Abad Pertengahan (Middle Ages/Medieval Era) adalah salah satu era dalam sejarah yang terbentang cukup panjang, sehingga banyak orang yang bingung di mana dimulainya dan berakhirnya. Menurut para sejarawan, Abad Pertengahan dimulai sejak kejatuhan Kerajaan Romawi pada tahun 476. Kejatuhan Kerajaan Romawi ini terjadi tepat setelah masa seorang theolog agung yang bernama Agustinus dari Hippo. Kejatuhan ini disebabkan oleh penyerangan terus-menerus oleh bangsa barbar yang bernama Visigoth pada tahun 410. Akhirnya pada tahun 476 ibukota Kerajaan Romawi berhasil diduduki dan dikuasai oleh raja barbar yang bernama Odoacer.
Kerajaan Romawi adalah kerajaan yang sangat besar daerah kekuasaannya pada waktu itu. Mereka telah memiliki sistem pemerintahan yang dapat mengontrol seluruh wilayah jajahan mereka pada saat itu. Ini adalah peradaban yang begitu tinggi. Tidak mudah untuk mengontrol seluruh wilayah jajahan yang luas pada saat belum ada transportasi dan teknologi seperti sekarang ini. Mereka hanya mempunyai kuda, unta, kapal yang tidak bermesin, yang mengakibatkan pengiriman sebuah pesan atau perintah bisa sampai berbulan-bulan jika tempatnya jauh. Bahkan jika ada pemberontakan di ujung, di pusat tidak akan tahu sampai berbulan-bulan kemudian. Maka, untuk mengontrol keadaan ini Kerajaan Romawi membentuk pemerintahan boneka. Sama seperti Herodes yang ditempatkan sebagai raja Israel pada masa Tuhan Yesus, negara-negara jajahan lain juga diberikan seorang raja lokal yang memerintah di sana, sehingga ada sedikit otonomi yang terlihat. Raja-raja lokal ini tidak memiliki kekuasaan yang absolut atau tertinggi. Kekuasaan tertinggi tetap ada pada kaisar Romawi. Para raja-raja lokal harus memberikan upeti dalam kurun waktu yang ditetapkan oleh pemerintahan Romawi dan harus tunduk pada setiap kebijakan kaisar.
Kesulitan dalam pengontrolan wilayah kekuasaan ini memiliki dampak yang negatif sekaligus positif bagi Kerajaan Romawi. Dampak negatifnya adalah negara-negara yang makin jauh dari pusat pemerintahan Romawi pasti makin mudah diserang atau memberontak. Inilah jalan masuk yang membuat Kerajaan Romawi bisa sampai kalah oleh bangsa-bangsa barbar. Tetapi kesulitan pengontrolan ini juga menjadi satu keuntungan ketika Kerajaan Romawi telah ditaklukkan ibukotanya oleh bangsa barbar itu. Ketika bangsa barbar berhasil menaklukkan takhta kaisar Romawi, berarti sekarang merekalah yang menjadi penguasa dari daerah-daerah jajahan Kerajaan Romawi. Masalahnya, mereka adalah bangsa barbar yang tidak terpelajar dan tidak memiliki peradaban yang tinggi, mereka tidak mengetahui sistem pemerintahan yang baik untuk mengontrol seluruh wilayah yang luas itu. Hal ini mengakibatkan adanya sebagian wilayah jajahan Romawi yang tidak terkontrol akhirnya bergabung dan berdiri sendiri melawan bangsa barbar itu. Wilayah tersebut adalah bagian sebelah timur jajahan Romawi, yang akhirnya bertahan kurang lebih 1.000 tahun setelah jatuhnya pusat pemerintahan Romawi. Wilayah ini disebut Byzantine Empire dan berpusat di kota Konstantinopel.
Wilayah barat yang telah diduduki oleh bangsa barbar bukan lagi sebuah Kerajaan Romawi yang besar. Tidak ada lagi tentara imperial Roma. Kekaisaran Romawi sudah digantikan oleh bermacam-macam kelompok suku dan kerajaan kecil. Ini menandakan pecahnya kesatuan wilayah Romawi dalam hal politik. Apa yang mampu menyatukan kembali wilayah barat Romawi ini dan menjadikannya berkuasa seperti yang kita ketahui dalam sejarah? Ternyata ketika politik tercerai-berai, gereja di sana semakin bersatu. Memang ada orang barbar yang tidak mengenal kekristenan, tetapi sebagian besar mereka pada saat itu sudah beragama Kristen. Injil sudah sampai kepada mereka.
Kesulitan politik yang tercerai-berai adalah tidak adanya stabilitas dan jaminan keamanan kepada penduduk Romawi. Hal ini membuat penduduk Romawi mencari-cari suatu bentuk kesatuan yang dapat memberikan jaminan. Akhirnya mereka menemukan kesatuan di dalam gereja yang tidak mereka dapatkan dari negara. Maka lama-kelamaan, gereja-gereja di Roma memilih untuk mempersatukan diri di bawah sebuah figur, yaitu keuskupan Romawi. Sebelum ini tidak ada jabatan yang disebut dengan Paus (pope). Istilah Paus sejak abad mula-mula memang sudah ada, tetapi bukan sebagai jabatan, melainkan sebagai sebuah panggilan kepada tua-tua dan pemimpin gereja yang dianggap agung. Istilah Paus digunakan karena berasal dari kata father yang berarti orang dengan panggilan ini mencerminkan seorang bapak yang memimpin anaknya dengan baik. Sejak gereja-gereja sepakat untuk berada di bawah keuskupan Romawi, Paus menjadi hanya ada satu, yaitu di Roma.
Banyak orang yang kurang jelas pengertiannya tentang Dark Ages atau Masa Kegelapan yang terjadi dalam sejarah. Biasanya yang tergambar dalam pikiran adalah setelah Dark Ages, barulah masuk kepada Middle Ages. Yang perlu kita ketahui adalah Dark Ages dan Middle Ages tidak terpisah. Dark Ages hanyalah bagian dari Middle Ages, yaitu masa awal Middle Ages. Mengapa disebut Dark Ages? Permulaan Abad Pertengahan disebut sebagai Dark Ages karena pada masa itu tidak terjadi perkembangan yang signifikan di berbagai bidang seperti theologi, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Maka ketika berbicara tentang theologi dan pemikiran Abad Pertengahan, yang paling representatif adalah masa setelah Dark Ages. Setelah masa itulah (kira-kira abad ke-12) baru muncul theolog-theolog yang cukup besar dan berpengaruh dalam sejarah Abad Pertengahan seperti Erigena, Anselm, Peter Abelard, Thomas Aquinas, Bonaventure, bahkan termasuk John Wycliffe dan Jan Hus (masa pra-Reformasi).
Pemikir dan theolog-theolog pada Abad Pertengahan ini kebanyakan berasal dari gereja Katolik Roma dan bukan dari kekristenan di Konstantinopel. Begitu pula dengan Thomas Aquinas, dia adalah seorang theolog yang besar dari Katolik Roma yang pemikirannya sering kali dipakai untuk mencerminkan pemikiran Abad Pertengahan, bahkan merepresentasikan pemikiran Katolik Roma sampai saat ini.
Berbicara tentang Thomas Aquinas dan Abad Pertengahan, kita tidak dapat melepaskannya dari pemikiran Yunani kuno, yaitu pemikiran besar Plato dan Aristoteles. Mengapa demikian? Karena pada saat keluar dari Dark Ages, tulisan-tulisan Yunani kuno mulai diperhatikan lagi dan dikembangkan. Tulisan-tulisan dan pemikiran Yunani kuno ini kembali mengagumkan orang pada saat itu dan dengan cepat menjadi bahan yang paling banyak dipelajari orang di zaman itu. Bahkan tidak sedikit yang ingin menggabungkan antara pemikiran kekristenan dengan pemikiran Yunani kuno.
Begitu pula dengan Thomas Aquinas, theologi Kristennya dibawa dalam kerangka pemikiran filsafat Aristoteles. Thomas Aquinas mengerti bahwa ada bagian dari filsafat Yunani kuno yang perlu diubah, yaitu model form dan matter di mana matter selalu condong kepada kejahatan. Form dianggap sebagai alam ide yang sempurna, yaitu asal dari segala sesuatu yang ada sekarang ini. Sedangkan matter adalah manifestasi dari ide-ide tersebut dan sifatnya tidak sempurna, yaitu secara kualitas tidak mungkin sama dengan form. Thomas Aquinas setuju bahwa tidak boleh ada pemisahan yang dualistis seperti demikian antara form dan matter, karena Tuhan menciptakan keduanya sempurna, tidak ada yang cacat dibandingkan dengan yang lainnya.
Maka Thomas Aquinas mengubahnya menjadi model nature dan grace. Nature di sini bukan alam, melainkan natur atau esensi dari segala sesuatu. Nature khusus dibuat oleh Thomas Aquinas untuk mengakomodasi form dan matter yang terpisah dalam filsafat Yunani kuno. Form dan matter dari sesuatu sudah menjadi satu dalam naturnya dan tidak dapat dipisahkan. Tetapi jika hanya seperti ini, di manakah letak Allah? Thomas Aquinas adalah orang Kristen, tidak mungkin jika Allah tidak dilibatkan dalam pemikirannya. Orang Yunani kuno mudah saja tidak memasukkan Allah ke dalam pemikirannya, tetapi tidak dengan Thomas Aquinas. Dia berpendapat bahwa seluruh yang dicipta di dalam alam semesta ini harus bergantung dengan penciptanya. Jika tidak demikian, segala sesuatu pasti akan menjadi ciptaan yang tersesat dan berdosa karena tanpa topangan Tuhan. Thomas Aquinas memasukkan aspek ini sebagai grace, yaitu anugerah supranatural yang Tuhan berikan kepada ciptaan-Nya yang terbatas supaya mampu terus-menerus taat dan tidak terjatuh ke dalam dosa.
Sayangnya, pemikiran ini justru menimbulkan dualisme baru antara nature dan grace, yang sebenarnya tidak sesuai dengan prinsip firman Tuhan. Thomas Aquinas percaya bahwa masalah dosa bukanlah masalah manusia berontak kepada Allah sebagai penyebab utamanya. Penyebab utamanya justru adalah keterbatasan. Jika pemikiran Yunani kuno menganggap materi sebagai yang jahat, Aquinas menganggap keterbatasan adalah suatu kejahatan dan akan terus condong kepada kejahatan. Maka, tidak peduli seberapa sempurna Tuhan mencipta kita, jika kita terbatas pasti kita akan selalu condong kepada kejahatan dan dosa. Maka dari itu butuh yang namanya topangan supranatural Tuhan, yaitu grace. Jadi ketika Adam berdosa, dia tidak berubah naturnya menjadi mati kekal dalam segala aspek, melainkan hanya kehilangan kuasa supranatural Allah. Jika Tuhan saat itu memberikan grace yang cukup, Adam pasti tidak terjatuh ke dalam dosa. Sama juga halnya dengan kita bisa tidak berdosa seperti Adam jika kita diberikan grace yang cukup oleh Tuhan.
Inilah yang sampai sekarang membuat pemikiran Katolik Roma tentang dosa berbeda dengan prinsip Alkitab. Mereka merasa bahwa ketika manusia jatuh ke dalam dosa, tidak jatuh sedalam-dalamnya dan hancur seluruhnya, melainkan hanya kotor dan perlu dicuci oleh Tuhan. Mereka tidak mengenal dosa sejak lahir, mereka percaya bahwa ketika kita lahir keadaannya adalah sama seperti ketika Adam diciptakan, tidak ada perbedaan secara natur. Hanya saja grace yang diberikan kepada kita kurang sehingga kita menjadi berdosa. Akibat dari pemikiran ini, doktrin manusia dan dosa mereka juga terpengaruh, yaitu setiap bayi manusia yang lahir tidaklah berdosa dan justru bersih seperti kertas putih yang belum ada noda di atasnya (tabula rasa).
Model pemikiran nature dan grace ini juga memengaruhi model hidup dan keadaan sosial zaman itu. Kita tentu masih ingat bagaimana orang Kristen pada zaman itu hidup dalam pembedaan strata sosial berdasarkan tingkat keagamaannya. Orang yang tinggal dalam biara, kedudukannya lebih tinggi daripada jemaat awam. Yang semakin berurusan dengan keagamaan dan mengkhususkan diri dianggap suci dan boleh memegang peranan penting dalam masyarakat. Dalam struktur pemerintahan, gereja lebih berkuasa dan berotoritas dibandingkan negara. Raja-raja tunduk kepada Paus dan pemerintahan gereja. Yang berurusan dengan grace selalu dianggap superior terhadap yang berurusan dengan nature.
Sekarang kita bisa melihat betapa model nature dan grace yang terbentuk pada Abad Pertengahan memengaruhi hampir seluruh aspek yang ada pada zaman itu. Model ini berasal dari prinsip firman Tuhan yang tidak utuh sehingga memberikan solusi palsu (counterfeit) dan menjauhkan Gereja Tuhan dari kebenaran. Maka kita perlu terus berhati-hati dalam menafsir firman Tuhan agar mendapatkan prinsip yang utuh dan konsisten dengan isi seluruh Alkitab.
Dualisme pemikiran nature dan grace ini tidak hanya memengaruhi zaman itu saja. Kita juga secara tidak sadar bisa terpengaruh bahkan telah menjalankan pola ini dalam hidup. Apakah kita begitu hebat dalam pelayanan di gereja tetapi hidup sembarangan di luar gereja? Apakah kita menjunjung tinggi ilmu pengetahuan tetapi mengabaikan firman? Apakah kita bersemangat dalam segala hal yang berurusan dengan dunia ini tetapi tersiksa setengah mati ketika melakukan kebenaran? Adakah hidup kita bercabang dan berbeda-beda di setiap tempat? Apakah hidup sehari-hari kita tidak ada hubungannya dengan iman? Jika ya, mungkin sekali kita telah terkontaminasi dengan pemikiran Abad Pertengahan. Jadi bukan hanya orang Katolik yang berkemungkinan besar terpengaruh, tetapi juga kita yang tidak berhati-hati dan tidak mengenal firman.
Jadi bagaimana yang benar? Bagaimana seharusnya seorang Kristen hidup? Bolehkah dengan pola form dan matter gaya Yunani Kuno? Bolehkah dengan pola nature dan grace gaya Abad Pertengahan? Bukan dengan campuran filsafat apa pun, melainkan kita harus sepenuhnya tunduk kepada firman Tuhan dalam menjalani hidup ini.
Alkitab mengajarkan kepada kita bahwa manusia diciptakan sebagai gambar dan rupa Allah secara sempurna. Tidak condong pada kejahatan apa pun seperti yang digambarkan oleh filsafat Yunani. Manusia diberikan kesadaran secara penuh mengenai keberadaan dirinya dan tanggung jawabnya. Jadi, ketika manusia berdosa bukanlah karena Tuhan yang salah karena tidak memberikan kuasa supranatural, melainkan karena manusia memberontak kepada Allah secara aktif dan tidak lagi menggenapkan sasaran yang sudah ditentukan oleh Allah.
Manusia juga bukannya independen dan kuat dalam dirinya sendiri seperti yang dijelaskan oleh Thomas Aquinas dalam konsep nature-nya, melainkan adalah ciptaan Allah yang harus sepenuhnya bergantung dan tunduk kepada Allah. Jika tidak demikian, manusia akan kehilangan makna hidupnya dan jatuh ke dalam dosa. Ciptaan tidak boleh jatuh kepada otonomi yang independen dari Allah, melainkan harus terus-menerus menundukkan diri di bawah otoritas Allah. Sama seperti ikan yang tidak bisa hidup ketika ingin bebas dari air, begitu pula kita ketika ingin lepas dari kekuasaan absolut Allah, karena kita melawan natur kita sendiri.
Hidup kita tidak lagi boleh memiliki dualisme. Seluruh hidup ini adalah milik Allah dan harus didefinisi hanya oleh Dia. Kita hanya perlu menghidupi satu cerita, yaitu cerita Kerajaan Allah dan Gereja-Nya yang telah Allah wahyukan sejak permulaan sejarah. Dengan demikian, baik di dalam gereja maupun di luar gereja tidak ada perbedaan identitas. Belajar ilmu pengetahuan dan firman juga tidak berbeda metafisikanya (segala kebenaran adalah kebenaran Allah). Identitas dan metafisika kita hanya satu, yaitu sebagai umat Allah yang sedang hidup dalam Kerajaan Allah. Hidup yang utuh inilah yang akan menyatakan kepada dunia bahwa Gereja Tuhan adalah satu-satunya yang memiliki pengharapan dan kebenaran karena sudah ditebus oleh Kristus. Mari jangan mengulangi kesalahan pemikiran Abad Pertengahan dalam hidup kita. Kita belajar sejarah Gereja, selain untuk mengerti pekerjaan Tuhan sepanjang sejarah, juga untuk menjadi pembelajaran agar tidak mengulangi kesalahan yang sudah terjadi dalam sejarah.
Rolando
Pemuda FIRES