Reformasi adalah sebuah peristiwa penting dalam sejarah Kristendom. Saya menggunakan istilah “Kristendom” untuk menjelaskan tentang organisasi dan denominasi gereja yang terlihat. Bagi kelompok Protestan, hal ini merupakan sebuah pembaharuan iman untuk kembali kepada Kitab Suci. Bagi kelompok Katolik Roma, hal ini cenderung dipandang sebagai sebuah “perpecahan gereja”. Banyak di antara kita, khususnya yang memegang theologi Reformatoris, yang memulai “sejarah kekristenan”-nya dari masa ketika Martin Luther mengetuk 95 tesis. Protes terhadap indulgensia (surat penghapusan dosa) dan doktrin Purgatori merupakan hal-hal yang dipandang sah untuk mengembalikan gereja kepada tradisi asal-usulnya. Namun, sebelum ada Luther, apakah Kristendom sudah mempunyai surat “tebus dosa” dan Purgatori? Sebelum adanya Reformasi Protestan, apakah ada orang-orang yang muncul untuk menegur gereja? Dengan menggunakan cara pandang sejarah, saya akan mencoba mengupas permasalahan Kristendom khususnya pada masa Abad Pertengahan menuju Reformasi, dan membawanya ke dalam relevansi hari ini.
Sejarah Katolik Roma
Pertama-tama, saya ingin mengajak kita semua untuk mengambil sudut pandang “Katolik Roma” terlebih dahulu. Pada zaman dahulu kala, yaitu pada masa ketika gereja menjadi contoh yang baik, gereja Katolik mempunyai tokoh-tokoh besar seperti Agustinus dari Hippo (354-430) yang menjadi bapak gereja Protestan. Martin Luther dan John Calvin, “duet maut” tokoh reformator banyak merujuk kepada Agustinus dalam mengembalikan makna iman Kristen. Lalu, ada juga seorang paus raksasa seperti Gregory The Great (540-604) yang meneruskan tradisi Kristen dari ajaran Agustinus, membangun liturgi dan disiplin rohani seperti yang dikenal oleh saudara-saudara Katolik hari ini, berkhotbah dan mengirim misionaris untuk menyebarluaskan iman Kristen. Inggris menjadi Kristen-Katolik pada masanya. Perlu diperhatikan bahwa masa-masa ini merupakan “zaman emas” dalam gereja Katolik, dan banyak sekali tradisi baik yang dapat dipelajari. Namun, setelah kematian Paus Gregory The Great, jarang muncul pemimpin ataupun tokoh iman yang sebesar mereka. Gereja tertidur dalam permasalahan organisatoris (birokrasi), terpisahnya kaum rohaniwan dan kaum awam, dan kisah iman tidak lagi disuarakan dengan jelas di tengah masyarakat Eropa Barat selama ratusan tahun berikutnya.
Perlu diperhatikan bahwa Gereja Katolik Roma dibangun atas dasar budaya Roma. Kekaisaran Romawi mempunyai sistem organisasi yang sangat rapi. Kaum elite (patrician) menduduki birokrasi dan rakyat (plebeian) menduduki posisi sebagai “wong cilik”. Ketika kekaisaran Romawi “kawin” dengan kekristenan pada zaman Kaisar Konstantin, pada satu sisi itu menghentikan persekusi terhadap gereja dan mampu membentuk dasar-dasar doktrin pertama dalam berbagai pertemuan oikumenis. Di sinilah ajaran-ajaran sesat dapat dilawan; Arianisme, Nestorianisme, dan kawan-kawannya ditepis oleh gereja. Di sisi lain, banyak orang Eropa-Romawi yang “asal baptis” untuk bisa menduduki posisi sebagai pejabat politik. Kekristenan bukan lagi menjadi sebuah gerakan iman, melainkan sebuah “agama populer”. Pada dasarnya, orang Romawi lebih suka dengan mitos-mitos dan para dewa. Dengan masuknya Kristen sebagai agama sinkretis, para dewanya digantikan dengan “orang-orang kudus” yang dipopulerkan di tengah masyarakat.
Jadi, ketika gereja tidak lagi bersuara dan memberitakan firman, maka secara otomatis masyarakat akan lebih dekat dengan “horoskop-horoskop” yang lebih populer dan dekat dengan mereka. Ingat, pada saat itu, literasi masih sangat rendah. Stok Alkitab masih sangat minim untuk bisa dibaca oleh kalangan umum. Jadi, antara kisah Alkitab dan kisah mitologi, itu hampir tidak dapat dibedakan. Jika masyarakat tidak mendengar firman, hampir dapat dipastikan mereka akan mencari kisah yang lain. Selama manusia adalah makhluk spiritual yang mencari makna dan jaminan hidup setelah kematian, dia akan terus mencari. Sayangnya, karena gereja makin sibuk dengan “birokrasi ala Roma” dibandingkan memberitakan Injil, masyarakat akan kabur mencari kisah-kisah lain. Salah satu kepercayaan yang paling kuat adalah Gnostisisme dan mistisisme seperti yang disebarkan oleh kaum Katars. Inilah kelompok “New Age” ala Abad Pertengahan. Dan masyarakat pada zaman itu (dan sekarang) doyan dengan ajaran seperti ini. Pada intinya, Gnostisisme dan mistisisme tidak menekankan realitas dosa manusia, melainkan memberikan “nuansa pemanis” bahwa manusia pada dasarnya baik: bisa percaya dan merasa dekat kepada “Tuhan”, tetapi tidak bertobat, mengaku dosa, dan menyadari diri sebagai orang yang membutuhkan keselamatan.
Proto-Reformasi
Dengan berjalannya waktu, gereja bukan lagi sebuah persekutuan orang beriman, tetapi lebih dekat dengan organisasi. Katolik Roma menjadi lebih dekat dengan Roma daripada Katolik, dan di mana sistem Roma bekerja, di situ korupsinya besar, sebagaimana para kaisar dan senat yang memersekusi orang Kristen pada zaman Gereja Mula-mula juga terjebak dalam lingkaran korupsi. Pada akhirnya, banyak calon biara yang ditekan dan dipaksa untuk tunduk dalam sistem institusi gereja yang korup. Di antara mereka yang mencoba dengan sekuat tenaga untuk melawannya adalah Santo Fransiskus Asisi (1181-1226) dan Santo Thomas Aquinas (1225-1274). Mereka adalah “romo biasa”, yaitu rohaniwan pada tingkat terendah secara birokratis. Mereka bukan paus, kardinal, uskup agung, atau uskup, melainkan “gembel” dan “guru dan penulis” yang menolong orang-orang miskin dan mengajar para calon biara. Menurut tradisi, kedua tokoh iman ini mengalami mimpi dan penglihatan dari Tuhan sendiri yang membuat mereka bekerja segiat mungkin untuk melayani Tuhan.
Dalam sebuah kisah, Fransiskus Asisi bertemu dengan Paus Innocent III, dan kode etik yang disiapkan olehnya dalam membangun ordo Fransiskan membuat kaget sang paus. Banyak “birokrat gereja” yang mengejar kekayaan, dan mereka tidak sanggup untuk menjalankan tuntutan Fransiskus. Para biara Fransiskan nantinya mengabarkan Injil, bahkan sampai ke Beijing. Pemikiran Thomas Aquinas menjadi dasar bagi tersusunnya filsafat Kristen yang sangat bersumbangsih bagi perkembangan ajaran di Kristendom. Baik orang Katolik maupun Protestan pasti sangat menghormati kedua tokoh ini. Banyak tokoh iman yang besar yang sebetulnya juga “muak” dengan birokrasi gereja yang korup. Tidak harus seseorang “naik ke atas” untuk menjadi contoh. Malah, kedua tokoh ini menunjukkan bahwa seseorang yang berhati murni biasanya tidak tertarik dengan kekuasaan. Paus berganti paus, kardinal berganti kardinal, tetapi tokoh iman akan dikenang senantiasa. Sebelum ada reformasi Protestan, sebetulnya sudah ada “reformasi internal” oleh tokoh-tokoh seperti ini.
Gereja Menjadi Korup
Walau demikian, tokoh-tokoh seperti ini tidak selalu ada. Pada akhirnya, urusan organisatoris dan korupsi di dalamnya tetap merajalela. Banyak rohaniwan yang melakukan nepotisme dengan memberikan jabatannya kepada anak. Uang gereja dipakai untuk urusan keluarga. Lagi pula, para paus yang terpilih biasanya dilantik oleh raja setempat sehingga konflik antara agama dan politik menjadi kental. Oleh karena itu, muncullah seorang paus bernama Hildebrand (1020-1085) yang mencoba untuk “merapikan” gereja. Dialah yang mencetuskan sistem kardinal; hanya kardinal yang boleh memilih paus, dan bukan raja. Paus ini juga mendorong agar para imam hidup selibat agar para raja menaruh “hormat” kepada mereka yang tidak menikah, dan itu sekaligus memangkas permasalahan personal dari birokrasi gereja. Imam tidak lagi berurusan dengan keluarga, tetapi all out memikirkan urusan gereja. Namun, jangan salah. Sebagai manusia berdosa, ketika seorang laki-laki tidak diberikan jalur untuk mendapatkan baik harta maupun wanita dalam kehidupan selibat, satu-satunya yang akan dia kejar adalah takhta. Dan karena dia hidup sendirian, dia lebih “bebas” melakukan hal-hal yang jahat tanpa memikirkan konsekuensi terhadap keluarganya sendiri.
Masuk ke masa Perang Salib, pada tahun 1274 di Konsili Lyon (Prancis), terjadi beberapa hal yang mengubah gereja lebih dalam lagi. Pertama, para rohaniwan Katolik harus selibat. Kedua, dicetuskannya doktrin mengenai Purgatori yang nantinya melahirkan permasalahan indulgensia (surat penebus dosa). Gereja yang terlibat dalam peperangan membutuhkan uang, dan dari doktrin serta praktik korupsi inilah, semuanya menjadi makin parah. Para raja berperang, kehabisan uang, dan para birokrat gereja menjadi makin berkuasa dan korup. Dan dari sinilah kita dapat melihat bahwa agama yang paling berbahaya sebetulnya adalah kekristenan. Jangan kira gereja adalah tempat yang aman. Kalau di tempat mafia, serigala bertampang serigala itu cukup bisa dipahami dan dilawan. Akan tetapi, kalau di tempat ibadah, ada serigala berbulu domba atau bahkan berbulu penggembala, itu jauh lebih mengerikan. Kuatnya hierarki Roma dan feodalisme Eropa Barat membuat rakyat jelata tidak dapat berbuat apa-apa. Rakyat yang sudah terbiasa dengan Gnostik-mistisisme, ajaran bahwa kita perlu “memurnikan diri tanpa Tuhan”, justru menjerumuskan diri ke dalam indulgensia (surat penebusan dosa) dan lupa akan makna Injil yang menyelamatkan manusia dari dosa. Injil keselamatan dilecehkan menjadi transaksi cicilan properti di kehidupan selanjutnya.
Gereja Protestan dan Perkembangannya
Itulah sebabnya dalam reformasi gereja Protestan, makna keselamatan yang asali dibukakan kembali. Luther menitikberatkan pada otoritas Kitab Suci, dan bukan budaya-budaya yang tidak jelas. John Calvin menitikberatkan bahwa gereja harus bersifat prebister atau “demokrasi gereja”. Justru karena mereka berdua adalah “Katolik taat”, bahkan sangat taat, maka mereka melakukan kritik besar terhadap gereja ketika banyak orang tertidur dan berlaku munafik. Luther adalah seorang biara Agustinian, sedangkan Calvin adalah pembelajar hukum dan orang awam. Bagi mereka, gereja bukan milik rohaniwan (Kristen patrician) saja, tetapi juga milik kaum awam (Kristen plebeian). Sistem penatua (“legislatif gereja”) dipandang sebagai penyeimbang terhadap kelompok pendeta (“eksekutif gereja”). Di situlah sistem check and balance yang dikemukakan oleh John Calvin berfungsi untuk melindungi gereja dari penggunaan kekuasaan yang merusak (abuse). Sistem ini juga yang nantinya menjadi cikal bakal terbentuknya sistem Trias Politica (pembagian kekuasaan) dan demokrasi di negara-negara modern sebagaimana dikemukakan oleh John Locke dan para pemikir politik modern.
Walau demikian, apakah gereja hari ini “kebal” dari korupsi-korupsi yang dilakukan oleh manusia? Jawabannya adalah “tidak”. Selama kita masih hidup di muka bumi sebagai manusia berdosa, kita akan berhadapan dengan fakta dan realitas ini. Mungkin saja, bagi kaum Protestan, kita tidak lagi mengikuti “budaya Roma” dan birokrasinya. Akan tetapi, ada di antara kita yang menitikberatkan hal-hal lain yang tidak bersifat alkitabiah. Jangan kira bahwa permasalahan ini hanya terjadi di Gereja Katolik Roma, yaitu “mereka-mereka di sana”. Jikalau Gereja Katolik Roma yang merupakan denominasi terbesar dalam Kristendom dapat jatuh, maka setiap denominasi dan organisasi gereja tetap bisa mengalami kejatuhan yang serupa. Sebagai contoh, budaya entertainment Amerika yang memasuki gereja melahirkan Prosperity Gospel. It is more an entertainment business than a church. Ada juga di antara kita yang gerejanya melakukan sinkretisme dengan budaya feodalisme Tionghoa dan “kekaisarannya”. Dengan demikian, gereja bekerja seperti sebuah bisnis dan kerajaan keluarga. Ada juga di antara kita yang melakukan sinkretisme dengan budaya feodalisme Jawa yang bernuansa “asal bapak senang”, “budaya adat Batak”, dan lain sebagainya sehingga gereja menjadi “amburadul”.
Hal ini bukan berarti kita harus melarang budaya dalam gereja, tetapi jangan sampai Kristus digantikan dengan berhala budaya manusia yang berdosa. Budaya Yahudi memberikan kedekatan persekutuan tetapi memiliki superioritas ras. Budaya Romawi memberikan struktur birokrasi yang rapi tetapi ada korupsi. Budaya Tionghoa memberikan semangat kerja keras tetapi ada masalah dalam peruangan dan senioritas. Budaya Jawa ada kesantunan dan keharmonisan tetapi ada persona people pleasing serta mistisisme yang cenderung menggeserkan iman. Budaya Batak ada ketegasan tetapi juga gengsi kemargaan, dan lain sebagainya. Saya percaya setiap orang pasti relate dengan kelemahan-kelemahan yang ada dalam gereja kita masing-masing. Setiap budaya ada baiknya, dan itu dapat membuat kita saling melengkapi. Tetapi jika budaya tersebut bertentangan dengan prinsip firman yang menjadi otoritas tertinggi (sola Scriptura), itu harus dikoreksi. Kita tidak boleh membenarkan kesalahan. Kebenaran tidak memberi ruang toleransi terhadap dosa, tetapi membebaskan kita untuk saling memperbaiki dan melengkapi dalam kasih sebagai anak-anak milik Tuhan. Di mana ada hal yang diberhalakan, ada manusia yang dipandang “lebih baik dan buruk” (anak emas dan anak kambing hitam), dan itu sangat merusak gereja. Tuhan menginginkan kita semua untuk menjadi anak-Nya, dan bukan menjadi objek milik manusia untuk melestarikan suatu budaya dari kerajaan manusia.
Makna Reformasi
Reformasi tidak berhenti pada Abad Pertengahan atau pada masa modern. Reformasi harus terus dijalankan sampai hari ini. Apabila kita sudah merasa “puas” atau merasa “superior” sebagai satu-satunya penerus Reformasi, sejujurnya kita sedang jatuh dalam delusi. Selama kita tidak mempunyai sikap hati yang jujur, jangan-jangan kita sendiri yang akan dibuang. Tuhan tidak butuh gereja yang besar. Setiap batu di Bait Allah Salomo dan Yerusalem saja bisa dicopot. Tuhan tidak butuh “kaum birokrat gereja” yang merasa diri lebih baik. Tuhan bisa mengangkat batu-batu dan anak kecil menjadi tokoh iman. Tuhan juga tidak butuh “koleksi orang-orang suci” yang dipopulerkan seperti “dewa-dewa/shio-shio horoskop” yang diberhalakan. Tuhan juga tidak butuh “populasi jemaat” yang besar sebab kita hanyalah debu. Tuhan juga tidak butuh budaya nenek moyang, malah sering sekali itulah yang menjadi penghambat kita mengenal Tuhan. Yang Tuhan inginkan adalah relasi personal dengan kita. Di akhir nanti, kita tidak dapat berlindung di belakang paus, kardinal, uskup, imam, pendeta, pendeta senior, penatua, hamba Tuhan, tokoh suci, nama nabi ini ataupun itu, saat berhadapan dengan Tuhan Yesus di penghakiman akhir. Di mata Tuhan Yesus, kita semua sama saja, dan setiap orang akan dituntut pertanggungjawaban secara personal atas imannya di hadapan takhta Tuhan (coram Deo).
Setelah Yesus tiba di daerah Kaisarea Filipi, Ia bertanya kepada murid-murid-Nya: “Kata orang, siapakah Anak Manusia itu?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia dan ada pula yang mengatakan: Yeremia atau salah seorang dari para nabi.” Lalu Yesus bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Simon Petrus: “Engkau adalah Mesias, Anak Allah yang hidup!” Kata Yesus kepadanya: “Berbahagialah engkau Simon bin Yunus sebab bukan manusia yang menyatakan itu kepadamu, melainkan Bapa-Ku yang di sorga. Dan Aku pun berkata kepadamu: Engkau adalah Petrus dan di atas batu karang ini Aku akan mendirikan jemaat-Ku dan alam maut tidak akan menguasainya. (Matius 16:13-18)
Pertanyaan yang diberikan oleh Tuhan Yesus tidak menuntut kita untuk memberikan jawaban theologis, filosofis, tradisionalis, atau sesuatu yang diambil menurut tokoh ini ataupun itu, kebiasaanku atau budaya nenek moyangku. Semuanya itu tidak menunjukkan diri kita Kristen. Yang membuat kita menjadi pengikut Kristus adalah kalau kita mempunyai relasi personal dengan-Nya, inilah yang disebut iman dalam kisah Injil. Di atas batu karang, yaitu pengakuan iman bahwa “aku milik Tuhan, dan Tuhan milik aku, melalui kematian dan kebangkitan Tuhan Yesus sebagai Mesias Juruselamat”, kita menjadi bagian keluarga dan warga Kerajaan Allah. Pengakuan bahwa kita adalah umat milik Allah dalam Tuhan Yesus adalah dasar kehidupan gerejawi. Seseorang bisa lahir di keluarga Kristen dan gereja, dibaptis dari kecil, mengikuti segala tata ibadah dan upacara religius, tetapi selama dasarnya tidak diletakkan atas iman dan keselamatan semata-mata karena anugerah Allah, semua ritus ibadah dan pelayanan hanyalah sebuah kebiasaan kosong dan alam maut akan menghancurkannya.
Itulah sebabnya Reformasi diadakan, dan akan senantiasa dilakukan sampai hari ini. Selama kita hidup di muka bumi dan sebelum Yesus datang kedua kali, gereja kita pasti terbatas. Kesadaran bahwa “gereja pasti mempunyai dosa dan kelemahan, maka kita perlu Kristus” adalah sebuah kerohanian yang sehat. Sebaliknya, ketika kita senantiasa melakukan “glorifikasi” terhadap kehebatan gereja, prestasi, dan warisan-warisan yang akhirnya membuat kita lupa akan Kristus, kita sedang menipu diri sendiri. Bagaikan sebuah “duri dalam daging”, yaitu adanya sebuah unsur tidak sempurna di rumah Allah, demikianlah tubuh Kristus yang lemah dan terbatas. Namun, justru melalui kelemahan dan keterbatasan inilah kita disadarkan kembali untuk terus bergantung kepada Allah. Hanya dengan demikian, gereja akan diingatkan akan jati dirinya sebagai milik Tuhan.
Kevin Nobel Kurniawan
Pemuda GRII Pusat
Pengasuh Rubrik Isu Terkini
19 Oktober 2023
Perlu dicatat bahwa istilah “sola Scriptura” adalah “Kitab Suci sebagai otoritas tertinggi” yang turut mengakomodir tradisi gereja, dan bukan meniadakannya sama sekali. Sebaliknya, “solo Scriptura” menandakan bahwa hanya boleh ada Kitab Suci, dan setiap tradisi perlu ditiadakan. Dengan kata lain, semangat Reformasi menunjukkan bahwa tradisi harus tunduk kepada firman Tuhan, dan bukan “firman Tuhan” harus menghapus semua tradisi. Kecenderungan untuk masuk ke dalam “solo Scriptura” dapat digunakan untuk memasukkan interpretasi pribadi sambil mengatasnamakan “Kitab Suci saja yang penting”.