Seorang anak martir kelahiran 185 M di Alexandria mendapatkan pendidikan terbaik di zamannya, dia adalah Origen yang dijuluki sebagai “Iron Man”. Ia dipengaruhi oleh pemikir-pemikir yang besar, baik dari pihak gereja yaitu Clement of Alexandria dan juga dari pihak filsuf yaitu Ammonius Saccas, yang adalah pendiri Neoplatonisme. Pada umur 18 tahun ia diangkat oleh Bishop Demetrius of Alexandria untuk mengajar katekisasi. Ia adalah pembaca Alkitab yang ulung. Orang ini sangat mencintai Alkitab dan sungguh-sungguh menjalankannya. Ia menjadi seorang asketis. Dalam hal ini memang dia melakukan kesalahan yang ia sendiri mengakuinya di kemudian hari yaitu ia mengebiri alat kelaminnya sendiri agar tidak lagi melakukan dosa seksual. Dari sana kita dapat melihat niat dan kesungguhannya dalam melakukan apa yang Alkitab katakan, walaupun dalam hal ini memang dia salah tafsir. Dalam hal penafsiran Alkitab, Origen sangat-sangat gila di dalam penggalian hal-hal baru. Ia sering membuang karya-karya lamanya dikarenakan ia telah mendapat pemikiran yang baru yang dianggap lebih cocok. Buku yang diketahui ditulis olehnya diperkirakan sebanyak delapan ratus judul buku dan jika digabung dengan tulisan-tulisan pendek serta surat-surat yang pernah ia buat adalah sebanyak enam ribu karya. Salah satu karyanya yang merupakan batu pertama bagi penulisan theologi sistematika Kristen adalah On First Principle yang menyusun secara rapi tentang Allah, Kristus, dunia, dan manusia.
Salah satu masa hidupnya yang penuh pergumulan adalah ketika ia meninggalkan Alexandria dan menetap di Kaisarea, pesisir Yudea, di mana ia ditahbiskan menjadi presbiter oleh bishop Kaisarea, Theocristus. Maka di pihak lain yaitu mantan bishop-nya, Demetrius mulai membenci Origen dan menarik semua ajaran-ajarannya. Gereja di Mesir akhirnya mengutuk ajaran-ajaran dari Origen dan mengekskomunikasikan Origen. Ia menetap di Kaisarea dan sebagai pengajar ia memberikan kelas tingkat tinggi di dalam Christian Philosophy. Ia menjelajah semua pemikiran sekuler dan ilmu pengetahuan yang beredar saat itu namun tetap memiliki fokus kekristenannya. Dengan demikian ia menjadi orang yang sangat disukai oleh banyak gereja di dunia. Ia dikenal memiliki kekuatan yang besar untuk berdebat dan juga kegigihan bagi ortodoksi serta sifat yang fair bagi orang-orang yang menolaknya.
Namun dari semua kesuksesannya, ia memiliki keadaan yang buruk di akhir-akhir hidupnya. Kontroversi semakin banyak terjadi akibat dari ajarannya dan ia juga mendapat penganiayaan dari pemerintahan Romawi. Ia ditangkap, dipenjara, disiksa, dan dipaksa untuk menarik ajaran-ajarannya. Namun karena dia adalah seorang asketis maka ia sudah terlatih ketika penganiayaan datang atas dirinya.
Ia akhirnya dilepaskan namun dengan tubuh yang sudah sangat remuk. Tidak diketahui lagi mengenai perjalanan hidupnya di kemudian hari. Ia sudah tidak lagi melayani di dalam gereja seperti masa-masa sebelumnya. Ia meninggal di Tyre pada tahun 254 M.
Origen memang kontroversial di zamannya. Ia sudah dikonotasikan sebagai ajaran yang tidak ortodoks. The Second Council of Constantinople tahun 553 M banyak menolak dan menghancurkan ajaran-ajaran dari Origen dan yang diteruskan oleh murid-muridnya. Namun perlu diingat bahwa Origen tidak pernah sembarangan memberikan ajarannya. Ia memiliki keyakinan dan kejelasan akan kesetiaannya kepada Alkitab. Setiap ajarannya adalah berasal dari Alkitab yang ia mengerti.
Ia sangat mengakui akan Alkitab sebagai wahyu Allah bagi manusia. Ia juga sangat memperhatikan masalah-masalah dalam Alkitab. Ketika menemukan ayat Alkitab yang sulit, ia dengan rendah hati mengatakan bahwa ada makna yang lebih dalam dari apa yang dia pikirkan saat ini. Maka ia menggunakan penafsiran alegoris. Namun alegoris yang dilakukan oleh Origen bukanlah sembarangan tafsir, namun ia selalu menjadikan Alkitab secara keseluruhan sebagai referensinya. Ia sangat kuat meyakini akan Allah adalah Roh dan berada di mana-mana. Allah adalah perfect mind. Maka dengan menggunakan pikiran (mind) kitalah, kita paling dapat menyerupai Allah. Karena pandangannya yang satu ini ia bisa dikatakan sebagai orang yang memiliki spiritualitas yang sangat intelektual.
Dalam doktrin Allah Tritunggal, Origen sesat dalam hal kesetaraan Allah Bapa, Allah Anak, dan Allah Roh Kudus. Ia masih memegang adanya subordinasi di dalam Allah Tritunggal. Namun di dalam doktrin Tritunggalnya, ia memberikan ide yang sangat cemerlang yang harus kita pertahankan sampai hari ini, yaitu eternal generation atau eternal begotten. Artinya, Allah Anak dilahirkan Bapa dan Allah Roh Kudus keluar dari Bapa dan Anak terjadi di dalam kekekalan, bukan di dalam waktu. Maka Allah Anak dan Allah Roh Kudus selalu ADA. Tidak ada waktu di mana Allah Anak dan Allah Roh Kudus belum ada. Ide ini jugalah yang menjadi andalan bagi Athanasius untuk melawan Arius 1 abad kemudian sehingga ajaran ini menjadi penting dalam doktrin Allah Tritunggal sampai hari ini.
Origen juga adalah Bapa Gereja yang masih terpengaruh oleh dualisme Plato, yaitu tubuh dan jiwa. Tubuh yang sementara adalah penjara jiwa yang bersifat kekal. Sehingga dalam doktrin keselamatan pun Origen meletakkan bahaya pemikiran yang salah. Ia memang mengakui Yesus Kristus adalah Juruselamat, namun penyelamatan yang bagaimana? Origen tidak jelas mengenai perbedaan kualitas antara Pencipta dan ciptaan. Ia mengatakan manusia harus memakai kualitas Allah itu sendiri untuk dapat diselamatkan. Manusia harus menjadi seperti Kristus yang mempunyai kualitas ilahi. Ini adalah kesesatan. Neraka pun dianggapnya tidak kekal. Neraka hanya tempat pengudusan untuk akhirnya semua ciptaan akan direstorasi. Tanpa sadar ia mendukung universalisme yang memang juga tidak disadari oleh zamannya sendiri.
Origen & Postmodernism
Kita sering kali mendengar orang berkata bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan, maka setiap orang itu sama. Kalimat yang sepertinya masuk akal ini mengandung bahaya yang sifatnya halus. Ini adalah semangat postmodern yang tidak mau lagi mengakui perbedaan tingkatan. Ketika menyaksikan hidup dan pemikiran Origen kita banyak melihat kekurangan dan juga kelebihan dari orang ini. Tetapi berbeda dengan semangat postmodern yang tidak ada tolak ukurnya sama sekali. Origen di dalam cara penafsiran alegoris – yang pada umumnya dilakukan banyak orang dengan sangat bebas, ia tetap berpegang terus pada apa yang Alkitab tulis. Begitu juga dengan banyaknya kesesatan-kesesatan yang muncul dari pemikirannya, itu bukan dengan sengaja mau melawan Alkitab melainkan ia sangat mengandalkan pembacaan Alkitabnya dengan teliti sehingga mengeluarkan doktrin-doktrin. Berbeda dengan semangat zaman sekarang di mana orang tidak lagi mau mengacu kepada kebenaran absolut, yaitu Alkitab. Maka walaupun setiap orang memang sama-sama relatif namun tingkat kerelatifannya tidaklah sama tetapi berbeda. Seorang anak TK dan profesor adalah sama-sama relatif, namun apakah mereka sama? Kalau mereka sama, bisakah mereka bertukar peran? Ketika melihat persamaan, jangan lupa melihat perbedaannya juga, khususnya di dalam tingkatan otoritas. Tingkatan otoritas inilah yang hilang di zaman sekarang. Orang tidak mau diikat oleh sesuatu kecuali oleh dirinya sendiri. Orang tidak mau dikoreksi kesalahannya oleh orang lain. Ketika mau dikoreksi pun tetap harus berdasarkan persetujuan dirinya sendiri.
Sejarah selalu mencatat bahwa Origen sangat-sangat dekat dengan Alkitab sehingga banyak membuat tulisan mengenai pemikirannya yang dia ambil dari Alkitab. Tetapi, mengapa orang yang sangat getol membaca Alkitab ini tetap dapat melahirkan banyak sekali kesesatan? Pertama, kita harus berpikir bahwa menjadi gila baca Alkitab saja sanggup melahirkan doktrin yang salah, apalagi jika orang malas membaca Alkitab? Pasti membawa kecelakaan! Dan pasti menyesatkan orang lain. Kedua, Allah yang mewahyukan kebenaran-Nya secara progresif memang belum membukakan kebenaran-kebenaran yang sudah Gereja mengerti hari ini di zaman Origen. Mungkin sekali Origen sudah melakukan yang terbaik dan dengan sungguh-sungguh jujur untuk menafsirkan Alkitab, tetapi memang Tuhan belum mau membukakan karena belum waktu-Nya. Karena alasan inilah, kita masih mengakui bahwa Origen adalah Bapa Gereja. Namun ini bukan menjadi alasan bahwa orang itu lumrah untuk berbuat salah. Kesalahan tetaplah kesalahan! Kesesatan adalah kesesatan! Kita harus mengikuti semangat Origen dalam mencintai Alkitab, tetapi tidak boleh ikut dalam pemikiran-pemikirannya yang sesat.
Hal lain yang baik dari Origen adalah spiritualitasnya yang sangat intelektual. Istilah spiritual dan intelektual hari ini konotasinya adalah hal yang bertentangan satu sama lain. Orang yang mengaku spiritual sangat sering mengolok orang yang intelektual. Orang yang intelektual pun mengejek orang yang selalu bicarakan spiritualitas. Spiritualitas konotasinya adalah lemah dan rendah hati. Sedangkan intelektualitas konotasinya adalah kuat dan arogan. Ini adalah pembagian yang beredar di dunia postmodern hari ini, bahkan di dalam Gereja. Namun ketika melihat kehidupan Origen, kita masih melihat keutuhan hidup sebagai manusia yang tidak terpecahkan, khususnya dalam hal ini. Maka kita yang adalah anak zaman postmodern yang sok tau ini perlu rendah hati dan belajar dari Origen dalam membangun hidup yang utuh – spiritualitas dan intelektual.
Terakhir, yang penulis ingin sorot adalah mengenai asketisme yang “berbuah manis”. Asketisme adalah penyiksaan terhadap tubuh jasmani yang didefinisikan sebagai penjara jiwa agar jiwa kita lepas dari tubuh yang sementara ini. Ini adalah ajaran Plato, bukan Kristen. Namun pengaruh Plato banyak menyapu pemikiran Bapa-bapa Gereja di abad-abad pertama perjalanan Gereja termasuk Origen. Maka Origen pun melakukan praktik menyiksa tubuh ini. Tetapi karena tubuhnya sudah terlatih untuk disiksa, ia justru dapat melewati penganiayaan oleh Kerajaan Romawi. Dalam hal ini kita harus malu karena kita yang mengaku memiliki ajaran yang benar dan tidak setuju akan asketisme malah takut akan tubuh kita disiksa, takut akan penderitaan fisik, bahkan takut akan ketidaknyamanan. Maka banyak orang Kristen takut mengabarkan Injil karena takut akan mengalami bahaya atau tidak rela mendapatkan penolakan.
Pengaruh besar Origen tidak boleh kita anggap enteng dan biasa. Ia tetap merupakan orang besar yang Tuhan bangkitkan dalam sejarah umat-Nya di dunia ini untuk tetap ditengok oleh setiap zaman karena Tuhan pernah melakukan hal besar melalui hidup Origen. Walaupun banyak pemikiran yang salah dicetuskan olehnya, ia tetap memiliki sesuatu yang layak untuk diingat dan yang menolong kita untuk mengoreksi kebodohan-kebodohan keji manusia modern hari ini.
“Wherever Christians try to work out the meaning of their faith with intellectual, spiritual and scientific integrity, the influence of Origen may still be detected.” – Jonathan Hill
Chias Wuysang
Pemuda FIRES