Jangan membunuh adalah salah satu perintah yang paling kuat di dunia. Perintah ini bukan dari manusia kepada manusia, melainkan perintah dari Allah Pencipta kepada manusia ciptaan-Nya. Manusia adalah ciptaan yang bernilai, yang diberi peta teladan Allah untuk merefleksikan kemuliaan-Nya, menjadi pelaksana kehendak-Nya. Namun, justru karena manusia tidak mengenal nilai diri dan sesamanya maka dia selalu mencari-cari kesalahan, kekurangan orang lain, lalu membenci, merusak, bahkan sampai berhasil menyingkirkannya.
Mengutip kalimat Jean-Paul Sartre, “Others’ existence is my hell” (orang lain adalah neraka bagiku). Sungguh, iri hati, benci, dengki terhadap sesama membuat dunia bagaikan neraka. Manusia sulit untuk belajar menikmati keindahan dan kebaikan orang lain yang tidak dia sukai dan yang tidak menguntungkan baginya. Bukankah Tuhan memerintahkan agar manusia mencintai musuhnya dan berdoa bagi orang-orang yang menganiaya mereka? Hal ini sungguh bukanlah hal yang mudah, tetapi inilah ajaran Kristen. Tidak cukup seorang Kristen hanya memiliki doktrin yang benar. Ia harus juga diperlengkapi dengan etika yang benar. Kristus, dasar dan asal dari semua doktrin Kristen, di dalam inkarnasi-Nya telah begitu rela mengampuni Yudas yang menyalibkan-Nya. Ia begitu rela membasuh kakinya dan menaruh roti di pinggannya. Kita sungguh tidak bisa mengerti. Tidak ada teladan dalam hal mengasihi, menghormati, dan bertoleransi kepada sesama yang lebih tinggi dari teladan Kristus.
Tuhan ingin kita saling menghormati. Selama saya hidup, saya berusaha untuk bisa berjiwa besar, melihat kelebihan orang lain, tidak menghina siapapun, dan sebisanya menggali semua karunia yang ada pada seseorang untuk bisa lebih lagi melayani Tuhan. Saya berusaha untuk menampung, mengerti, memberi toleransi kepada mereka, dan untuk itu saya sungguh mohon kekuatan dari Tuhan untuk bisa memengaruhi, mengubah, dan mendidik mereka. Sungguh hal seperti ini tidak mudah karena terkadang dirugikan, harus belajar menyangkal diri, dan berani membayar harga yang mahal untuk itu. Namun, inilah semangat kekristenan. Orang yang tidak rela menyangkal diri dan memikul salib, sulit menjadi berkat bagi orang lain. Orang yang membenci orang lain sudah membunuh. Ada banyak jenis pembunuhan, seperti: membunuh perasaan, membunuh nyawa, membunuh otak, membunuh karier, dan seterusnya. Maka membunuh tidak harus dibatasi hanya sebagai pembunuhan fisik. Ada orang yang membunuh orang lain secara perlahan-lahan.
Apa Alasan Membunuh?
Alkitab menemukan satu prinsip yang tepat, yaitu jangan membenci orang lain. Membenci mengakibatkan pembunuhan. Di dinasti Tang (kira-kira 1.100 tahun lalu), ada selir yang merebut kekuasaan kerajaan, lalu ia mulai menganiaya dan membunuh ratu secara perlahan-lahan: dipotong hidungnya, telinganya, tangannya, kakinya, lalu matanya dicungkil, lidahnya dipotong, lalu ditempatkan di WC, mencium bau kotoran sampai mati. Kejam luar biasa. Dia bukan hanya melihat musuh, tetapi dia juga berperan seperti Allah yang mempermainkan hidup seseorang. Siapa manusia? Manusia adalah ciptaan Allah yang sama-sama berbagi kasih Allah. Oleh karena itu, janganlah kita membenci satu terhadap yang lain. Jangan menggunakan kuasa lebih dari yang sepatutnya. Jika ada bibit iri hati, benci, dengki, engkau harus segera bertobat. Meskipun kebencian sepertinya tidak mudah dilihat oleh orang lain, tetapi kita harus ingat bahwa Tuhan Allah kita melihat setiap pribadi. Peribahasa Tionghoa mengatakan: Ada jaring hukum sorga yang sepertinya longgar, tetapi tidak melepaskan orang yang melanggar hukum. Terlalu banyak contoh bahwa orang-orang yang berbuat kejahatan, untuk seketika tidak ketahuan, tetapi suatu saat pasti terbongkar. Tuhan tidak membiarkan dosa berjalan semaunya. Pernah terjadi seorang profesor dari sebuah universitas ternama di Amerika Serikat tertangkap karena membunuh enam puluh lima wanita cantik. Ketika ditunjukkan fotonya di koran, ia begitu terlihat baik, sopan, tampan, tetapi berjiwa setan. Sebaliknya, orang mengatakan Socrates berwajah badut berhati Allah. Mana yang lebih baik? Terkadang realitas sangat berbeda dengan esensi. Plato mengatakan, “Pencapaian tertinggi manusia di dunia ini adalah ketika ia bisa hidup seperti Allah.” Yesus berkata, “Ikutlah teladan-Ku.” Peta beda dari teladan. Peta adalah potensi, esensi, substansi; sementara teladan adalah pencapaian atau sasaran.
Ketika manusia bermusuhan, ia berpikir dengan membunuhnya semua akan selesai. Sebenarnya justru sebaliknya. Pembunuhan justru akan menciptakan masalah baru. Membunuh orang lain bukanlah penyelesaian masalah, tetapi menghasilkan suatu masalah baru yang lebih besar.
Pembunuhan Pertama
Kain adalah pembunuh pertama. Ia membunuh Habel, adiknya. Ia iri hati dengan adiknya, lalu karena lebih besar dan lebih tua, ia merasa boleh melakukan apa saja. Jika orang berpikir bahwa semua kesehatan, kedudukan, kekuatan, kepandaian boleh dipakai untuk melayani ambisi pribadi, ini akan menciptakan ketidakadilan. Jika engkau menjalankan keadilan, belas kasihan, kebajikan, dan kesucian, walaupun kelihatan tidak mendatangkan banyak keuntungan, Tuhan akan memberimu sejahtera. Hubungan antara engkau dengan dirimu sendiri, hubungan antara engkau dengan orang lain, antara engkau dengan alam, antara engkau dengan Allah, terjadi hubungan yang sangat indah dan harmonis. Segala sesuatu yang tidak seimbang adalah dosa. Ketidakseimbangan ini akan merusak relasi. Relasi yang tidak baik biasanya dimulai dengan memperlakukan sesama secara tidak adil. Inilah kejahatan yang dibenci oleh Tuhan.
Alasan kedua Kain membunuh Habel adalah karena persembahan Kain tidak diterima oleh Tuhan sementara persembahan Habel diterima. Tuhan mengatakan, “Jika perbuatanmu baik, tidakkah engkau diterima?” Itu berarti Tuhan menolak persembahan Kain karena ia jahat. Kain bukan tidak diterima persembahannya karena tidak mengandung darah. Habel diterima karena berbuat baik, ia memberikan yang terbaik untuk Tuhan. Tuhan yang pertama-tama menyembelih binatang yang kulitnya dipakai untuk pakaian Adam dan Hawa akibat kejatuhan ke dalam dosa. Inilah korban pertama. Ketika Tuhan tidak menerima persembahan Kain, dia tidak introspeksi diri, tetapi marah. Tuhan memperingatkan dia untuk berhati-hati karena dosa sedang mengintip dan mau menerkam. Di sini dosa dipersonifikasikan. Dosa dipandang seperti seseorang yang berkekuatan besar dan bisa mencengkeram dan menghancurkan. Nanti di surat Roma, dosa dilihat dari dua segi, yaitu singular dan plural. Dosa dalam bentuk singular mengacu kepada kuasa, dan dosa dalam bentuk plural mengacu kepada kelakuan. Jadi ketika engkau mengonsumsi narkoba, bukan engkau sedang bermain-main dengan dosa, tetapi dosa sedang mempermainkan engkau. Namun, sekalipun sudah diperingatkan oleh Tuhan, Kain tetap tidak bertobat. Kesimpulannya adalah seperti yang Tuhan Yesus ucapkan kepada orang Yahudi yang mau membunuh-Nya, “Hanya karena Aku menyatakan kebenaran, maka engkau mau membunuh Aku?” (Yoh. 8:37-40). Inilah inti alasan pembunuhan. Manusia melawan dan membenci Yesus karena Yesus menyatakan kebenaran di tengah manusia yang tidak menyukai kebenaran.
Yesus satu-satunya pribadi yang mutlak benar di tengah-tengah manusia yang tidak menginginkan kebenaran. Pengorbanan Habel diterima karena mempersembahkan domba korban. Orang Liberal mengkritik bahwa Yehovah adalah Allah pencinta darah. Ini adalah pikiran yang tidak waras karena sebenarnya darah yang asli adalah darah Anak Allah sendiri, yaitu Yesus Kristus. Orang yang mempersembahkan korban darah berarti orang itu mau sinkron dengan Allah dan memahami maksud dan pengertian korban menurut Allah.
Kain membunuh adiknya dengan kekuatannya. Tuhan melihat dan bertanya, “Engkau menggunakan kebebasan untuk membunuh adikmu? Aku memperhitungkan ini sebagai kejahatan.” Apakah dengan kita menggunakan kebebasan untuk melakukan kejahatan lalu semua usaha kita akan lancar? Bukan, itu karena Tuhan mencatat dan membiarkan engkau melakukannya. Di dalam Pengkhotbah 12:14, dikatakan bahwa semua perbuatan yang kita lakukan akan membawa kita ke pengadilan Allah. Allah tidak bisa dipermainkan.
Bahaya Motivasi
Allah memperingatkan Kain sebelum dia melakukan pembunuhan. Ini berarti Allah sudah tahu akan motivasi dan keinginan Kain, tanpa perlu sampai melakukan. Kain diperingatkan, tetapi malah memukul Habel sampai mati. Bagi Kain, dia merasa diperlakukan tidak adil karena persembahan Habel diterima dan miliknya tidak. Banyak orang melihat keadilan sebagai sama rata. Kalau orang punya mobil, kita juga harus punya mobil. Kalau tidak maka Allah tidak adil. Dia lupa bahwa yang satu bekerja keras dan berusaha, sementara dia tidak mau bekerja dan malas luar biasa. Ini berarti bukan tuntutan keadilan, tetapi kesamarataan. Ini justru tidak adil dan tidak Tuhan inginkan.
Manusia tidak dicipta sama rata. Ada yang sangat pandai, ada yang biasa-biasa. Ada yang sangat cantik, ada yang biasa-biasa. Di dalam prinsip Tuhan, yang diberi lebih dituntut lebih. Maka keadilan harus dituntut melalui pelaksanaan kewajiban, bukan kesamarataan. Saya berusaha untuk tidak pernah mau iri hati di sepanjang hidup saya. Saya tidak ingin membandingkan dengan kekayaan orang lain, maka saya bisa memberi persembahan; saya tidak ingin lebih pandai, semua kepandaian yang Tuhan beri saya gunakan semaksimal mungkin. Intelektualitas adalah harta yang harus kita pertanggungjawabkan kepada Tuhan. Seluruh hidup kita harus kita jalani dengan semaksimal mungkin.
Setelah Kain membunuh Habel, dia pikir semua sudah beres. Apakah setelah membunuh Habel karena korban Kain ditolak oleh Tuhan, maka kini korban Kain akan diterima? Tentu semakin tidak diterima. Maka tindakan pembunuhan ini sama sekali tidak menyelesaikan masalah Kain, tidak menjadikan semua beres. Sebaliknya, kini semua semakin tidak beres. Kain tidak merasa bertanggung jawab dan tidak merasa harus menjaga adiknya. Dia lupa bahwa hidup harus mengasihi dan takut akan Allah serta mengasihi sesama. Inilah etika salib, yaitu vertikal dan horizontal.
Darah Habel berteriak kepada Tuhan. Inilah nabi yang pertama. Yesus berkata, “Dosa membunuh nabi-nabi dari Habel sampai Zakaria dilimpahkan atas generasi ini” (Luk. 11:50-51). Ini pertama kali orang perlu tahu bahwa setelah mati tidak selesai. Mati bukanlah akhir, setelah mati masih bisa berbicara. Mungkin Habellah orang pertama yang meneriakkan hukum keenam ini. Di sepanjang sejarah, orang Farisi dan ahli Taurat juga merasa kuat dan membunuh Yesus, dan berbagai orang yang merasa kuat membunuh yang lemah.
Arti Hidup
Membunuh berarti tidak lagi menghargai arti kehidupan itu sendiri. Membunuh berarti menghina nilai hidup manusia. Kita harus menghargai hidup manusia karena manusia dicipta menurut peta teladan Allah. Agama-agama lain juga mengajarkan untuk jangan membunuh, tetapi mereka tidak mengerti batasannya sehingga ada agama yang memperluas hukum ini sampai tidak boleh membunuh nyamuk sekalipun. Ini akibat dari mereka tidak mengerti peta teladan Allah. Inilah bedanya Kitab Suci dengan ajaran agama-agama. Tuhan Pencipta manusia membuat garis batas yang tegas antara manusia dengan semua ciptaan lainnya.
Ada seorang mengajarkan, “Jangan membunuh ayam, nanti engkau mati lahir lagi jadi ayam; jangan membunuh kucing, nanti engkau jadi kucing; …” di belakangnya ada seorang anak yang menguntit, dan setelah dia diam, anak itu melanjutkan, “Jangan membunuh manusia, nanti setelah mati engkau lahir lagi jadi manusia.” Jadi tidak apa membunuh manusia, nanti lahir lagi jadi manusia. Di sini kita melihat bahwa logika dari pernyataan agama ini sangat lemah. Sangat berbeda dengan berita firman Tuhan. Firman adalah kebenaran, di mana tidak ada lowongan sedikit pun bersifat kontradiktif.
Kebebasan dan Pembunuhan
Perintah tentang ‘Jangan Membunuh’ berkait dengan berbagai ayat lain seperti “Barangsiapa menumpahkan darah orang lain, darahnya juga akan ditumpahkan.” Ajaran Alkitab sedemikian sempurna dan akurat sehingga satu dengan yang lain saling berkait dengan prinsip yang sama. Inilah firman, kebenaran yang dari Allah. Manusia tidak diperbolehkan membunuh sesamanya karena manusia dicipta menurut peta teladan Allah.
Memang Allah memberikan hak kebebasan kepada manusia yang sedemikian besar. Sebegitu besar kebebasan yang Allah berikan hingga bisa dipergunakan dengan semena-mena. Adam jatuh ke dalam dosa karena Adam telah menggunakan kebebasan yang Allah berikan untuk melawan Allah pemberi kebebasan itu. Ini sungguh suatu ironi.
Manusia dicipta mirip Allah, memiliki kuasa, kebebasan, dan keinginan yang luar biasa. Bedanya, Allah meletakkan kebebasan-Nya di dalam seluruh atribut-Nya. Kebebasan-Nya tidak pernah melawan kasih-Nya, keadilan-Nya, kesucian-Nya, dan kebenaran-Nya. Itu sebab, kebebasan Allah tidak pernah menyimpang. Sementara manusia tidak mau meneladani Allah dalam hal mengikat kebebasannya yang sedemikian besar. Maka manusia akhirnya menyimpang, memakai kebebasannya, haknya, kepandaiannya, untuk melawan Allah, yang adalah pemberi anugerah bagi hidup-Nya. Itulah kebebasan manusia yang akhirnya membinasakan dirinya. Mati berarti terpisah dari Allah, sumber hidup yang sejati. Itulah orang yang terlepas dari Tuhan, yang kehilangan fondasi dan standar hidup sehingga mungkin saja membunuh orang lain.
Perjanjian Lama memaparkan tiga kasus pembunuhan:
1. Kain, anak Adam, membunuh Habel, adiknya. Seharusnya Kain mengasihi dan melindungi Habel, adiknya. Tetapi kebencian akibat iri hati telah membuat Kain membunuh Habel. Ketika setan menanam bibit benci di dalam hati, engkau mulai tidak suka pada orang itu. Kalau kita mencintai seseorang, kita bersedia mengampuni semua kelemahannya, mau mengerti dia. Tetapi ketika sudah benci, kita akan mencari kesalahannya. Ketika kebencian itu dipicu oleh iri hati karena dia lebih pandai, lebih kaya, lebih cantik, lebih sukses, dan lain-lain, dan akhirnya merasa keberadaannya menjadi ancaman bagimu, hal-hal seperti ini bisa membuahkan pembunuhan karena kita ingin mengenyahkan dia. Kebencian membuat kita tidak bisa lagi melihat manusia dari sudut pandang Tuhan. Kalau kita melihat manusia menurut kacamata Tuhan, maka kita akan segera tahu bahwa setiap orang adalah ciptaan Tuhan, yang membutuhkan Injil, kasih, dan kebenaran. Lalu dari situ kita mulai belajar bagaimana untuk melayaninya. Kita tidak boleh hanya mementingkan diri sendiri. Orang yang sibuk mementingkan diri tidak mungkin bisa melayani Tuhan dengan baik. Seperti Kain melihat Habel bukan sebagai adik, tetapi sebagai musuh dan ancaman baginya. Sekalipun Habel tidak bersalah apa pun kepadanya, ia dibenci. Habel hanya taat menjalankan kehendak Allah karena Habel peka akan firman Tuhan, mengerti pengorbanan penebusan. Tanpa penumpahan darah tidak ada penebusan.
2. Pembunuhan oleh Ahab, raja Israel. Ahab adalah raja yang dikuasai istrinya, Izebel. Maka Ahab hanyalah raja boneka. Ia tidak takut Tuhan dan menyembah Baal dan memelihara empat ratus nabi Baal. Istrinya menyembah Asyera dan memelihara nabi Asyera lebih banyak lagi. Pada saat itu, Elia hidup sebagai nabi yang berdoktrin benar. Elia dengan berani menegur Ahab dan menyatakan tidak akan turun hujan di Israel. Ahab membenci Elia, tetapi ia tidak berani karena Tuhan menyertai Elia. Suatu hari Ahab mengingini sebidang tanah di kotanya. Ternyata tanah itu milik Nabot dan tidak mau dijual karena tanah itu adalah tanah warisan. Ahab pulang dengan murung dan tidak mau makan. Ketika istrinya mendengar hal itu, ia mengirim orang jahat untuk membunuh Nabot dan mengambil tanahnya. Ketika sedang merencanakan penggunaan tanah itu, Elia datang. Ahab malah menuduh Elia sebagai penyebab malapetaka di negaranya. Ini ciri orang berdosa yang tidak mau mengakui dosanya. Maka Elia mengumumkan bagaimana Ahab akan mati dibunuh dan darahnya akan dijilat anjing, dan hal ini sungguh-sungguh terjadi. Allah adalah Allah yang adil.
3. Daud membunuh Uria. Daud begitu terpesona pada kecantikan dan kemolekan tubuh telanjang dari Batsyeba dan ingin tidur dengan dia. Desakan nafsu membuat Daud lupa akan firman Tuhan dan lebih suka memenuhi nafsu bejatnya. Dia merasa bahwa dia raja yang berkuasa dan bukankah raja berhak punya banyak istri. Dia lupa bahwa dia adalah raja yang punya Tuhan dan punya Taurat. Akhirnya, Daud meletakkan Uria, suami Batsyeba di garis depan peperangan yang paling berbahaya, dan Uria gugur sebagai panglima perang yang gagah berani. Dengan cara demikian, Daud bisa mengambil Batsyeba sebagai istrinya, bahkan terkesan berjasa karena menolong janda dari panglimanya yang begitu setia. Tetapi Tuhan mengutus nabi Natan untuk menegur Daud. Natan datang dengan membawa sebuah cerita perumpamaan, tentang orang kaya dengan domba tambun dan petani miskin yang punya domba betina kecil. Lalu orang kaya itu ingin menjamu tamunya dan tidak mau kehilangan dombanya, maka ia mengambil domba betina tetangganya yang miskin itu. Raja Daud marah dan menanyakan siapa orang kaya yang jahat itu. Dan Natan menunjuk pada dirinya Daud. Di sini Natan menyatakan diri sebagai hamba Tuhan yang berani menyatakan kesalahan raja. Tuhan tahu apa yang Daud kerjakan. Daud menangis dan bertobat. Tuhan mengampuni dosanya. Ini sikap yang sangat berbeda dari Herodes yang marah ketika ditegur dosanya oleh Yohanes Pembaptis, dan menjebloskan Yohanes ke penjara dan kemudian memenggal kepalanya.
Tuhan berkata, “Jangan membunuh.” Membunuh tidak menyelesaikan masalah karena keadilan Tuhan akan menuntut pembalasan. Maka, dapatkah Saudara berkata, “Tuhan, tolonglah aku membuang bibit kebencian dari dalam diriku. Jadikan aku pengikut yang meneladani Engkau dan menjalankan perintah-Mu”? Amin.