Konfusius belajar begitu giat dan dia berjuang untuk bisa mempelajari kebijaksanaan dari orang-orang yang agung dan dari berbagai literatur yang bisa ia dapatkan. Di usia 30 tahun, dia sudah belajar banyak, sehingga ia memiliki keyakinan untuk mau bekerja melayani negara dan melayani masyarakat. Lalu ia pergi untuk bisa bertemu raja Kerajaan (provinsi) Lu, yaitu sekarang wilayah Shandong, tempat lahir dan hidup Konfusius.
Tetapi keadaan Kerajaan Lu saat itu sedang merosot, sehingga mereka tidak mau memakai Konfusius. Maka Konfusius pergi ke tempat lain untuk bisa melayani. Ia pergi ke Kerajaan Qi yang dipinggir Kerajaan Lu. Sepanjang sejarah Tiongkok, hanya beberapa kali Tiongkok bersatu. Di masa kekaisaran pertama, Qin Shi Huang (Shi Huangdi) mempersatukan Tiongkok pertama kali. Mao Zedong sendiri belum pernah bisa mempersatukan seluruh Tiongkok sampai dia mati, karena Taiwan, Hong Kong, dan Macau masih belum menjadi bagian integral Tiongkok. Tiongkok bersatu di zaman Sun Yat-sen (Sun Zhongshan) dan dilanjutkan oleh Chiang Kai-shek. Setelah itu Tiongkok pecah karena Komunis. Deng Xiaoping sangat ingin sebelum mati bisa melihat Hong Kong kembali ke tangan Tiongkok, tetapi itu pun tidak terjadi.
Konfusius ke negara Qi, tetapi negara Qi juga tidak mau memakai dia. Di sana ada perdana menteri yang iri hati dan takut kepada Konfusius. Dia tidak setuju raja memakai Konfusius karena dua alasan: 1) dia seorang yang pandai sekali, sehingga mungkin akan menggeser posisinya; dan 2) dia bukan berasal dari negara Qi, sehingga bisa menjadi mata-mata. Jadi kalau mencari pejabat jangan mencari orang pandai, tetapi harus orang sendiri. Akhirnya Konfusius tidak diterima. Tetapi di negara ini Konfusius mendapat pembelajaran musik. Ia mulai menyelidiki dan mengapresiasi Xiao Yu, yaitu musik Xiao yang diturunkan di negara Qi ini, bukan di negara Lu.
Di kampung halamannya, Lu, Konfusius tidak menemukan musik yang begitu indah. Di negara Qi ini ia menemukan musik dan bisa menyelidiki musik. Di dalam dunia filsafat, ada beberapa filsuf yang sangat menyukai musik, seperti F. Nietzsche. Ia sangat menyukai musik dari Richard Wagner. Di dalam politik, orang yang mungkin paling suka musik adalah Hitler. Ia juga sangat suka musik dari Wagner. Dia mengatakan musik Wagner betul-betul memiliki jiwa dan darah panas Jerman di dalamnya. Ada suatu darah panas semangat Jerman dalam musik-musik Wagner. Saya sempat mempelajari musik Wagner, dari karyanya Tannhäuser, atau The Flying Dutchman, Nürnberg, dan juga The Ring of the Nibelung. Saya mempelajari musik-musik ini ketika saya berusia 18 tahun. Konfusius mempelajari musik Xiao yang ada di dalam tradisi Qi. Jadi ketika ia tiba di negara orang lain, ia mau menjadi murid, dan setiap ada kesempatan menemukan sesuatu, ia langsung belajar. Ini membuat seseorang bisa terus maju. Sekalipun ia tidak dipakai di Qi, ia tidak marah, karena ia telah mendapatkan ilmu yang luar biasa di sana. Dan ia kembali ke kampung halamannya.
Konfusius dan Sikap terhadap Pemberontak
Suatu kali, di dalam satu masa, ada orang yang memberontak kepada raja, dan saat itu para pemberontak meminta bantuan Konfusius untuk mendukung mereka. Konfusius menjawab bahwa dia tidak akan menolong pengkhianat. Ini adalah sifat yang anggun. “Seorang pengkhianat, yang berkomplot untuk melakukan pemberontakan, saya tidak akan mau mendampinginya.” Ia menolak walaupun diberi imbalan berapa besar sekalipun. Konfusius memperhatikan adat istiadat rakyat dari berbagai tempat dan dari sana ia mempelajari segala kebijaksanaan kampung.
Di usia 52 tahun, ia sudah begitu sukses di dalam menentukan strategi perang untuk raja, sehingga dia bisa membasmi banyak pemberontakan dan kesulitan, memenangkan berbagai peperangan melawan musuh. Itu semua dia bisa selesaikan tiga bulan setelah ia diangkat menjadi penguasa daerah. Kondisi kesejahteraan masyarakat ditandai dengan satu pepatah dengan dua istilah penting: “Yang ketinggalan di jalan tidak ada yang mengambil (路不舍一), pintu rumah terbuka tidak ada maling masuk (夜不闭户).” Ini dua pepatah Tionghoa yang menggambarkan negara sudah sampai ke taraf damai dan makmur. Ada barang yang terjatuh dan tertinggal di jalan, tidak ada orang yang mengambilnya. Ketika orang tahu barang yang tercecer bukan miliknya, maka sekalipun barang itu berharga, ia tidak mengambilnya sampai yang punya kembali dan memungutnya kembali, karena memang miliknya. Juga ketika malam, sekalipun lupa mengunci pintu, tetap bisa tidur nyenyak karena tidak khawatir ada maling yang akan masuk dan mencuri barang. Konfusius pernah memerintah satu wilayah dan dalam tiga bulan kondisi ini terjadi di wilayah itu. Tempat itu menjadi begitu baik dan menjadi teladan bagi tempat lainnya.
Tiga tahun kemudian, sekitar usia 56 tahun, dia mulai mengelilingi semua negara. Ia mengatakan, “Saya tidak boleh hanya menjadi orang yang membantu negara Lu atau menjadi abdi negara Qi, karena saya harus memberi kontribusi kepada semua negara.” Dari sejak dahulu kala, Konfusius sudah memiliki semangat global. Ia melihat diri sebagai universal man. Ia bukan milik hanya satu bangsa, satu negara, satu provinsi, atau satu ras, tetapi ia harus menjadi milik semua orang, semua bangsa. Saya merasa pikiran seperti ini hanya muncul pada diri beberapa orang saja. Seperti John Sung tidak mau hanya di Tiongkok, sehingga dia sampai di Indonesia. Dia juga berkata kepada Pdt. Zhao Shiguang bahwa di usia yang lebih tua lagi, ia akan ke Amerika Serikat untuk memengaruhi gereja-gereja di Amerika yang sudah banyak menjadi liberal. Namun di usia 43 tahun setengah, ia telah dipanggil oleh Tuhan sehingga tidak sempat mencapai apa yang ia rindukan. Adanya kesadaran bahwa pelayanan saya, pemikiran saya tidak boleh dikuasai hanya oleh satu suku, satu bangsa, satu negara, tetapi harus bisa menjadi berkat untuk banyak bangsa.
Konfusius berpikir di usia 56 tahun ia harus mulai pergi mengelilingi negara-negara untuk membagikan kebijaksanaan, memberitahukan kebenaran, dan mengajar semua kristalisasi yang ia telah pelajari dari orang-orang kuno kepada raja-raja yang berkuasa saat itu. Dia mengajarkan bagaimana menata pemerintahan yang baik, bagaimana cara memilih dan memakai orang yang bijaksana untuk menjadi pejabat negara, dan seterusnya. Tetapi akhirnya, ia bukan diterima tetapi ditolak di banyak tempat.
Pemerintah-pemerintah itu berpikir, “Jika saya mengikuti ajaran Konfusius, nanti anak saya tidak bisa hidup mewah, saudara-saudara saya tidak bisa menjadi menteri dan pejabat tinggi pemerintahan, tidak bisa lagi nepotisme, tidak bisa lagi korupsi. Itu akan menyusahkan raja dan para pejabat. Jadi tidak bagus kalau mengikuti cara kebijakan pemerintahan yang dianjurkan oleh Konfusius.” Orang bijak tidak selalu dan tidak mudah diterima. Jangan kita pikir kalau sudah menjadi orang baik, orang jujur, orang bijak, kita akan mudah diterima di mana-mana. Orang bijak selalu tidak mendapatkan imbalan yang seharusnya dia terima pada saat dia hidup. Ini merupakan ironi terbesar bagi kehidupan orang bijak.
Empat belas tahun Konfusius berkeliling dari satu kota ke kota lain, dari satu raja ke raja lain. Semua raja ketika mendengar Konfusius datang, mereka kagum dan mau mendengar teorinya, tetapi setelah mendengar, mereka mengakui teori itu bagus tetapi tidak mau menjalankannya karena akan merugikan dirinya. Hal ini juga dalam arti tertentu dialami oleh Gerakan Reformed Injili. Ada yang mengakui doktrinnya bagus, pemikirannya komprehensif, tetapi mereka enggan melakukannya atau hanya memilih yang menguntungkan mereka saja, karena akan merugikan mereka.
Dalam kurun waktu 14 tahun, Konfusius, di satu pihak ditolak di banyak negara, tetapi di lain pihak, ia juga belajar banyak menyelidiki segala macam sistem politik dari berbagai negara yang ia kunjungi, menemukan kebaikan dan kelemahan mereka. Dan di lain pihak, ia justru membawa murid-murid di sekitar dirinya dan memberikan pengajaran yang tidak habis-habis. Konfusius membawa murid-muridnya ikut mendengarkan ketika ia memberikan pengajaran kepada raja-raja. Murid-murid itu belajar dari dialog yang terjadi antara Konfusius dan para raja tersebut. Murid-murid itu bisa belajar bagaimana Konfusius berkata, lalu bagaimana respons dan jawaban dari raja-raja atau pejabat pemerintah, dan itu membicarakan segala aspek kehidupan, termasuk politik dan juga ekonomi. Murid-muridnya mencatat dan belajar. Inilah cara pendidikan dari konfusianisme.
Setelah sekitar 13-14 tahun itu, di usia 68 tahun, ia kembali pulang. Dia melihat negaranya sudah lebih lemah lagi dan ia mengetahui bahwa ide-ide dan kebijaksanaannya tidak diterima di negaranya sendiri. Maka dia mengambil keputusan bahwa dalam sisa hidupnya, ia akan menjadi guru yang mendidik banyak murid dan tidak lagi pergi. Maka selama empat tahun terakhir hidupnya (usia 68-72 tahun), ia mengajar di Institut Konfusianisme. Selama empat tahun itu dia mengatakan bahwa teorinya tidak diterima baik oleh pemerintah-pemerintah, maka apa yang ia inginkan tidak tercapai. Maka ia akan membentuk murid-murid untuk meneruskan ide-ide besarnya di dalam sejarah. Itulah tugas terakhirnya.
Di usia 72 tahun Konfusius meninggal. Itu sekitar 479 tahun sebelum Kristus. Delapan hari sebelum Konfusius meninggal, dia menyanyi. Dia mengatakan, “Gunung yang besar sudah rusak, tiang-tiang besar sudah keropos, orang bijak tidak terpakai.” Delapan hari kemudian ia mati. Mati dalam pengeluhan yang besar, mati dalam kekecewaan yang besar. Sebelum dia mati, dia mengatakan satu kalimat lagi, “Di bawah sorga, di bawah kolong langit, sudah terlalu lama tidak ada firman (there are no words under the heavens for long time). Kita harus taat kepada siapa? Zaman ini sudah sangat kasihan.” Jadi dia mengeluh. Firman tidak ada, tidak ada kalam, tidak ada kebenaran yang dijalankan, dan tidak ada orang yang mau menerima kebenaran. Tidak ada lagi yang bisa menjadi teladan untuk diikuti, tidak ada model hidup. Inilah juga zaman sekarang. Dan sesudah pengeluhan besar itu Konfusius meninggal. Di sini kita belajar satu tokoh besar yang sudah memberikan gambaran filsafat Tiongkok.
Sebenarnya, terdapat keagungan yang luar biasa di dalam filsafat Tiongkok. Saya percaya orang pandai Yahudi pun harus hormat pada filsafat Tiongkok; orang India yang pandai juga harus hormat pada filsafat Tiongkok. Orang Indonesia yang berpengetahuan baik diam-diam juga banyak yang kagum, tetapi terkadang tidak mau mengakui. Banyak orang di Indonesia yang mempelajari filsafat Tiongkok, khususnya konfusianisme, lebih dari yang mungkin sudah engkau pelajari. Adam Malik lebih mengerti keramik-keramik Cina daripada kebanyakan orang Tionghoa di Jakarta, yang mungkin hanya sibuk peduli uang saja. Dia sangat menghormati kebudayaan dan khususnya keramik Cina. Ketika ia meninggal, sebagian koleksinya dipersembahkan ke museum, sehingga bisa dilihat oleh banyak orang. Mungkin saat ini sangat sedikit orang di Jakarta, apalagi di Indonesia, yang sudah melihat Museum Adam Malik. Museum ini memiliki 4.000 barang koleksi, tetapi sangat disayangkan, yang terbaik sudah tidak ada dalam satu tahun terakhir. Sebelum meninggal, Adam Malik mengumpulkan sekian banyak barang koleksi sebagai seorang yang bukan pedagang. Ia mengerti keramik-keramik itu berasal dari dinasti apa dan zaman apa, sampai ada cap raja yang jatuh ke tangannya. Ada barang dari abad ketiga, dan juga dari tahun 1700 juga. Ketika ia menjadi duta besar di Rusia, ia membeli beberapa ikon yang sangat bernilai. Ikon ortodoks yang terbanyak dan terbaik ada di Museum Adam Malik. Seorang Islam mengapresiasi seni Cina, tetapi banyak orang Kristen mengapresiasi dolar. Banyak orang Tionghoa di Indonesia malu mengakui diri sebagai orang Tionghoa. Bagi saya ini sangat memalukan. Kiranya kita bisa bersyukur dilahirkan sebagai seorang keturunan Tionghoa. Kalaupun saya memang dilahirkan sebagai orang Tionghoa, saya harus juga mencintai mereka yang bukan orang Tionghoa, karena kita sama-sama manusia, sama-sama dicipta menurut peta teladan Allah. Apalagi sebagai orang Kristen kita diberi mandat sorga untuk memberitakan Injil kepada semua orang. Marilah kita belajar menjadi orang yang mensyukuri kelahiran diri kita dan mau menjadi berkat bagi banyak orang. Amin.