“Pada akhirnya, pertanyaan yang utama adalah sanggupkah manusia mempertahankan keyakinannya di tengah-tengah masa penuh penganiayaan? Dan benarkah Tuhan hanya diam membisu berpangku tangan melihat penderitaan?”
Sinopsis Cerita Silence (Hening)
Dalam novelnya Silence, Endo berhasil mengobrak-abrik pemahaman kita mengenai iman yang sejati, ketersembunyian dan kebisuan Tuhan terhadap penderitaan manusia, dan pertanyaan-pertanyaan iman yang sering kita hiraukan karena tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Gaya tulisan Endo dalam Silence jelas berhasil membuat suatu kontradiksi mengenai iman yang selama ini dianggap sebagai iman yang sejati. Iman sejati kerap digambarkan sebagai iman yang paling teguh yang mau mati martir demi mempertahankan iman atau berhasil menobatkan orang Jepang sehingga disebut sebagai pahlawan iman. Tetapi dalam novel tersebut, Endo justru menunjukkan iman sejati sebagai iman yang memiliki banyak kelemahan, kegagalan, dan mengandung banyak cacat cela.
Novel ini menceritakan dua orang misionaris dari kalangan Jesuit, Rodriguez dan Garrupe, yang datang ke Jepang dengan dua misi. Pertama, menemukan kembali Ferreira, guru yang sangat dihormati oleh para misionaris, tetapi dikabarkan murtad dari imannya karena ketidaktahanannya terhadap persekusi Jepang. Dan yang kedua adalah untuk mengkristenkan orang-orang yang ada di Jepang. Sebelum datang ke Jepang, Rodriguez dan Garrupe sudah mengetahui bahaya yang akan mereka hadapi, misalnya keganasan alam yang dapat membahayakan nyawa mereka selama perjalanan ke Jepang. Sesampainya di Jepang, mereka juga menghadapi kebisuan Tuhan terhadap penderitaan yang mereka alami seperti persekusi dari para petinggi Jepang yang ingin membasmi misionaris di Jepang, persekusi terhadap orang Kristen, doa-doa yang tidak terjawab, kematian, penganiayaan, kelicikan dan pengkhianatan Kichijiro yang merupakan seorang Kristen Jepang yang telah bersama mereka melakukan perjalanan ke Jepang, doktrin-doktrin Kristen yang bercampur aduk dengan agama asli Jepang, yang membuat Rodriguez kembali memikirkan ulang mengenai imannya kepada Tuhan apakah Tuhan sungguh-sungguh ada dan mengapa Dia hanya diam membisu melihat semua penderitaan ini? Sepanjang novel, tokoh utama, Rodriguez, bergumul dengan Tuhan mengenai ketakutan, kesepian, ketidakberartian, dan ketidakberadaan Tuhan di tengah-tengah penderitaan.
Kichijiro, Gambaran Kemanusiaan
Salah satu tokoh yang menarik dari cerita tersebut ialah Kichijiro yang digambarkan sebagai orang yang lemah, licik, penakut, berulang kali menyangkal imannya, dan mengkhianati Rodriguez. Kichijiro adalah seorang Kristen yang dari awal bersama-sama dengan kedua pastor tersebut pergi ke Jepang dan membawa mereka ke desa-desa Jepang yang masyarakatnya menganut agama Kristen. Tetapi pada akhirnya, dia juga dengan mudahnya menyangkal imannya karena takut dengan siksaan dari petinggi Jepang, lalu kemudian mengkhianati Rodriguez yang membuat Rodriguez ditangkap oleh petinggi Jepang. Selama perjalanan ke penjara, Rodriguez diseret dari desa-desa dan dicemooh oleh orang-orang. Walaupun beberapa kali menyangkal imannya, Kichijiro juga terus meminta pengampunan dosa kepada Rodriguez dan seolah-olah menyesal terhadap dosa-dosanya tetapi pada akhirnya dia tetap juga menyangkal imannya ketika berhadapan dengan para petinggi Jepang. Kichijiro merupakan gambaran kita sebagai orang Kristen yang lemah. Orang Kristen yang sering kali meminta ampun kepada Tuhan, tetapi juga dengan mudahnya melakukan dosa demi keamanan diri sendiri. Orang Kristen yang sering kali mengakui dosa, tetapi sepanjang hari jatuh ke dalam dosa. Orang Kristen yang ingin mendapatkan iman sejati, tetapi tidak mau menderita dan memikul salib. Kichijiro menggambarkan kita sebagai manusia yang lemah, licik, dan penakut.
Iman yang Diporak-porandakan
Ketika Ferreira meninggalkan imannya karena tidak tahan dengan siksaan, dan hal tersebut dapat mengancam keberlangsungan umat Kristen di Jepang, maka Rodriguez dan Garrupe memutuskan untuk datang ke Jepang. Sampai di Jepang, mereka mengalami begitu banyak penderitaan, kecemasan, bahkan kematian Garrupe, dan pengkhianatan Kichijiro. Ketika Rodriguez berkelana di sebuah bukit untuk melarikan diri dari petinggi Jepang karena Kichijiro telah mengkhianati dia, dia pun bergumul dengan kebisuan Tuhan dan ingin menyangkal imannya. Tetapi sebagaimana dengan apa yang dia katakan, dia tetap bertahan hingga saat ini hanyalah karena harga dirinya dan perasaan kewajibannya sebagai pastor. Pada awalnya, kebanggaan dan harga diri sebagai seorang imam menjadi motivasi utama Rodriguez untuk mempertahankan imannya, keberaniannya sering kali bercampur dengan rasa bangga—pride sebagai seorang pemimpin rohani. Ia merasa bahwa menyangkal iman sama dengan mencoreng martabatnya sebagai pendeta dan memandang Kristus sebagai simbol kemenangan yang harus ia perjuangkan. Dia merasa terikat pada tanggung jawabnya untuk tidak menyangkal Tuhan, bukan hanya karena keyakinan spiritualnya tetapi juga karena jati dirinya sebagai seorang pemimpin agama.
Ketika Rodriguez ditangkap dan dipenjarakan, dia menyaksikan bagaimana orang-orang Kristen Jepang dieksekusi. Orang-orang Kristen tersebut akan makin disiksa jika Rodriguez tetap tidak mau menyangkal imannya. Makin Rodriguez mempertahankan imannya, makin kejam pula penyiksaan yang diberikan kepada orang Kristen tersebut, sehingga hal tersebut membuat Rodriguez berdoa meminta Tuhan untuk tidak terus membisu dan mengakhiri penderitaan yang dialami orang Kristen Jepang tersebut. Tetapi jawaban yang didapatkan Rodriguez ialah kebisuan Tuhan, dan akhirnya dia harus menyangkal imannya sendiri. Rodriguez menyangkal imannya bukan karena penyiksaan yang kejam dan takut dengan kematian yang ada di depannya, tetapi karena fakta bahwa Tuhan tetap membisu dan diam melihat kematian umat-Nya. Rodriguez yang awalnya datang ke Jepang dengan suatu semangat yang akan memenangkan dan menobatkan orang-orang Jepang atau yang akan mati martir karena memperjuangkan imannya sehingga dia disebut sebagai pahlawan, tetapi pada kenyataannya dia juga murtad dari imannya sama seperti gurunya Ferreira yang dianggap sebagai orang yang menjijikkan karena murtad. Kebungkaman dan kebisuan Tuhan selama ini menyadarkannya akan keangkuhannya sendiri dan ia mengalami transformasi yang mendalam. Ia menyadari bahwa Kristus yang ia sembah bukanlah sosok yang menjaga pride-Nya di kayu salib, melainkan sosok yang dengan kasih-Nya rela kehilangan segalanya, termasuk harga diri-Nya, demi menyelamatkan umat manusia. Kristus tidak turun dari salib untuk mempertahankan martabat-Nya. Yesus sendiri kehilangan segala bentuk kebanggaan ketika Ia disalibkan demi kasih kepada umat-Nya. Dalam momen-momen kritis tersebut, Rodriguez menghadapi dilema moral: apakah ia akan mempertahankan harga dirinya sebagai pendeta atau memilih untuk menempatkan keselamatan jemaatnya di atas segalanya? Dan Rodriguez pun akhirnya mengikuti teladan Yesus sendiri yaitu meninggalkan keangkuhannya. Dia menginjak-injak fumie, yaitu gambar wajah Tuhan Yesus dan Bunda Maria, sebagai tanda murtad atau penyangkalan imannya di hadapan petinggi Jepang. Yang mendorong dia untuk menginjak fumie justru suara Yesus sendiri:
“Injaklah! Injaklah! Aku lebih tahu daripada siapa pun tentang kesedihan di kakimu. Injaklah! Aku lahir ke dunia memang untuk diinjak-injak manusia. Untuk menanggung penderitaan manusialah Aku memanggul salib-Ku.” (Hlm. 269)
Endo menggambarkan Allah sebagai Allah yang tampaknya bisu tetapi sebenarnya tidak bisu. Ketidakbisuan-Nya digambarkan oleh Endo melalui Allah yang ikut menderita bersama orang yang lemah. Endo juga mengajak kita untuk tetap sungguh-sungguh mau beriman ketika melihat dan mengalami penderitaan umat manusia, bahkan di tengah kebisuan Allah. Endo telah menunjukkan kontradiksi mengenai pandangan orang Kristen yang terlalu mengagungkan-agungkan para martir dengan kemenangan iman mereka dengan memberikan alternatif Kristologi yang digambarkan di dalam diri Rodriguez yang memiliki iman yang lemah. Tetapi Tuhan memanggil dia untuk datang ke salib-Nya dengan segala kelemahan dan kegagalan imannya. Endo berhasil menunjukkan iman yang sejati dalam Silence bahwa Tuhan tidak hanya mati di kayu salib untuk para kaum martir yang telah berhasil mempertahankan imannya atau yang berhasil menobatkan orang-orang menjadi Kristen, tetapi juga mati di kayu salib untuk orang yang memiliki iman yang lemah, ataupun iman yang tidak sempurna. Rodriguez bukanlah seorang Yudas yang telah mengkhianati Yesus. Rodriguez tetap mengasihi Tuhannya walaupun dengan kasih yang berbeda, dengan cara yang berbeda, dan dengan ekspresi iman yang berbeda. Endo menutup novelnya dengan kalimat:
“Akan tetapi andai pun dia (Rodriguez) dianggap mengkhianati mereka (sesama rekan pendeta), dia tidak mengkhianati Tuhannya. Dia mengasihi Tuhannya kini secara berbeda. Segala sesuatu yang telah terjadi sampai saat ini memang harus terjadi untuk membawanya kepada kasih yang seperti ini. “Sekarang aku pastor terakhir di negeri ini, tetapi Tuhan tidak bungkam. Andai pun Dia bungkam selama ini, kehidupanku sampai hari ini sudah cukup berbicara tentang Dia.” (Hlm. 295)
Identitas Buku
Judul: Silence (Hening)
Penulis: Shusaku Endo
Alih Bahasa: Tanti Lesmana
Cetakan: keempat, Mei 2017
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama Jakarta
Tebal: 304 halaman
ISBN: 978-602-03-3717-3
Ernike Ginting
Mahasiswi Calvin Institute of Technology
Pemudi GRII Pusat