Kita sedang hidup dalam zaman yang disebut Wells sebagai “an age of historical amnesia.”[1] Zaman yang melupakan sejarah. Namun sebagai seorang Kristen, kita harus menyadari signifikansi sejarah dalam kehidupan kita – khususnya sejarah keselamatan – karena kita percaya bahwa iman kita bukanlah iman yang “diturunkan dari langit” begitu saja, tanpa sejarah maupun kisah. Kita percaya bahwa Allah pun bekerja (berkarya) dalam ciptaan-Nya dalam konteks/kurun ruang dan waktu. Dan Ia pun mengaruniakan iman kepada kaum pilihan-Nya sejak sebelum zaman nenek moyang (Patriarchs) bangsa Israel, bahkan di luar bangsa pilihan tersebut (misalnya Ayub). Iman ini diwariskan dari zaman ke zaman hingga nanti berakhirnya sejarah.[2] Sampai di sini kita menyadari bahwa sejarah dan kisah kekristenan bukan hanya apa yang tersaji di hadapan kita dalam catatan Alkitab[3] belaka, namun sebelum dan setelah kanonisasi Alkitab, dan setelah zaman rasul-rasul berlalu, dan akan berlangsung terus-menerus sepanjang sejarah.
Mengamati sejarah Gereja, kita melihat bahwa pada zaman Gereja mula-mula, ada beberapa tokoh atau pemimpin Gereja – Church Fathers (Bapa-bapa Gereja) – yang hidup sezaman dengan para rasul terakhir yang masih hidup saat itu (seperti Petrus, Paulus, dan Yohanes) dan sekaligus merupakan murid-murid para rasul, sehingga disebut sebagai Apostolic Fathers[4] (Bapa-bapa Rasuli). Di antara mereka yang kita ketahui adalah Barnabas, Hermas, Clement dari Roma, Polycarpus, Papias, dan Ignatius.[5] Untuk ini kita berhutang kepada Jean Cotelier, seorang sarjana Perancis abad ketujuh belas, yang pertama kali mengelompokkan tulisan-tulisan para Bapa Rasuli dalam bukunya.[6]
Berkaitan dengan Bapa-bapa Rasuli ini, ada beberapa hal yang dapat kita ketahui. Barnabas mungkin adalah Barnabas yang melayani bersama rasul Paulus dalam perjalanan misinya yang dicatat dalam Kisah Para Rasul. Meskipun sangat diragukan bahwa ia telah menulis Epistle of Barnabas, namun namanya dikenal sebagai penulisnya.[7] Hermas mungkin adalah orang yang disebut dalam Roma 16:14, namun tidak cukup bukti untuk mendukung hal ini. Dan meskipun ia dipercaya oleh Gereja mula-mula sebagai penulis The Shepherd of Hermas yang berisi penglihatan, perintah, dan perumpamaan, namun sangat diragukan keautentikannya. Clement, seorang Uskup Roma,[8] mungkin adalah rekan pelayanan Paulus yang dicatat dalam Filipi 4:3. Ia menulis sebuah surat kepada Gereja Korintus (dikenal dengan nama The Letter of the Church of Rome to the Church of Corinth dan biasanya disebut dengan Clement’s First Letter).[9] Meskipun beberapa pihak meragukan keautentikannya, namun tidak ada bukti kuat untuk menyangkalnya. Polycarpus, seorang Uskup Smirna, adalah murid rasul Yohanes yang menulis sebuah surat pendek kepada Gereja Filipi. Papias, adalah seorang Uskup Hierapolis, yang hidup sezaman dengan Polycarpus dan juga merupakan murid rasul Yohanes. Ia menulis Exposition of the Oracles of the Lord. Dan Ignatius, seorang Uskup Antiokhia, yang juga hidup pada masa rasul-rasul terakhir.[10] Olson mengatakan bahwa Bapa-bapa Rasuli memang patut dihargai dan dikagumi karena keteguhan mereka dalam membela (mempertahankan) doktrin inkarnasi Allah dalam Yesus Kristus dari serangan dan penyangkalan kaum Gnostik. Termasuk ketika mereka – dengan menantang maut – menyatakan confession tentang Kristus dan Injil-Nya, justru ketika sedang berada di bawah penganiayaan, sehingga di antara mereka ada yang mati martir di tangan para penguasa Romawi.[11]
Memang dalam dua abad pertama Masehi, sangat sedikit dokumen kekristenan yang paling awal di luar Perjanjian Baru. Apalagi yang ditulis pada abad pertama.[12] Saat itu kanon[13] Perjanjian Baru pun belum ditetapkan. Dokumen Kristen paling awal yang kita miliki adalah tulisan-tulisan para Bapa Rasuli. Di sisi lain, dari sekian tulisan/dokumen tersebut, bukanlah pekerjaan mudah untuk memilih dan menetapkan dokumen mana yang representatif dan layak dinilai bermutu sastra yang tinggi dan penting.[14]
Jika diperhatikan, secara umum tulisan para Bapa Rasuli memiliki karakteristik tertentu. Berkhof menyatakan ada dua, yaitu: pertama, tulisan mereka sangat bergantung pada Alkitab, bersifat dapat-keliru (fallible), dan dalam hal tertentu kurang limpah. Kedua, kekurangpahaman mereka terhadap keunikan masing-masing rasul menyebabkan mereka tidak menegaskan (baca: menafsirkan) kebenaran yang telah diwahyukan, namun hanya mengemukakan kembali apa yang telah mereka terima dari para rasul.[15] Sedangkan Richardson melihat bahwa tulisan mereka memiliki bentuk sastra yang sederhana, memiliki keyakinan religius yang sungguh-sungguh, serta bebas dari kekangan filsafat Helenistik[16] maupun retorika. Kesahajaannya lebih dekat ke Perjanjian Baru, dan meskipun ada sesuatu yang kurang pada kedalaman rohaninya, namun tulisan-tulisannya mengungkapkan suatu keprihatinan yang serius terhadap pesan mendasar yang mereka sampaikan. Hal ini dapat dipahami dalam konteks bahwa Bapa-bapa Rasuli tersebut berasal dari zaman di mana Gereja sedang berperang menghadapi serangan dari dua kubu, berupa serangan eksternal – yaitu penganiayaan – dan serangan internal – yaitu perpecahan. Sehingga yang menjadi tema-tema utama mereka adalah kesatuan Gereja dengan para pemimpinnya serta pemeliharaan (atau pemurnian) iman dari (pengaruh) kebobrokan/kemerosotan. Dengan demikian, spontanitas religius dalam tulisan-tulisan mereka memberikan tempat lebih kepada permasalahan moral dan gerejawi.[17] Serupa dengan Richardson, Olson mengatakan,
Perhaps due to a perceived moral and spiritual laziness and decline among Christians, they emphasized the need to avoid sinning, obey leaders and work hard to please God more than the need for liberation from bondage to the law.[18]
Pendapat Olson yang mengatakan bahwa Bapa-bapa Rasuli kurang menegaskan kemerdekaan dari ikatan hukum (baca: Taurat)[19] senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh McGiffert, yang mengatakan bahwa Bapa-bapa Rasuli melihat kekristenan lebih sebagai suatu sistem moral yang mendasarkan dirinya pada sanksi-sanksi ilahi; suatu agama yang mirip dengan Yudaisme namun tidak bersifat rasial dan kebangsaan. Bagi mereka, kekristenan adalah (sebagai) hukum. Tidak ada jejak gagasan/pemikiran Paulus tentang kemerdekaan Kristen dalam tulisan-tulisan mereka. Paling banyak dalam pemikiran mereka adalah konsep bahwa di bawah hukum kemerdekaan (the law of liberty), manusia akan dihakimi dengan penuh rahmat (belas kasihan). Bahkan istilah “the law of liberty” yang muncul dalam the Epistle of James memiliki pengertian yang berbeda dengan konsep Paulus tentang kemerdekaan dari hukum/Taurat.[20] Tidak mengherankan jika mereka menekankan kuasa Allah sebagaimana halnya kebenaran-keadilan (righteousness) dan keadilan (justice), seperti para penulis Perjanjian Lama. Oleh sebab itu, menurut mereka, sikap seseorang yang paling tepat/layak di hadapan Allah – yang adalah Sang Pemberi Hukum sekaligus Sang Hakim – seharusnya berupa ketakutan (fear). Barang siapa menaati hukum akan mewarisi hidup kekal, sebaliknya barang siapa yang melanggarnya akan menerima hukuman kekal. Mereka senantiasa mempersiapkan diri untuk menghadapi penghakiman ilahi.[21]
Di antara tulisan-tulisan para Bapa Rasuli yang ada, tulisan yang paling awal adalah I Clement (yaitu surat penggembalaan Clement – yang mengatasnamakan Gereja Roma – kepada Gereja Korintus) yang ia tulis pada abad pertama. Bahkan bagi Richardson, surat I Clement merupakan “the only considerable document”[22] saat itu. Mengingat bahwa Clement[23] adalah salah seorang uskup Gereja mula-mula (yaitu pada dasawarsa terakhir abad pertama[24] ia memimpin Gereja Roma) dan suratnya adalah dokumen tertua yang ditulis pada abad pertama, maka melalui artikel ini kita mencoba sedikit mengenal lebih jauh tentang sosok Clement beserta kondisi Gereja Tuhan pada masanya melalui beberapa penggal kutipan dari suratnya. Sebagai catatan, menurut Tertullian, Gereja Roma saat itu mengklaim bahwa Clement ditahbiskan ke dalam jabatan gerejawinya oleh rasul Petrus.[25] Jerome pun mengklaim bahwa pada masa itu sebagian besar Gereja Latin (baca: Barat) meyakini Clement adalah penerus/pewaris langsung kerasulan dan adalah Paus yang keempat.[26] Sedangkan Berkhof melihat bahwa Clement bukanlah seorang uskup secara harfiah, tetapi seorang pastor Roma yang berpengaruh.[27] Demikian, Cunningham menegaskan bahwa kedudukan Clement di Gereja Roma adalah kedudukan yang terkemuka dan berpengaruh yaitu seorang pastor pada zaman rasul-rasul, bukan uskup dalam pengertian modern.[28]
Dalam hal suratnya, Olson memang mengatakan bahwa tidak ada hal (sumbangsih) khusus yang baru atau yang patut diperhatikan bagi theologi Kristen dalam surat I Clement, karena surat ini hanya menggemakan kembali apa yang telah ditulis oleh para rasul. Tetapi Olson pun menegaskan bahwa surat ini turut memberikan sumbangsih bagi perubahan sikap terhadap moralisme Kristen pada abad kedua Masehi dengan halus dan menyeluruh, yaitu melalui mengaitkan pemuridan dengan ketaatan kepada para pemimpin yang telah ditunjuk, dan dengan kehidupan yang bermoral.[29] Banyak karya tulis di mana Clement dianggap sebagai penulisnya, termasuk the Apostolic Canons and Constitutions serta tulisan-tulisan lain yang tidak terlalu bernilai dan penting, karena tulisan-tulisan tersebut telah terbukti dipalsukan (ditiru) atau dikompilasi tidak lebih awal dari abad ketiga atau keempat, bahkan kelima Masehi. Tulisan-tulisan yang secara umum dianggap merupakan karya Clement hanyalah sebuah surat penggembalaan yang ia tujukan kepada gereja-gereja Korintus dan sebuah tulisan – yaitu surat keduanya kepada gereja-gereja yang sama[30] – yang sebetulnya merupakan penggalan dari sebuah khotbah. Keautentikan dari I Clement pada umumnya telah diakui, sedangkan II Clement diragukan oleh banyak pihak. Keautentikan I Clement bukan terletak pada bukti-bukti internal, namun sepenuhnya pada bukti-bukti eksternal, yaitu pada sejumlah pernyataan, kutipan, dan acuan yang ditemukan dalam karya-karya para Bapa Gereja setelah para Bapa Rasuli.[31] I Clement memang tidak mencatat mengenai waktu/tanggal penulisannya, namun dari isinya memberikan indikasi bahwa surat ini ditulis tidak lama setelah Gereja mengalami penganiayaan yang kejam yang dilakukan oleh Nero atau Domitian. Dapat dikatakan bahwa surat ini kemungkinan ditulis segera setelah surat Paulus yang terakhir ditulis[32] dan sebelum kehancuran Yerusalem.[33] Namun Olson berpendapat bahwa surat ini ditulis tahun 95,[34] sedangkan menurut Richardson adalah tahun 96-97 M[35].
Dalam bukunya,[36] Olson memaparkan bahwa Clement terdorong untuk menulis surat penggembalaannya kepada Gereja Korintus (I Clement) pada saat terjadi pertikaian di antara jemaat Kristen di Korintus, mirip dengan alasan mengapa rasul Paulus menulis surat I Korintus. Selain mendorong mereka untuk tetap teguh dalam dan memiliki iman sejati di bawah penganiayaan, ia pun memerintahkan mereka untuk menolak pemecahbelahan, serta berupaya keras untuk mempersatukan seluruh (warga) Gereja sebagai satu tubuh di dalam Kristus. Tampaknya pada saat itu Gereja Korintus sedang dilanda pertikaian sebagaimana yang terjadi pada pertengahan abad pertama Masehi ketika Paulus menengahi mereka melalui surat-suratnya. Namun solusi yang Clement berikan terhadap sikap dan tindakan jemaat yang memecah belah tersebut lebih keras daripada yang diberikan oleh Paulus. Kepada Gereja Korintus, Paulus menekankan tentang kesatuan di dalam satu Roh dan satu baptisan, melalui iman di dalam Kristus. Sedangkan Clement memerintahkan jemaat untuk menaati uskup yang telah ditetapkan oleh Allah atas mereka. Solusi yang sama dalam menghadapi perselisihan dan perpecahan dalam jemaat juga muncul dalam tulisan-tulisan para Bapa Rasuli yang lainnya, termasuk Ignatius. Rupanya saat itu terjadi pemberontakan secara terbuka di antara gereja-gereja Korintus untuk melawan kepemimpinan dari seorang uskup. Pada masa itu, gereja-gereja yang ada di Korintus dipimpin oleh seorang “uskup” dan beberapa Kristen muda di kota tersebut menolak otoritas sang uskup, bahkan berusaha untuk memberhentikannya dari jabatan keuskupan.
Clement mengungkapkan hidup mereka yang selalu taat dan secara utuh (integritas) berjalan di dalam hukum Tuhan, menghormati (menghargai) para pemimpinnya dengan selayaknya, serta mendidik kaum muda dan wanitanya bagaimana hidup sebagai Kristen.[37] Sekaligus, ia memperingatkan ketidaktaatan mereka kepada uskup dan para pemimpin lainnya dengan mengatakan[38] bahwa mereka adalah Kristen yang rendah hati, tidak berpura-pura, suka memberi, menyadari dan mencukupkan diri dengan apa yang mereka terima dari Kristus, menyimpan firman Tuhan dengan baik di dalam hati, dan turut berbagian dalam penderitaan Kristus. Bahkan Clement melihat keanggunan rohani mereka di mana “bagi mereka, semua penghasutan dan pemecahbelahan merupakan suatu kekejian. Mereka meratapi sekaligus menganggap semua cela dari sesamanya sebagai cela mereka sendiri.”[39] Mereka bahkan “memiliki keunggulan karakter dan kesalehan, di mana segala sesuatu mereka kerjakan di dalam takut akan Allah. Seluruh perintah dan ketetapan Tuhan terukir dalam hati mereka.”[40] Sehingga Allah berkenan “mengaruniakan ketenaran dan jumlah (jemaat) yang bertambah-tambah, sehingga digenapilah firman Allah yang berkata: ‘Lalu menjadi gemuklah Yesyurun, dan menendang ke belakang, – bertambah gemuk engkau, gendut dan tambun – …'[41]”[42]
Memang pada kenyataannya, mereka sedang berada dalam pertikaian dan perselisihan yang tidak pantas dilakukan seorang Kristen. Clement mencela mereka dengan mengatakan bahwa mereka berangkat dari persaingan dan kedengkian, perselisihan dan hasutan, penganiayaan dan anarki, peperangan dan penawanan, semuanya itu berasal segala hal yang keji dan aib.[43] Clement kemudian mengingatkan Gereja Korintus akan kisah Kain dan Habel,[44] di mana pada akhir kisah Kain membunuh adiknya sendiri. Clement sekali lagi menegaskan dan memperingatkan mereka bahwa kedengkian dan persaingan adalah penyebab timbulnya pembunuhan antarsaudara.[45] Sehingga tidak mengherankan – dengan mengutip Yesaya 3:5 – ia mengatakan, “‘orang hina’ bangkit melawan ‘orang mulia’, orang tanpa reputasi melawan orang penting, orang bodoh melawan orang bijak, dan ‘orang muda akan membentak-bentak terhadap orang tua.'”[46] Lalu dengan tegas dan cukup keras, ia menyatakan, bahwa oleh sebab hal-hal kekejian tersebut, maka mereka sesungguhnya jauh daripada kebenaran-keadilan (righteousness) dan kedamaian (peace), karena dengan melakukan hal-hal tersebut mereka sebetulnya telah meninggalkan takut akan Allah (the fear of God), semakin dibutakan imannya, dan telah berhenti berjalan dalam “the rules of his precepts”, yaitu sikap yang layak di hadapan Kristus. Dengan demikian, mereka telah mengikuti nafsu-nafsu yang muncul dari hati mereka yang jahat dengan jalan membangkitkan persaingan (atau pertentangan) yang jahat dan cemar/najis, sehingga ‘maut masuk ke dalam dunia'[47].[48]
Di tengah-tengah suratnya – memperbandingkan dengan pujian yang ia berikan kepada mereka di awal surat – maka Clement memberikan nasihat dan perintah kepada mereka:
“Let us reverence the Lord Jesus Christ whose blood was given for us. Let us respect those who rule over us. Let us honor our elders. Let us rear the young in the fear of God. Let us direct our women to what is good.”[49]
Dan sekali lagi, ia mencela sikap dan tindakan mereka yang,
“… have removed a number of people, despite their good conduct, from a ministry they have fulfilled with honor and integrity”[50]
Pada akhir suratnya, Clement meletakkan suatu prinsip kepemimpinan dan pemuridan Kristen,[51] dengan mengatakan bahwa “dengan demikian, melalui pembandingan dan pembelajaran dari begitu banyak contoh (teladan) yang agung, kita harus menundukkan diri dan mengenakan suatu sikap taat, yaitu ketundukan diri kepada mereka yang adalah para pemimpin jiwa kita. Sehingga dengan menyerah (atau mengakhiri) segala perselisihan (atau pemberontakan) yang sia-sia ini, kita akan dibebaskan dari segala aib dan mencapai tujuan yang telah ditentukan bagi kita.”[52]
Artikel ini hanya memberikan selintas gambaran kondisi Gereja Korintus pada abad pertama dan kedua Masehi. Kondisi yang mirip dengan kondisi gereja tersebut ketika rasul Paulus menulis surat-surat I dan II Korintus. Dari gambaran di atas, kita bukan hanya secara sekilas melihat apa yang sedang terjadi dalam gereja yang boleh dikatakan “terpuji” dan “bergengsi”, namun paling tidak kita bisa memperoleh pelajaran yang penting tentang: (a) kehidupan Kristen dan (b) (realisasinya dalam) kehidupan bergereja.
Jika dari surat I Korintus – khususnya – kita mendapati bahwa rasul Paulus menegur dan menasihati Gereja Korintus dalam hal: (a) problema praksis (antara lain imoralitas seksual, arogansi yang menyebabkan perpecahan gereja) dan (b) kebingungan theologis (seperti penyembahan berhala, prinsip pernikahan, perceraian, keterlibatan dalam penyembahan berhala, dan tata-aturan ibadah berjemaat, dan kebangkitan tubuh) yang sebenarnya berakar dari kurang hormatnya mereka terhadap kekudusan yang Allah tuntut dari umat-Nya, maka dari surat I Clement – meskipun ditujukan kepada gereja yang sama dan bukan firman Allah – kita bisa mempelajari hal-hal seperti: (1) tingkat kematangan rohani kita – bahkan sebuah jemaat – tidak serta-merta menjadi tolok ukur “kekuatan” kita dalam menjaga hati. Seseorang yang ada pada “tingkat rohani” yang “dewasa” atau patut diteladani, bukan mustahil atau perkara yang sulit, bahwa ia dapat jatuh ke dalam sikap dan perilaku yang keji dan aib, menghasut, dan memecah belah kesatuan jemaat; (2) awal dari segala persoalan gereja adalah munculnya kedengkian dan persaingan; (3) akar dari kedengkian dan persaingan adalah hati yang tidak lagi takut akan Allah dan yang tidak lagi menghormati kekudusan hidup sebagai orang percaya; dan (4) satu-satunya “solusi” yang paling tepat adalah kerendahan hati dan kesediaan untuk menaati pemimpin (rohani) yang sudah Allah tetapkan bagi kita.
Kiranya dengan kita bercermin dari apa yang Clement ungkapkan dalam surat penggembalaannya ini, kita boleh belajar lebih mawas diri menjaga hati – yang darinya terpancar seluruh kehidupan – dan lebih bijaksana menghidupi hidup sebagai individu Kristen yang meneladani Kristus dan menerapkannya secara komunal bersama dan bagi sesama saudara seiman (yaitu hidup bergereja), sehingga akhirnya akan terpancar keluar dalam hidup komunal bersama sesama manusia. Amin.
Ev. Sanny Erlando
Hamba Tuhan GRII
Endnotes:
[1] David F. Wells dalam rekomendasi/review-nya pada buku William Edgar dan K. Scott Oliphint (para editor), Christian Apologetics, Past and Present: A Primary Source Reader (Wheaton: Crossway Books, 2009).
[2] Yaitu saat kedatangan Kristus yang kedua kalinya.
[3] Pengertian “Alkitab” dalam tulisan ini adalah Alkitab yang sudah dikanonisasi. Istilah “kanonisasi” bdk. Catatan Akhir no. 13.
[4] Sebutan Apostolic Fathers selain dilekatkan pada pribadi-pribadinya, juga pada dokumen-dokumen yang mereka tulis. Lih. Roger E. Olson, The Story of Christian Theology (Downers Grove: InterVarsity Press, 1999), 41.
[5] Louis Berkhof, The History of Christian Doctrines (Carlisle: The Banner of Truth Trust, 1969), 37.
[6] Cyril C. Richardson, Early Christian Fathers (Grand Rapids: Christian Classics Ethereal Library), 14. Judul bukunya adalah: SS. Patrum qui temporibus apostolicis floruerunt … opera edita et inedita, vera et suppositicia.
[7] Olson, 42.
[8] Sehingga dikenal sebagai Clement dari Roma (Lat. Clemens Romanus). Untuk selanjutnya, ia disebut: Clement.
[9] Richardson, 39. Untuk selanjutnya dalam artikel ini, surat ini disebut: I Clement.
[10] Berkhof, 37-38.
[11] Olson, 41.
[12] Richardson, 14.
[13] Kanon mengacu pada daftar kitab-kitab yang memenuhi pengujian atau aturan tertentu, sehingga disebut otoritatif dan kanonis. Juga berarti sekumpulan kitab-kitab kanonis yang menjadi aturan kehidupan (rule of life). http://www.theopedia.com/ Development_of_the_canon (diakses 20 April 2012).
[14] Richardson, 14.
[15] Berkhof, 39.
[16] Suatu periode filsafat Barat yang dimulai setelah Aristoteles dan berakhir dengan munculnya Neoplatonisme. http://en.wikipedia.org/wiki/Hellenistic_ philosophy (diakses 20 April 2012).
[17] Richardson, 15.
[18] Olson, 41.
[19] Istilah dan pengertian “hukum” dan “Taurat” adalah interchangeable.
[20] Arthur Cushman McGiffert, A History of Christian Thought, vol. I, Early and Eastern (New York: Charles Scribner’s Sons, 1949), 68-69.
[21] McGiffert, 69.
[22] Richardson, 14.
[23] Dihormati sebagai seorang Paus (Pope) dan Santo (Saint), yaitu Pope Clement I dan Saint Clement of Rome. http://en.wikipedia.org/wiki/Clement_of_rome (diakses 20 April 2012).
[24] Olson, 42.
[25] http://en.wikipedia.org/wiki/Clement_of_rome (diakses 20 April 2012); dikutip dari John Chapman, “Pope St. Clement I” dalam The Catholic Encyclopedia (New York: Robert Appleton Company, 1908).
[26] http://www.newadvent.org/cathen/04012c.htm (diakses 20 April 2012).
[27] Berkhof, 37.
[28] Cunningham, 97.
[29] Olson, 43.
[30] Dalam artikel ini disebut: Clement Kedua.
[31] Cunningham, 97-98.
[32] Yaitu surat II Timotius (ditulis antara 64-67 M).
[33] Cunningham, 98. Yerusalem dihancurkan oleh Romawi sekitar tahun 70 M, yang ditandai dengan dihancurkannya Bait Allah yang kedua (Second Temple).
[34] Olson, 42.
[35] Richardson, 30.
[36] Olson, 43.
[37] I Clement 1:3. Seluruh kutipan tak langsung I Clement diparafrasekan dari terjemahan Cyril C. Richardson.
[38] I Clement 2:1.
[39] I Clement 2:6.
[40] I Clement 2:7.
[41] Ia mengutip dari Ulangan 32:15.
[42] I Clement 3:1.
[43] I Clement 3:2.
[44] Kisah ini mengawali beberapa kisah tokoh Alkitab yang ia paparkan sebagai teladan atau contoh, baik sebagai teladan iman dan perilaku ataupun contoh yang patut dihindari.
[45] I Clement 4:7.
[46] I Clement 3:3.
[47] Ia mengutip dari Wisdom of Solomon 2:24.
[48] I Clement 3:4.
[49] I Clement 21:6.
[50] I Clement 44:6.
[51] Olson, 43.
[52] I Clement 63:1.