Ketika saya menonton ‘Runaway Bride’ (Richard Gere dan Julia Roberts), saya melihat kebebasan itu adalah suatu barang yang lucu. Julia Roberts memainkan peran seorang wanita yang setiap kali akan menikah, dia selalu melarikan diri. Seakan-akan, wanita itu tidak pernah mau diikat oleh pernikahan, tidak mau melepaskan kebebasannya. Tapi juga, kalau kita perhatikan baik-baik, wanita ini justru terikat oleh ‘kebebasannya’ yang tidak bisa ditundukkan oleh siapa pun. Jadi sebetulnya wanita ini tidak sebebas yang kita kira, dia juga terikat; ironisnya, dia terikat dengan kecenderungannya untuk bisa bebas. Tapi tentu argumen ini tergantung dari mana kita memandangnya. Akhirnya wanita itu menikah juga karena pada akhirnya menemukan, katanya, orang yang tepat. Artinya dia bersedia (baca: dengan bebas memutuskan) diikat ketika sudah menemukan.
Mungkin yang harus kita renungkan adalah, apakah mungkin, manusia itu bisa bebas dari ikatan apapun juga? Apapun juga. Atau itu cuman satu ide yang tidak akan pernah masuk akal dan tidak pernah ada? Bebas ibarat merpati seperti kata lagu. Jangan ikat saya, lepaskanlah saya. Saya mau bebas! Ketika remaja, kita paling benci diikat oleh peraturan-peraturan papa mama, atau oleh sekolah dan guru. Tanpa sadar sebetulnya kita terikat oleh pemberontakan kita, terkunci dengan keinginan besar untuk bebas. Itulah yang dimaksud di dalam firman Tuhan ketika dikatakan, “Ketika kamu berdosa, kamu adalah hamba dosa, dan ketika kamu hidup dalam kebenaran, kamu adalah hamba kebenaran.” Jadi pada dasarnya, kita tidak akan lepas dari perhambaan, dari ikatan, dari kebergantungan. Sama seperti Julia Roberts, apakah mau diikat oleh kebebasan dari orang lain di hidupnya, atau bersedia dengan bebas diikat oleh orang lain di dalam hidupnya.
Apakah ada sesuatu di muka bumi, di bawah matahari, yang lepas bebas tanpa ikatan dari apapun juga? Memang lucu bukan kebebasan itu? Jadi, tidak ada kebebasan tanpa ikatan, dan juga manusia bebas untuk diikat. Kalau kita katakan bahwa kebebasan adalah selalu melarikan diri dari ikatan, padahal kita tadi sudah memberikan argumen bahwa kita tidak mungkin tidak punya ikatan, bahkan ingin lepas dari ikatan juga adalah ikatan. Jadi, sebetulnya realita dari kebebasan adalah keterikatan kepada sesuatu dan bukan lepas dari keterikatan.
Lalu apa yang menjadi isu di sini? Apa pertanyaan selanjutnya dari kebebasan? Pertanyaan besar di balik kebebasan manusia adalah apa yang mengikat kita? Jadi apakah yang mengikat kita sekarang layak menjadi ikatan bagi kita? Pada akhirnya, kita akan menghadapi apa yang kita namakan ‘makna’ atau meaning. Bukankah dari zaman dahulu sampai sekarang, pertanyaan-pertanyaan ini cukup langgeng menemani manusia yaitu: apa makna hidupku? Apa artinya kalau hidup seperti ini? Dan banyak sekali pernyataan atau pertanyaan yang mirip dan berkisar di sana. Sebetulnya pertanyaan, “Apakah arti hidupku?” itu bisa diterjemahkan, “Saya tidak merasa apa yang mengikatku sekarang adalah pengikat yang layak untuk mengikat saya, pasti ada sesuatu yang lebih layak untuk mengikat saya, tapi yang jelas bukan ini.”
Jika makna itu, ketika kita pikir, layak mengikat kita, maka kita bersedia untuk diikat. Jika seorang mempunyai makna mengapa ia harus bekerja, maka makna itu yang akan menopang seorang bekerja habis-habisan. Maka jikalau kita yang di Singapura, sering diperhadapkan dengan realita terlalu banyak tekanan dalam pekerjaan yang tidak ada habis-habisnya, di dalam hati kecil kita akan timbul pertanyaan, “Kenapa saya mesti begini ya? Sampai kapan saya begini?” Atau ketika makna tidak tercapai, misalnya makna bekerja adalah mencari uang, tapi gaji tidak naik-naik, akan timbul pertanyaan, “Mengapa saya harus bekerja terus di perusahaan ini? Kenapa saya harus masih terus bekerja di bidang atau lapangan ini?” Tapi jika sangat memuaskan, bahkan makna itu yang akan menopang segala kerutinan yang paling membosankan atau yang paling gila sekalipun. Seperti, seorang pembalap tua, masih mencoba untuk racing karena makna dalam hidupnya akan tercapai jika dia bisa balapan di arena yang diakui internasional, walaupun dia harus menjual segala sesuatu dan ditertawakan oleh banyak orang karena motor balapnya yang butut dan sudah tua (Burt Munro dalam film ‘The World’s Fastest Indian’).
Dalam makalah yang berjudul ‘Sin and Lostness’, Pdt. Stephen Tong mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang akan lelah jika dia tidak ada dasar untuk keberadaaannya dan kebebasan yang tidak dikontrol. Karena memang pada dasarnya, kebebasan tidak bisa masuk akal tanpa kontrol, dan juga manusia perlu makna bagi keberadaannya untuk dapat menerima kontrol tersebut. Maka ketika manusia jatuh ke dalam dosa, manusia kehilangan, pertama, dasar untuk keberadaannya dan kedua, kontrol dari kebebasannya. Ini salah satu akibat dosa, yang membuat manusia kehilangan identitasnya, dia tidak tahu lagi siapa diri dia sebenarnya.
Kehilangan kontrol di sini bukan berarti bahwa manusia kehilangan kontrol dari kebebasannya, karena realita dari kebebasan itu sendiri, tapi manusia sudah tidak mengenal lagi kontrol yang secara alamiah, secara ontologis, yaitu Allah Sang Pencipta. Karena secara fungsi alamiah, manusia mau tidak mau harus tunduk kepada hukum alamiah di bawah firman Tuhan. Manusia mau bebas, harus punya kontrol, tapi karena kontrol yang sebenarnya manusia sudah tidak punya, mau tidak mau dia mesti mencari kontrol yang lain, sehingga harus ada berhala lain, makna lain.
Saya pernah ngobrol dengan resepsionis kantor, setelah dia mengetahui saya ini Kristen dan percaya kepada Allah, lalu saya tanya dia, “Kamu sendiri bagaimana?” Dia bilang, “Aku ini free thinker.” Terus saya tanya balik, “How free do you think you are?” Dia bingung, lalu akhirnya dia menjawab, yah, maksudnya free thinker itu, dia tidak memeluk agama-agama yang terdaftar, seperti Kristen, Islam, atau Budha. Itu namanya free thinker (baca: pemikir bebas). Kenapa saya bertanya, “Kau pikir, seberapa bebas kamu ini?”, karena saya tahu, at least, manusia sekarang pada umumnya atau orang-orang Singapura paling tidak, punya satu ikatan, yaitu uang dan hidup enak atau hidup nyaman.
Jadi segala sesuatu di dunia ini, termasuk kebebasan, pasti ada ikatan, dan ikatan itu tentunya yang memberikan makna atau arti dalam hidupnya sehingga manusia mau diikat oleh makna tersebut. Makna itu mengontrol hidup manusia. Dan ketika dosa masuk dalam wacana sejarah manusia, akibatnya manusia kehilangan satu-satunya kontrol yang membuat dia bahagia. Tidak ada manusia dalam keadaan apapun yang tidak pernah gelisah dengan pertanyaan: “Apakah hidup ini begini yah? Segini aja hidup ini?” baik itu ketika perang, ketika damai, ketika menikah, ketika tidak menikah, ketika punya anak, atau tidak punya anak, ketika mendapat kekayaan, atau miskin, ketika menjadi penting atau menjadi orang pinggiran, ketika sukses atau gagal, ketika dapat mengatasi segala sesuatu atau sama sekali tidak mampu mengambil keputusan. Ini karena tidak ada satu pun ikatan, makna, atau kontrol apapun yang dapat membuat dia mempunyai dasar, yang membuat dia bahagia.
Di dalam makalah Pdt. Stephen Tong, beliau membicarakan tentang keseriusan bahaya dosa, yaitu terhilang (lost). Saya pernah bertanya dengan seorang rekan di kantor, “Why don’t you believe in God?” Jawabnya, “Mengapa harus?” Inilah jawaban dari seorang manusia berdosa yang tidak sadar akan keterhilangannya. Karena tanpa Allah atau ada Allah, itu seakan-akan tidak bermasalah sama sekali dalam hidup. So what kalau jiwa kosong, so what kalau tidak masuk sorga (barangkali juga tidak ada sorga), so what kalau kehilangan kemuliaan Allah, so what kalau terhilang dari hadapan Allah?
Apa itu sebetulnya ‘lost’? Apa itu ‘hilang’? Hilang artinya sudah tidak ada lagi di sana, sudah tidak nampak, sudah tidak ada keberadaan satu barang atau satu keadaan yang mestinya di sana. Apa dampaknya jika manusia terhilang? Mengapa begitu ribut soal ‘hilang’ dalam Alkitab, kehilangan kemuliaan Allah, memangnya kenapa? Karena pada dasarnya, manusia diciptakan dalam kebebasan yang terkontrol dengan kontrol yang terbaik, yang memberikan makna, yang memberikan kebahagiaan. Dan ketika kontrol itu hilang, masuklah kontrol lain yang tidak memberikan makna dan bahagia yang sebenarnya. Sehingga manusia akan selalu linglung.
Seseorang pernah mengeluh kepada saya bahwa dia belum bersedia percaya kepada Allah karena jika dia mengaku percaya dan menjadi Kristen, maka semua ikatan-ikatan Kekristenan akan membelenggu dia. Kemudian kalimat itu mengganggu saya walaupun nampaknya, kalimat itu cukup masuk akal, bukan? Ya, memang betul, jadi Kristen harus gini, harus gitu, tidak boleh gini, tidak boleh gitu. Ketika percaya kepada Allah, kita masuk ke dalam hukum-hukum-Nya yang harus ditaati, sehingga kita merasa dibelenggu dan tidak bisa melakukan apa-apa sesuka hati kita, dengan kata lain, kita jadi tidak bebas; kita kehilangan kebebasan sebagai manusia berdosa—di mana bisa diterjemahkan: kita dibebaskan dari kontrol dosa.
Firman Tuhan di Yoh. 1:3 mengatakan bahwa dari Kristus segala sesuatu berasal, dan tidak ada satu pun yang bisa bereksistensi kalau Kristus tidak memberikannya eksistensi. Berarti, makna menjadi manusia, datangnya dari Kristus, maka satu-satunya makna yang ada adalah dari Kristus. Di luar itu, manusia tidak mungkin punya makna.
Kebahagiaan manusia didapat jika ia menemukan kontrol yang benar. Seperti juga logika sehari-hari, anak-anak mungkin mengharapkan orang tua yang bisa memperbolehkan apa saja yang mereka lakukan. Akan tetapi, saya pernah nonton film Jugde Bao (konon hakim yang paling adil di China menurut legenda), ada satu pangeran yang seumur hidup tidak pernah dimarahi oleh ayahnya dan boleh berbuat apa saja yang si pangeran ini mau. Satu saat dia ditangkap dan oleh Judge Bao diberikan hukuman mati, karena dia telah berbuat sesuatu yang sangat keji. Lalu ayah pangeran ini, yang tentunya juga dari keluarga ningrat, meminta kepada Jugde Bao untuk membebaskan anaknya. Jugde Bao yang terkenal tidak kompromi itu, tidak mengabulkan permintaan itu. Lalu ketika mau dihukum mati, Judge Bao mengizinkan pangeran ini untuk mengatakan sesuatu kepada ayahnya. Pangeran ini berkata, “Aku menyesal punya ayah seperti ayah, karena ayah tidak pernah mengajarkan apa yang baik dan yang jahat. Mengapa ayah tidak pernah memarahi aku ketika aku salah, sehingga aku mendapat celaka seperti ini? Aku sama sekali tidak tahu jika dengan berbuat demikian aku akan mendapatkan hukuman seperti ini. Aku menyesal punya ayah seperti engkau.”
Film ini punya satu kebijaksanaan dalam common grace, yaitu, pertama, jangan kira bisa lepas dari keadilan karena pada dasarnya manusia tidak bisa lepas dari hal ini. Kedua, kepada orang tua, didiklah anak untuk mengetahui apa yang benar dan apa yang salah, jangan sampai si anak tidak tahu sama sekali, have no clue at all on what is happening (tidak punya petunjuk sama sekali apa yang terjadi)—itu bukan bahagia, melainkan bahaya. Itulah manusia berdosa, has no clue on what is happening, seenak jidat berjalan dan mengira itulah kebebasan, padahal itu bukan bahagia, itu bahaya besar! Ayah pangeran itu lupa, siapa pun tidak bisa lari dari hukum negara ketika ada hakim yang adil dan tidak kompromi.
Jadi dari sini kita lihat the lost of freedom is actually the lost of control. Kebebasan adalah sesuatu yang terkontrol, dan kalau kebebasan itu terjadi tanpa kontrol yang sebenarnya (yang akan memberikan makna yang sebenarnya), kebebasan itu akan membuat manusia menjadi letih akan keberadaannya, karena tanpa kontrol berarti tanpa makna. Pengkhotbah memakai istilah ‘usaha menjaring angin’. Jadi, kebebasan kita sebagai manusia adalah ketika kita mau dikontrol oleh Sang Pemberi makna yang sesungguhnya. Karena walaupun kita tidak mau dikontrol, mau bebas, itu tidak mungkin bisa. It will never happen that way. Pasti ada yang kontrol, tidak mungkin tidak. Dosa merusak kebebasan manusia, justru menjadikan manusia terbelenggu, karena sekarang dosa menjadi kontrol dan dosa tidak punya makna. Meaningless life itu akibat dosa. Kehilangan makna, kehilangan kontrol, kehilangan kebebasan.
Ketika saya coba menggali ini, saya kemudian melihat kalimat Tuhan Yesus dengan sinar yang berbeda: “The Truth will set you free.” Kebenaran Allah akan membebaskan kita sebagai manusia. Firman Tuhan, kebenaran Allah yang mengontrol kita, sebetulnya sedang memberikan kebebasan, freedom yang sesungguhnya, karena dalam kebenaran-Nya, Sang Pencipta memberi tahu makna menjadi manusia. Satu-satunya makna menjadi manusia datangnya dari Sang Pencipta. Satu-satunya kontrol bagi manusia hanyalah firman-Nya. Satu-satunya kebebasan manusia: hidup sebagai ciptaan tunduk kepada Sang Pencipta. Tidak ada yang lain.
C. S. Lewis mengatakan bahwa kadang kepahitan dari oposisi mengenai iman Kristen bukan dari seorang atheis, tetapi dari seorang yang setengah-setengah percaya dengan segala kerumitannya. Demikian juga, kepada kita, orang Kristen yang mengetahui tentang kebenaran tetapi mempercayai setengah-setengah (dalam segala kerumitan kita), mungkin kita lebih pahit hidupnya daripada orang yang tidak percaya sama sekali. Jangan seperti anak sulung dalam perumpamaan anak yang hilang. Kesedihan si bungsu berakhir ketika dia sudah kembali, tetapi yang lebih menyedihkan adalah si sulung—dia hilang di tempat di mana dia seharusnya tidak terhilang. Marilah kita mempercayai Allah kita dengan mata iman yang tertuju kepada Kristus, dan hidup bebas dalam Firman-Nya sebagai hamba Kebenaran. Soli Deo Gloria.
Yenty Rahardjo Apandi
Pemudi GRII Singapura