Introduksi
Kita saat ini hidup di dalam era global di mana ada keterkaitan, konektivitas, dan kompleksitas relasi yang begitu tinggi, sekaligus semakin derasnya kemungkinan-kemungkinan perubahan, ketidakpastian, dan risiko-risiko yang mungkin dihadapi. Hal ini tentunya memiliki signifikansi dan pengaruh yang sangat besar terhadap seluruh lapisan masyarakat dan institusi-institusi yang ada. Tidak peduli orang muda atau tua, kaya atau miskin, laki-laki ataupun perempuan, di kota atau di desa, terpelajar ataupun kurang terpelajar, pengaruh ini bisa dirasakan jelas mulai dari setiap individu, keluarga, gereja, sekolah, universitas, perusahaan-perusahaan, negara, dan sampai level kawasan regional, bahkan global.[1]
Dahsyatnya guncangan-guncangan ini bisa kita lihat dari krisis finansial global yang semakin hebat dan sering terjadi, volatilitas harga komoditas dan mata uang, pesatnya arus inovasi dan kemunculan berbagai disruptive technology, virus dan gejala penyakit yang menjadi epidemik secara global, kecelakaan transportasi baik darat, laut, dan udara, ketidakstabilan politik yang bisa mengakibatkan derasnya arus demonstrasi, sampai kepada aksi-aksi kekerasan dan terorisme yang sangat meresahkan masyarakat. Tidak heran dengan kondisi seperti ini, sangat banyak orang yang menjadi begitu ketakutan, paranoid, resah, gelisah, bahkan depresi. Manusia menjadi begitu takut dan berusaha menghindar dari segala risiko dan ketidakstabilan yang ada. Manusia sudah begitu “kelaparan” untuk mendapatkan sesuatu yang dapat dijadikan pegangan/pijakan yang tidak tergoncangkan.[2]
Risiko dan Reaksi
Risiko (risk) bisa dimengerti sebagai kemungkinan akan terjadinya kebahayaan atau kehilangan sesuatu di masa depan. Kehilangan di sini dapat berupa materi, kesehatan, status sosial, keadaan emosi, bahkan nyawa manusia. Dari perspektif finansial/ekonomi, risiko bisa dimengerti sebagai perbedaan (gap) antara hasil yang didapatkan (actual) dan yang diharapkan (expected) dari suatu investasi. Risiko bisa saja sudah dikalkulasi dan diperhitungkan, atau justru sama sekali belum dipersiapkan sebelumnya. Dari sudut pandang ini, tidak heran dalam aspek investasi, perhitungan dan proyeksi risiko menjadi suatu hal yang begitu krusial, kompleks, dan ditangani dengan begitu serius dan sistematis. Risiko-risiko dibagi lagi dalam berbagai macam klasifikasi yang lebih detail, seperti interest rate risk, credit risk, taxability risk, inflationary risk, exchange rate risk, dan market risk. Aspek identifikasi, analisis, kalkulasi, proyeksi, dan penanganan risiko pada akhirnya tercakup dalam satu bidang besar, yakni risk management.[3]
Saat ini ada begitu banyak reaksi dan tawaran solusi dalam menghadapi dan mempersiapkan diri untuk menerima risiko. Variasinya begitu beragam, mulai dari level personal, perusahaan/institusi, sampai kawasan global dan regional. Dalam level personal, kita tentunya sudah tidak asing lagi dengan produk-produk asuransi. Aspek yang dicakup oleh asuransi sudah sangat beragam, baik itu kesehatan, hidup, kendaraan, transportasi, dan bencana alam. Dalam level institusi regional dan global, sangat diperlukan Lender of Last Resort yang memiliki peranan penting dalam menyediakan pinjaman/kucuran dana, terutama saat situasi sulit dan krisis. Biasanya peranan ini dijalankan oleh bank-bank sentral dan IMF. Secara esensi, terdapat kesamaan dalam penanganan risiko baik dalam level individu, regional, maupun global. Yakni ada pihak-pihak yang siap menanggung atau memberikan jaminan/insentif/bantuan jika terjadi risiko-risiko atau bencana yang tidak diinginkan. Di saat yang sama, kita juga tahu ada efek negatif yang akan terjadi, yang biasanya disebut moral hazards. Ini adalah situasi ketika seseorang atau suatu institusi akhirnya bertindak ceroboh atau mengambil terlalu banyak risiko karena merasa ada pihak yang siap menjamin atau menanggung risikonya.
Dengan kompleksitas dan signifikansi yang begitu tinggi dalam menangani risiko, tidak heran saat ini begitu banyak perusahaan dan institusi yang mencari orang-orang yang kompeten dalam mengalkulasi dan melakukan manajemen risiko. Tidak peduli perusahaan/institusi itu bergerak di bidang teknologi, perbankan, komunikasi, sektor publik, manufaktur, turisme, sampai pendidikan, posisi-posisi dalam bidang risk management selalu terbuka lebar. Misalkan saja IT risk assurance, credit risk monitoring analyst, risk portfolio manager, security risk consultant, market risk analyst, dan risk-compliance manager. Kita juga sadar, reaksi-reaksi yang terlalu berlebihan terhadap risiko bisa memberikan pengaruh buruk terhadap suatu masyarakat/komunitas. Masyarakat tersebut bisa menjadi terlalu ketakutan secara tidak wajar, selalu cari aman (khususnya bagi diri sendiri), dan sama sekali menghindari segala risiko, bahkan yang kecil sekalipun. Masyarakat dengan kondisi seperti ini akan sulit dalam mengalami terobosan, inovasi, dan relasi yang saling terbuka dan mengasihi. Dalam konteks Singapura, kondisi ini biasanya disebut kiasu (怕输 – takut kehilangan) dan kiasi (驚死 – takut mati). Kita bisa bandingkan juga kondisi ini dengan cerita orang Samaria yang baik hati. Yakni bagaimana ia merisikokan dirinya untuk juga diserang oleh perampok, kehilangan uang, kehilangan waktu, dan mungkin diolok-olok oleh orang lain. Untuk apa ia melakukan itu? Untuk mendapat return atau benefit lebih banyak? Sudah pasti tidak. Pembaca bisa merenungkan dan menggali lebih lanjut bagian itu untuk menemukan jawabannya.[4]
Berbagai Perenungan
Dalam bagian ini, kita akan sama-sama merenungkan mengenai risiko dan penanganannya melalui beberapa prinsip di Alkitab. Tentunya kita sadar bahwa terminologi risk management tidak tertulis secara literal dalam Alkitab. Namun prinsip-prinsip yang menjadi dasar, telah terpapar dengan begitu kaya dan lengkap. Sama halnya seperti terminologi pacaran atau internet tidak tertulis di Alkitab. Namun kita tetap dapat menggali dan merenungkan prinsip-prinsip dasar mengenai relasi, pernikahan, theologi waktu, komunikasi, interpretasi, dan pengembangan budaya.
Kekhawatiran, Daya Analisis, dan Proyeksi
Orang yang telah menganalisis berbagai macam risiko, akhirnya bisa menjadi begitu takut dan gelisah. Meskipun demikian, setidaknya ada beberapa hal positif yang patut diapresiasi dari orang tersebut. Dalam buku Pengudusan Emosi, Pdt. Stephen Tong memaparkan hal ini dengan jelas. Pertama, sebelum seseorang bisa khawatir, ia pasti harus menaruh perhatian dan fokus kepada sesuatu yang ia khawatirkan. Itu bisa saja adalah keluarganya, asetnya, investasinya, masa depannya, dan lain-lain. Orang yang tidak peduli dan ignorant tentunya tidak memiliki “kesanggupan” untuk bisa khawatir. Orang yang khawatir pasti sudah menaruh prioritas, perhatian, dan fokus yang mendalam. Kedua, orang yang khawatir adalah orang yang sanggup dan kompeten dalam melakukan analisis dan proyeksi. Hanya saja, setelah itu reaksinya adalah pesimis atau negatif. Meskipun demikian, kemampuan seseorang dalam melakukan perhitungan, pertimbangan akan berbagai macam kemungkinan, dan ketajaman dan keakuratan proyeksi sangat perlu kita hargai. Alkitab memberikan obat penawar yang “sederhana” terhadap penyakit kekhawatiran. Yakni suatu peringatan “jangan khawatir” dan kemudian memberikan berbagai contoh dalam hidup sehari-hari. Rontok tidaknya rambut ke tanah saja tidak bisa kita kendalikan, mengapa kita merasa sok hebat mau memikirkan dan mengatur hal-hal lain yang lebih besar? Jika hal yang kecil dan sepele saja tidak mampu kita kendalikan, mengapa membebani diri lebih lanjut dengan mau mengendalikan hal-hal yang lebih besar dan jelas-jelas di luar kontrol kita? Alkitab dengan jelas membawa manusia kembali ke tempat yang sebenarnya, yakni ciptaan yang created, limited, dan polluted.
Random Events
Ketika kita melihat banyaknya bencana yang terjadi, mungkin pernah muncul pertanyaan di benak kita mengenai seberapa detail Allah mengontrol dan berdaulat atas segala hal yang terjadi? Apakah kejadian-kejadian yang terjadi secara acak (random) juga berada dalam kendali dan penetapan Allah? Dr. Vern Poythress telah membahas bagian ini dalam bukunya, yakni Chance and the Sovereignty of God. Dalam pembahasannya, diambil satu contoh dari 1 Raja-raja 22:34-35. Ada seorang tentara yang dituliskan memanah secara acak dan sembarangan, kemudian secara sangat tepat dan jitu mengenai raja Israel di antara sambungan baju zirahnya. Dr. Poythress menegaskan bahwa Allah-lah yang mengendalikan tentara itu, arah bidikannya, waktu melepaskan anak panah, dan trayektori anak panah tersebut. Allah yang kita percaya adalah Allah yang berdaulat dalam hal-hal yang terlihat sepele, kecil, tidak penting, dan remeh. Dalam Amsal 16:33 juga tertulis: “Undi dibuang di pangkuan, tetapi setiap keputusannya berasal dari pada TUHAN.” Jika hal-hal seacak dan sedetail ini berada di dalam kedaulatan Tuhan, tentunya Tuhan yang kita percaya adalah Allah yang berdaulat atas hal-hal yang lebih besar, bahkan arah dan pergolakan sejarah dunia ini. Memang ada reaksi yang ekstrem dan negatif ketika kita merenungkan hal-hal ini. Mungkin kita bisa ambil waktu sejenak dan merenung. Bagaimana selama ini Allah memimpin hidup kita? Bagaimana kita melihat peristiwa-peristiwa yang kita alami setiap harinya, dan melihat tangan Tuhan yang bekerja di balik itu semua? Bagaimana kita bergumul di hadapan Tuhan ketika ada peristiwa buruk dan tidak mengenakkan yang terjadi pada kita, keluarga kita, kota kita, dan dunia di mana kita berada sekarang?
Identitas
Dalam seminarnya di EI Forum 2013 mengenai A Biblical Perspective on Risk, Dr. Tim Keller menarik beberapa fondasi dasar dalam membahas mengenai masalah risiko. Salah satunya adalah mengenai masalah identitas. Orang menjadi sangat ketakutan terhadap risiko karena orang tersebut mempertaruhkan seluruh identitasnya kepada hal-hal yang bisa diancam oleh risiko. Misalnya saja orang yang menaruh identitas pada kekayaan, keluarga, kehormatan, pergaulan, kenyamanan, kemapanan, pasti akan sangat terganggu dan mungkin bunuh diri ketika ada banyak risiko yang mengancam dan melenyapkan hal-hal tersebut. Dalam seminar itu kemudian digali dari Mazmur 3 di mana Daud menaruh seluruh identitasnya di dalam Tuhan (secara spesifik kemuliaan Tuhan). Yakni suatu hal yang tidak mungkin hilang dan diambil dari padanya. Sebagai raja, identitasnya secara fisik sangat terancam. Musuh-musuh mengelilinginya. Sangat mungkin rakyat juga mulai berserak meninggalkannya. Sebagai raja, rakyat tahu bahwa Allah menyertai raja ketika musuh-musuh berhasil dikalahkan. Kenyataannya, saat itu Daud dikejar-kejar oleh Absalom, dan mungkin banyak orang yang meragukan keabsahan Daud sebagai raja yang disertai oleh Tuhan (apalagi jika kita mengingat dosa perzinahan dan pembunuhan berencana yang dilakukan oleh Daud). Di saat seperti inilah Daud berseru, “Tuhan, adalah perisai yang melindungi aku, Engkaulah kemuliaanku dan yang mengangkat kepalaku.” Daud meletakkan seluruh identitas dirinya di dalam sesuatu yang tidak tergoncangkan, yakni Allah sendiri, yang menjadi kemuliaan dan sumber pertolongannya. Dengan demikian, hal-hal lain (kemenangan dan kejayaan secara jasmani) telah direlativisasi jika dibandingkan dengan identitasnya yang teguh di dalam Tuhan.
Perencanaan
Jadi sekarang, hai kamu yang berkata: “Hari ini atau besok kami berangkat ke kota anu, dan di sana kami akan tinggal setahun dan berdagang serta mendapat untung”, sedang kamu tidak tahu apa yang akan terjadi besok. Apakah arti hidupmu? Hidupmu itu sama seperti uap yang sebentar saja kelihatan lalu lenyap. Sebenarnya kamu harus berkata: “Jika Tuhan menghendakinya, kami akan hidup dan berbuat ini dan itu.” Tetapi sekarang kamu memegahkan diri dalam congkakmu, dan semua kemegahan yang demikian adalah salah. (Yak. 4:13-16)
Salah satu ayat yang paling jelas dalam membahas mengenai perencanaan adalah Yakobus 4:13-16. Manusia yang sudah membuat rencana, melakukan kalkulasi, mempertimbangkan berbagai macam faktor dan risiko, sampai membuat rencana/langkah alternatif, ternyata sangat rentan untuk jatuh ke dalam dosa memegahkan diri dan merasa mampu. Kita berpikir bahwa kita bisa mengendalikan masa depan dan hasil yang akan didapatkan, seperti bepergian ke kota tertentu, menetap, berdagang, mendapat untung. Juga perencanaan hidup seperti akan tinggal menetap di mana, belajar ke universitas mana, dan bekerja di mana. Perencanaan dan kalkulasi itu sendiri tidaklah salah. Dalam Lukas 14, Yesus sendiri mengajarkan untuk menghitung anggaran sebelum membangun menara. Juga untuk menghitung kekuatan prajurit sebelum melakukan peperangan. Yang jadi masalah besar adalah ketika kita memutlakkan perencanaan itu, merasa diri hebat, dan akhirnya merasa tidak butuh Tuhan. Yakobus memperingatkan mengenai betapa lemah dan fananya kita. Bukankah hidup kita seperti uap yang kelihatan hanya sebentar saja dan akan lenyap? Apalah artinya kekuatan dan kemegahan manusia yang akan segera berlalu dan terhilang. Seperti juga yang ditegaskan dalam Yeremia 9 dan 17, terkutuklah orang yang mengandalkan manusia. Sebaliknya, orang yang mengandalkan Tuhan adalah bagaikan pohon yang ditanam di tepi aliran air, yang daunnya tetap hijau, yang tidak khawatir (akan segala bahaya dan risiko) dalam tahun kering, dan yang tidak berhenti menghasilkan buah. Biarlah kita tidak bermegah atas kepandaian, kekayaan, dan kekuatan/kekuasaan. Melainkan kemegahan kita adalah pengenalan akan Allah, Allah yang menunjukkan kasih setia, keadilan, dan kebenaran di bumi.
Temporal dan Eternal Risk
Dalam bukunya yang berjudul “Risk Is Right – Better to Lose Your Life than to Waste It” dan juga berbagai khotbahnya mengenai tema-tema seputar risiko, Pastor John Piper membedakan dengan jelas antara temporal dan eternal risk. Dalam hidup ini, kita sangat sering diganggu oleh risiko-risiko yang John Piper kategorikan hanya sebagai temporal risk, baik itu berupa ancaman, kesulitan, kemiskinan, penyakit, kecelakaan, dan bahkan kematian. Padahal ada risiko kematian kekal (eternal risk) yang seharusnya jauh lebih kita takuti. Seperti yang tertulis dalam Matius 10:28: “Janganlah kamu takut kepada mereka yang dapat membunuh tubuh, tetapi yang tidak berkuasa membunuh jiwa; takutlah terutama kepada Dia yang berkuasa membinasakan baik jiwa maupun tubuh di dalam neraka.” Melalui Kristus, kita seharusnya bisa melihat ancaman kematian ‘hanyalah’ sebagai pintu masuk menuju sorga dan perjumpaan dengan Kristus sendiri. Melalui Kristus yang telah disalibkan satu kali untuk selama-lamanya, eternal risk boleh menjadi sama sekali hilang bagi mereka yang percaya kepada-Nya. Dengan demikian, maka seharusnya gangguan dan ancaman dari temporal risk akan menjadi begitu remeh bagi orang-orang yang memandang kepada Kristus. Inilah Kristus yang menjanjikan sukacita yang tidak berkesudahan dan penyertaan-Nya yang begitu setia. Suatu janji bahwa jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Suatu janji bahwa barang siapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barang siapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal.
Pengertian-pengertian ini dirangkum dengan begitu indah oleh Mabel Williamson dalam bagian penutup bukunya yang berjudul Have We No Rights?
All that He takes I will give;
All that He gives will I take;
He, my only right!
He, the one right before which all other rights fade into nothingness.
I have full right to Him;
Oh, may He have full right to me!
Penutup
Jadi setelah beberapa perenungan ini, bagaimanakah sikap kita dalam menghadapi hari-hari yang penuh dengan segala risiko, ketidakpastian, dan ketidakstabilan? Apakah kita masih begitu cemas, takut, dan sebisa mungkin mengendalikan dan melakukan kalkulasi terhadap segala sesuatu? Atau sudah siapkah kita “merisikokan” hidup kita bagi Dia? Bagi Dia, yang bukan hanya merisikokan, tetapi benar-benar kehilangan dan memberikan nyawa-Nya bagi kita. Bagi Dia, yang rela terpisah dan kehilangan pandangan dan wajah Bapa demi kita. Bagi Dia, yang sudah menghilangkan risiko kematian kekal yang seharusnya kita tanggung. Bagi Dia, yang sudah naik ke sorga dan menyediakan tempat bagi kita. Di dalam Dia, telah diciptakan segala sesuatu, yang ada di sorga dan yang ada di bumi, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan, baik singgasana, maupun kerajaan, baik pemerintah, maupun penguasa; segala sesuatu diciptakan oleh Dia dan untuk Dia. Dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia: Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!
Through many dangers, toils and snares,
I have already come;
’Tis grace hath brought me safe thus far,
And grace will lead me home.
Yea, when this flesh and heart shall fail,
And mortal life shall cease,
I shall possess, within the veil,
A life of joy and peace.
Juan Intan Kanggrawan
Redaksi Bahasa PILLAR
Referensi:
A Call for Christian Risk
Charles Wesley’s Radical, Fruitful Risk
Risk and the Cause of God
A Biblical Perspective on Risk
Chance and the Sovereignty of God
Endnotes:
[1] Misalkan saja kasus krisis finansial global, meledaknya penyebaran virus Ebola, gerakan-gerakan radikal seperti ISIS, berbagai kecelakaan transportasi (AirAsia, Malaysia Airlines, kapal ferry di Korea), dan konflik antarnegara di kawasan Timur Tengah dan Rusia.
[2] Dr. Tim Keller menyorot hal ini sebagai masalah identitas dan idolatry. Manusia berdosa cenderung mencari perteduhan sejati di luar Tuhan. Plato melontarkan satu pertanyaan: Can we find the unchanging in this changing world? Banyak orang yang sangat khawatir, berusaha mencari perteduhan semu, atau melarikan diri dari kenyataan. Misalkan: liburan/rekreasi secara eksesif, main game secara ekstrem, ketergantungan terhadap obat anti depresi, dan mencari keamanan/ketenangan di dalam banyaknya harta, kumpulan tentara yang mengelilinginya, institusi/organisasi yang dirasa credible untuk memberikan jaminan, atau pujian dan pandangan manusia.
[3] Bidang risk management bisa mencakup financial risk management, IT risk management, enterprise risk management, dan commodity risk management. Dalam konteks IT misalnya, ada ISO/IEC 27005:2008 yang mengatur standar/metode penanganan risiko. Misalnya aspek-aspek seperti context establishment, risk assessment, risk treatment, risk acceptance, risk communication, risk monitoring and review.
[4] Pdt. Billy Kristanto telah memberikan khotbah eksposisi dari Lukas 10:25-37 mengenai orang Samaria yang baik hati. Dalam khotbah ini jemaat ditantang untuk melakukan suatu refleksi. Apakah kita sudah menjadi sesama bagi orang lain di sekitar kita? Video khotbah dapat dilihat melalui link berikut ini: https://www.youtube.com/watch?v=krRyjIp9kKs.