“Manusia yang tidak mengenal buku, buku mana yang penting, belum menjadi manusia yang berbijaksana.” Demikian kalimat pembukaan Pdt. Dr. (H.C.) Stephen Tong pada saat grand launching terjemahan lengkap pertama bahasa Indonesia dari buku Institutes of the Christian Religion karya John Calvin. Buku tentang pergulatan iman Kristen, terutama dalam garis Protestanisme, yang bertahan selama 500 tahun lebih hingga kini merupakan salah satu karya kristiani yang terus berdiri tegak dalam ujian waktu dan zaman.
“Bukan saja tulisan ini tetap bertahan menghadapi tantangan, buku ini pun menjadi seruan iman yang terus menantang zaman,” seru Pdt. Stephen Tong. Institutio Christianae Religionis berbagian secara signifikan dalam membentuk kerangka iman Kristen (terutama kaum Reformis) dan peradaban masyarakat modern.
Pdt. Stephen Tong menganalisis bagaimana awal era modern mulai membuang theologi karena sains dianggap sebagai jawaban paling utama dan otoritatif bagi seluruh kemanusiaan. Auguste Comte, dikutip oleh Pdt. Stephen Tong, menyatakan bahwa masyarakat kini sudah berkembang. Ketika masih primitif, manusia mengandalkan theologi untuk menjawab berbagai hal yang tidak mereka mengerti. Seiring “bertumbuhnya” kapasitas manusia, ia meninggalkan era theologi yang primitif dan masuk pada era metafisik sebagai masa transisi menuju tahap final dari pandangan positivistic, yaitu era saintifik.
Kritik Pdt. Stephen Tong terhadap Comte adalah Comte menyamakan theologi Kristen dengan mitologi/agama-agama dunia. Berbeda dengan mitologi, yang merupakan upaya manusia dalam menciptakan “dunia keilahian” yang mereka integrasikan sebagai realitas, theologi Kristen berangkat dari revelasi Allah. Allah yang mewahyukan diri-Nya dan seluruh realitas tentang ciptaan-Nya kepada manusia. Comte akhirnya secara tidak langsung mendefinisikan bahwa manusia yang berkembang adalah manusia yang bergerak dari posisi beragama menuju kepada manusia yang atheis.

Di sini, manusia menganggap dirinya telah menemukan kebenaran. Namun, “kebenaran” tersebut ternyata tidak membawa manusia kepada pertobatan. “Mereka tidak ada kemauan, dan bahkan tidak punya abilitas untuk bertobat,” tutur Pdt. Stephen Tong dengan tegas. Benarkah masyarakat yang dijabarkan oleh Comte adalah manusia yang telah menemukan kebenaran?
Kita bersyukur atas peluncuran terjemahan lengkap pertama dalam bahasa Indonesia dari karya John Calvin ini pada Sabtu, 18 Januari 2025, di Reformed Millenium Center Indonesia (RMCI), Jakarta Pusat. Acara ini dihadiri oleh sekitar 2380 orang pendaftar.
Peluncuran ini mendapatkan sambutan yang hangat dari beberapa akademisi dan theolog Calvinis di dunia Barat, seperti Dr. Karin Maag, direktur dari H. Henry Meeter Center for Calvin Studies, Calvin University, yang merupakan salah satu pusat koleksi utama di dunia yang mengumpulkan karya-karya yang dihasilkan oleh dan yang membahas mengenai John Calvin. Dr. Karin sudah menjadi direktur pada pusat studi tersebut sejak tahun 1997.
Sambutan selanjutnya datang dari Rev. Prof. Dr. Peter Alan Lillback, yang merupakan Presiden dan Profesor dari Westminster Theological Seminary (WTS), Pennsylvania, USA. WTS merupakan seminari Protestan dalam tradisi theologi Reformed yang terkemuka di dunia. WTS didirikan oleh J. Gresham Machen dan beberapa rekannya dalam pergulatan menghadapi arus liberalisme yang tumbuh membesar di tubuh gereja Reformed pada masanya.
Dr. Lillback menyampaikan, mengapa kita harus merayakan buku karya Calvin ini? Karena ketika Reformasi belum lama berjalan, Calvin melalui Institutio menyusun secara sistematis banyak insights dari gerakan Reformasi. Tema tentang pengenalan akan Allah menjadi pusat dan semangat dari karya ini, sebab “… by knowing God truly, we can know reality fully,” pungkas Dr. Lillback.
Beliau melanjutkan bahwa buku ini juga merupakan catatan dari perjalanan iman Calvin. Calvin juga berproses, ia bertumbuh di dalam perjalanan waktu. Dari buku pertama yang hanya berisi sekitar 200 halaman, pembahasannya berkembang hingga buku final sekitar 1500 halaman, yang kini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Buku versi final ini terdiri dari 4 bagian besar, yang mana buku pertama berbicara tentang kedaulatan Allah. Buku kedua menghadirkan pembahasan tentang Kristus sebagai Penebus umat manusia satu-satunya. Lalu buku ketiga melukiskan tentang keindahan dari pekerjaan Allah Roh Kudus. Dan buku keempat menjabarkan tentang gereja, bagaimana kontinuitas dari Alkitab dan gereja di sepanjang sejarah terajut menjadi satu kesatuan melalui kehendak dan pimpinan Tuhan. Pada akhir buku empat ini juga Calvin sempat membahas tentang theologi publik.
Pada akhirnya, Dr. Lillback menutup sambutannya dengan menyatakan bahwa semangat Calvin, semangat dari proper theology, adalah theologi yang membawa manusia untuk bermegah (boast) di dalam Allah.
Sambutan ketiga disampaikan oleh Prof. Dr. Herman J. Selderhuis. Beliau merupakan profesor theologi historis di Theologische Universiteit Apeldoorn, Belanda. Beliau juga merupakan Direktur dari Refo500, sebuah platform internasional yang berfokus pada pemeliharaan dan pengembangan pengaruh dari semangat dan nilai-nilai Reformasi pada abad ke-16. Beliau juga merupakan Presiden dari The European Academy of Religion (EuARe), sebuah forum bagi para peneliti dan cendekiawan seluruh Eropa untuk dapat berinteraksi, menumbuhkan ide, penelitian, dan kolaborasi bagi pengembangan titik temu antara agama dengan isu-isu sosial, politik, budaya, dan sebagainya.
Prof. Selderhuis menyatakan bahwa buku Institutio ini sangat berpengaruh bagi perkembangan peradaban Eropa, dan bahkan dunia. Ia tidak hanya memengaruhi perkembangan theologi dan gereja, tetapi juga politik, perdagangan, ekonomi, sosial budaya, dan seluruh lanskap dari kehidupan masyarakat yang dipengaruhi oleh Protestanisme di dalam sejarah; melampaui batas-batas geografis dan era. Sekalipun John Calvin tidak pernah menempuh studi theologi secara formal, namun ia mempelajari tradisi pemikiran theologis dari banyak theolog dalam tradisi kekristenan.
Prof. Selderhuis menyambung pernyataannya, bahwa Calvin bertumbuh di dalam pengenalan akan theologi dari Bapa-bapa Gereja, pengajaran theologi di sepanjang sejarah gereja, dan terutama dia bertumbuh di dalam pengenalan akan Kitab Suci. Calvin bukan orang yang hidup di luar tradisi gereja. Ia besar dalam tradisi kekristenan yang kental. Ditambah studinya yang mendalam pada bidang hukum, Calvin “… knows how to defend the case of the gospel, the case of the Lord,” pungkas Prof. Selderhuis.
Dengan mengikuti semangat dari para rasul dan orang-orang percaya sebelumnya, Calvin meneruskan kehidupan yang mengasihi Tuhan, bukan saja dengan hatinya, melainkan juga dengan pikirannya (mind); sepenuhnya, sebenar-benarnya. “Kita pun harus memikirkan Tuhan dan firman-Nya dengan tuntas, mendalam, dan matang,” sambung beliau. Melalui buku ini, kata Prof. Selderhuis, kita bukan akan belajar apa yang dikatakan oleh Calvin, melainkan apa yang dia ambil dari Alkitab dan mengajarkannya kepada kita.
Dengan mengutip Martin Bucer, Calvin menegaskan bahwa kita tidak berada di dalam dunia untuk diri kita sendiri, kita ada di dunia untuk melayani Allah dan orang lain. Karena itu, Calvin memandang gereja sebagai means of salvation; sarana yang ditetapkan dan digunakan oleh Allah untuk membawa manusia kepada Allah & keselamatan (Kristus Yesus). “Children of God reborn by God through the Church,” tutup Prof. Selderhuis, menjelaskan pandangan Calvin tentang gereja.
Sambutan berikutnya diberikan oleh Pdt. Yuzo Adhinarta, Ph.D. Beliau adalah Ketua dan dosen Theologi Sistematika, Historika, dan Pemuridan pada STT Reformed Indonesia (STTRI), Jakarta. Beliau juga merupakan misionaris pada lembaga Christian Reformed World Mission (CRWM).

Pdt. Yuzo menjelaskan bahwa tujuan dari ditulisnya Institutio adalah supaya orang-orang belajar mengenal Allah melalui Kitab Suci. Calvin tidak pernah menulis Institutio sebagai bagian yang terpisah dari upaya memahami Kitab Suci. Calvin justru memutlakkan Allah dan firman-Nya, dan semangat itu tercermin melalui Institutio. “Membaca Institutio itu penting, tetapi mengenal Allah yang dijelaskan Institutio jauh lebih penting,” sambung Pdt. Yuzo.
Pengenalan terhadap Allah yang benar itu pasti menghasilkan ketaatan demi ketaatan, dan hal tersebut tercermin melalui proses perjalanan dan pertumbuhan iman Calvin. Salah satu bentuk ketaatan itu adalah bagaimana Calvin harus berkhotbah setiap hari di kota Jenewa untuk mendidik jemaat yang masih baru imannya.
Dalam kehidupan pernikahannya pun Calvin belajar untuk taat kepada Allah. Ia harus kehilangan semua anak-anaknya sebelum mereka menjadi dewasa. Istrinya pun, Idellete de Bure, dipanggil Tuhan setelah mereka menikah selama 9 tahun. Tak ada satu pun anak Calvin yang selamat (hidup hingga dewasa – red). Namun, Calvin tetap taat. Dia tetap mengikuti Tuhannya yang selalu setia memelihara kehidupannya, istrinya, dan anak-anaknya. Calvin tahu, mereka semua berada di dalam tangan Allah yang baik dan berdaulat. Sebagai catatan kecil dari Pdt. Yuzo, Calvin sangat terkenal dengan tafsirannya akan Surat Roma.
Sambutan ini disambung oleh Pdt. David Tong, Ph.D. Beliau adalah Rektor dari Calvin Institute of Technology, Jakarta. Beliau mendapat gelar M.A.R. dalam Theological Studies dari Westminster Theological Seminary, Ph.D. dalam Experimental Physics dari University of Connecticut, dan Ph.D. (Cand.) dalam Apologetics dari Westminster Theological Seminary.

Pdt. David Tong berusaha menarik keterkaitan antara pandangan theologis tentang Perjamuan Kudus dan konsep space dalam ilmu sains. Konsep mengenai perjamuan kudus terbagi ke dalam empat pandangan besar, Transubstantiation (Katolik Roma), Consubtantiation (Luther), Symbolic (Zwingli), dan Reformed (Calvin). Baik Katolik maupun Luther melihat perjamuan kudus dalam kerangka physical eating, lalu Zwingli hanya melihatnya dalam kerangka simbolik, atau memorialis. Tetapi berbeda dengan mereka, Calvin melihat perjamuan kudus dalam paradigma spiritual eating; posisi di mana Calvin melihat bahwa tubuh jasmani kita menerima roti dan anggur, tetapi jiwa kita menerima tubuh dan darah Kristus. “Roh Kudus mengangkat roh mereka yang percaya ke surga untuk menerima tubuh dan darah Kristus,” ucap Pdt. David Tong.
Konsep Calvin ini sebenarnya konsisten dan sejalan dengan konsep dwinatur Kristus, yang walaupun natur manusia Kristus terbatas (berinkarnasi, tergantung di atas kayu salib, di surga, dan seterusnya), natur Ilahi-Nya ada di mana-mana (omnipresent) di luar (extra) tubuh manusia-Nya; sebagaimana dipresentasikan oleh Pdt. David Tong melalui paparannya. Beliau pun mengutip pernyataan Calvin di dalam Institutio, “… karena sekalipun Firman di dalam esensi-Nya yang tidak terukur itu menyatu dengan natur manusiawi menjadi satu pribadi, kita tidak membayangkan bahwa Ia terkurung di dalamnya. Inilah sesuatu yang ajaib: Anak Allah turun dari surga dengan cara sedemikian rupa, sehingga, tanpa meninggalkan surga, Ia berkehendak untuk dilahirkan di dalam kandungan sang perawan, untuk berkeliling di bumi, dan untuk digantung di atas salib; namun Ia terus memenuhi dunia seperti yang telah Ia perbuat sejak semula.” – Institutes 2.13.4.
Teori tentang space menyatakan bahwa space adalah wadah penambung (container), dan space ini memiliki sifat relasional. Tentang space yang memiliki sifat relasional ini, Einsten pernah mengungkapkannya dalam teori relativitas. Objek di dalam space memengaruhi bentuk dari space tersebut. Dalam artian, massa objek yang besar akan membengkokkan “space” lebih besar daripada massa objek yang lebih kecil. Dengan kata lain, objek dan relasi antar objek mendefinisikan “space”, terang Pdt. David Tong.
Ketika kita memperhatikan, antara konsep perjamuan kudus dan konsep space dalam fisika, kita menemukan bahwa space hanya sebagai wadah atau container, dan space ini bersifat relasional. Sifat relasional dari space ini menjadi poin kunci untuk menjawab pertanyaan “bagaimana mungkin Kristus terbatas di bumi dan di dalam natur manusia-Nya, tetapi tidak terbatas (omnipresent) di dalam natur Ilahi-Nya?”. Jawabannya karena relasi Anak dengan Bapa tidak pernah dihentikan/terputus oleh inkarnasi-Nya.
Lalu untuk menjawab pertanyaan “bagaimana mungkin mereka yang beriman tetap berada di bumi tetapi roh mereka diangkat oleh Roh Kudus ke surga?”, surga dimengerti dalam konsep relasi, bukan spasial, dan diangkat ke surga tidak harus dimengerti sebagai meninggalkan bumi. Demikian Pdt. David Tong menutup pemaparan dan sambutannya.
Sambutan terakhir disampaikan oleh Pdt. Prof. Benyamin F. Intan, Ph.D. Beliau merupakan Ketua dari STT Reformed Injili Internasional (STTRII), dan Gembala Sidang dari GRII Pondok Indah. Beliau memaparkan tentang pengaruh Calvinisme, terutama melalui karya Institutio tersebut, terhadap politik. Buku empat pada bagian akhir menyinggung tentang peranan theologi publik dalam kehidupan masyarakat. Implementasi dari pengenalan terhadap Allah dan manusia harus dibawa ke dalam masyarakat; public life and public sphere.

Bagi Calvin, menjadi seorang magistrat (pejabat publik) merupakan panggilan yang paling sakral dan mulia. Kebijakan dan keputusan-keputusan publik akan berdampak kepada banyak sekali orang. Perang Dunia Pertama dan Kedua, misalnya, telah membunuh puluhan juta jiwa. Lalu contoh lain seperti kejadian G30S/PKI yang mengakibatkan ratusan ribu warga diburu dan dibunuh. Akibat dari jabatan publik itu sangat luar biasa. “Karena itu mereka yang menjadi politisi harus takut dan gentar, harus banyak didoakan. Awas, hati-hati, jangan sampai malah dipakai setan, bukan dipakai Tuhan,” sambung Pdt. Benyamin Intan.
Calvin tidak mendikotomi antara sakral dan sekular, antara jabatan gerejawi dan non-gerejawi. Mengapa dia mengatakan bahwa posisi sebagai pejabat publik itu paling terhormat? Karena otoritas untuk memerintah itu berasal dari Tuhan, dan harus dipertanggungjawabkan kembali kepada Tuhan. “Jangan sampai pejabat publik bukannya membereskan kejahatan, melainkan menjadi sumber kejahatan,” ujar Pdt. Benyamin Intan. Beliau pun mengutip dua paragraf dari John Calvin dalam Institutio:
“… Jika [magistrat-magistrat] menutup mata terhadap para raja yang dengan kejam menindas dan menyerang rakyat, saya menyatakan bahwa kepura-puraan mereka melibatkan pengkhianatan yang jahat, karena mereka mengkhianati kemerdekaan rakyat, yang untuknya mereka tahu bahwa mereka telah ditunjuk sebagai pelindung melalui ketetapan Allah …” – Institutes 4.20.31.
“… ketaatan… kita… kepada otoritas para penguasa… tidak boleh menyebabkan kita menjauh dari ketaatan kepada Allah, yang kepada kehendak-Nya segala keinginan para raja harus tunduk, yang kepada dekrit-dekrit-Nya semua perintah mereka harus tunduk, yang kepada keagungan-Nya tongkat pemerintahan mereka harus diserahkan.” – Institutes 4.20.32.
Lalu Pdt. Benyamin Intan melanjutkan pemaparan beliau, bahwa pemerintahan yang “ideal” menurut Calvin adalah perpaduan antara aristokrasi dan demokrasi. Aristokrasi (kepemimpinan elit) harus hadir agar demokrasi tidak menjadi anarki, dan demokrasi (kepemimpinan masyarakat) harus hadir pula agar aristokrasi tidak menjadi oligarki. Dalam pemerintahan gerejawi kita juga melihat implementasi sistem ini melalui kepemimpinan presbyter atau tua-tua, yang disaring terlebih dahulu lalu ada proses pemilihan melibatkan jemaat.
Akhirnya, sesi sambutan ditutup kembali oleh Pdt. Stephen Tong. Dalam menutup sesi sambutan dan paparan, beliau menyampaikan bahwa buku ini lebih penting dari hari ini, lebih penting dari setiap orang yang hadir. “Yang kita dapat hari ini bukan materi, bukan uang, tetapi bijaksana surgawi yang begitu berharga yang masih boleh kita dapat, yang merupakan kristalisasi, memberikan inspirasi, dan menjadi pedomam bagi kehidupan manusia,” seru Pdt. Stephen Tong.

“John Calvin merupakan orang berdosa, ciptaan Tuhan, punya banyak kelemahan, tetapi dia rendah hati dan mau mengerti firman Tuhan. Dia adalah orang yang paling sedikit terpilih, yang mengerti isi hati Tuhan sedemikian rupa,” tutur Pdt. Stephen Tong. Pesan penutup dari Pdt. Stephen Tong adalah agar orang-orang Kristen menjadi murid yang rajin untuk mempelajari prinsip-prinsip penting dalam buku tersebut.
“Jadilah murid yang rajin dari John Calvin. Jika tidak ada orang-orang seperti ini, bagaimana dunia bisa menjadi seperti sekarang? Karena Thomas Alfa Edison menemukan lampu, maka dunia mendapatkan banyak cahaya. Hal ini mengurangi kejahatan. Orang jahat jadi tidak berani melakukan kejahatan. Mari kita menjadi makhluk yang memuliakan Tuhan, yang menjadi garam dan terang, yang menggeser kebusukan dari orang-orang di sekitar,” tutup Pdt. Stephen Tong.
Nikki Tirta
Pemuda GRII Kebon Jeruk
Peliput PILLAR