Belakangan ini muncul sebuah istilah yang cukup trendy, yaitu “Kristen Progresif”. Istilah “progresif” sendiri sering diasosiasikan dengan perkembangan liberalisme yang “progresif”, yaitu sebuah gerakan sosio-politik yang banyak terjadi di negara Barat seperti Amerika Serikat, di mana kelompok tersebut mulai mempertanyakan otoritas dan tradisi dari kubu konservatif. Perlu dicatat bahwa dalam hal ini, kubu liberal atau “progresif” ini tidak selalu membidik pada permasalahan religius semata, tetapi juga tentang isu-isu sosial dan politik seperti masalah perbudakan, kolonialisme, dan lain sebagainya.
Untuk memudahkan analisis ini, saya akan meminjam seorang tokoh psikologi-politik ternama, yaitu Jonathan Haidt. Dalam bukunya, The Righteous Mind, dijelaskan bahwa suatu masyarakat akan menarik sumber nilai moral dari dua unsur: kebebasan (freedom) dan keteraturan (order). Yang menitikberatkan pada keteraturan, biasanya akan menjaga tradisi, menghormati otoritas, dan menjunjung tinggi nilai kemurnian. Sebaliknya, bagi yang menitikberatkan pada kebebasan, maka nilai yang dicari adalah keadilan sosial bagi kaum lemah, penerimaan akan keberagaman, dan juga hak asasi manusia. Masing-masing dalam caranya mempunyai interpretasi terhadap kebenaran moral, dan setiap masyarakat sebetulnya dapat berfungsi jika ada sinergi antara kedua kubu tersebut.
Gerakan “progresif” bermula pada tahun 1960-an, yaitu pada masa revolusi seksual. Setelah masyarakat Barat selesai dengan Perang Dunia Pertama dan Kedua, terdapat nostalgia atau keinginan kembali ke masa “zaman keemasan Barat”, yaitu pada budaya Victorian. Budaya Victorian adalah sinkretisme antara nilai-nilai Kristen, modernisme, dan Kerajaan Inggris. Akan tetapi, hal itu juga menandakan bahwa masyarakat Barat akan terikat pada tradisi keagamaan dan sistem politik negara yang cenderung otoriter. Ditambah juga dengan konteks Perang Dingin, negara mewajibkan militer bagi anak muda untuk berperang di Vietnam. Hal itu juga disertai dengan rasisme yang tidak kunjung selesai sampai pada gerakan Black Lives Matter zaman old yang dipimpin oleh Martin Luther King Jr. Pada masa itu, gerakan progresif memang mempunyai posisi yang lebih kuat untuk mengkritik otoritas negara Barat yang cenderung Victorian dan memandang kebudayaan lain dalam posisi yang lebih inferior.
Walau demikian, gerakan “progresif” itu juga melahirkan beberapa hal yang membekas sampai hari ini. Pertama adalah revolusi seksual yang menolak hubungan seksual hanya dalam institusi pernikahan. Itulah sebabnya seks bebas dan kumpul kebo menjadi sebuah tren yang terkenal pada masa itu. Anak-anak muda masih mementingkan pernikahan, tetapi hanya setelah melakukan hubungan seks. Jangan salah juga, pada masa itu muncullah istilah “pacaran” (dating) yang menjadi sebuah hal yang dijalankan pada hari ini. Kedua, gerakan “pembebasan” tersebut turut mempertanyakan nilai-nilai keagamaan. Ketika politik negara sudah menjadi agresif dan terlibat dalam peperangan global, anak-anak muda pada masa itu juga mempertanyakan segala nilai tradisional dan konservatif, termasuk nilai-nilai kekristenan. Bermula dari apakah Yesus sungguh pernah ada dan sungguh adalah Tuhan, apakah Alkitab benar absolut dan tidak mempunyai kesalahan, dan lain sebagainya. Dari situlah muncul theologi liberal dan karismatik, yang tidak hanya merupakan bentuk tafsir modern yang saintifik (anti-wahyu), tetapi juga tafsir postmodern yang anti-saintifik (pro-supranaturalisme).
Menurut pandangan anak muda zaman itu, seseorang yang berpegang pada konservatisme adalah polisi moral yang tidak berperikemanusiaan, atau yang disebut juga sebagai “monster moral”. “Kalau memang benar kekristenan adalah agama yang benar untuk Amerika Serikat dan Inggris, lalu mengapa Perang Dingin malah dilakukan oleh negara-negara yang disebut sebagai negara Kristen?” Menariknya, sekalipun mereka tidak lagi ke gereja, anak-anak muda zaman itu masih kurang lebih merayakan hari raya Kristen, tentunya dengan modifikasi-modifikasi yang tidak mencerminkan esensi nilai Kristen secara asli. Gerak “progresif” tersebut mulai menuju pada sekularisme, di mana institusi agama mulai luntur dan orang tidak lagi kembali kepada nilai Kristen yang dipandang “konservatif dan tradisional”, tetapi masih banyak orang Eropa yang percaya kepada higher intelligence, kepada “Tuhan yang Maha Kuasa”, dan memandang agama sebagai gaya hidup.
Fenomena itu terus berkembang sampai saat ini, mengalami proses penyebaran melalui media sosial, dan tiba di Indonesia, di mana “progresif” mulai masuk ke dalam agama Kristen, yang menjadi “Kristen Progresif”. Pemikiran ini menjadi sebuah hal yang trendy bagi generasi Z khususnya yang lebih berkubu pada prinsip “kebebasan” (freedom). Suatu agama tidak lagi dipandang apakah itu benar atau salah, melainkan apakah agama itu memberikan rasa nikmat atau tidak? Apakah itu relate dengan kondisi hidupku saat ini? Ya memang agama ini penting bagi orang-orang elite di atas sana, yang dari sana sudah konservatif dan bisa menjalankan SOP (Standard Operating Procedure) dari tuntutan religius, tetapi apa makna agama ini bagiku? Jika kekristenan tidak bisa memuaskan keinginanku, maka kekristenan itu tidak relevan, tidak relate, dan besar kemungkinan itu tidak benar. Akulah yang menjadi pusat kehidupan, aku melakukan cherry picking tentang kebenaran apa yang benar bagiku.
Mungkin sekali, bagi yang berasal dari kalangan Reformed yang memegang “doktrin yang ketat dan mendekati yang sempurna” serta “konservatif dan tradisional”, kita akan cenderung lebih mudah memberikan label kepada anak muda postmodernis ini sebagai “anti-otoritas”. Dan sudah, berhenti di situ saja, tidak ada dialog lebih lanjut. Cukup dikarantinakan dalam sebuah “kotak sesat”, dan kembali kepada “kerajaan/Reich Reformed” yang sudah tertata. Sebaliknya, bagi kalangan tersebut, yang kurang lebih akan muncul dari aliran gereja yang lebih liberal, akan memandang kita sebagai “moral bigot”, “moral monster”, “moral Nazi”, dan lainnya, seperti yang pernah terjadi pada tahun 1960-an. Lalu dilakukanlah jurus cancel culture melalui media sosial sebagai social justice warrior. Tidak ada yang baru di bawah matahari. Semuanya hanyalah sebuah pengulangan dalam bentuk yang baru. Yang satu lebih mementingkan doktrin dan prinsip moral kedisiplinan ala Farisi dan anak sulung, yang satu lebih mementingkan pengalaman dan perasaan estetis yang membebaskan ala pemungut cukai dan anak bungsu.
Dalam banyak hal, kelompok “Kristen progresif” ini memandang konservatisme, doktrin, dan keteraturan dari tradisi sebagai bentuk penghakiman. Apabila realitas kebenaran yang ditawarkan oleh wahyu Allah tidak sesuai dengan kondisi dan pengalaman individu, maka kebenaran itulah yang perlu di-cancel, atau setidaknya arti dari Kitab Suci itu sendiri perlu diubah. “Apakah Tuhan sungguh berkata seperti demikian?”, “Apakah Tuhan sungguh berkata dengan arti seperti demikian?” Salah satu contoh kasus yang akan menjadi fenomena yang sering dipertanyakan adalah mengenai LGBT (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender). Apakah Tuhan sungguh berkata bahwa hubungan monogami antara pria dan wanita adalah satu-satunya yang sah menurut Kitab Suci? Bagaimana dengan Abraham, Daud, dan Salomo yang berpoligami? Atau bagaimana hubungan antara Daud dan Yonatan yang saling “berciuman”, bukankah itu homoseksualitas? Dengan mengandalkan kasus-kasus konkret, kebenaran itu dipertanyakan atau dimodifikasi menurut pengalaman pribadi.
Mungkin sekali, bagi yang berasal dari kalangan Reformed yang memegang “doktrin yang ketat dan mendekati yang sempurna” serta “konservatif dan tradisional”, kita akan cenderung lebih mudah memberikan label kepada anak muda postmodernis ini sebagai “anti-otoritas”. Dan sudah, berhenti di situ saja, tidak ada dialog lebih lanjut. Cukup dikarantinakan dalam sebuah “kotak sesat”, dan kembali kepada “kerajaan/Reich Reformed” yang sudah tertata.
Sampai pada tahap tertentu, kita memang harus belajar untuk bertanya. “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik” (1Tes. 5:21). Akan tetapi, bacalah kembali ayat itu, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” Bukan: Ujilah segala sesuatu dan “tidak berpegang pada apa pun”. Kelompok progresif dapat memberikan kritik yang sangat tajam terhadap masalah gereja yang sering menutup-nutupi masalah. Dalam banyak hal, sikap kritis terhadap institusi agama merupakan spirit yang baik. Bukankah itu yang dilakukan oleh Tuhan Yesus ketika Dia datang dan membongkar kemunafikan dari para pemimpin agama? Hanya saja, Tuhan Yesus sendiri tetap berpegang pada yang benar, maka Dia membukakan segala hal yang kurang benar. Progresif dapat membongkar “kebenaran artifisial” yang dikonstruksi oleh manusia sebagai berhala, tetapi progresif saja tidaklah cukup dan tidak tepat; dia tetap harus berpijak pada kebenaran. Tanpa kebenaran, segala kritik yang “progresif” hanyalah sebuah ekspresi untuk menjadi berbeda dan “unik”, tetapi itu tidaklah lain dari semangat mengasihani diri yang menjadikan pengalaman diri sebagai kebenaran (self-pity and playing victim).
“Jika Tuhan adalah kebenaran, maka Tuhan harus menerima aku apa adanya.” Tuhan memang menerima kita apa adanya, tetapi kita tidak boleh menjadi sama terus-menerus dalam dosa. Come as you are, but don’t stay as you are. Semangat progresivitas untuk mengkritik prinsip moral “di atas sana” sebetulnya juga memiliki semangat stagnansi ala Sisifus yang terjebak dalam sebuah siklus tanpa henti. “Aku mengkritik supaya tampak lebih maju daripada otoritas tradisional, tetapi aku sendiri tidak mau menjadi lebih baik, aku sudah nyaman dengan diriku. Maka, orang lain harus memvalidasi perasaanku, dan membiarkanku dalam posisi ini.”
Sebetulnya cara berpikir seperti demikian juga menjadi bentuk sikap self-poisoning yang menyebabkan seseorang berputar-putar dalam lubang yang sama. Oleh karena dia sudah tinggal di lubang yang sama terlalu lama, dia menjadikan itu lubang lumpur. Tuhan tidak membenci anak bungsu yang jatuh ke dalam lubang babi, Dia tetap menerimanya kembali. Hanya saja, anak bungsu itu menyadari bahwa lubang babi tersebut sangatlah buruk dibandingkan rumah ayahnya, maka dia kembali ke rumah. Rumah Allah tidaklah sempurna, gereja selalu ada masalah, tetapi itu bukan menjadi alasan untuk memberontak dan merusak diri di tempat-tempat yang berbahaya, dan menganggap diri sebagai “yang progresif”. Progresivitas tanpa kebenaran adalah kekacauan (chaos). Jika kita sungguh-sungguh progresif, maka kita tidak akan membiarkan diri hidup dalam lubang dosa yang sama terus-menerus. Itu bukanlah self-love, melainkan self-hate yang sangat besar, sebab kita menolak diri untuk dikasihi Allah. Dan jika kita tidak mengasihi diri sendiri, kita tidak mungkin mengasihi yang lain. Semua yang diperjuangkan sebagai keadilan sosial dan pembebasan kaum lemah bukanlah ekspresi dari kasih, melainkan ekspresi balas dendam terhadap sosok otoritas dan menjadikan “orang lemah” dan yang sekubu sebagai pion catur ideologis.
Yang paling ditakuti bagi kelompok progresif adalah kebenaran, tetapi itu juga yang paling dibutuhkan. Kebenaran adalah hal yang menghancurkan diri sekaligus memiliki unsur pemulihan bagi diri. Substitusi terhadap kebenaran yang menyakitkan adalah penerimaan dan pembenaran terhadap dosa. Pada akhirnya, hal itulah yang menyebabkan kehancuran yang lebih mendalam. Tuhan Yesus datang bukan sebagai Juruselamat saja yang menerima manusia berdosa apa adanya, tetapi Dia juga datang sebagai Tuhan dan Sang Kebenaran yang membebaskan manusia dari dosanya. Maka dari itu, solusi terhadap permasalahan ini bukanlah penghakiman, bukanlah pendisiplinan moral, tetapi langkah untuk beriman. Kita paling takut apabila kebenaran itu berfungsi sebagai cermin yang memaparkan dosa, dan hanya sebatas itu saja. “Jika Dia adalah nabi, maka Dia akan mengetahui siapa diri kita ini.” Akan tetapi, Sang Kebenaran yang hidup datang bukan sebagai ahli hukum yang menyebutkan apa yang benar dan salah, sebagai nabi yang menamai siapa yang benar dan salah, melainkan datang sebagai Pemilik Hidup, yang membenarkan kita dari dosa-dosa kita.
Kevin Nobel Kurniawan
Redaksi Editorial PILLAR (rubrik Isu Terkini)