Polycarpus adalah seorang Bapa gereja yang hidup tepat setelah zaman para rasul. Karena lahir pada tahun 69, maka dia masih sempat bertemu dengan para rasul dan tokoh-tokoh kekristenan awal. Dia adalah murid langsung dari rasul Yohanes dan berdomisili di Smirna (sekarang menjadi kota Izmir di daerah Turki) sepanjang hidupnya. Tidak banyak tulisan Polycarpus yang bertahan sampai sekarang. Tulisannya yang paling utama dan masih ada hanyalah suratnya kepada jemaat di Filipi. Meski demikian, surat ini cukup menggambarkan tentang theologinya, kesungguhannya dalam menggembalakan, dan kepeduliannya akan ajaran sesat yang beredar saat itu.
Polycarpus sudah menjadi orang Kristen sejak kecil. Sewaktu dia lahir, di tempat itu sudah tersebar berita Injil. Meskipun demikian, kehidupan kekristenan di tempat itu bukanlah sesuatu yang mudah. Penganiayaan dan tekanan dari pemerintah Romawi ada di sana. Tetapi dengan anugerah Tuhan, dia tetap boleh hidup sebagai orang Kristen sampai masa tuanya, sampai dia berumur 86 tahun. Bukan hanya hidup sebagai orang Kristen biasa, dia bahkan menjadi pemimpin kekristenan di wilayahnya dan menjadi seorang uskup dari sebuah jemaat yang cukup besar, jemaat di Smirna.
Polycarpus tidak pernah bersekolah sampai pendidikan yang tinggi di mana pun, tetapi sejak muda memang sudah langsung diajar oleh rasul Yohanes sendiri. Kemungkinan rasul Yohanes melihat ada potensi yang besar dalam diri anak muda ini sehingga mau mengangkatnya sebagai murid. Kita harus ingat bahwa konteks pemuridan zaman itu tidak sama seperti kita sekarang. Di zaman ini ketika kita bersekolah, kuliah, dan lain-lain, hanya bertemu dengan guru kita beberapa jam saja dalam kelas, lalu mengerjakan tugas, ujian, bertanya kepada guru jika tidak mengerti. Berbeda pada zaman dulu, pemuridan itu berarti seluruh hidup mengikuti guru itu. Murid akan hidup bersama dengan gurunya, sepanjang hari dan meneladani seluruh hidup gurunya. Meski demikian kita tidak bisa meremehkan kemampuan Polycarpus. Tulisannya mencerminkan bahwa dia memiliki pengertian tentang Alkitab yang komprehensif.
Polycarpus dikenal sebagai orang yang saleh dan berani hidup bagi Kristus. Berita tentang kehidupannya yang menjadi teladan tersebar sampai ke telinga Bapa-bapa Gereja yang lain, misalnya Irenaeus dan Ignatius. Mereka tidak sungkan-sungkan memberi nasihat kepada jemaat mereka untuk mengikuti teladan hidup Polycarpus. Jemaat di Filipi pun sampai meminta dia menuliskan sebuah surat nasihat kepada gereja mereka. Tetapi bukan hanya hidupnya saja yang saleh, Polycarpus juga tidak bisa tinggal diam ketika melihat ajaran-ajaran sesat beredar dan mencoba menarik perhatian umat pilihan dari ajaran gereja yang sejati.
Ajaran sesat yang dia lawan melalui surat-suratnya adalah bidat Marcionisme dan Valentinianisme. Marcionisme adalah bidat yang mengajarkan untuk membuang konsep Allah Perjanjian Lama sebagai dasar konsep Allah Perjanjian Baru. Marcion menganalisa Alkitab dan menyimpulkan bahwa Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru tidak mungkin sinkron, bahkan sifatnya kontradiktif. Allah di Perjanjian Lama terlalu kejam dan berbeda dengan Allah Perjanjian Baru yang begitu mengasihi. Sedangkan Valentinianisme adalah bidat yang membawa bibit Gnostisisme. Bidat itu mengajarkan bahwa keselamatan baru bisa terjadi ketika kita sudah memiliki pengetahuan spiritual yang sifatnya misterius. Polycarpus berjuang sepanjang hidupnya mengembalikan seluruh ajaran gereja kembali kepada ajaran para rasul dan Injil yang sejati. Banyak orang yang sudah mengikuti ajaran bidat saat itu bertobat dan kembali kepada ajaran yang benar karena pelayanan Polycarpus.
Polycarpus hidup di masa peralihan antara masa para rasul dan masa para Bapa Gereja. Oleh karena inilah Tuhan menyertai dia dalam ajarannya dan semangatnya untuk kembali kepada yang sejati. Bila kita bandingkan dengan karya-karya Bapa Gereja setelah Polycarpus, kita akan menemukan banyak bidat dalam ajaran mereka dan hanya sedikit saja bagian yang benar-benar bisa digolongkan sebagai ajaran yang sehat. Sedangkan dalam karya-karya Polycarpus, sedikit sekali ada indikasi pemikiran yang salah atau bidat. Mayoritas pemikirannya sesuai dengan iman ortodoks dan ajaran para rasul. Selain itu, dia juga adalah orang yang sangat peduli tentang pemerintahan gereja dan Alkitab.
Selain itu, Polycarpus memang selalu berupaya untuk menetapkan standar bagi kekristenan. Standar yang sesuai dengan ajaran para nabi dan para rasul. Standar ini harus ada supaya gereja memiliki kesatuan dan mencegah munculnya bidat. Polycarpus sangat peduli tentang kesatuan gereja dan ortodoksi yang harus ditegakkan, karena dia sadar sekali akan bahaya yang akan datang dari interpretasi-interpretasi orang yang sembarangan akan firman Tuhan dan maksud jahat dari orang-orang yang memang ingin memecah belah gereja.
Dari peran Polycarpus yang begitu krusial dan begitu berbeda dengan Bapa Gereja sesudahnya, kita bisa melihat bahwa ada yang Tuhan mau ajarkan melalui sejarah gereja-Nya. Prinsip yang bisa kita pelajari adalah ketika Tuhan mau membangun suatu zaman atau era yang baru dalam panggung sejarah, Tuhan pasti memberikan fondasi yang sangat kuat. Karena sepanjang sejarah akan terjadi penyelewengan-penyelewengan dari yang sejati itu. Jika dari awalnya saja sudah tidak kuat dan tidak setia, zaman setelah itu pasti akan jauh lebih rusak lagi. Maka kita sebagai orang Kristen di zaman sekarang, harus berusaha kembali kepada iman yang sejati dan ortodoks. Lalu kita harus menyediakan fondasi dan teladan yang baik bagi generasi yang selanjutnya. Kita tidak boleh egois, hanya memikirkan zaman kita saja bagaimana. Kita harus memikirkan dalam kerangka keseluruhan Kerajaan Allah yang besar, bagaimana kebenaran diturunkan kepada zaman yang selanjutnya.
Pada akhir hidupnya, Polycarpus tahu bahwa dia akan diadili di Roma dan akan mati sebagai martir. Sudah lama pemerintah Roma ingin menangkap Polycarpus, tetapi entah mengapa dia baru ditangkap saat dia berumur sekitar 86 tahun. Pemerintah Roma resah akan keberadaan pemimpin-pemimpin kekristenan ini karena agama Kristen dianggap agama yang berkembang terlalu cepat dan sifatnya memberontak terhadap kaisar. Polycarpus ketika tahu bahwa dia akan ditangkap, sikapnya tenang sekali, tidak ada kepanikan sedikit pun seperti yang dimiliki seluruh rekan dan muridnya. Orang-orang yang mengasihinya menyuruhnya untuk cepat-cepat kabur dari kota itu. Tetapi Polycarpus menolak untuk kabur, dia tahu panggilannya untuk mati bagi Tuhan. Tetapi untuk menenangkan jemaatnya, dia pindah ke rumah kecil di luar kota Smirna. Tapi dia memastikan bahwa dia tidak bersembunyi di tempat yang tidak bisa ditemukan tentara Romawi, karena dia tidak lari dari kematian. Dia menunggu kedatangan tentara Romawi dengan sabar di rumah itu. Pada akhirnya, tentara Roma menemukan tempat tinggal Polycarpus dan datang untuk menangkapnya. Untuk terakhir kalinya temannya menyuruh Polycarpus untuk melarikan diri, tetapi Polycarpus menjawab, “Biarlah kehendak Tuhan yang jadi.” Ketika tentara Romawi datang, peristiwa itu mengingatkan kita akan kisah penangkapan Yesus yang tidak melawan sama sekali ketika mau ditangkap dan disalibkan. Polycarpus mempersilakan para tentara itu untuk masuk ke dalam rumahnya.
Kemudian dia dibawa ke prokonsul lokal (semacam pengadilan lokal di zaman itu) yang dipimpin oleh Statius Quadratus. Dengan dilihat oleh banyak orang, Statius menginterogasi Polycarpus dan terus-menerus mengorek kesalahannya tetapi tidak dapat mematahkan iman dan argumennya. Seluruh jawaban Polycarpus sangat jujur dan tidak ada yang mampu membantahnya, bahkan dia yang memimpin alur pembicaraan sampai akhirnya Statius tersudut. Walaupun Statius sudah menggunakan berbagai ancaman, Polycarpus tetap tidak mundur dan kalah. Dia adalah seorang apologet yang sangat brilian dan pada saat itu dia sangat disertai Tuhan sehingga mengeluarkan kalimat-kalimat yang berkuasa, bijaksana, penuh kebenaran, dan tanpa kompromi. Sebelum Statius menjatuhkan hukuman, dia masih merasa kasihan kepada orang tua berumur 86 tahun ini. Statius memberikan alternatif terakhir, yaitu Polycarpus akan dibebaskan jika dia mengatakan, “Kaisar adalah Tuhan”. Hanya jika dia mengatakannya dan memberikan hormat sedikit kepada kaisar, dia akan terlepas dari penganiayaan dan kematian. Tetapi respons Polycarpus berbeda sekali, bahkan jawabannya atas tawaran ini akan menjadi kekuatan bagi begitu banyak orang Kristen pada zaman-zaman selanjutnya. Dia mengatakan, “Sudah 86 tahun aku melayani Kristus Tuhanku dan Dia tidak pernah melakukan apa pun yang salah terhadapku, bagaimana mungkin aku mengkhianati Dia, Rajaku yang menyelamatkanku?” Setelah mendengar perkataan itu, Statius menjadi sangat kesal dan memutuskan untuk menghukum Polycarpus dengan hukuman mati, dibakar dengan api. Polycarpus masih sempat menjawab lagi, “Api yang engkau kobarkan ini hanya akan berlangsung sebentar saja, tetapi api penghakiman Tuhan yang telah disediakan bagi orang yang tidak percaya kepada Tuhan kekal adanya dan tidak dapat dipadamkan.” Setelah itu Polycarpus berkata untuk terakhir kalinya, “Apalagi yang engkau tunggu? Lakukanlah apa yang engkau kehendaki.”
Pada seluruh percakapan ini kita melihat seorang Kristen yang sungguh berani, seperti tidak takut apa pun, bahkan kematian pun tidak menggoncangkan dia. Apa yang membuat dia bisa seperti demikian? Apa yang bisa kita teladani darinya? Yang jelas adalah dia hidup bagi Kristus dan bukan hidup bagi dirinya sendiri lagi. Ketika kita mulai hidup secara total bagi Kristus, pelan-pelan kita akan dituntun dan diajar oleh Tuhan bagaimana menjadi orang yang mengasihi Dia semakin dalam. Kita terus akan bertumbuh dalam kasih kita akan Dia sampai suatu saat kita tiba pada tahap “tidak takut mati bagi Tuhan”. Inilah yang harus kita teladani, semangat mau bertumbuh dan mengasihi Tuhan dengan sepenuhnya. Jika kita tidak ada langkah konkret dalam pertumbuhan tetapi ingin punya hidup seperti Polycarpus, kita sedang bermimpi! Maka mari kita bangun dari mimpi kita dan mulailah berjalan maju di dalam pertumbuhan iman kita secara nyata.
Sejarah gereja dan teladan iman yang diberikan oleh Tuhan kepada kita sungguh adalah anugerah yang besarnya tidak terkira. Mungkin selama ini kita menganggap sejarah sebagai sesuatu yang remeh dan tidak penting. Tapi kita harus sadar bahwa itu adalah konsep yang salah. Sejarah adalah wahyu Tuhan yang diberikan-Nya untuk mengajar kita dan menuntun Gereja-Nya. Ketika orang Kristen mengerti hubungan antara sejarah dan rencana kekal Allah, kita akan menjadi orang yang sangat kaya. Kita meneladani orang yang dipimpin Tuhan sepanjang sejarah, kita menghindari seluruh kesalahan yang pernah dilakukan umat Tuhan sepanjang sejarah. Dengan demikian kekristenan akan berkembang dan Gereja terus membawa pimpinan Tuhan yang jelas. Mari kita menghargai sejarah yang diberikan oleh Tuhan dan belajar sedalam-dalamnya mencari maksud yang ingin Tuhan nyatakan dalam sejarah itu. Supaya hidup kita berbahagia, memiliki identitas, dan memuliakan Allah.
Rolando
Pemuda FIRES