Pendahuluan
Pembelajaran iman sering kali dijual murah. Dibandingkan dengan seminar-seminar dunia yang harus membayar banyak uang, mengikuti seminar dan pembinaan iman sering kali justru manusia tidak mau bayar. Pdt. Stephen Tong memberikan bahan yang tidak lebih rendah mutunya dibandingkan dengan materi orang yang memberikan seminar umum, tetapi memang Pdt. Stephen Tong tidak berniat menjadi pedagang, dan beliau hanya ingin agar banyak orang mengerti dan menerima kebenaran.
Seluruh uang yang didapat dari seminar tidak masuk ke kantong Pdt. Stephen Tong, tetapi dipakai untuk memperkembangkan pekerjaan Tuhan, seperti untuk memberi bangunan untuk seminari (sekolah tinggi theologi). Pdt Stephen Tong berjuang untuk berhemat agar pekerjaan Tuhan bisa dikerjakan dengan luas. Inilah semangat yang perlu melandasi pelayanan Kristen.
Apa pentingnya belajar filsafat Asia, khususnya filsafat Tionghoa? Di dalam sejarah dunia, sangat sedikit kebudayaan yang memiliki pemikir yang menyelidiki kebijaksanaan di dalam kapasitas yang komprehensif, sehingga pemikirannya bisa berpengaruh secara global. Di antara hanya beberapa pemikiran yang memiliki kriteria seperti ini, salah satu pemikiran filosofis yang paling tahan lama, yang paling tahan uji, yang paling tidak mudah digugurkan, dan paling berpengaruh global adalah filsafat Tionghoa. Maka, sangatlah salah jika Anda malu dilahirkan sebagai seorang Tionghoa.
Ketika Anda malu dilahirkan sebagai orang Tionghoa, Anda telah mempermalukan Tuhan terlebih dahulu, karena yang menjadikan engkau orang Tionghoa adalah Tuhan. Allah yang menjadikan dan melahirkan saya sebagai seorang Tionghoa, dan karenanya saya harus bangga sebagai seorang Tionghoa. Inilah yang harus melandasi filsafat Tionghoa.
Sebelum mempelajari filsafat Tionghoa, kita harus mengerti bahwa identitas merupakan sesuatu yang tidak bisa kita tolak. Jika di dalam identitas itu ada kebajikannya dan ada kebijaksanaannya, maka kita perlu menggali kebajikan dan kebijaksanaan itu. Dan itu seharusnya membuat kita bangga. Namun, di lain pihak, kita tidak boleh menjadi terlalu bangga dan merasa begitu superior, menganggap diri lebih baik dari semua orang yang lain, menganggap orang Tionghoa lebih tinggi dari yang lain lalu menghina orang lain. Itu merupakan hal yang melawan kebenaran Tuhan.
Jadi setiap orang dilahirkan di dalam darah apa, dilahirkan di dalam kulit bagaimana, itu adalah suatu pemberian Tuhan yang harus kita syukuri. Kita tidak boleh mencelanya dan kemudian menjadi minder, lalu melarikan diri dari fakta. Kita tidak boleh minder (rendah diri) hanya karena situasi yang tidak mudah atau kondisi yang tidak mendukung kita bisa berbangga hati, karena kita dihina orang atau hal-hal lainnya. Jadi identitas itu harus diakui sebagai satu hak, diakui sebagai suatu pemberian Tuhan, diakui sebagai suatu penghargaan, satu hak istimewa yang ada pada kita. Tetapi, di lain pihak kita tidak boleh menjadikan itu suatu kebanggaan yang mengakibatkan terjadinya tembok di mana kita menghina yang lain. Saya bukan saja sadar hal ini, saya juga menerapkannya di dalam hidup saya. Jadi orang Indonesia yang lahirnya di Jawa atau di Batak atau di Manado, mereka tidak pernah merasa saya menghina atau merasakan diri lebih tinggi dari mereka. Tetapi saya juga tidak mau merasa mereka lebih tinggi diri saya.
Karena dalam hal-hal tertentu, manusia dicipta oleh Tuhan secara setara. Manusia sama-sama semua dicipta menurut peta teladan Allah. Semua orang, baik yang paling putih sampai pucat, di dalamnya ada peta teladan Allah; maupun yang paling hitam, tetap juga ada peta teladan Allah. Jadi kalau ukiran Bali, yang paling mahal itu yang hitam karena menggunakan kayu eboni yang keras, sebaliknya yang putih justru yang paling murah kayunya dan hanya cocok untuk tusuk gigi. Jadi kita tidak mengatakan yang hitam lebih, yang putih lebih, yang mana mesti dihina dan mana mesti diunggulkan.
Landasan Identitas Manusia
Di dalam pikiran dan hati saya, entah dia kulit putih atau dia kulit hitam, semua sama bagi saya. Kaya atau miskin juga sama di hadapan saya. Sekalipun engkau kaya luar biasa, saya tidak akan goyang ekor sama kamu; sebaliknya seberapa miskin engkau sekalipun, saya tidak menghina kamu. Karena kita di hadapan Tuhan itu sama, manusia. Martabatnya manusia. Istilah “manu” berasal dari bahasa Ibrani. Diturunkan ke bahasa Arab dan bahasa Indonesia, menjadi “manusia”. Manusia itu dicipta oleh Tuhan. Dan manusia dicipta oleh Tuhan dengan kapasitas kemungkinan yang unik dibandingkan semua binatang yang lain. Yaitu kita mempunyai beberapa sifat dasar yang tidak mungkin ada pada makhluk hidup yang lain, kecuali memang itu hanya ada pada peta teladan Allah itu sendiri, yaitu manusia. Ada beberapa ciri manusia yang tidak dimiliki oleh binatang atau tumbuhan.
Pertama, sifat kekekalan (eternity). Di dalam diri manusia ada sifat kekekalan. Manusia hidup menuntut, menyenangi, mencari, dan tertarik atau tergerak dengan apa saja. Banyak hal yang kita mau tuntut dan kejar. Namun, ketika jiwa kita mulai makin bertumbuh dan makin matang, maka kita akan mulai menuntut hal-hal yang bersifat kekal, yang abadi. Anak kecil suka permen, suka gambar. Namun, perlahan-lahan dia mulai tertarik dengan hal yang lebih abadi, ia mulai tertarik kepada manusia; dan ketika ia makin tua, ia akan tertarik dengan kebudayaan. Waktu lebih tua lagi mencari sesuatu yang bersifat kekal yang tidak bisa digeser oleh waktu, yaitu hal yang melampaui waktu (transcends time). Karena di dalam manusia ada sifat kekekalan yang tidak ada pada binatang.
Kedua, manusia mempunyai sifat rasio (rationality). Manusia bisa berpikir, dapat menganalisis mengapa sesuatu bisa terjadi dan bagaimana hubungan sebab-akibatnya. Manusia bisa mencari penyebab yang membuat sesuatu bisa terjadi. Teori kausalitas sering kali menjadi daya tarik, yang akibatnya kita tidak hanya tertipu atau menjadi puas terhadap apa yang ada di dalam gejala, tetapi kehilangan apa yang sebenarnya menjadi landasan yang melampaui fenomena yang kita sanggup lihat. Kita bisa memperkirakan sesuatu, atau menspekulasikan sesuatu, atau menganalisis sesuatu, menyelidiki sesuatu, memperhitungkan sesuatu, mendiskusikan, menguraikan, mencari dalil-dalil yang menyebabkan sesuatu. Semua itu adalah aktivitas rasio.
Ketiga, manusia memiliki sifat moral (morality). Sifat moral mengakibatkan manusia mempunyai perasaan bertanggung jawab atas apa yang kita perbuat. Mengapa saya mengambil keputusan untuk melakukan hal ini? Mengapa saya mengambil keputusan mengatakan kalimat itu? Setelah katakan kalimat itu, konsekuensinya apa? Akibatnya apa? Sesudah itu, bagaimana jika orang dipengaruhi oleh kalimat itu lalu bunuh diri? Apakah saya bertanggung jawab atau tidak atas akibat tersebut? Saya mengatakan sesuatu yang mengakibatkan orang menjadi gila, atau saya mengatakan sesuatu yang mengakibatkan orang menjadi abnormal, karena perkataan saya menusuk atau menyinggung hatinya. Apakah saya bertanggung jawab atas perkataan-perkataan itu? Kapasitas pertanggungjawaban atas apa yang kita katakan atau lakukan kepada sesama itu namanya moralitas. Dari sifat moral ini timbul satu bidang studi filsafat yang disebut etika. Studi etika adalah upaya untuk mencari dalil bagaimana bertindak terhadap sesama di dalam relasi antara kita dan oknum yang lain. Dalil-dalil itu menjadi hukum yang mengatur dan membatasi, menunjuk, dan memberikan pencerahan untuk boleh tidaknya kita melakukan sesuatu. Itu yang dikenal sebagai studi etika.
Jadi sifat kekekalan, sifat rasio, sifat moral, dan masih banyak sifat lainnya, seperti sifat kesadaran diri, sifat pengertian nilai, membentuk makhluk yang namanya manusia. Semua itu mengakibatkan manusia menjadi makhluk yang tidak hanya puas dengan mengisi kebutuhan di dalam dua bidang yaitu makanan dan seks. Jikalau kita dengan begitu mudahnya dicukupi hanya dengan nafsu makan dan nafsu seks saja, kita tidak berbeda dari binatang. Tetapi kita justru mempunyai sifat kekekalan, sifat kehormatan, sifat penilaian, sifat rasio, sifat moral, sifat keadilan, sifat hukum, dan lain sebagainya, yang mengakibatkan kita mulai mencari sistem nilai. Dan sistem nilai itu secara eksternal menjadi suatu pedoman untuk kategori kebudayaan, dan secara internal menjadi suatu kategori yang menguasai bidang agama. Sistem nilai inilah yang menjadi dasar dari adanya sifat agama (religion) dan sifat budaya (culture), yang keduanya itu membentuk apa yang disebut kebudayaan (civilization, nature, and religiosity). Hal ini membedakan kita dari semua binatang.
Kebudayaan menuntut hal yang kekal. Jikalau satu kebudayaan tidak memiliki tuntutan untuk menyingkirkan semua halangan terhadap kekekalan yang bernilai, dan dapat melintasi dan melepaskan diri dari pengguruan zaman dan waktu, maka kebudayaan itu adalah kebudayaan yang rendah nilainya, atau disebut kurang berbudaya atau kurang bernilai. Maka yang menjadi kriteria bagaimana seseorang berkebudayaan tinggi dilihat dari bagaimana dia menetapkan penilaian untuk sesuatu yang mempunyai kemungkinan tidak digeser oleh waktu. Dan penilaian itu diterapkan di dalam hidup secara lahiriah atau eksternal, yang mencakup bagaimana berpakaian, bagaimana bertindak, bagaimana pandangan dan falsafah hidupnya, bagaimana berdansa, bagaimana bergaul, bagaimana beritual, bagaimana bertata krama, bagaimana menata peraturan boleh dan tidak bolehnya sesuatu; itu semua mencakup segala segi hidup. Pakaian mesti bagaimana, bicara mesti bagaimana, cara bagaimana. Semua tata krama yang bersifat eksternal ini disebut sebagai budaya. Tetapi yang di luar ini perlu memiliki dasar di dalamnya, sehingga harus ada ukuran boleh tidaknya dan bagaimana yang disebut baik, bagaimana yang disebut tidak baik. Oleh karena itu, di dalam harus ada satu karakter jiwa yang bertanggung jawab kepada moralitas atau penilaian hubungan antarmanusia. Ini yang di dalam pikiran konfusianisme disebut ren (loving kindness). Bagaimana dalam pergaulan dengan orang lain secara eksternal, kita mengutarakan cinta kasih dan pertanggungjawaban sebagai manusia yang anggun dan bernilai. Ini dua hal yang mengakibatkan kebudayaan Tionghoa menjadi kebudayaan yang penting.
Kebudayaan Suatu Bidang Studi yang Besar
Kebudayaan memang merupakan suatu studi yang sangat luas. Kebudayaan juga merupakan suatu kekuatan yang tidak mungkin dilenyapkan oleh politik. Hampir semua politikus mempunyai penyakit sombong, apalagi ketika mereka sudah berkuasa. Mereka pikir ketika sedang berkuasa, dia bisa mengatur siapa pun di bawah kekuasaannya. “Pendeta di bawah saya, ulama di bawah saya, saya penguasa. Ini semua agama dapat saya peralat untuk mempermudah saya melaksanakan filsafat politik saya.” Itu suatu kesombongan diri. Semua orang berkuasa yang berusaha untuk mengatasi atau menguasai, mengontrol agama dan kebudayaan, mereka akan digeser oleh zaman. Agama dan budaya yang ditekan oleh penguasa-penguasa yang besar akan menggeser semua penguasa yang berusaha menggeser atau menekannya. Kebudayaan itu sulit digugurkan oleh kuasa politik, dan agama lebih sulit digugurkan oleh kuasa budaya. Kekuasaan politik adalah yang paling pendek umurnya, paling cepat mencapai kekuasaan, tetapi secara jangka panjang selalu akan hilang pengaruhnya yang paling penting.
Oleh karena itu, orang yang pandangannya pendek akan mencari kuasa politik; sementara, orang yang berpengaruh panjang dan pandangannya jauh akan mencari kekekalan di dalam agama dan di dalam kebudayaan. Pada waktu Mao Zedong berkuasa besar, dia berpikir dapat menghancurkan konfusianisme begitu saja. Dia mengatakan bahwa sekarang dunia sudah maju, sudah mencapai abad ke-20, sehingga yang dapat menolong Tiongkok itu bukanlah konfusianisme, bukankah Yesus Kristus, bukan Buddha Siddhartha, bukan Muhammad, bukan orang yang beragama dan berkebudayaan lain. Yang dapat menyelamatkan seluruh bangsa Tiongkok adalah Karl Marx. Maka dia mengundang Marx datang untuk membuat suatu kebudayaan baru. Akibatnya adalah beberapa puluh tahun kemudian Marxism, yaitu komunisme, begitu dibenci banyak orang, karena itu hanya bisa memberikan pengaruh sesaat saja. Dan kebudayaan akan kembali lagi.
Jangan menghina kebudayaan. Kebudayaan memiliki kekuatan yang tidak bisa digeser, karena kebudayaan mengejar unsur-unsur kekekalan yang selalu dihina dan diabaikan oleh unsur-unsur politik atau penguasa-penguasa di berbagai zaman. Mereka mengira bahwa mereka lebih hebat dan lebih kuat untuk bisa menggeser dan menghabisi kebudayaan dan agama, padahal kebudayaan itu mempunyai peranan yang penting sekali. Dari sini kita akan lanjut memikirkan keunikan budaya, khususnya kebudayaan Tionghoa.