Bagi sebagian orang, menekuni filsafat itu adalah hal yang membuang waktu. Hal yang dibicarakan tidak mudah dipahami, tidak terdengar relevan dengan kehidupan sehari-hari, dan tidak dapat menjadi sarana yang efektif untuk mendapatkan kekayaan. Pertanyaan-pertanyaan seperti ‘Apakah saya ini benar-benar ada?’ atau ‘Apakah itu keberadaan?’[1] hanya menggelitik telinga tanpa menarik perhatian lebih dari banyak orang. Pembicaraan dan diskusinya seperti mengawang-awang dan tidak terlalu jelas bagaimana relevansinya dengan kehidupan sehari-hari. Kalau ingin mendapatkan gambaran kasar, kita bisa menghitung jumlah total murid di universitas kita masing-masing. Berapa banyak orang yang mengambil jurusan filsafat, dan berapa banyak orang yang mengambil jurusan bisnis, ekonomi, komputer, hukum, dan keuangan. Sangat mungkin atau bahkan sudah pasti yang mengambil jurusan filsafat jauh lebih sedikit. Bahkan jurusan filsafat murni belum tentu ada di universitas-universitas tertentu.
Jadi bagaimana respons kita sebagai orang Kristen? Ada filsuf-filsuf atheis yang menyerang kekristenan seperti Friedrich Nietzsche dan Bertrand Russell. Ada juga theolog-theolog Kristen yang dikenal juga sebagai filsuf seperti Augustine dan Søren Kierkegaard. Jika orang Kristen menekuni filsafat dan menyelami pikiran-pikiran para filsuf, apakah berkat atau bahaya yang menanti? Apakah iman Kristen akan goyah atau menjadi lebih teguh setelah mempelajari filsafat? Seperti apakah relasi yang sesungguhnya antara Alkitab, filsafat, dan theologi?[2]
Sebagai salah satu dasar Alkitab, akan menarik kalau kita bisa melihat konteks surat 2 Korintus pasal 10. Di awal pasal ini, Paulus menekankan tema-tema seputar peperangan. Mulai dari persenjataan yang diperlukan, musuh yang akan dihadapi, dan mentalitas serta metode dalam peperangan tersebut. Konsep-konsep yang dijelaskan Paulus sangat berbeda dengan konsep peperangan yang dianut oleh dunia. Dalam 2 Korintus 10:5, Paulus berkata, “Kami mematahkan setiap siasat orang dan merubuhkan setiap kubu yang dibangun oleh keangkuhan manusia untuk menentang pengenalan akan Allah. Kami menawan segala pikiran dan menaklukkannya kepada Kristus.” Dalam dunia yang sudah jatuh ini, setiap aspek pemikiran sudah dilumuri oleh lumpur dosa. Tidak ada satu pemikiran manusia yang bersih, murni, dan sama sekali tidak tercemar. Setiap pemikiran, baik itu dalam matematika, sains, seni, filsafat, dan bidang apa saja harus ditaklukkan kepada Kristus. Dengan pengertian seperti ini, maka pasti ada tempat dan panggilan untuk memaparkan filsafat Kristen, yaitu filsafat yang takluk kepada Kristus.
Sekarang mari kita sama-sama menyepakati definisi dari filsafat. Jadi apakah itu filsafat? Setiap filsuf dari zaman dan arus yang begitu bervariasi bisa memberi jawaban yang berbeda-beda. Bagi saya pribadi, filsafat merupakan hasil usaha untuk sadar dan mengerti akan segala sesuatu. Dari perspektif ini, kata “sadar” dan “mengerti” adalah kata kunci yang penting. Ketika ada yang mengatakan, “Sebenarnya semua orang berfilsafat kok, hanya saja mereka tidak sadar,” saya rasa kalimat itu bermaksud bahwa semua orang sebenarnya mempunyai jawaban akan pertanyaan-pertanyaan yang didiskusikan dalam filsafat. Namun ini tidak berarti orang-orang tersebut sadar akan jawaban-jawaban tersebut, apalagi sadar akan pertanyaan-pertanyaannya. Jadi dari tahap tersebut, diperlukan penelusuran lebih jauh sehingga orang tersebut bisa sadar dan mengerti.
Misalnya, jika ditanya “Apa itu keberadaan?” Sebagian bisa menjawab, “Yang saya bisa lihat, ya itulah hal yang ada.” Tanpa mengetahui pertanyaan dan jawaban ini, orang-orang seperti ini bisa memfokuskan hidup mereka pada benda-benda yang kelihatan saja. Hal-hal yang tidak kelihatan itu tidak ada, maka tidak perlu digubris. Dalam contoh ini, orang-orang tersebut mempunyai dan menghidupi jawaban dari pertanyaan filsafat “Apa itu keberadaan?” tanpa harus mengetahui pertanyaan tersebut. Menekuni filsafat berarti memikirkan asumsi-asumsi dasar yang kita hidupi setiap hari, lalu bertanya “Apakah ini benar?”
Alkitab bukan buku filsafat, tapi setiap kebenaran dalam filsafat tidak boleh menentang kebenaran dalam Alkitab.[3] Firman Tuhan mengandung banyak jawaban akan pertanyaan filsafat, tetapi signifikansi sebuah jawaban sering kali tidak bisa dilihat jika tidak ada pertanyaan yang mendahului. Angka “8” bisa mempunyai banyak arti, tapi angka “8” mempunyai arti khusus ketika ada pertanyaan “Apa hasil perkalian 2 dengan 4?” Orang Kristen bisa mengambil pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam filsafat dan mencari jawabannya dalam Alkitab. Dialog antara filsafat dan theologi filsafat bisa memperkaya pengertian kita akan kedalaman firman Tuhan, sehingga filsafat menjadi alat yang membuat kita tidak malas berpikir, justru malah terpacu untuk mengerti firman Tuhan dengan lebih tuntas.[4]
Namun kita tidak boleh naif ketika sedang mempelajari filsafat. Filsafat juga memiliki elemen kebahayaan. Pemikiran-pemikiran filsafat biasanya sudah teruji dengan analisis logika yang ketat, sehingga ketika ada pemikiran-pemikiran filsafat yang bertentangan dengan pengertian akan firman Tuhan, iman orang Kristen bisa goncang. Filsuf-filsuf atheis bisa memaparkan argumen yang kuat untuk mempertanyakan keberadaan Tuhan, dan mungkin saja orang Kristen yang mendengar argumen tersebut tidak bisa memberikan alasan atau sanggahan dari iman Kristen. Maka ada anggapan bahwa lebih baik orang Kristen tidak tahu filsafat. Kasarnya, lebih baik bodoh daripada murtad.
Setiap orang Kristen mempunyai takaran yang berbeda, tapi jika orang Kristen percaya bahwa firman Tuhan adalah kebenaran, mengapa harus takut akan filsafat? Ketika tidak ada alasan yang cukup untuk menyanggah argumen yang menentang kekristenan, orang Kristen tidak perlu langsung membuang iman. Justru itu adalah kesempatan berdoa memohon kebijaksanaan dari Tuhan dan belajar lebih dalam akan firman Tuhan. Banyak theolog dan filsuf Kristen yang juga sudah bergumul dengan pertanyaan-pertanyaan filsafat tersebut. Secara spesifik, Theologi Reformed adalah theologi yang sangat bermutu, khususnya dalam menjawab tantangan zaman. Dengan pengertian teliti mengenai anugerah umum, anugerah keselamatan, wahyu umum dan wahyu khusus, Theologi Reformed memiliki ciri khas yang kuat dalam menjawab kompleksitas kebudayaan dan tantangan-tantangan filsafat.
Setelah berbagai pembahasan di atas, kesimpulannya, filsafat itu mengandung potensi berkat dan bahaya pada saat yang bersamaan. Orang Kristen masih bergumul dengan dosa dalam hidup ini, maka sikap hati menjadi penentu. Yeremia 17:9 mengatakan, “Betapa liciknya hati, lebih licik dari pada segala sesuatu.” Filsafat bisa menjadi modal dan ekspresi manusia yang licik dan kurang ajar untuk melawan Tuhan. Memang tidak salah jika penulis Amsal menasihati kita, “Takut akan Tuhan adalah permulaan pengetahuan” (Ams. 1:7). Ingatlah dan peganglah fondasi ini, maka filsafat pun bisa dibawa dan ditaklukkan kepada Kristus, Sang Hikmat di atas segala hikmat.
Samuel Kurniawan Wijaya
Pemuda GRII Singapura
Endnotes:
[1] Beberapa contoh pertanyaan yang ditelusuri dan didiskusikan dalam filsafat: Apa itu realitas? Apa itu keberadaan? Bagaimana seseorang bisa mengetahui sesuatu? Apakah yang menjadi dasar rasionalitas? Apa dan dari mana suatu standar moral berasal? Bagaimana kita harus hidup? Apakah arti hidup?
[2] Beberapa contoh karya yang menghubungkan theologi dengan filsafat: When Athens Met Jerusalem, The Reason for God, Faith & Reason, Fear & Trembling.
[3] Kita percaya Allah adalah Sang Sumber Kebenaran. Allah yang kita percaya adalah Allah yang juga mewahyukan kebenaran kepada manusia. Kebenaran itu bersifat universal, tidak dibatasi oleh ruang dan waktu.
[4] Contoh tokoh-tokoh besar kekristenan yang menelusuri filsafat dan makin memperdalam pengertian akan firman: Paulus, Agustinus, John Calvin, Jonathan Edwards, Abraham Kuyper, Cornelius Van Til, Francis Schaeffer.