Di dalam Sepuluh Hukum, hanya hukum kesembilan yang berkaitan dengan kata-kata yang kita ucapkan. Bagi orang Tionghoa, kata-kata lebih ampuh dari pukulan; tetapi tulisan lebih ampuh dari perkataan. Orang yang dipukul secara fisik hanya merasakan sakit sesaat pada fisiknya, tetapi sakitnya kata-kata yang menusuk bisa melukai hati dan terus dirasakan bertahun-tahun lamanya. Namun, tulisan yang memfitnah orang akan dibaca sampai ribuan tahun, sehingga kekuatan merugikannya bisa jauh lebih hebat dari kata-kata. Di sini kita melihat tingkatan yang berbeda-beda dalam mencelakakan orang.
Dalam pergaulan, sering kali kita mengucapkan kata-kata yang salah tanpa kita sadari. Setelah ada yang terluka, kita berusaha menjelaskan bahwa itu bukan maksud kita. Sayangnya tidak sejak awal kita mengemukakan maksud kita dengan jelas. Setelah ada orang yang terlanjur dirugikan – walau tanpa sengaja – barulah kita berusaha memberikan penjelasan yang sudah terlambat waktunya. Pepatah orang Tionghoa mengatakan: “Kata-kata yang sudah kita ucapkan, walaupun ingin ditarik kembali dengan tenaga empat ekor kuda pun tidak akan berhasil.” Jadi, betapa berat risiko yang harus kita tanggung karena satu kalimat yang salah, yang telah menjatuhkan atau merugikan orang lain. Itu sebabnya, Kitab Suci begitu banyak kali mengingatkan kita untuk berhati-hati dalam tutur kata kita, dengan mengekang lidah kita dengan baik. Orang yang tidak mampu mengontrol dirinya tidak mungkin menjadi penguasa dunia. Kemampuanmu mengontrol lidahmu adalah kunci dari kesuksesanmu. Orang yang tidak mampu memilah pernyataan mana yang boleh atau tidak boleh ia ucapkan akan selalu mengundang malapetaka.
Peribahasa Tionghoa mengatakan: “Apa yang engkau makan bisa menyebabkan engkau sakit; dan perkataan salah yang kau katakan akan menyebabkan engkau menderita.” Memang saat itu orang Tionghoa belum mengenal apa itu bakteri, virus, dan lain-lain, tetapi mereka sudah memperkirakan bahwa semua penyakit datang dari mulut. Salah makan menyebabkan kita sakit, itu benar. Lebih dari itu, muncul satu pernyataan di Tiongkok: “Malapetaka justru keluar dari mulut.” Pernyataan ini muncul di zaman kaisar Yongzheng, yang memerintah selama 13 tahun, anak dari kaisar besar di Tiongkok, yaitu Kangxi (memerintah selama 62 tahun), dan ayah dari kaisar Qianlong (yang memerintah selama 60 tahun). Di masa ketiga raja ini, kerajaan dan kebudayaan Tiongkok berkembang luar biasa. Di masa Qianlong, teritori kerajaannya mencakup Heilongjiang, Tibet, dan Rusia. Ia memiliki pasukan tentara yang kuat luar biasa. Pada saat itu ada seorang misionaris Italia yang melayani di istana Tiongkok, yaitu Giuseppe Castiglione (Lang Shining). Ia melayani di zaman pemerintahan ketiga raja tersebut. Teknik melukisnya luar biasa. Ia merombak banyak sistem, konsep, filsafat estetika, dan teknik melukis yang ada di sejarah Tiongkok. Di antara lima puluh lima kaisar dalam sejarah Tiongkok, kaisar Yongzheng yang paling mengerti seni. Tetapi dia adalah kaisar yang begitu keras. Meskipun ada banyak misionaris menginjili dia, bukan saja ia tidak mau menjadi Kristen, tetapi dia bahkan menentang kekristenan. Giuseppe Castiglione memberikan pengaruh besar di Tiongkok melalui seni dan astronomi, yang membuat orang Tiongkok menghargai kekristenan. Yongzheng sangat tegas pada koruptor. Ia memenggal kepala orang yang terbukti melakukan korupsi. Hal itu membuat para koruptor melakukan konspirasi untuk membunuh dia. Padahal pada masa itu, jangankan berkonspirasi membunuh kaisar, orang yang kata-kata atau tulisannya dianggap menyalahi kaisar saja akan ditangkap dan dihukum mati. Di masa itulah muncul perkataan: “Satu kata saja sanggup mengenyahkan sembilan keluarga”, yaitu keluarganya sendiri, empat keluarga pihak suami dan empat keluarga pihak istri. Ini yang menyebabkan pernyataan: “Malapetaka mulai dari mulut.”
Kita telah membahas pernyataan Xenophanes, bahwa alam memberi kita dua telinga, dua mata, tetapi satu mulut, supaya kita banyak melihat dan banyak mendengar, tetapi sedikit berbicara. Pengalaman hidup mengajarkan kita bahwa orang yang banyak berbicara adalah orang bodoh, tetapi orang bijak akan sedikit berbicara. Orang yang banyak berbicara tidak memberi kesempatan orang lain berbicara, sehingga dia kehilangan kesempatan untuk belajar dari orang lain. Ia hanya khawatir orang lain tidak mengetahui bahwa dia pandai, maka dia mengobral semua kepandaiannya untuk memonopoli pembicaraan. Akibatnya, orang seperti ini hanya berbicara hal yang sama, yang itu saja, dan akhirnya pembicaraannya bagai sampah. Orang yang tidak banyak berbicara, memberi kesempatan orang lain mengeluarkan pengetahuannya, sehingga ia bisa terus belajar dan pengetahuannya terus bertambah.
Ketika saya berbicara, meskipun menurut engkau saya banyak berbicara, sebenarnya saya berbicara jauh lebih sedikit dari apa yang saya tahu. Dan apa yang saya tahu, hanyalah sedikit dari apa yang saya baca dan pikirkan. Maka, saya membaca dan memikirkan banyak hal, mencoba mengetahuinya dengan tepat, lalu sebagian dari itu saya bagikan kepada orang di berbagai kesempatan. Tuhan mengajarkan bahwa kita harus mendengar dengan cepat, tetapi lambat berbicara. Cepatlah mendengar, sehingga engkau dapat menerima sebanyak mungkin pengetahuan dalam waktu yang singkat; tetapi jangan banyak bicara, karena pemikiran yang kurang matang justru mengungkapkan kebodohanmu dan membuat orang menghina engkau. Tetapi Xenophanes tidak bisa melihat apa hal yang penting dari penciptaan Tuhan, yang mencipta manusia seperti itu. Manusia adalah penerima yang terbaik. Dia bisa mendengar hal yang benar dan salah, melihat hal yang baik dan jahat, tetapi ketika berbicara kita menyaksikan apa yang benar dan baik.
Tuhan memberikan otak kepada manusia dengan kapasitas yang luar biasa. Otak kita yang kecil ini mampu menampung begitu banyak data. Tuhan tidak pernah mengekang kita dalam menerima data apa pun, termasuk yang jahat, yang tidak benar, yang merugikan. Tetapi ketika engkau bereaksi, engkau harus hanya menyatakan apa yang benar. Abdikan mulutmu hanya untuk kebenaran.
Yesus berkata, “Jika ya, katakan ya; jika tidak, katakan tidak; selebihnya berasal dari si jahat.” Tidak ada filsuf yang mengajarkan pengajaran sekeras Tuhan Yesus. Jika engkau berkata, jangan kompromi sedikit pun. Kalau tidak benar, engkau harus berani menyatakan itu tidak benar. Biasanya manusia punya banyak pertimbangan. Jika kita mengatakan dengan jujur, kita bisa mengalami kerugian, bisa ditampar atau dipecat dari kedudukan kita. Yesus berkata, “Katakan sejujurnya, ya untuk ya, dan tidak untuk tidak.” Inilah kemurnian hati. Suatu kesederhanaan (simplicity) dari sebuah mentalitas hati kita untuk mau menjadi saksi yang benar. Mulut kita hanya untuk mengatakan kebenaran; sehingga kita boleh mendengar atau melihat apa saja dari dua sisi, tetapi hanya berkata tunggal, mengatakan apa yang benar saja. Mulut kita hanya satu, bukan dua seperti mata atau telinga. Ketika semua yang bermakna yang kita katakan itu berkait dengan kehendak Allah yang kekal, maka semua suara, nada, makna, dan kata merupakan hal yang sangat dekat dengan firman kebenaran Allah yang mutlak.
Orang yang betul-betul menyampaikan firman, memakai logikanya untuk membuat teori, lalu mengutarakannya dengan bahasa, di mana bahasa itu dilontarkan lewat suara dan kata-kata yang tepat, maka dia adalah saksi bagi kebenaran. Di sini kita kembali kepada dua teori pemikiran Sokrates, yaitu: 1) Engkau harus mengerti dengan tepat setiap makna kata-kata yang engkau gunakan. Banyak orang menggunakan kalimat yang kata-katanya dia sendiri tidak mengerti dengan tepat, sehingga menimbulkan salah pengertian dari pendengarnya. Kalau kita tidak bisa mendefinisikan satu kata dengan tepat dan baik, jangan pergunakan kata itu. Inilah prinsip dari Sokrates. Celakanya, ada orang yang tidak mengerti, tetapi berani mengatakan dengan keras, bahkan menganggap semua orang tidak tahu, hanya dia sendiri yang tahu. 2) Untuk menyampaikan apa yang kau mau sampaikan, gunakan kata-kata yang tepat. Memang kita tidak mungkin bisa mengutarakan kebenaran dengan sempurna, karena adanya batasan bahasa. Selain itu, kebenaran jauh lebih besar dan lebih sulit dari apa yang mampu diutarakan dengan bahasa. Bahasa adalah sarana untuk kita mengutarakan makna atau perasaan kita. Ketika kita berbicara, kita harus berbicara dari motivasi yang bersih dan murni, dengan tujuan yang jelas, sehingga mulut kita hanya mengabdi kepada kebenaran.
Saya harus hanya mengatakan hal-hal yang benar dan yang sungguh menjadi berkat bagi sesama. Dengan demikian kita membatasi dan mengekang mulut kita untuk tidak berkata-kata secara sembrono. Jika engkau bertemu dengan orang yang bicaranya selalu salah, tidak jujur, tidak peduli merugikan orang lain, tentu engkau enggan berkawan dengannya. Manusia lebih suka berbicara dengan orang yang memberi semangat, membangun, menambah pengetahuanmu. Konfusius berkata, “Bergaullah dengan orang yang memiliki tiga kriteria seperti ini: 1) tulus, lurus, dan tidak berliku-liku; 2) lapang dada, penuh pengertian bahkan mau mengampuni kita; dan 3) punya banyak pengetahuan dan kebenaran yang melimpah. Tetapi engkau harus ingat bahwa untuk itu, engkau harus menjadi orang seperti itu terlebih dahulu, sehingga engkau dapat menjadi kawan orang-orang seperti itu. Yesus memberikan kepada kita suatu perintah yang berkenaan dengan mulut kita, yaitu, “Hanya bersaksi bagi Kebenaran.” Semua yang lain itu dari si jahat. Maka, di dalam gereja harus ada ciri yang khas, yaitu mulut-mulut yang ada mengabdi kepada kebenaran. Kalau ribuan orang yang mendengar khotbah setiap minggu berjanji dan bertekad dalam hati untuk hanya memakai mulutnya bersaksi bagi kebenaran, mau taat, dan menjadi berkat bagi masyarakat, maka dunia akan menjadi indah.
Hukum kesembilan mengatakan jangan mengucapkan saksi dusta tentang sesama kita atau jangan mencela orang dengan kata-kata yang tidak benar. Jika kita memiliki motivasi mau merugikan atau mencelakakan orang lain, kita sudah diperalat oleh Iblis, di mana kita telah mempersembahkan lidah kita sebagai instrumen kejahatan. Kata-kata yang keluar dari mulut kita ada kaitannya dengan Tuhan, sesama, setan, rencana Allah, atau rencana Iblis. Di dalam cerita Ayub, kita melihat bahwa kesepuluh anak Ayub juga adalah anak istrinya. Tetapi ada reaksi yang sangat berbeda, ketika Tuhan mengambil anak-anak mereka. Istri Ayub tidak tahan. Ia marah sekali dan mengecam Ayub. Tetapi Ayub menjawab, “Yang memberi adalah Tuhan; yang mengambil kembali juga Tuhan. Terpujilah Tuhan.” Alkitab mencatat bahwa mulut Ayub menjadi saksi kebenaran. Ini menunjukkan bahwa dia berada di dalam rencana Allah yang kekal dan ia dikuasai oleh Roh Kudus. Bagaimana dengan istrinya yang berkata, “Tinggalkan saja Tuhanmu. Untuk apa engkau melayani Dia, tetapi semua anak-anakmu diambil-Nya?” Kita melihat bahwa setiap kali orang melawan dan marah kepada Tuhan, dia menganggap logikanya begitu kuat. Tetapi kata Ayub, “Mengapa engkau berkata-kata seperti perempuan bodoh?” Ketika Ayub menikah dengannya, ia tidak tahu bahwa istrinya begitu bodoh. Ia hanya tahu istrinya begitu cantik. Dia tidak menduga bahwa setelah anak-anak mereka mati, mulutnya menjadi alat setan. Ketika Tuhan memberi anak, tidak bersyukur; ketika diambil kembali, marah-marah. Ayub sangat menekankan kedaulatan Allah. Inilah yang menjadi kunci Theologi Reformed. Ia sangat mengerti sola gratia (segala anugerah hanya dari Allah saja). Pengertian istri Ayub sangat berorientasi pada diri dan berkat. Ini tidak sejalan dengan pengertian Alkitab yang benar yang dimengerti Theologi Reformed. Ada orang yang ketika bertemu dengan saya berkata bahwa dia masih jengkel kepada Tuhan, mengapa Tuhan mengambil anaknya. Tuhan memanggil anak itu sehingga anak itu sekarang berada di tempat yang terbaik, tempat yang jauh lebih mulia dan bahagia. Orang itu tidak mengerti dan tidak mau mengerti. Dia hanya melihat semua hal dari pikirannya sendiri yang egois. Banyak pasangan suami istri yang ketika dalam keadaan senang melupakan anugerah Tuhan. Sampai suatu saat ada kesusahan atau kemalangan terjadi, mereka tiba-tiba marah kepada Tuhan. Saya berpikir, apakah jika Tuhan memvonis hidup saya sisa dua bulan, saya harus marah-marah kepada Tuhan? Tidak. Saya justru harus menggunakan enam puluh hari itu untuk bekerja melayani Tuhan dengan sebaik-baiknya, membagikan traktat di pinggir jalan dan memberitakan Injil kepada sebanyak mungkin orang.
Jadi, hidup kita harus diabdikan untuk kebenaran, bukan untuk diri kita sendiri. Tidak ada hak bagi kita untuk menuntut agar Tuhan memenuhi keinginan kita. Bahkan saya tidak akan meminta sesuatu sebagai syarat untuk saya mau mengakui Dia sebagai Tuhan. Tuhan Mahakuasa berarti Dia berhak melakukan apa saja bagi diriku, seturut apa yang Dia inginkan. Kita hanya perlu taat kepada-Nya. Kita tidak boleh menuntut Tuhan menjadi pelayan kita. Bukan kehendakku yang jadi, kehendak-Mu yang jadi. Inilah teladan yang Yesus berikan ketika Dia berinkarnasi di tengah dunia ini. Dia melayani dengan berkorban tanpa pamrih. Dia rela diatur oleh Bapa-Nya, bahkan sampai diatur bagaimana Dia akan mati dengan begitu sengsara. Dia tidak membela Diri-Nya. Itulah sebabnya Dia disebut sebagai orang yang agung. Orang yang menuntut Tuhan melayani dia, di mana dia hanya mau mengakui Tuhan jika Tuhan mau menuruti keinginannya, adalah orang yang sangat kurang ajar. Mulut kita harus menjadi bejana yang memuliakan Tuhan, khususnya ketika Tuhan sedang mengizinkan ujian, penderitaan, penganiayaan menimpa kita. Pada saat-saat seperti itu, Tuhan menanti dan ingin menyaksikan apa yang menjadi reaksi yang keluar dari mulut kita.
Terkadang kita memang tidak berniat merugikan orang, tetapi ketika kita tidak betul-betul membiarkan kehendak Tuhan yang kekal, pimpinan Roh Kudus, dan kebijaksanaan firman, serta motivasi penyangkalan diri dan kerinduan memuliakan Tuhan mengontrol mulut kita, mungkin kita bisa membawa malapetaka bagi orang lain. Suatu kali, seorang nenek yang berusia hampir 80 tahun duduk di kereta api yang membawanya ke kota paling timur di Rusia, melewati daerah paling dingin di bumi yaitu Siberia. Nenek ini bicara kepada pemuda di depannya, bahwa ia mau turun di desa tertentu, minta pemuda itu membangunkannya. Pemuda itu baik hati, jadi dia dengan hati-hati menghitung stasiun yang dilewati. Maka ketika sudah hampir tiba, pemuda ini membangunkan nenek tadi dan mengatakan bahwa di pemberhentian berikut nenek itu harus turun. Nenek itu patuh. Ketika kereta berhenti, maka turunlah nenek itu sesuai anjuran pemuda tadi, dan kereta lanjut berjalan. Ketika kemudian kereta itu berhenti, pemuda ini terkejut, karena di stasiun terbaca bahwa inilah stasiun yang dituju oleh nenek itu. Berarti nenek itu telah turun di tempat yang salah. Keadaan yang sangat dingin membuat nenek tadi mati. Memang pemuda ini tidak bermaksud mencelakakan nenek itu, tetapi kesalahan informasi yang ia berikan telah membuat nenek itu mati. Ketika saya membaca cerita ini di usia dua puluhan, saya bertanya dalam hati saya: seumur hidup, berapa kali karena ketidak-hati-hatian, kita mengatakan sesuatu kata yang salah, yang mencelakakan orang lain? Memang bukan dengan motivasi yang jahat. Namun, sekalipun dengan niat baik, tetapi kalau pengertian kita salah dan tidak tepat, kita bisa mencelakakan orang lain. Pemuda itu tidak bermaksud mencelakakan nenek itu, tetapi faktanya nenek itu mati. Itu terjadi karena dia melakukan kesalahan yang tidak ia sadari. Itu sebabnya, saya selalu mencoba mengingatkan diri sendiri bahwa sebagai orang Kristen kita harus menuntut kebenaran yang sungguh-sungguh akurat, sehingga setiap kata yang keluar dari mulut kita dikatakan dengan jujur, bermotivasi baik, dan dipimpin oleh Roh Kudus. Jika dengan motivasi yang jujur saja orang masih bisa berbuat salah, betapa besarnya dosa orang yang sengaja berkata-kata dengan motivasi yang jahat.
Janganlah mengucapkan saksi dusta, jangan mengatakan kata-kata yang salah, yang mendatangkan malapetaka bagi orang lain. Kiranya kita bisa terus mendalami hukum ini dan menjadi orang yang bijak dan bajik, yang tahu mengontrol tutur kata kita. Amin.