengan berkembangnya berbagai pandangan yang sesat di zaman itu, sebuah rumusan pengakuan iman mengenai Allah Tritunggal harus dibangun. Rumusan ini ditujukan untuk melawan ajaran-ajaran sesat yang memengaruhi gereja pada masa itu. Salah satu upaya yang dikerjakan ialah dengan mengadakan sebuah konsili. Beberapa konsili diadakan untuk membahas tentang hal ini, dan hasil pengakuan iman yang paling terkenal adalah Niceno-Constaninopolitan Creed (C). Pengakuan ini dirumuskan pada konsili Konstantinopel I pada tahun 381 M. Pengakuan ini berbunyi demikian,
We believe in one God the Father Almighty, maker of heaven and earth and of all things visible and invisible;
And in one Lord Jesus Christ the Son of God, the Only-begotten, begotten by his Father before all ages, Light from Light, true God from true God, begotten not made, consubstantial with the Father, through whom all things came into existence, who for us men and for our salvation came down from the heavens and became incarnate by the Holy Spirit and the Virgin Mary and became a man, and was crucified for us under Pontius Pilate and suffered and was buried and rose again on the third day in accordance with the Scriptures and ascended into the heavens and is seated at the right hand of the Father and will come again with glory to judge the living and the dead, and there will be no end to his kingdom;
And in the Holy Spirit, the Lord and life-giver, who proceeds from the Father, who is worshipped and glorified together with the Father and the Son, who spoke by the prophets;
And in one holy, catholic and apostolic Church;
We confess one baptism for the forgiveness of sins;
We wait for the resurrection of the dead and the life of the coming age. Amen.
Pada kesempatan kali ini, marilah kita belajar sedikit mengenai pergumulan yang dialami oleh para theolog pada Abad Mula-mula, khususnya dalam doktrin Tritunggal, sehingga dapat menghasilkan pengakuan iman seperti ini.
God is One and Three
Dalam C, kita bisa melihat penekanan yang diberikan secara utama adalah mengenai Allah yang satu tetapi yang nyata dalam 3 pribadi yaitu Allah Bapa, Anak, dan Roh Kudus. Salah satu kesulitan yang dialami umat Kristen pada zaman setelah para rasul ialah berusaha mempertahankan bahwa Kristus adalah Tuhan bersamaan dengan menyatakan bahwa Allah adalah esa. Zaman itu, aliran Gnostik berkembang dengan pesat dan masuk ke dalam agama-agama yang ada dan merusak pengajaran yang ada, salah satunya adalah kekristenan.
Pikiran utama dari gnostik adalah ide bahwa makhluk yang tertinggi, Tuhan, harus secara radikal terpisah dari dunia materi, tidak mungkin adanya kesatuan natur antara Pencipta dan manusia sebagai ciptaan. Karena itu, para gnostik percaya bahwa Yesus yang hidup di dunia adalah secara natur berbeda dengan Kristus yang turun ke dalam dunia. Kristus turun dan “masuk” ke dalam diri Yesus dan juga nantinya Kristus akan terangkat meninggalkan Yesus di dunia. Selain gnostik, ancaman lain adalah dari seorang bernama Marcion. Marcion adalah seseorang yang mencetuskan adanya dualisme dalam diri Allah. Ia melihat hal ini dalam diri Paulus yang katanya percaya pada dua Allah. Satu yang berkarakter adil dan yang lain yang berkarakter kasih. Implikasinya adalah PL dan PB tidak dapat dipersatukan dan harus dipisahkan. Kedua pengertian ini mencoba untuk memisahkan Tuhan dalam memiliki hubungan dengan dunia materi. Yesus Kristus juga ditolak sebagai Pencipta dan Allah yang sejati sehingga apa yang dikerjakan-Nya tidak mutlak dan sempurna. Jika demikian, Injil kekristenan akan kehilangan esensinya dan ancaman ini begitu menakutkan bagi Gereja pada Abad Mula-mula.
Tentu apa yang dibicarakan tidak sesuai dengan Alkitab yang selalu menekankan Allah yang esa dan waktu itu, seorang theolog bernama Irenaeus berusaha melawan pikiran ini. Irenaeus mencoba kembali untuk tetap berpegang pada kesatuan Allah sebagai Allah pencipta, Allah Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, melalui peristiwa yang terjadi sepanjang sejarah. Irenaeus mengembalikan pengertian ini kepada tema penciptaan. Ia menggunakan penggambaran yang menunjuk kepada Tritunggal dalam penciptaan. Tuhan tidak pernah meminta malaikat membantu-Nya dalam penciptaan. Ia selalu berada bersama-sama dengan Firman dan Hikmat, Anak dan Roh Kudus, yang kepada-Nya dikatakan, “marilah Kita menciptakan manusia menurut gambar dan rupa Kita.” Anak dan Roh Kudus selalu bersama-sama dengan Bapa dan satu dengan-Nya karena Mereka berbagian dalam pekerjaan Tuhan secara eksklusif dan utuh. Terlebih lagi juga dalam keselamatan yang dikerjakan-Nya. Roh Kudus mempersiapkan manusia untuk dapat datang kepada Kristus, dan Kristus memimpinnya kembali kepada Bapa, sedangkan Bapa juga memberikan kehidupan kekal. Kehidupan kekal ini bersifat relasional yang intim di dalam Tuhan, melalui pengenalan dan kenikmatan di dalam-Nya. Kita hanya dapat merasakan hal ini melalui penyucian yang Roh Kudus kerjakan. Penyucian ini mencelikkan kita kepada wahyu khusus Tuhan di mana Anak yang telah menggenapi dan Bapa yang menyetujui akan keselamatan manusia. Pola Tritunggal ini selalu ada dalam sejarah manusia dalam konteks bahwa Kristus, Anak Allah yang berinkarnasi, datang ke dalam dunia untuk memperbaiki sejarah Adam yang pertama melalui salib yang harus ditanggung-Nya. Kristus harus menjadi manusia agar, “apa yang telah kita hilangkan di dalam Adam …, dapat dikembalikan dalam Yesus Kristus.” Seluruh pengertian Tritunggal ini berakar dari Alkitab, yang sangat bertentangan dengan spekulasi filosofis. Irenaeus juga menyimpulkan bahwa pandangan mengenai Tritunggal, kekekalan Tuhan, dan sejarah manusia, sangat berkaitan erat dengan kesatuan Allah dalam pribadi Bapa, Kristus, dan Roh Kudus, yang tidak dapat terpisahkan sepanjang sejarah. Ketiganya bekerja dengan harmonis dalam penciptaan, pemeliharaan, dan keselamatan, yang di dalam diri-Nya sudah ada bahkan sejak sebelum penciptaan. Tuhan memang berbeda dari ciptaan tetapi tidak terpisah darinya.
Relation and Deity in Three Persons
The Son and the Father
Akan tetapi, Irenaeus tidak secara spesifik menjelaskan mengenai relasi antarpribadi dan keilahian setiap pribadi dalam Allah Tritunggal. Akibatnya, penekanan yang ekstrem terhadap kesatuan Allah akan menghasilkan dua pengertian yang menyimpang seperti subordinationism dan modalisme/sabellianisme. Modalisme menyatakan argumennya demikian, jika Anak dan Roh Kudus adalah pribadi yang ilahi, mereka tidak mungkin bersama-sama dengan Allah sebab Allah adalah satu. Jadi, mereka hanyalah manifestasi sementara dari satu Allah, tidak ada perbedaan pribadi yang kekal di antara ketiga-Nya. Allah Anak identik dengan Allah Bapa, begitu pula dengan Allah Roh Kudus. Sedangkan subordinationism menjelaskan bahwa Allah Anak dan Roh Kudus adalah makhluk yang lebih rendah sebagai bentuk derivasi dari Bapa, semacam ‘makhluk antara’. Allah Anak dan Roh Kudus tidak sederajat dengan Bapa tetapi juga lebih tinggi dari seluruh ciptaan.
Berawal dari sini, subordinationism terus berkembang hingga tidak terkontrol dan menimbulkan konflik. Konflik yang terjadi disebabkan oleh seorang bernama Arius. Dalam pengembangannya terhadap subordinationism, Arius mengklaim bahwa 1) Tuhan adalah keberadaan yang tunggal dalam pribadi Allah. Allah tidak selalu Bapa karena sebelum ada Anak, Allah adalah Allah bukan Allah Bapa; 2) Anak memiliki awal/ex nihilo, ada waktu ketika Anak tidak ada. Ia diciptakan berdasarkan kehendak Bapa; 3) Tuhan menciptakan sebuah pribadi perantara yaitu Anak. Allah Bapa tidak menciptakan sendiri, namun melalui perantara Anak yang terlebih dahulu diciptakan; 4) Anak memiliki natur yang dapat berubah, tidak kekal, dan kehendak bebas untuk taat kepada Allah Bapa; 5) Substansi dari Bapa, Anak, dan Roh Kudus berbeda satu dengan yang lain. Ada dua hikmat, satu yang berada secara kekal dengan Allah, yang lain adalah Anak yang diciptakan melalui hikmat itu, sehingga Anak tidak memiliki pengertian yang sempurna terhadap Tuhan dan diri-Nya sendiri.
Pandangan di atas menyerang mengenai relasi antara tiga pribadi dalam Tritunggal, khususnya relasi antara Anak dan Bapa. Inilah yang dilawan oleh Tertullian, seorang theolog yang berasal dari abad ke-3. Ia memulai argumennya dengan menyatakan bahwa Tuhan yang esa nyata dalam tiga pribadi yang berbeda. Bapa, Anak, Roh Kudus adalah tiga nama untuk tiga pribadi yang berbeda, bukan untuk satu pribadi yang sama. Tritunggal tidak semata-mata menghilangkan monarki (keesaan). Istilah monarki sendiri tidak menghalangi seorang monarch/raja untuk membagikan kekuasaannya kepada anaknya atau pejabat lain untuk memerintah bersama dengan dia. Jika raja itu memiliki anak dan kekuasaannya dibagikan kepadanya, hal itu tidak mengubah sistem monarkinya karena keduanya tidak dapat dipisahkan. Sifat ini juga ada pada diri Tuhan. Anak dan Roh Kudus sangat dekat dan tidak dapat dipisahkan dari Bapa sehingga natur keesaan-Nya pun tidak harusnya dipertanyakan.
Argumen ini pun diperkuat oleh seorang bernama Origen. Origen terkenal dengan doktrin Tritunggalnya mengenai eternal generation dari Kristus oleh Bapa. Menurut Origen, Allah Anak adalah Hikmat dan Allah Bapa tidak pernah tidak bersama Hikmat-Nya. Pengertian ini berbeda dengan generasi natural yang manusia alami. Manusia melahirkan generasi dengan perbuatan di luar dari dirinya sedangkan generasi yang Bapa miliki adalah berdasarkan natur-Nya sendiri sebagai Allah. Demikian Anak berasal dari Bapa secara kekal, bukan dalam waktu, sehingga tidak ada permulaan selain dalam diri Tuhan. Tidak ada satu titik di mana Kristus tidak berada dengan Bapa begitu juga sebaliknya. Sifat kekekalan harus ditekankan dari pengertian ini agar membedakannya dari alam ciptaan. Pengertian ini tidak dapat dibandingkan maupun memiliki analogi yang cukup. Inilah yang membedakan Anak dari seluruh ciptaan yang lain, yang memiliki permulaan. Origen menambahkan bahwa Anak juga merupakan gambar dari Bapa. Bagi Origen, Anak dan Bapa memiliki kesatuan natur dan substansi di mana Anak sebagai gambar sempurna dari Bapa yang tidak kelihatan. Anak selalu memancarkan kemuliaan Bapa dan menyaksikannya kepada seluruh ciptaan-Nya dan Bapa juga senantiasa memuliakan Anak. Anak selalu di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak. Oleh sebab itu, keilahian Anak sama dengan keilahian Bapa sebagai Allah.
Pandangan lain mengenai relasi ini juga diberikan oleh Athanasius. Melanjutkan dari Origen, Athanasius mengatakan bahwa Bapa dan Anak bukan dari sumber yang sama melainkan Anak berasal dari Bapa yang memperanakkan-Nya. Karena Bapa kekal, maka Anak diperanakkan dalam kekekalan. Karena Anak diperanakkan dalam kekekalan, maka Anak dan Bapa harus bersama-sama kekal. Relasi Bapa dengan Anak ini tidak bisa disamakan dengan pengertian manusia yang melahirkan. Tuhan memperanakkan tidak sama dengan cara manusia memperanakkan, melainkan dengan cara Tuhan sendiri. Manusia dilahirkan dan melahirkan dalam urutan waktu. Seorang manusia baru dapat dikatakan bapa ketika mempunyai anak. Cara ini tidak berlaku bagi Allah. Bapa akan selalu menjadi Bapa dan Anak akan selalu menjadi Anak. Perbedaan ini bersifat kekal. Dengan demikian, hal penting yang harus diperhatikan, dalam konteks ini, bahasa mengenai Allah bersifat analogis. Bahasa manusia tidak dapat menggambarkan secara sempurna mengenai Allah. Poin lain yang ditekankan oleh Athanasius bahwa Anak adalah sepenuhnya Allah. Ketika kita melihat kepada Anak, kita dapat melihat Bapa, begitu juga sebaliknya. Kita tidak akan bisa memisahkan keduanya. Apa yang dimiliki Bapa juga dimiliki oleh Anak. Karena itu, jika kita menyembah dan memuliakan Anak, Anak akan menyembah dan memuliakan Bapa. Sehingga kita akan juga memuliakan Bapa. Karena itu, Bapa dan Anak adalah satu.
The Spirit in Relation to the Father and the Son
Relasi antara pribadi Roh Kudus pun menjadi problem yang sering muncul pada Abad Mula-mula seperti golongan yang mengatakan pengikut Macedonius meskipun tidak ada bukti konkret bahwa Macedonius terlibat di dalamnya. Dalam banyak kasus, mereka menerima keilahian dari Anak sebagai Allah tetapi tidak untuk Roh Kudus. Roh Kudus sering dianggap kurang dari Allah, meskipun tetap kekal, sehingga tidak perlu disembah. Kelompok ini tidak mengakui keilahian Roh Kudus karena menurut mereka, Alkitab tidak pernah mengatakan bahwa Roh Kudus adalah “Tuhan”. Alkitab juga sangat sedikit membahas mengenai Roh Kudus. Mereka lalu mengambil konklusi bahwa Roh Kudus bukanlah Tuhan.
Selain membahas mengenai relasi antara Allah Bapa dan Allah Anak, Athanasius juga membahas mengenai relasi Roh Kudus dengan Bapa dan Anak. Athanasius menganggap bahwa Roh Kudus tidak pernah terpisah dari Bapa dan Anak. Salah satu bagian yang menjelaskan relasi ini adalah ketika Yesus dibaptis di sungai Yordan. Ketika Yesus dibaptis oleh Yohanes pembaptis, Yesus juga diurapi oleh Roh Kudus. Roh Kudus yang sama juga diberikan kepada Gereja-Nya setelah Yesus terangkat kembali ke sorga. Karena itu ketika kita menerima Roh Kudus, kita menerima-Nya melalui Kristus. Hanya melalui Kristus, kita dapat dipersatukan dengan Roh Kudus. Athanasius juga berkali-kali menekankan bahwa Kristus adalah pemberi Roh Kudus. Athanasius menggambarkan Bapa sebagai mata air, Kristus sebagai sungai, dan kita dikatakan untuk minum dalam Roh Kudus. Ketika kita penuh dengan Roh Kudus, kita juga akan penuh dengan Kristus. Ketika Kristus memberi kita Roh Kudus, kita diangkat menjadi anak Allah. Dengan demikian, Allah juga ada di dalam kita. Relasi ini disebut perikoresis, di mana ketiga pribadi tidak dapat dipisahkan dalam segala pekerjaan yang Allah kerjakan. Roh Kudus tidak pernah lepas dari Firman, begitu juga Bapa. Bagi Athanasius, Roh Kudus adalah gambar dari Anak, yang merupakan gambar dari Bapa. Anak akan memuliakan Bapa dan Roh Kudus akan memuliakan Anak. Dalam relasi, antara Roh Kudus dan Anak memiliki relasi yang sama seperti antara Anak dengan Bapa. Sebab itu, seperti Anak yang ada di dalam Bapa dan Bapa di dalam Anak, Roh Kudus juga harus dilihat bukan sebagai ciptaan melainkan sebagai Allah. Roh Kudus juga berada di dalam Anak seperti Anak juga di dalam-Nya. Ketiganya tidak pernah bisa dipisahkan. Mengenai masalah ini, Gregory dari Nazianzus menambahkan bahwa pengertian procession/keluarnya Roh Kudus tidak dapat dimengerti dengan sempurna. Sama seperti eternal generation Anak tidak dapat dijelaskan dengan sempurna melalui bahasa yang ada, begitu pula procession dari Roh Kudus.
Distinction between Three Persons
Jika demikian, apa yang membedakan Bapa, Anak, dan Roh Kudus? Sifat mereka (diperanakkan, memperanakkan, keluar/prosesi), juga berkait dengan relasi satu dengan yang lain, yang memberi nama (Bapa, Anak, Roh Kudus) bagi diri-Nya sendiri. Inilah keagungan dan keunikan yang membuat adanya perbedaan dalam ketiga pribadi dalam satu natur yaitu Allah Tritunggal. Sifat-sifat tadi memengaruhi relasi dalam Allah Tritunggal tetapi tidak memengaruhi naturnya. Pengaruh terhadap relasi dapat kita lihat melalui pekerjaan yang dikerjakan masing-masing pribadi dalam sejarah. Kristus adalah Yang diperanakkan oleh Bapa sehingga dalam seluruh keberadaan-Nya, dalam kekekalan, maupun ketika inkarnasi ke dalam dunia, selalu merefleksikan cahaya terang dari Bapa. Sama halnya dengan Roh Kudus. Roh Kudus akan terus menunjuk kepada Kristus agar ditinggikan sebagai Allah.
Penutup
Perjuangan kekristenan di Abad Mula-mula sudah begitu berat dengan menghadapi berbagai aliran-aliran sesat. Kita bisa melihat betapa kompleks dan hebatnya pengajaran sesat yang berkembang di dalam sejarah Gereja yang berusaha untuk menggugurkan akan kebenaran firman Tuhan. Melalui pembahasan ini kita bisa melihat bahwa doktrin Tritunggal bukan sebuah doktrin kosong yang sembarangan. Tetapi kita bisa melihat bagaimana Tuhan terus beserta dan memelihara akan kebenaran doktrin ini. Sudah berabad-abad doktrin Tritunggal coba untuk dijatuhkan, tetapi tidak pernah ada satu pun pengajaran sesat yang berhasil menggugurkannya. Kenapa? Karena itulah kebenaran, tidak pernah bisa digugurkan dan ditelan oleh waktu ataupun dijatuhkan oleh pemikiran-pemikiran kosong dari manusia berdosa. Puji Tuhan.
Biarlah sebagai orang percaya, yang Tuhan anugerahkan kesempatan untuk belajar firman Tuhan yang begitu ketat dan berlimpah di dalam Gerakan Reformed Injili ini, kita harus mensyukuri akan warisan pengajaran doktrin yang setia pada firman Tuhan dari Bapa-bapa Gereja. Dan bukan hanya mensyukurinya tetapi juga kita harus menghargainya dengan baik-baik mempelajari dan merenungkan akan kebenaran ini untuk kita aplikasikan ke dalam zaman ini, maupun kita wariskan kepada generasi-generasi selanjutnya. Suatu fakta yang menyedihkan bahwa begitu banyak orang kristen saat ini yang sudah lupa akan sejarah, mereka tidak lagi mau mempelajari doktrin yang ortodoks, yang dengan gigih diperjuangkan oleh Bapa-bapa Gereja. Di saat iman yang ortodoks ini tidak kita pelajari dengan baik, maka kita sedang menghina pekerjaan Tuhan di dalam sejarah. Jikalau kita tidak mempelajari sejarah, maka sebetulnya dengan arogansi kita berpikir bahwa kita lebih superior daripada pendahulu kita, karena merasa tidak perlu belajar dari para pendahulu kita. Biarlah sebagai orang-orang Kristen yang Tuhan anugerahi mengerti doktrin Reformed, dengan rendah hati kita belajar untuk melihat perkembangan sejarah doktrin kristen, melihat bagaimana Tuhan bekerja di dalam sejarah dan membawa spirit dan warisan doktrin ini ke dalam zaman di mana kita berada, untuk kita pakai dalam menghadapi tantangan zaman ini, serta kita tegakkan sebagai identitas iman Kristen yang sejati dan berakar pada firman Tuhan.
Howard Louis
Pemuda GRII Bandung
Referensi:
Letham, R. (2004). The Holy Trinity: In Scripture, History, Theology, and Worship. Phillipsburg: P&R Publishing.