Ketika orang mendengar kata “posmodernisme”, biasanya ada suatu “jentikan perasaan” (gut feeling) yang berkata bahwa ini adalah sebuah ideologi yang berbahaya. Seolah-olah kata ini merupakan sebuah tabu yang tidak boleh dibicarakan, khususnya oleh gereja-gereja yang menyandang nama “gereja Injili”, “gereja konservatif”, “gereja generasi tua”, dan lain sebagainya. Dan karena perkembangan “anti-posmodernisme” menjadi demikian kental tanpa adanya sebuah pelurusan yang tepat, akhirnya kosakata ini menjadi sebuah hantu yang mengerikan. Padahal, dalam banyak hal, sebetulnya kita dapat belajar dari posmodernisme. Ada sisi positif yang dapat kita serap, dan ada juga sisi negatif yang dapat kita kendalikan. Dalam segala hal di dalam dunia yang sudah jatuh ini, pasti ada sisi terang dan gelap, dan kita harus bijak dan mampu mempelajari dengan tajam apa yang dimaksud dengan ideologi dan semangat zaman tersebut.
Mari kita mulai dengan sebuah definisi. “Posmodernisme” terdiri dari dua kata: “pos” yang berarti “setelahnya” dan “modernisme” yang berarti “masa kemajuan”. Posmodernisme dapat dimengerti sebagai suatu zaman yang hadir setelah era “masa kemajuan” atau yang menolak semangat “kemajuan” seperti yang dikembangkan pada masa modern. Masa modern dapat digambarkan oleh perkembangan institusi ekonomi dan politik, yang digerakkan oleh Revolusi Industri dan Revolusi Prancis, dengan gerak “maju” meninggalkan nilai-nilai pramodern seperti nilai keagamaan dan tradisionalisme. Perkembangan modernisme berakhir dengan kekecewaan besar. Di satu sisi, perkembangan sains dan ekonomi sangat memajukan peradaban Eropa Barat. Di sisi lain, sains melahirkan bom nuklir, kekuatan kapitalisme yang diikuti dengan kolonialisme, dan nasionalisme yang disertai dengan rasisme yang berakhir dengan Perang Dunia dan Holocaust.
Kaum posmodernis muncul sebagai sebuah reaksi yang menentang proyek modernisme yang katanya menjanjikan “kemajuan dan rasionalitas” umat manusia. “Katanya rasional dan bisa membawa kemajuan dan kesejahteraan, mengapa karena modernisme sejarah justru mencatat jumlah kematian manusia yang tertinggi pada abad ke-20?” Hal inilah yang menjadi akar perkembangan kaum posmodernis. Bagi mereka, konsep “rasionalitas”, “kemajuan”, dan “kebenaran objektif” yang dikonstruksikan sebagai berhala orang modern justru menjadi penyebab kejahatan yang terjadi pada masa Perang Dunia I dan II. Peran negara dan militer yang terlalu kuat dipandang sebagai penyebab manusia tidak lagi “maju”, melainkan menjadi monster yang rasional, yaitu makhluk-makhluk yang lebih mengerikan daripada manusia purba. Perkembangan cara berpikir “hitam-putih” yang berkata, “Kami benar, kalian salah,” adalah sesuatu yang dikritik oleh orang posmodern. Dengan mendalilkan “kebenaran objektif” sambil meniadakan Tuhan, kaum modern yang memegang kekuasaan justru meniadakan kelompok marginal, kelompok non-kulit putih, kelompok minoritas, kelompok “yang bukan aku”, yang nantinya dipandang sebagai subhuman.
Erich Fromm, dalam bukunya The Sane Society, menjelaskan tentang kengerian masyarakat modern sebagai berikut: “Pada abad ke-19, manusia telah membunuh Tuhan. Pada abad ke-20, manusia telah membunuh dirinya sendiri.”
Keunikan Posmodernisme
Berbeda dengan orang modern yang mementingkan otoritas dan keseragaman, bagi orang posmodern, perkembangan suatu zaman adalah untuk menghargai keunikan dan keragaman, keadilan dan hak asasi manusia. Sebagai suatu contoh, kalau pada masa modern, hubungan antara kelompok dapat dibedakan menjadi dua jenis: “Barat dan non-Barat”. Maka, pada masa posmodern, hubungan antara kelompok justru mengakui akan adanya pluralitas seperti “Amerika, Inggris, Prancis, India, Tiongkok, Turki, Indonesia, dan lain sebagainya”. Keberadaan suatu kelompok tidak “digilas” oleh suatu kelompok yang mempunyai identitas yang lebih dominan, melainkan setiap kelompok dan individu diakui keberadaannya. Berbeda dengan pola berpikir “hitam atau putih”, posmodernis menawarkan pola berpikir “warna-warni” yang melukiskan setiap keunikan yang dapat dihadirkan dalam sebuah masyarakat. Inilah yang dikenal sebagai “dekonstruksi” seperti yang diungkapkan oleh filsuf Prancis, Jacques Derrida, yang mencoba untuk “memecahkan” sentimen orang Barat yang terlalu dominan dalam memandang diri sebagai pusat dari perkembangan dunia.
Sampai pada taraf tertentu, sebetulnya kelompok posmodernis memang memberikan “rasa” yang lebih kaya dibandingkan orang modern. Kalau orang modern yang menyukai keteraturan (order) cenderung “kaku dan dingin” bagaikan sebuah rumus matematika, maka orang posmodern (freedom) cenderung “fleksibel dan emosional” bagaikan sebuah kelas seni yang diisi dengan seni musik dan lukisan-lukisan. Dalam banyak hal, kaum posmodern ini mampu untuk membongkar (debunking) berhala orang modern, yaitu kebenaran artifisial yang cenderung menjadi “payung pelindung”. Posmodernisme akan berkata, “Tidak semudah itu, ferguso, dunia tidak sesederhana hitam dan putih. Masih banyak hal lain yang perlu dipertimbangkan. Hidup itu kompleks.” Dengan demikian, sebetulnya orang posmodernis cukup menikmati kompleksitas dari berbagai cara pandang dunia, agama, dan ragam kepercayaan. Percayalah, kalau kita sebagai orang Kristen mau membicarakan tentang iman, yang akan lebih mendengarkan kita bukanlah orang atheis modern, melainkan seorang agnostik posmodernis yang menantikan “rasa baru”.
Di tengah ruang publik yang makin bebas, kaum posmodernis justru akan menyukai adanya interpretasi baru dari ragam nilai agama atau kepercayaan. Seperti seseorang yang sedang berwisata kuliner, kaum posmodernis akan lebih suka untuk berdiskusi, mendengarkan, dan mengobrol dengan orang dari berbagai macam latar belakang. Menurut Peter Berger, sebetulnya dunia ini bukan makin sekuler, melainkan makin plural. Yang dimaksud sekuler adalah pola berpikir modern yang mengatakan “agama itu irasional”. Sekarang, kita justru melihat bahwa di dunia digital sendiri malah muncul berbagai macam nilai, opini, dan ribuan jenis pemikiran yang memiliki “rasa” masing-masing. Dan pluralitas adalah hal yang baik, sebab kita perlu belajar untuk berefleksi, “Mengapa di tengah pluralitas, saya memilih warna dan jalan yang seperti ini?”
Dalam hal ini, posmodernisme sedang berupaya untuk mencari “alternatif”, yaitu sebuah jalan baru yang mungkin terkesan tidak umum, tetapi yang setidaknya bisa menawarkan sebuah “opsi lain” daripada opsi yang banyak dipilih oleh mayoritas. Sikap anti-mainstream yang cenderung menolak metanarasi, atau dalam bahasa mudahnya, “memilih jalan sendiri” yang berbeda dengan yang dipilih banyak orang, adalah semangat posmodern yang mementingkan keunikan. Saya kira lagu “This Is Me” yang ditampilkan dalam film The Greatest Showman adalah suara yang paling tepat untuk melukiskan suara batin orang posmodern:
But I won’t let them break me down to dust
I know that there’s a place for us
For we are glorious
When the sharpest words wanna cut me down
I’m gonna send a flood, gonna drown ‘em out
I am brave, I am bruised
I am who I’m meant to be, this is me
Look out ‘cause here I come
And I’m marching on to the beat I drum
I’m not scared to be seen
I make no apologies, this is me
– Dinyanyikan oleh Keala Settle
Posmodernisme dan Kecemasan
Walau demikian, posmodernisme sendiri bukanlah tanpa kelemahan. Setiap hal pasti ada kelemahan. Kalau orang modern yang mementingkan “kemajuan, rasionalitas, dan kebenaran objektif” justru melahirkan keteraturan yang menjadi penjara manusia, orang posmodern yang mementingkan “keunikan, keragaman, dan kebebasan” justru akan melahirkan kebebasan yang menimbulkan kecemasan. Di satu sisi, “kebenaran objektif” yang ditolak oleh kaum posmodernis adalah sebuah langkah yang benar, sebab kebenaran artifisial bukanlah kebenaran. Akan tetapi, ketika kebenaran itu sendiri ditolak, maka muncul ketidakpastian, dan itu akan melahirkan rasa cemas yang mendalam pada diri individu. Kalau memang “otoritas manusia” adalah suatu otoritas yang abusive dan sambil mengatasnamakan kebenaran untuk membenarkan dosanya, itu harus dilawan. Dalam hal ini, posmodernisme itu ada tempatnya. Akan tetapi, ketika resistansi itu dilakukan atas dasar sikap anti-kebenaran, maka itu akan memunculkan permasalahan yang baru. Meninggalkan suatu berhala dengan menyembah berhala yang lain tidak melepaskan kita dari penyembahan berhala.
Dalam banyak hal, posmodernisme merupakan suatu kondisi yang memberikan ruang yang sangat amat luas bagi individu untuk melakukan apa yang baik menurut pandangan dirinya seperti pada masa hakim-hakim di Kitab Suci. Menurut Zygmunt Bauman, di masa digital dan terindividualisasi ini, “Kita bebas memilih siapa yang menjadi teman kita. Kita bebas memilih siapa yang dapat kita hapuskan. Kita mempunyai kendali atas siapa yang menjadi bagian dari jejaring sosial kita.” Semuanya ini dapat kita lakukan pada suatu alat—smartphone—di atas telapak tangan, dan kita bebas memasukkan dan mengeluarkan nama orang tanpa mengalami suatu perasaan yang mendalam. Akhirnya, setiap individu akan memilih orang yang sama dengan dirinya (like-minded) dan itu menjadi sebuah echo-chamber. Media sosial yang adalah cermin dari arena posmodern tidak menjadi suatu sarana bagi kita untuk membuka wawasan dan cara berpikir, tetapi untuk mencari kenyamanan dan mendengarkan suara diri sendiri melalui kehadiran orang lain yang menjadi ekstensi dari pengguna jejaring tersebut. Rasa sendirian dan rasa takut akan ditinggalkan adalah hantu kecemasan yang akan menemani masyarakat saat ini.
Ada beberapa sebab mengapa tingkat bunuh diri saat ini menjadi sangat tinggi. Salah satunya adalah kita telah menggantikan hubungan tatap muka (face-to-face) menjadi tatap layar (screen-to-screen). Kita telah mengonversi relasi kemanusiaan menjadi “kecocokan semata”. Martabat manusia direduksi hanya sebagai “pengalaman baru” atau “rasa unik”. Di satu sisi, posmodernisme memang menawarkan keragaman dan keunikan yang sangat meluas. Tetapi di tengah kebebasan itu, manusia justru menjadi makin sempit ketika dia mencari “warna yang sama dengan dirinya”. Dia menyukai suatu bunga bukan karena bunga itu indah, melainkan dia mementingkan dirinya sendiri dan kebetulan warna itu menyentuh perasaannya, maka dia memungut bunga tersebut. Sikap yang terbentuk pada masa posmodernisme adalah “konsumsi keindahan”, tetapi itu justru menimbulkan sifat adiktif dan ketergantungan, serta ketidakmampuan untuk bersikap produktif dalam rasa tanggung jawab kemanusiaan.
Dalam hubungan yang disebut sebagai Liquid Love di era posmodernisme ini, manusia menjadi suatu objek konsumsi bagi sesamanya. Siapa yang dapat menawarkan “rasa baru” sebagai suatu objek akan mendapatkan follow, likes and subscribe, dan bagi yang sudah menjadi “rasa basi” akan di-ghosting, blocked and deleted. Dengan kata lain, berkomitmen menjadi suatu teror yang besar. Komitmen menuntut tanggung jawab dan sifat berkorban, dan di tengah kebebasan untuk mencoba “sesuatu yang baru” tanpa henti, komitmen berarti penghentian terhadap siklus tersebut. Justru dengan tidak berkomitmen, maka makin mungkin untuk terus mencicipi yang baru sekaligus terlibat dalam “audisi terus-menerus” dan sebuah sirkus hiburan yang menjadi arena untuk memperoleh perhatian daripada yang lain di media sosial. Dunia hiburan untuk “membius” rasa sendirian yang demikian mendalam.
Perasaan individu yang dipandang sebagai “realitas terpenting” bagi tiap orang dapat menjadi sebuah penjara tersendiri. Itulah “warna keunikan” yang sebetulnya adalah ekspresi dari rasa sendirian. Dalam kondisi yang ekstrem, ketika “realitas perasaanku” menjadi terlalu dominan, bahkan realitas kenyataan pun ditolak, hal itu akan berakibat pada kegilaan. Kegilaan bukanlah ketidakmampuan individu untuk berpikir secara logis, tetapi itu juga merupakan deskripsi dari individu yang hanya merasakan dirinya, dan tidak lagi mampu untuk berdialog dengan orang lain dan bersentuhan dengan dunia di sekitarnya. Kecemasan yang ekstrem akan menjadi penjara kegilaan, itu adalah zona nyaman sekaligus menjadi keterikatan. Ketika individu menempatkan diri sebagai pusat, dia justru kehilangan dirinya sendiri. Ketika dia tidak dapat memaksakan orang lain untuk menjadi bagian dalam micro-universe yang dibuat oleh fantasinya, maka dia akan menolak kenyataan dan hidup itu sendiri.
Warna Kekristenan
Banyak yang berkata bahwa pada era posmodernisme ini kekristenan mengalami penurunan yang masif. Dalam buku The Death of Christian Britain oleh Callum Brown, dijelaskan bahwa penyebab menurunnya kekristenan di Eropa Barat adalah gerakan posmodernisme dan semangat individualisme. Makin bebas suatu masyarakat, maka manusia akan bersikap individualis. Makin individualis, maka institusi negara yang modern dan institusi agama yang tradisional akan ditinggalkan. Dan memang faktanya adalah seperti demikian. Kita juga bisa menemukan hal ini dalam generasi Milenial dan generasi yang akan datang di mana “kekristenan yang doktrinal” akan dipandang sebagai “rumus matematika yang membosankan”. “Meskipun kekristenan itu benar, namun jika tidak ada rasanya bagiku, maka kekristenan itu tidak relevan dan tidak penting, ya sama saja dengan tidak benar,” demikian suara anak muda saat ini.
Bagi yang berada pada generasi tua atau yang disebut “zaman old”, hal ini akan dipandang sebagai “anti-otoritas” dan lain sebagainya. Namun, bagi saya sebetulnya itu adalah sebuah hal yang baik. Setiap orang Kristen pasti mempunyai sisi “atheistik-agnostik” tertentu dalam hidupnya, dan iman tidak hanya melibatkan aspek kognitif, melainkan juga melibatkan aspek emosional. Iman bukan hanya berbentuk “Amsal Kebijaksanaan” atau “Hukum Peraturan”, tetapi juga “Mazmur Kebatinan”, “Kidung Agung Kemesraan”, dan “Ratapan Hati” yang melibatkan emosi amarah, dendam, depresi, kesedihan, sukacita, dan rasa sendirian. Tidak ada tulisan yang menyentuh batin manusia yang lebih mendalam selain yang diekspresikan oleh kitab-kitab tersebut. Justru dengan melibatkan aspek emosional, kita akan melihat kekayaan dari cinta kasih Allah. Bukan hanya tahu air hidup itu ada, melainkan turut mencicipinya dan meminumnya dengan segala rasa yang diberikannya.
Saya kira di era posmodernisme yang “melunturkan kekristenan” justru juga membukakan sisi asli dari kekristenan selama ini. Modernisme dengan segala perangkat doktrin dan ritual yang ketat memang bisa mendisiplinkan orang untuk pergi ke gereja, menjadi “jemaat yang baik dan taat”, dan menjadi “buruh institusi agama” yang nasionalis terhadap “negara organisasi” yang diikutinya, tetapi sebetulnya itu belum sungguh-sungguh menyentuh iman Kristen yang sejati. Kristendom bukanlah kekristenan. Terlibat dalam gereja secara terorganisir belum tentu sama dengan iman personal dengan Allah yang hidup. Dan posmodernisme berhasil membongkar “kekristenan artifisial” atau yang disebut sebagai “Kristendom”. Jadi, kita bisa lebih faktual dalam mendatangi generasi muda yang adalah “ladang menguning”, dan tidak berlindung dalam sebuah “pabrik organisasi rohani” yang hanya menunggu “hasil jadi” yang dicetak tanpa sebuah pergumulan yang sungguh.
Terakhir, saya melihat bahwa ada suatu keindahan di era posmodernisme. Pada masa pramodern dan modern, yaitu sejak Abad Pertengahan dan era industri, kekristenan senantiasa mengalami perpecahan yang keras. Tentu, kita tidak bisa abai terhadap perbedaan doktrinal. Namun, di era posmodernisme ini, beragam denominasi Kristen mulai belajar rendah hati dan melihat “keindahan dan rasa” pada aliran yang lain. Kita mulai meninggalkan sikap angkuh yang berkata, “Aliranku pasti benar, dan aliran lain pasti salah. Akulah si putih, yang lain si hitam.” Akan tetapi, kita mulai belajar bahwa aliranku “hanyalah salah satu warna dari ribuan warna yang disatukan dalam Kristus”. Setiap warna mempunyai kekuatan dan kelemahannya, dan kita belajar untuk memandang keindahan dalam aliran yang lain.
Pada zaman dahulu, sejak terjadi The Great Schism antara Gereja Barat (Katolik Roma) dan Gereja Timur (Ortodoks Timur) pada tahun 1054, tidak ada dialog yang berarti antara kedua gereja tersebut, malah terjadi kekerasan dan pengecaman terhadap satu dengan yang lain. Sejak Reformasi Protestan pada tahun 1517, Katolik Roma mengecam para reformator dan pengikutnya sampai saja menimbulkan peperangan 30 tahun, dan setelah itu Protestan juga tidak berdialog secara konstruktif pada masa modern. Jadi selama ratusan hingga ribuan tahun, gereja tidak saling berbicara ataupun bersikap terbuka. Sampai suatu ketika, yaitu pada masa posmodern ini, lintas denominasi mulai belajar dari sesamanya. Selama 50 tahun terakhir sejak tahun 1970-an, Katolik Roma dan Ortodoks mulai berbincang kembali setelah sekitar seribu tahun terpisah. Selama 50 tahun terakhir juga, Katolik Roma dan Protestan mulai berdialog dan itu dicontohkan oleh hubungan J. R. R. Tolkien, penulis The Lord of the Rings, yang menginjili C. S. Lewis, penulis The Chronicles of Narnia. Tentu, perbedaan doktrinal yang cukup signifikan masih membedakan dan memisahkan, tetapi secara spirit, kita sedang hidup di suatu zaman di mana tubuh Kristus mulai bersatu kembali seperti yang pernah terjadi pada Gereja Mula-mula.
Di tengah keragaman yang luas, kita dipersatukan dalam makna Mere Christianity (Kekristenan Asali). Dalam Kristus (in Christ alone), kita dapat duduk dan berbincang, belajar dan menikmati keindahan. Kita bukan “mengonsumsi dan memungut bunga keindahan” yang kita sukai, tetapi memberi apresiasi terhadap yang lain dan berbagi bunga keindahan yang telah Tuhan bagikan kepada masing-masing diri kita. Dalam buku Institutes of the Christian Religion yang ditulis oleh John Calvin, tidak jarang sang reformator melakukan kutipan terhadap beberapa tokoh Katolik Roma dan Ortodoks, yaitu Agustinus dari Hippo, Bernard of Clairvaux, dan John Chrysostom (“Agustinus-nya gereja Timur”). Pada dasarnya dalam tulisan Calvin, Bernard, Chrysostom, dan Agustinus merujuk kepada Kristus. Jadi, jangan sampai kita menjadi “Kristen modern” yang menolak keberagaman, atau bahkan menjadi “Kristen posmodern” yang menolak kebenaran. Pada akhirnya, kita hanyalah “pengikut Kristus” yang disatukan dalam Yesus Kristus, Sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup. Nikmati masa-masa ini di mana tubuh Kristus sedang menampilkan warna-warninya dan mulai bersatu seperti pada masa Kristen mula-mula.
Referensi:
Bauman, Zygmunt. 2003. Liquid Love: On the Frailty of Human Bonds. Polity Press.
Brown, Callum. 2009. The Death of Christian Britain: Understanding Secularisation, 1800-2000. Routledge.
Calvin, John. 2014. Institutes of the Christian Religion. Banner of Truth.
Derrida, Jacques. 2005. The Politics of Friendship. Verso.
Fromm, Erich. 1955. The Sane Society. Routledge.
Kevin Nobel Kurniawan
Redaksi Editorial PILLAR (rubrik Isu Terkini)