“Good morning! May I speak to Mr. Adi Kurniawan, please?” seorang perempuan menelepon saya suatu pagi.
“Yes …?”
“I’m from So And So … and I’d like to know whether … and discuss the possibility of …. When will you be free to meet, Sir?”
“Err … I’m busy now …”
“When is the best time for us to meet, Sir?”
“Err… sorry, may I know where you are from?”
“Actually I’m from So And So, Sir. It is a … to help you plan for …”
“Err … I already have one.”
“That’s fine, Sir, ….” Sampai pada poin ini saya tidak begitu ingat lagi apa yang dia katakan setelah itu kecuali suatu kesan bahwa dia masih ngotot mau bertemu untuk menawarkan apa yang mau dia tawarkan. Akhirnya saya berkata, “One is enough for me.” Dia kemudian mengatakan terima kasih, dan pembicaraan kami berhenti sampai di situ.
Terus terang, meskipun saya ingin untuk tetap tenang, saya tidak tahu harus berkata apa ketika menerima telepon semacam ini. Sesaat setelah menutup telepon, saya bertanya, “Bagaimana ya saya bisa menjawab dengan lebih baik, tanpa sedikit pun terbawa emosi? Ah, coba kalau orang itu tidak seagresif itu, bicara lebih lambat sedikit, dan tidak langsung menanyakan kapan bisa bertemu, mungkin saya akan merasa lebih nyaman berbicara dengannya. Coba kalau lebih lembut sedikit, mungkin dia bisa memenangkan klien dengan mudah … Lagian, kenapa dia harus telepon di jam kerja begini? Ah, tapi kenapa saya tidak bisa lebih ramah ya? Kenapa saya curiga dengan motivasi dia?” Pagi yang tenang tiba-tiba menjadi tidak tenang lagi hanya karena 5 menit percakapan di telepon.
Saya percaya pengalaman seperti ini bukanlah sesuatu yang jarang kita alami. Setiap kita masuk ke dalam skenario serupa setiap hari, entah itu penawaran produk tertentu dari seorang salesman, permintaan sumbangan dari seorang ibu di pinggir jalan, penyerahan tugas dari bos kepada kita, permintaan tolong dari seorang teman, maupun tawaran untuk melayani dalam suatu bidang tertentu di gereja. Seringkali kita ingin menolak, karena kita merasa orang lain sedang menuntut kita. Namun, kita merasa tidak enak untuk menolak. Kita sadar bahwa kita pun sebenarnya sedang menuntut orang itu. Kita tidak suka dituntut seperti itu, sehingga kita balik menuntut—supaya orang lain tidak menuntut kita.
Suatu hari saya menyadari suatu hal yang bahkan lebih konyol lagi. Ketika itu saya sedang duduk di bus kota, dengan buku di tangan, maksudnya ingin memakai waktu selama perjalanan itu untuk membaca. Akan tetapi, saya menemukan konsentrasi saya pada buku tersaingi, karena di Singapura, bus-bus kota dilengkapi dengan layar televisi yang hampir selalu menyala. Mending kalau cuma gambar. Suaranya itulah yang membuat saya susah berkonsentrasi membaca. Televisi pun beradu dengan manusia, menuntut supaya dirinya diperhatikan. Jelas, saya pun menuntut balik—supaya ia diam. Tetapi ia tidak mungkin diam. Orang telah membayarnya supaya ia mengoceh, termasuk mungkin juga saya.
Dari sini saya melihat suatu fakta, bahwa setiap manusia sedang bersaing dalam memenuhi tuntutannya masing-masing. Ia ingin mempertahankan ruangnya masing-masing. Dalam persaingan itu, ruang itu bagaikan sebuah gelembung sabun—yang rentan, mudah pecah—yang manusia ciptakan melingkupi dirinya. Ia tidak peduli dengan gelembung orang lain; ia hanya peduli mempertahankan gelembungnya sendiri. Dalam gelembung itu ia bebas, tapi ia berusaha supaya jangan sampai gelembungnya pecah. Ketika ia merasa bahwa gelembung orang lain sudah hampir bersentuhan dengan gelembungnya, ia merasa terancam, mirip dengan situasi di mana kebencian antar ras merajalela. Jangankan menyentuh, melihat saja sudah merupakan penghinaan. Mengapa? Ini wilayahku, kekuasaanku, harga diriku. Engkau tidak punya hak apa-apa untuk mengganggunya! Akhirnya terjadi kekerasan dan bahkan pembunuhan. Kita mengira tindakan semacam ini adalah paranoia yang gila. Akan tetapi, bukankah kita sendiri seperti itu? Manifestasi persaingan dalam hidup kita sehari-hari mungkin belum sampai kepada taraf kekerasan atau pembunuhan, tetapi betapapun sederhananya, persaingan itu tetap tidak kalah sengitnya. Persaingan kebebasan dan tuntutan itu bisa berupa insiden-insiden yang sesaat, tetapi juga bisa berupa perang dingin yang berkepanjangan. Ia bisa terjadi kepada dua orang yang tidak saling mengenal, sampai kepada suami istri yang sudah tinggal serumah selama belasan tahun. Kita bagaikan tinggal dalam gelembung-gelembung sabun, yang saling terasing satu sama lain.
Sebenarnya, manusia hanya mengulangi pola yang sama yang dimulai pertama kali ketika ia jatuh dalam dosa. Ketika ia melihat buah itu dan mengambilnya untuk dimakan, ia sedang menuntut supaya ia bebas dari Tuhan. Ia ingin menjadi tuhannya sendiri. Ia ingin berkuasa atas dirinya sendiri. Ia ingin bebas. “Kenapa aku harus tunduk kepada Tuhan? Kenapa harus Dia yang menuntut aku?” begitu mungkin pikirnya. Maka ia memberontak. Dan tidak tanggung-tanggung, hal pertama yang dituntutnya adalah kebebasan, dan kebebasan itu dituntutnya dari Pribadi di atas segala pribadi, yaitu Tuhan Allah, yang di dalam-Nya ia hidup, bergerak, dan mendapatkan keberadaannya. Orang bilang bahwa dosa itu hanyalah suatu konstruksi sosial; catatan Alkitab mengenai dosa justru dimulai ketika manusia itu sendiri. Pertama, ia menuntut Tuhan. Selanjutnya, ia menuntut sesamanya. Pertama, ia ingin bebas dari Tuhan. Selanjutnya, ia ingin bebas dari sesamanya. Kalau pertama kali sudah berani menuntut Tuhan, tentunya menuntut sesamanya manusia tidak lagi jadi soal, bukan? Dan demikian pola ini terus terulang sepanjang sejarah.
Di dalam kedaulatan-Nya, Tuhan membiarkan manusia mendapatkan apa yang ia mau. Namun, sekali Tuhan membiarkan manusia bebas dari-Nya, mulai saat itu kehadiran-Nya membuatnya terusik. Di dalam hatinya, ia sadar bahwa ia tidak akan mungkin lari dari Tuhan Allah. Akibatnya, ia menjadi ketakutan akan Allah atau membenci Allah. Tidak heran kalau manusia akhirnya berseru bahwa Allah tidak ada, atau Allah sudah mati.
Manusia ingin bebas dari Tuhan Allah, tetapi ia tidak diciptakan demikian. Sebagai akibatnya, bukannya bebas, malah ia terhilang. Pertama ia terhilang dari Allah. Selanjutnya ia terhilang (baca: terasing) dari sesamanya. Manusia mengira ia bisa bebas dari Tuhan Allah. Namun, bagaimana mungkin ia bebas dari Allah? Bahkan di dalam ‘kebebasannya’ itu pun Tuhan tetap memegang kendali. Kebebasannya hanyalah ilusi belaka. Selain itu, seberapa pun manusia ingin menuntut apa yang ia mau, ia sebenarnya terkurung dalam gelembung yang ia ciptakan sendiri. Ia sebenarnya tidak bebas jika ia hidup di dalam ketakutan akan Tuhan dan orang lain. Ia sebenarnya tidak bebas jika baginya, keberadaan manusia lain merupakan ancaman baginya. Ia terhilang, terasing, dan terkurung dalam ‘kebebasannya’.
Hanya ketika manusia sadar bahwa ia tidak mungkin bebas dari Allah dan ketika manusia sadar bahwa dirinya terhilang, barulah ada pengharapan baginya. Kesadaran itu timbul pada saat Allah menemukannya. Pada saat Yesaya bertemu dengan Allah, justru saat itulah ia berseru bahwa ia terhilang. Manusia sadar bahwa ia terhilang, ketika ia ditemukan Allah. Gelembung itu harus diletuskan, dan itu hanya terjadi ketika kita bisa berkata, “Bukan kehendakku, Tuhan, melainkan kehendak-Mulah yang jadi.” Di situlah sukacita yang sejati. Ketika kita tidak lagi tinggal dalam gelembung sabun, apa lagi yang perlu kita pertahankan?
Adi Kurniawan
Redaksi Bahasa PILLAR