Catatan redaksional:
Artikel ini bersumber dari satu draft artikel cukup panjang yang belum rampung sepenuhnya. Penulis akhirnya memutuskan untuk membagi tulisan tersebut menjadi dua bagian artikel terpisah dalam website PILLAR.
Konteks Sosial & Politik Reformasi
Reformasi yang terjadi di abad 16 di Eropa memiliki signifikansi dalam membawa perubahan akan kepercayaan dan berbagai tata cara yang dilakukan oleh Gereja Roma Katolik. Berbagai sejarawan menilai Reformasi telah membuka suatu lembaran baru dalam sejarah dan mempersiapkan jalan bagi era modern.1 Pada masa-masa sebelum Reformasi, sistem-sistem yang dibangun pada Abad Pertengahan makin menunjukkan keterbatasannya dan perlunya terobosan-terobosan baru. Pada masa itu, terjadi berbagai perkembangan dan perubahan yang memerlukan penanganan khusus, misalkan saja perkembangan yang sangat pesat akan kota-kota baru dan meningkatnya jumlah golongan kaum menengah. Nantinya, Reformasi yang cakupannya berawal dari iman dan tata acara gereja, akhirnya mencakup hal-hal yang lebih luas seperti aspek ilmu pengetahuan, seni, pemerintahan, dan tatanan masyarakat.2
Sebelum terjadi peristiwa Reformasi, peran gereja sangatlah sentral dan dominan. Dalam masa-masa ini, penyelewengan dan aktivitas-aktivitas korup dari para rohaniwan dan pemerintah juga begitu marak terjadi. Salah satu kendala untuk membuat perubahan adalah ajaran gereja yang sangat menekankan ketaatan mutlak umat Kristen kepada pemerintahan yang sedang berkuasa. Tidak ada ruang untuk memberikan masukan dan kemungkinan perubahan bagi penguasa-penguasa yang ada. Rakyat biasa juga tidak terlalu memiliki ruang untuk menyalurkan aspirasinya. Ajaran gereja pada Abad Pertengahan didominasi oleh pemikiran Thomas Aquinas. Ia telah menghasilkan berbagai tulisan mengenai politik dan sistem pemerintahan. Aquinas menekankan bahwa pemerintahan tunggal oleh raja adalah bentuk pemerintahan terbaik. Ditambah lagi dengan dominannya pengaruh gereja dalam masyarakat dan berbagai aspek kehidupan, perubahan-perubahan makin sulit untuk dikerjakan.
Tokoh awal yang memulai dan menyebarkan gaung Reformasi adalah Martin Luther—meskipun sebelum Luther, ada tokoh seperti Jan Hus dan John Wycliffe yang meletakkan dasar-dasar penting bagi Reformasi yang dikerjakan Luther. Bagi Luther, terdapat dua “kerajaan” yang harus dipisahkan, yaitu gereja dan pemerintah. Allah memimpin gereja melalui Injil-Nya, dan memimpin dunia melalui anugerah umum-Nya. Tidak heran pengertian Luther dalam hal ini kerap dikenal dengan nama Two Kingdoms. Bagi Luther, pemerintah hadir karena adanya dosa. Pemerintahan seharusnya lebih fokus dalam mengatur dan memberikan batasan bagi orang-orang yang belum percaya. Pandangan Luther terhadap politik dan pemerintahan cenderung negatif. Ditambah lagi Luther juga menekankan passive obedience di mana orang Kristen harus rela menderita dan dianiaya oleh pemerintah yang kejam dan jahat. Dalam waktu-waktu berikutnya, Yohanes Calvin lebih menekankan pemisahan kekuasaan, dan di saat yang sama menunjukkan peran dan posisi pemerintah yang positif, bahkan sakral. Bibit-bibit pemikiran Calvin nantinya menjadi fondasi penting dalam konsep-konsep demokrasi, checks and balances, desentralisasi, dan sistem pemerintahan republik.
Desentralisasi dan Sistem Pemerintahan Republik
Salah satu implikasi dari pemikiran reformator, secara khusus Yohanes Calvin, adalah desentralisasi atau pemisahan kekuasaan. Setiap manusia tanpa terkecuali memiliki sifat dosa. Sangatlah berbahaya bagi manusia berdosa untuk memiliki kekuatan yang mutlak atau sangat besar, tanpa ada orang atau kelompok lain yang bisa mengimbangi, mengontrol, atau mengoreksi. Sebelum Reformasi, pemisahan kekuasaan juga pernah ditekankan dalam periode Yunani Kuno. Dari perspektif pemisahan kekuasaan, negara akhirnya dibagi dalam berbagai cabang dan badan, sehingga tidak ada seseorang yang memiliki kuasa penuh. Secara umum, pemerintahan nantinya dibagi menjadi badan eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Dengan begini, tidak ada satu orang atau badan yang memiliki kuasa yang terlalu besar. Kondisi seperti ini juga memungkinkan berbagai badan untuk saling mengoreksi (checks and balances). Para reformator tidak memberikan rekomendasi secara langsung mengenai bentuk pemerintahan republik. Para reformator pada awalnya lebih memikirkan bentuk campuran (hybrid) dari berbagai sistem pemerintahan yang ada pada saat itu. Berbagai unsur yang baik dari berbagai sistem pemerintahan dicoba untuk ditenun menjadi satu keutuhan bentuk pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan republik yang berdasarkan prinsip-prinsip Reformasi baru terbentuk secara nyata di kemudian hari.
Dalam buku David Little, “Religion, Order, and Law”, dituliskan:
“There must always be political coercion and control, but that this coercion is in constant tension with the new order brought into being as a free response to the Word of God which is a voluntary, harmonious community in which election rests with the elect. Ideally Calvin wanted a consensual polity in church and state, but this ideal is always held back by the reality of sin. The resulting demand is a polity with checks sedition, on the one hand, but guarantees maximum feasible participation on the other hand. Such an arrangement, application to both Church and State, is a combination of democracy and aristocracy. Calvinist theology taught the framers that the paradoxical elements of distrust and hope could be brought together to good effect.”
Mengenai sistem pemerintahan republik sendiri, suatu negara minimal terbentuk dari badan pemerintahan legislatif yang merupakan sekelompok orang yang mewakili rakyat dalam menampung aspirasi dan membuat kebijakan, juga badan eksekutif yang melaksanakan hukum atau kebijakan yang sudah dibuat. Dalam konteks saat ini, pemerintahan republik identik dengan bentuk pemerintahan non-monarki. Kepala pemerintahan biasanya dipegang oleh seorang presiden. Pada umumnya, dalam sistem pemerintahan republik, presiden dipilih melalui proses pemilihan umum yang demokratis. Bibit pemikiran mengenai sistem pemerintahan republik sudah ada sejak zaman Plato. Karya Plato yang terkenal berjudul “Politeia”, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris menjadi “The Republic”. Dalam perkembangan sejarah, akan ada berbagai bentuk/variasi dari sistem pemerintahan republik.
Konsep Reformasi mengenai Republik
Meskipun pada zaman reformator sistem pemerintahan republik tidak langsung diterapkan, Yohanes Calvin memberikan dasar-dasar penting bagi sistem negara republik untuk diterapkan di kemudian hari. Prinsip-prinsip yang ditawarkan memiliki ciri khas jika dibandingkan dengan republik Merkantilis, Liberal, dan Sosialis. Mengenai sistem pemerintahan, Calvin merujuk kepada Keluaran 18 mengenai nasihat Yitro kepada Musa. Calvin melihat signifikansi wakil-wakil dalam berbagai lapisan untuk bisa menampung aspirasi rakyat dan menangani kompleksitas permasalahan yang ada dalam masyarakat. Sebagai seorang ahli hukum dan theolog yang juga mempelajari dengan teliti mengenai hukum di Perjanjian Lama, Calvin sangat setuju bahwa undang-undang adalah faktor pengikat dan otoritas yang paling penting. Semua orang tanpa terkecuali harus tunduk di bawah undang-undang dan hukum. Sebagai seorang ahli hukum, Calvin juga sadar bahwa hukum nantinya bisa dipermainkan atau jatuh ke dalam tendensi legalistik. Untuk mencegah hal ini, Calvin sangat menekankan elemen kasih dan intensi dari dibuatnya suatu hukum. Hukum tidak boleh dijalankan secara mekanis. Hukum harus dijalankan dengan kesadaran akan motivasi dan elemen kemanusiaan dari orang yang memformulasikan hukum.
Berbeda dengan Luther yang banyak menekankan aspek kejatuhan total, Calvin melihat pemerintahan dari perspektif sebelum terjadi kejatuhan. Yohanes Calvin melihat dunia sebagai “teater kemuliaan Allah”. Dengan prinsip ini, Calvin mendorong agar orang Kristen bisa memuliakan Allah melalui panggung dunia, termasuk aspek politik dan pemerintahan. Calvin tidak melihat pemerintah sebagai sosok atau posisi yang negatif. Ia justru melihat para pemimpin sebagai wakil-wakil Allah yang bertugas untuk menjaga perdamaian, harmoni, dan keadilan sosial. Bagi Calvin, pelayanan dalam pemerintahan adalah panggilan paling sakral dan terhormat dari semua panggilan manusia. Meskipun demikian, Calvin bukanlah orang yang naif. Sebagai orang yang pernah merasakan betapa getir dan pahitnya kehidupan, Calvin sungguh sadar akan betapa mengerikannya manusia dan dunia yang sudah jatuh dalam dosa. Ia pernah mengalami sakit penyakit, ditinggal orang yang dikasihi, hidup sebagai pengungsi/pelarian, dan ditolak oleh orang yang ia layani. Calvin sangat sadar bahwa dosa bisa masuk dan mencemari tulang sumsum pemerintahan. Dengan demikian, sudah selayaknya pemerintah menyandang pedang untuk menindak tegas dan memberikan hukuman bagi orang-orang yang melanggar hukum. Di saat yang sama, kekuasaan pemerintah harus dibagi ke dalam beberapa badan/institusi, sehingga tidak ada yang memiliki kekuatan mutlak yang bisa mendikte seluruh badan/institusi lain. Calvin sangat menekankan prinsip untuk saling mengoreksi dan memonitor antar badan pemerintahan dengan tujuan mencegah penyalahgunaan kekuasaan. Di kemudian hari, seorang sejarawan dan politikus bernama John Emerich Edward Dalberg Acton memberikan pernyataan yang terkenal: “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men“.
Belajar dari Abad Pertengahan di mana pemerintah dan gereja begitu kaku dan sulit dikoreksi, Calvin membuka ruang bagi rakyat untuk memberikan masukan dan melakukan transformasi. Transformasi yang damai dan progresif sangat dianjurkan oleh Calvin. Ia menentang tindakan revolusi yang dipenuhi kekerasan dan pertumpahan darah. Bagi Calvin, jika terjadi kesalahan/kerusakan dalam level pemimpin, maka pihak yang berada satu tingkat di bawah harus bisa memberikan koreksi atau masukan. Calvin sangat menentang sikap yang melangkahi dan mengacaukan urutan otoritas. Jika prinsip orderly reformation ini terus ditarik ke bawah, maka sebenarnya setiap rakyat memiliki peran untuk memberikan suara dan memantau kinerja aparat pemerintah yang berada satu tingkat di atas mereka. Dengan perspektif ini, seluruh masyarakat memiliki peran dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam Institutes of the Christian Religion Chapter 20 Section 31, Calvin memberikan contoh dari kasus Ephori dan Demarchs:
Although the Lord takes vengeance on unbridled domination, let us not therefore suppose that that vengeance is committed to us, to whom no command has been given but to obey and suffer. I speak only of private men. For when popular magistrates have been appointed to curb the tyranny of kings (as the Ephori, who were opposed to kings among the Spartans, or Tribunes of the people to consuls among the Romans, or Demarchs to the senate among the Athenians; and perhaps there is something similar to this in the power exercised in each kingdom by the three orders, when they hold their primary diets). So far am I from forbidding these officially to check the undue license of kings, that if they connive at kings when they tyrannise and insult over the humbler of the people, I affirm that their dissimulation is not free from nefarious perfidy, because they fraudulently betray the liberty of the people, while knowing that, by the ordinance of God, they are its appointed guardians.
Yohanes Calvin sendiri sangat merindukan agar ada satu kota yang benar-benar bisa meninggikan Allah dan merefleksikan kemuliaan-Nya. Di tengah-tengah berbagai pergumulan dan kesulitan hidup, akhirnya ia perlahan-lahan memiliki kesempatan untuk membangun dan menata kota Jenewa. Setelah berpindah dari Prancis karena adanya penganiayaan terhadap kaum Protestan, Calvin menetap di Jenewa setelah diyakinkan oleh Farel. Namun perjalanan tidak berlangsung mulus. Hanya dalam waktu 18 bulan, Calvin dan Farel diusir keluar dari Jenewa karena berbagai ketidaksetujuan dengan dewan kota. Calvin berpindah ke Strasbourg dan melayani di sana dalam waktu tiga tahun. Dalam waktu-waktu selanjutnya, ternyata dewan kota kembali memintanya untuk kembali ke Jenewa dan melakukan berbagai perbaikan di sana. Akhirnya pada tahun 1541 Calvin kembali ke Jenewa.
Pada awalnya Calvin merasa sangat berat dan tidak ingin untuk kembali. Setelah melalui berbagai proses, akhirnya ia kembali. Kali ini, ia ditunjuk langsung dan mendapatkan gaji yang dianggarkan oleh dewan kota Jenewa. Tetap saja, kemungkinan Calvin untuk diberhentikan dari posisi ini bisa terjadi sewaktu-waktu. Dalam konteks ini, Calvin bekerja sebagai seorang asing di Jenewa, hidup sebagai pelarian/perantau, dan mengalami banyak tentangan. Dalam pembenahan kota Jenewa, beberapa hal yang menjadi perhatian utama Calvin adalah mengenai aspek moral dan pendidikan di kota Jenewa. Ia membuat dasar-dasar pengakuan iman yang kemudian diadopsi oleh dewan kota. Ia juga menata gereja agar ada local assembly, consistory, presbytery, serta para pengajar dan penggembala gereja. Calvin memberikan posisi deacon, elder, pastor, dan doctor dalam menjalankan fungsi gereja. Pembagian ini juga untuk memastikan tidak ada satu orang atau badan tertentu yang memiliki wewenang terlalu besar dalam gereja. Ia juga kerap kali mengganti orang-orang yang dinilainya tidak memiliki hati untuk Tuhan dan kurang dedikasi dalam bekerja. Suatu kali ia mengeluh, “Our colleagues are more an obstacle than a help; they are rough and conceited, show no initiative, and even less knowledge. But the worst is that I cannot trust them.” Penekanan disiplin gereja dan kehidupan moral sangat diperhatikan oleh Calvin. Bagi orang yang melanggar, Calvin menghukum dengan tegas tanpa memandang bulu, misalkan saja dengan melarang orang tersebut untuk ikut perjamuan kudus. Dalam masa kepemimpinannya di Jenewa, ia juga dengan jelas memperhatikan hubungan antara gereja dan negara. Gereja dan negara memiliki hak dan tanggung jawab masing-masing di hadapan Tuhan dan tidak boleh dicampur aduk. Gereja tidak boleh melakukan eksekusi terhadap jemaat yang melanggar hukum negara. Negara juga tidak diperbolehkan melakukan intervensi terhadap tata cara dan ibadah gereja. Perlahan namun pasti, berbagai disiplin dan perbaikan yang Calvin terapkan dalam lingkup gereja, mulai memberikan pengaruh positif di masyarakat.
Penutup
Artikel ini merupakan bagian pertama dari total dua bagian artikel yang akan saya tulis. Dalam artikel berikutnya (bagian 2), saya akan menyoroti sosok Abraham Kuyper (theolog, filsuf, akademisi, editor surat kabar, dan sekaligus pernah menjabat sebagai perdana menteri Belanda) dalam konteks tata kelola dan desentralisasi pemerintahan. Semoga artikel ini setidaknya bisa mendorong pembaca PILLAR untuk menggumulkan panggilan, peran, dan takaran yang Tuhan sudah berikan bagi setiap kita, minimal sebagai warga negara di tempat/kota/negara kita tinggal.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa & Editorial PILLAR
Pengasuh Rubrik Iman dan Pekerjaan
Referensi
Bavinck, Herman, Essays on Religion, Science, and Society (Baker Academic, 2008).
Hall, David, The Legacy of John Calvin: His Influence on the Modern World (Calvin 500).
Horton, Michael, Where in the World Is the Church?: A Christian View of Culture and Your Role in It.
Keller, Timothy, Center Church: Doing Balanced, Gospel-Centered Ministry in Your City.
Kuyper, Abraham, Lectures on Calvinism.
Skillen, James, The Good of Politics: A Biblical, Historical, and Contemporary Introduction.
Volf, Miroslav, Exclusion & Embrace: A Theological Exploration of Identity, Otherness, and Reconciliation.
Volf, Miroslav, Flourishing: Why We Need Religion in a Globalized World.
Endnotes
- The Reformation: A History, History of The Reformation Of The Sixteenth Century, The Protestant Reformation
- Pada awalnya, Luther hanya ingin memberikan kritik terhadap berbagai hal yang menyeleweng yang sedang terjadi dalam lingkup gereja. Luther masih tetap ingin berada dalam Gereja Katolik Roma, dan sama sekali tidak ada pemikiran agar usahanya ini memberikan pengaruh besar dalam masyarakat, apalagi mencakup seluruh Eropa.
- Contoh buku tulisan Kuyper yang menyinggung tema anugerah umum (common grace): De Gemene Gratie (Common Grace; 1902–1905), Het sociale vraagstuk en de Christelijke Religie (The Social Question and the Christian Religion; 1891), Het sociale vraagstuk en de Christelijke Religie (The Social Question and the Christian Religion; 1891).