Setelah membicarakan kehidupan Konfusius, sekarang kita melanjutkan pembahasan pada pokok-pokok pikiran Konfusius. Pertama, pikiran Konfusius bersifat sangat konservatif. Dia sangat menjunjung tinggi hasil penemuan dan kristalisasi kebenaran dari kebudayaan orang kuno yang bijaksana. Kedua, Konfusius sangat mementingkan kesungguhan, kejujuran, dan usaha yang rajin di dalam upayanya mempelajari kebenaran. Jika sifat ini diekstremkan secara negatif, maka itu akan menghasilkan orang-orang yang kurang bisa melihat ke depan dan kurang futuristis; sebaliknya jika sifat ini ditolak, maka orang akan menjadi sombong dan terlalu yakin diri (over-confident) dan meremehkan apa yang sudah pernah dicapai oleh orang-orang sebelumnya.
Orang yang sama sekali tidak memedulikan orang tua ingin mengerjakan semuanya sendiri, padahal setelah dia berjuang setengah mati, dia tahu itu sudah pernah dikerjakan dan orang dahulu sudah tahu. Saat ini banyak pemuda yang mempunyai penyakit terlalu confident kemudian bersikap terlalu futuristis, lalu menghina semua yang dianggap kuno, mengejek semua yang sudah pernah ada. Ia menganggap diri lebih pandai dari orang tua. Akibatnya, orang-orang seperti ini akan tenggelam di dalam selokan yang tidak seharusnya. Suatu sikap yang sangat bodoh. Ketika orang lain sudah tahu, lalu memberi tahu yang lebih muda, tetapi yang muda tidak mau dengar, akhirnya jatuh ke dalam lubang yang membahayakan. Itu kebodohan. Dia tidak memiliki “buku pintar” yang mampu menghindarkan dirinya dari kesalahan. Konfusius tidak mau mengalami hal demikian.
Konfusius mengatakan bahwa ia tidak menulis semua itu dari dirinya, tetapi ia memberi tahu kepada orang apa yang pernah diraih oleh orang-orang zaman dahulu. Dengan jujur dan rajin ia mempelajari semua pikiran orang kuno, lalu memberitahukan rahasia kebijaksanaan mereka kepada generasi yang akan datang, supaya orang tidak perlu jatuh ke dalam kesalahan yang sama. Inilah sikap Konfusius.
Saya seorang yang mendeskripsikan, memberikan segala sesuatu kepadamu, tetapi aku tidak mempunyai karangan sendiri. Saya tidak menulis buku. Saya hanya menceritakan, memperkenalkan, memberitakan, dan mengajar sesuatu, tetapi saya sendiri tidak menulis apa-apa (忠心 – sungguh setia), xin di sini bukan berarti iman, tetapi di dalam buku kuno bahasa Tionghoa suatu kesetiaan kepada sesuatu (loyalitas). Saya begitu sungguh-sungguh ikhlas dan begitu jujur mau mempelajari, karena saya begitu tertarik dan kagum kepada orang-orang kuno. Konfusius sangat menghargai kebijaksanaan kuno dan pengalaman orang tua.
Saya sudah mengatakan bahwa ketika kecil saya suka duduk di pinggir mama, dan jikalau mama berbicara dengan orang-orang tua, saya coba menimba sesuatu dari kebijaksanaan mereka. Saya kira ini adalah hal penting. Banyak anak muda masa kini yang dilatih di dunia Barat, menganggap semua yang kuno sudah lewat, lalu mereka menganggap diri mereka yang pintar. Akhirnya mereka selalu mengulangi kegagalan orang, bukan menghindari kegagalan orang.
Paul Tillich meninggal dunia di tahun 1965. Namun, sampai tahun 1985 sudah banyak orang Amerika di dalam dunia filsafat tidak pernah tahu ada orang yang namanya Paul Tillich dalam sejarah Amerika. Berarti Amerika itu adalah satu negara yang sangat tidak mengingat orang dahulu. Itu hal yang sangat berbahaya. Jangan kita menganggap orang-orang tua itu bodoh. Mereka banyak yang pandai, hanya pura-pura bodoh. Dia tahu semua yang kau katakan, karena dia pernah menjadi kamu, sementara kamu yang belum pernah menjadi dia. Hanya saja, ketika Saudara melihat kaca, terlihat lebih muda, lebih ganteng, dan kesimpulannya pasti lebih benar. Orang yang botak-botak, kisut-kisut kulitnya, pandai. Pikiran serius dan bijaksana selama puluhan tahun itulah yang membuat kisut. Sangat tidak mudah menjadi orang tua. Ketika sudah menjadi orang tua, engkau baru tahu betapa tidak mudah menjadi orang tua. Butuh puluhan tahun untuk membuat rambutmu putih, maka Alkitab mengatakan, “Di hadapan orang yang rambut putih berdirilah kamu.”
Saya ini sudah setengah tua (dan sekarang sudah betul-betul tua), sehingga saya kira-kira tahu betapa sulitnya menjadi tua. Terkadang saya lewat satu tempat di mana anak-anak muda duduk di situ, saya jabat tangan dengan dia, dan anak muda itu menjabat tangan saya sambil tetap duduk. Melihat itu saya sudah tahu anak ini tidak punya sopan santun, tidak mengerti konfusianisme. Saya jauh lebih tua dari dia, seharusnya dia berdiri menjabat tangan saya baru duduk lagi. Anak muda menyapa, “Pak Tong, selamat pagi,” sambil tetap duduk di kursinya. Ini perilaku yang kurang ajar. Tetapi dia tidak tahu kalau saya sudah tahu dia kurang ajar. Dia hanya tahu bahwa dia sedang memakai hak diri di mana orang tua pun tidak usah dipedulikan. Kita, orang tua, sudah makan garam cukup banyak.
Konfusius mengatakan, “Saya zhongxin, saya begitu tulus mempelajari kebijaksanaan kuno, begitu gemar akan kristalisasi pikiran masa lalu. Jadi apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang tua, orang-orang kuno, semua yang baik itu saya begitu tertarik.” Inilah yang menjadi dasar filsafat Konfusius. Mulai hari ini jangan lupa belajar dari orang tua, meskipun orang tuamu cuma lulusan SMP. Ketika engkau sekarang kepalanya sudah persegi (mendapat topi sarjana), jangan lupa banyak hal yang dia tahu engkau belum tahu.
Konfusius hampir tidak pernah menolak pertanyaan orang yang sungguh-sungguh ingin belajar. Semangat ini ada pada Francis Schaeffer yang pada tahun 1974 mengatakan, “Tanggung jawab kita sebagai orang Kristen adalah memberikan jawaban jujur terhadap pertanyaan jujur, tidak lebih dari itu.” Jadi orang Kristen mempunyai satu kewajiban, selalu mempunyai jawaban yang jujur tetapi hanya untuk orang yang juga bertanya dengan jujur. Kalau seseorang sungguh-sungguh mencari kebenaran, engkau harus memberikan jawaban. Kalau engkau sungguh-sungguh tidak bisa menjawab, engkau harus sungguh-sungguh juga mengatakan dengan jujur bahwa engkau tidak bisa menjawab. Inilah kejujuran dan itu tanggung jawab kita. Karena kita bukanlah kebenaran, tetapi kita hanya membimbing orang kepada kebenaran. Ini adalah cara pikir Asia.
Dalam pikiran Gerika, kita yang membimbing kebenaran keluar dari manusia. Itu pemikiran Sokrates. Karena mamanya Sokrates itu bidan, seorang yang menolong orang melahirkan. Bidan itu orang yang mendorong, mengurut, sampai akhirnya anak yang ada di dalam keluar. Jadi dia tahu dia sendiri tidak menghasilkan anak, karena anak sudah ada di dalam. Saya hanya membantu dia keluar. Maka Sokrates mengatakan, “Mamaku bisa mengeluarkan anak dari perut orang lain, saya mengeluarkan kebenaran dari otak orang lain, jadi saya juga bidan.” Itu konsep Sokrates.
Konsep Timur berbeda sama sekali dari konsep Barat. Orang Timur kalau menyapu menggeser sampah ke sebelah, sehingga debu di Asia itu tidak habis-habis karena hanya terus dipindah tempat, diimigrasikan. Kalau di Barat debu tidak disapu ke sebelah, tetapi ditarik dengan penyedot debu (vakum), lalu debu itu dihilangkan. Kalau di Asia debu dipinggirkan. Konsep seperti ini dipengaruhi oleh kekristenan. Yesus Kristus menanggung dosa, itu akhirnya menimbulkan pikiran untuk vakum. Di Asia tidak ada pikiran itu, tidak ada penanggung dosa yang mengambil alih, lalu dihilangkan dan ditanggung olehnya. Jika sebagai orang Kristen, tetapi pikirannya masih ingin mengalihkan kesulitan kepada orang lain, engkau belum Kristen, karena Kristusmu adalah penanggung kesulitan orang lain, menanggung dosa orang lain. Yang berpikir seperti Kristus, barulah Kristen. Engkau mendapat gelar tinggi, tetap engkau belum Kristen, karena pikiranmu tetap tidak mengikuti inti sari dan tulang sumsum semangat Kristen.
Filsafat yang sungguh-sungguh bukanlah filsafat yang belajar dari mata, telinga, dengar, lihat, lalu bisa pandai dan mendapat nilai ujian yang tinggi. Filsafat yang sungguh adalah filsafat yang dijalankan dan bersatu dengan kebenaran. Jawaban dari Konfusius dianggap oleh banyak orang yang mendengar jawabannya sebagai jawaban yang luar biasa, maka murid-muridnya mencatat semua itu. Akhirnya, seluruh catatan ajaran dan jawaban dari Konfusius ini dibukukan dan diberi judul Analects (Pembicaraan) of Confucius yang terdiri dari 24 pasal. Di dalam bahasa Mandarin, buku ini (terdiri dari dua jilid) di sebut Lun Yu (论语) .
Di dalam konfusianisme, ada empat buku utama yang menjadi Empat Kitab Ajaran Konfusianisme (Si Shu – 四书), yang terdiri dari: Da Xue (大學) – Ajaran Besar; Zhong Yong (中庸) – Ajaran Jalan Tengah; Lun Yu (論語) – Sabda Suci Konfusius; MengZi (孟子) – Ajaran Mencius. Selain Lun Yu, Konfusius masih mempunyai beberapa hal yang penting, yaitu dia memberikan satu edisi kepada Sishu, Lima Kitab Klasik (Five Classics – Wu Jing 五 經), yaitu: Shi Ching (詩經 – Book of Odes), Shu Ching (書經 – Classic of History), Yi Ching (易經 – Book of Changes); Li Jing (禮經 – Classic of Rites); dan Chunqiu Jing (春秋經 – Spring and Autumn Annals). Ini beberapa karya yang paling besar dari Konfusius di dalam literatur sejarah filsafat.
Satu orang yang umurnya terbatas tetapi mengerjakan begitu banyak, tentang musik, tentang tata krama, tentang sejarah kehidupan naik turunnya dinasti (spring and autumn), dia juga susun. Waktu muda kita berpikir kita mempunyai umur cukup panjang untuk menulis banyak buku, tetapi nanti ketika sudah tua baru tahu bahwa sebenarnya satu buku yang kau ingin selesaikan itu tidak selesai. Memang tidak mudah. Konfusius bekerja banyak. Dia mengatakan, “Saya semenjak muda belajar bagaimana berpikir dan sudah mulai terjun ke dalam pelajaran dengan sangat rajin. Kadang-kadang di dalam mempelajari sesuatu, saya tidak makan, sepanjang malam tidak tidur, terus berpikir.” Inilah sikap dan cara hidupnya.
Pikiran Konfusius dapat kita bagi dan saya akan bahas di dalam enam bidang: 1) Metafisika dan pikiran agama (the metaphysical and religious thoughts of Confucius); 2) Etika (ethics); 3) Teori pendidikan; 4) Filsafat nama yang lurus (filsafat teori mengenai nama yang lurus, filsafat ini khusus dari Konfusius); 5) Teori politik; 6) Teori masyarakat ideal (ideal society).
Konfusius mengatakan, “Saya sangat suka orang kuno.” Ia khususnya terpaku dan tergerak oleh kehidupan dan kebijaksanaan tiga orang: Yao, Xuan, dan Yi. Dia menganggap orang-orang seperti ini mendapat wahyu dari sorga. Konfusius sendiri menganggap di zamannya, dia sendiri tidak merasa mendapat wahyu, sementara dia merasa orang kuno itu mendapat wahyu dari sorga, sehingga mereka itu bisa sangat pandai. Itu yang membuat Konfusius begitu bijaksana. Berarti dia mengaku sungguh-sungguh kebijaksanaan bukan dari manusia, melainkan belajar dari sorga. Yao dan Xuan bisa begitu berbijaksana karena mereka mendapat inspirasi, mendapatkan wahyu dari sorga.
Seluruh pikiran Konfusius berorientasi kepada sorga, mandat sorga, makna sorga, kemauan sorga. Itu semua yang menjadi dorongan terbesar kita hidup dan hidup untuk memilih sesuatu. Jika Saudara menginginkan atau memilih sesuatu, seharusnya semua itu adalah demi mau menjalankan mandat sorga. Konfusius mengatakan bahwa kita harus belajar dari mereka yang mendapat wahyu dari sorga, yang memiliki kebijaksanaan yang boleh menjadi model selama-lamanya, model kekal di dalam sejarah. Orang-orang seperti ini memiliki dua sifat.
Pertama, langit yang paling besar. Langit penentu nasib. Ia mengatakan bahwa orang-orang suci seperti ini harus kita taati, karena mereka selalu memosisikan diri di posisi kedua. Mereka menjadi contoh, karena mereka memilih orang yang paling bijak, baru mereka menurunkan kedudukan kepada suksesor mereka. Itu dihargai karena kebijaksanaannya. Konsep metafisika dan agama dari Konfusius. Indonesia pernah ada satu masa mengeluarkan konfusianisme dari agama di Indonesia karena dianggap kurang berkualifikasi agama. Hal ini sebenarnya ada benarnya. Konfusianisme mengalami kelemahan dan kekurangan dalam tiga hal, yaitu: 1) tentang kekekalan; 2) tentang ke-Tuhan-an; dan 3) tentang jalan penebusan dosa. Ketiga hal ini hilang di dalam konfusianisme.
Konfusius memang tidak mengajar apa-apa tentang Allah dan tentang dunia spiritual. Tidak ada pengajaran Konfusius tentang Allah, tentang malaikat, tentang setan dll. Konfusius juga tidak mengajarkan tentang ke-Tuhan-an. Konfusius tidak bicara tentang realm kekekalan, apa yang terjadi di dalam kekekalan. Konfusius juga tidak bicara seperti agama yang mengajarkan dan membawa manusia menuju kepada nilai kekekalan, sehingga mempersiapkan manusia di dunia sementara ini untuk menuju ke “dunia itu”. Itulah agama. Dalam hal ini Konfusius bungkam. Dan Konfusius juga tidak banyak bicara tentang dosa dan bagaimana menebus dosa. Jadi Konfusius tidak memberikan jalan keluar apa pun bagi mereka yang sudah berbuat dosa. Akibatnya, banyak orang menganggap ajaran konfusianisme kurang bersifat agama.
Namun, itu bukan berarti Konfusius tidak berkonsep agama dan tidak berkonsep Tuhan. Jangan pikir dia juga tidak memiliki konsep tentang bagaimana mengalahkan perbuatan-perbuatan yang salah. Jadi di dalam pikiran Konfusius, Allah diidentikkan dengan langit. Namun ada perbedaan, yaitu yang disebut “Langit” ini mempunyai konotasi penguasa, bukan hanya bentuk tertinggi secara materi saja. Konfusius tidak menganggap langit sebagai layar yang berwarna biru. Ia menyebut “Langit” selalu mempunyai konotasi ada penguasa di dalamnya. Hanya ia tidak tahu siapa dia, sehingga ia tidak berani menjelaskan apa-apa dan tidak ada banyak penjelasan tentang Allah. Dengan demikian, konfusianisme dapat dikatakan semacam agama yang kurang berimplementasi dalam tentang agama, atau agama yang hanya mementingkan kewajiban manusia untuk hidup baik di dalam dunia. Konfusianisme bisa dipandang sebagai agama yang bisa dipersamakan dengan ajaran moralitas.
Di dalam dinasti Song setelah zaman Konfusius, sekitar 1.700 tahun sesudah konfusianisme, ada seorang bernama Zheng Qi, yang mengatakan bahwa yang disebut Tian (天 – Langit) itu harus diidentikkan dengan Di (帝), tetapi Di ini bukan bumi. Di (dari kata Shangdi – 上帝). Dan Zheng Qi mengatakan, “Kalau kita membicarakan tentang bentuknya, sebutlah Dia sebagai Langit; kalau kita berbicara tentang penguasanya, sebutlah dia sebagai Allah.”
Beberapa tokoh konfusianisme di zaman dinasti Song menjelaskan pemikiran filsafat Konfusius dan mengatakan bahwa kedua hal ini sebenarnya bukan dua, tetapi satu artinya. Artinya, yang disebut langit itu hanya bicara tentang bentuknya; kalau bicara tentang kekuasaan dan sifat penguasanya, maka langit adalah Allah atau Yang Maha Tinggi. Jadi sepanjang sejarah sampai di dalam dinasti Song, ada beberapa orang besar menjelaskan lebih penting lagi, lebih tuntas lagi dari filsafat konfusianisme, memberikan penjelasan semacam ini.
Sekarang mengenai konsep Sorga di dalam konfusianisme. Konfusius menganggap Sorga itu mempunyai penguasa yang sangat otoritatif, dan dia memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan menurunkan bencana kepada yang berbuat jahat. Maka dia harus dipertuan di atas manusia.
Konfusius mempunyai seorang murid yang sangat baik. Murid Konfusius bermacam-macam sifat dan kondisinya, sama seperti Tuhan Yesus punya berbagai macam murid. Ada yang cerewet terus seperti Petrus; ada yang penuh dengan ketakutan dan selalu curiga seperti Thomas; ada yang seperti guntur, akhirnya menjadi penuh dengan cinta kasih seperti Yohanes; ada yang apa pun pakai balas dendam, caranya itu marah-marah, seperti Paulus. Murid Yesus bermacam-macam, maka Saudara pun bisa jadi murid Tuhan Yesus. Murid Konfusius juga demikian. Ada yang bodoh luar biasa, sudah diberi tahu sepuluh kali tetap bertanya lagi. Ada yang satu kali diberi tahu tidak pernah mengulangi kesalahannya. Ini yang paling membuat Konfusius terhibur.
Dia memuji murid satu di hadapan murid yang lain, karena murid itu tidak pernah mengulangi kesalahannya untuk kedua kali. Ketika dia berbuat salah, Konfusius akan memberi tahu dia bahwa itu salah, dan sesudah itu ia tidak pernah mengulanginya lagi. Maka Konfusius senang luar biasa ketika ada murid yang begitu baik, yang diberi tahu satu kali seumur hidup terus berubah, tidak pernah mengulangi lagi, tidak pernah mengerjakan hal yang salah dua kali. Orang yang begitu baik membuat Konfusius begitu senang. Tetapi sayangnya, murid yang paling muda ini, murid yang paling baik ini, meninggal dunia ketika masih baru berusia 30 tahun. Konfusius berusia sekitar 30 tahun lebih tua dari muridnya ini.
Konfusius sedihnya luar biasa waktu dia melihat murid yang paling baik ini meninggalkan dunia. Lalu dia mengatakan, “Berarti Tuhan sedang mungkin memberikan hukuman kepada aku, Tuhan sedang mencelakakan aku.” Jadi di dalam konsepnya, di dalam Sorga ada suatu oknum yang berotoritas. Sehingga dia tidak mengatakan bahwa kita dihukum mati karena kita berdosa, tetapi “mungkin kesalahan saya yang membuat dia marah kepada saya.” Jadi dia memberikan suatu nasib (destiny) kepada manusia menurut kehendaknya. Jadi Sorga itu mempunyai otoritas, penguasa itu mempunyai maksud dia sendiri.
Satu kali seorang bertanya kepadanya, “Bagaimana dengan keadaanmu, apakah engkau bersalah?” Konfusius menjawab, “Jikalau aku berbuat salah, maka pasti Sorga benci kepadaku, pasti Sorga bosan terhadap aku.” Jadi Sorga itu bisa membenci seseorang, bisa bosan kepada seseorang, dia tidak senang kepada kamu, jadi berarti tidak memperkenan Sorga. Maksudnya manusia harus mengerjakan sesuatu sehingga memperkenan kepada dia yang di situ. Nah ini konsep agamanya yang samar-samar. Jadi “dia” di sana, di tempat yang tinggi, maka engkau harus menyenangkan dan berkenan kepadanya, kalau tidak dia akan marah kepada kamu. Ini konsep pertama, konsep tentang Langit yang terbesar. Kesimpulan dari pikiran Konfusius: 1) Langit itu berpribadi dan 2) Langit adalah penentu nasib. Amin.