Dari pernyataan “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga,” terkandung arti yang dalam, yaitu tujuan ilahi atas ciptaan Tuhan; suatu telos (tujuan akhir) yang Tuhan ingin capai di dalam seluruh rencana penciptaan-Nya yang tidak boleh dilawan oleh manusia. Jika engkau hidup tanpa sasaran, tanpa makna, dan segala kelakuan, usaha, dan pikiranmu tidak bertujuan, hidupmu sebenarnya sia-sia, tidak berbeda dengan hewan. Hewan hidup tidak bertujuan, tetapi manusia yang bertanggung jawab memiliki tujuan.
A. Objek Penyembahan dan Tujuan Hidup
Banyak orang berkata, “Saya percaya hidup memiliki tujuan, tidak mungkin orang hidup sembarangan.” Tetapi persoalannya, siapa yang menentukan tujuan hidupmu? Banyak orang yang tidak bisa menjawab hal ini, atau mau tidak mau pada akhirnya mengungkapkan keegoisannya, yaitu tujuan itu ditetapkan sendiri. Jika saya menetapkan tujuan dan sasaran hidup saya sendiri, hak dan kualifikasi apa yang memperbolehkan saya untuk menentukan sasaran dan tujuan hidup saya sendiri? Bukankah saya terbatas, penuh kesalahan, dan tidak layak untuk menentukan sesuatu yang lebih tinggi dari diri saya sendiri? Jika hidup itu lebih rendah dari saya, maka saya adalah manusia yang tidak bernilai. Plato berkata, “Segala yang indah, yang lebih tinggi dari kita, kita harus mencarinya; bukan mencari yang lebih rendah. Jika mencari yang lebih rendah dan lebih tidak bernilai dari saya, maka saya tidak punya ide, pemikiran sempurna, dan kemutlakan berjuang sebagai dorongan bagi saya.”
Justru saya didorong karena melihat diri tidak cukup, terbatas, mau menerobos keterbatasan, dan menuju yang sempurna. Paulus berkata, “Aku selalu melupakan apa yang di belakangku dan mengarahkan diri kepada apa yang di depanku, untuk menuju ke sasaran yang tertinggi.” Target tertinggi adalah Yesus. Hidup harus memiliki makna dan arti. Tetapi, banyak yang telah memperilah yang bukan Allah, lalu menganggap telah menerima sesuatu dari ilah yang mereka buat. Tuhan disebut Tuhan, karena Ia sendiri yang menyatakan, “Akulah Tuhan.” Bukan karena Dia disebut Tuhan lalu menjadi Tuhan. Karena Dia TUHAN maka kita harus mengakui Dia sebagai Tuhan.
1. Menyembah Materi Ciptaan
Tuhan adalah Tuhan karena Ia Pencipta segalanya. Maka, yang dicipta tidak mungkin sebanding dan setara dengan Tuhan. Manusia berusaha memakai sesuatu dijadikan objek penyembahannya, lalu dianggap lebih tinggi dari dirinya. Itu hal yang tidak masuk akal. Manusia mencipta ilah, lalu menganggap ilah yang dicipta itu berhak disembah, didoakan, dan dijadikan objek penyembahan, padahal doa yang ditujukan pada ilah yang dicipta adalah pemikiran yang salah. Manusia yang rendah dan kurang pengetahuan memperilah kayu, batu, bintang, gunung, laut, sungai, dan berbagai objek lainnya. Semua itu diciptakan oleh Tuhan bagi manusia dan lebih rendah dari manusia, bukan menjadi tujuan penyembahan manusia. Mereka disebut allah karena dianggap dan dijadikan ilah oleh manusia. Mereka dari tempat yang rendah ditinggikan ke tempat tertinggi, untuk menggantikan Allah yang ada di tempat tertinggi. Allahlah yang tertinggi dan semua ciptaan di bawah dan bagi manusia. Maka manusia menundukkan, menggunakan, menguasai semua ciptaan yang Allah ciptakan sebagai anugerah Tuhan untuk bersyukur kepada Tuhan yang memberi anugerah. Manusia yang kurang pengetahuan, pengertian, pendidikan, intelektual, telah menyembah patung, kayu, batu, dan ciptaan lainnya, menjadikan ilah sebagai tujuan dan target penyembahan mereka.
2. Menyembah Manusia
Ada model kedua, yang tidak menyembah materi atau ciptaan lainnya, tetapi menyembah diri dan sesama manusia. Jika di antara manusia ada yang lebih hebat, lebih pandai, lebih berjasa, lebih berkuasa dari manusia biasa pada umumnya, maka ia dianggap ilah. Manusia kagum pada manusia lain yang dipandang begitu hebat, sampai akhirnya kelebihan orang lain itu menjadi suatu daya tarik untuk manusia sujud dan menyembah dia. Orang yang rendah pengetahuannya menyembah ciptaan sebagai ilah. Orang yang biasa menyembah orang yang luar biasa sebagai ilah. Tetapi tetap dia adalah ilah palsu. Ketika engkau menjadikan orang besar sebagai ilahmu, itu adalah pelanggaran hukum Tuhan.
B. Allah Penentu Tujuan Hidup
Yang menentukan hari depan saya, tujuan alam semesta, tujuan umat Tuhan dan semua ciptaan lainnya adalah Allah, karena Allah lebih besar dan lebih tinggi dari manusia. Allah mempunyai tujuan, target, rencana, dan kehendak yang lebih tinggi dari manusia. Ia berkata, “Datanglah Kerajaan-Mu, jadilah kehendak-Mu, di bumi seperti di sorga.” Umat Tuhan sadar dan berdoa, agar kehendak Allah terjadi di dunia. Itu berarti orang Kristen berdoa meminta dunia ini, hidup kita, gereja, keluarga, negara, dan setiap generasi melihat tujuan Allah bagi kita semua, sehingga kehendak Allah itu boleh dilaksanakan di dunia, seperti apa yang Allah kehendaki di sorga. Kehendak Allah di sorga harus dilaksanakan di dunia ini karena kehendak Allah di sorga adalah kehendak yang tertinggi, yang tidak ada lawannya, tidak ada yang boleh menolak atau memberontak kepada-Nya.
Di sorga tidak ada siapa pun yang memberontak dan melawan Allah, sementara di dunia, manusia memberontak kepada Allah. Manusia bisa memberontak kepada Allah karena Allah mencipta manusia dengan kehormatan yang terbesar, yaitu memberikan hak bebas kepada manusia dan kemungkinan manusia dapat melawan Dia. Manusia diberi hak, kekuatan, kemungkinan, dan kesempatan untuk boleh melawan Tuhan. Ketika Allah menciptakan manusia dengan memberikan hak kebebasan melawan Dia, berarti Allah telah menciptakan makhluk yang paling berbahaya bagi diri-Nya sendiri. Allah memperbolehkan manusia melawan Dia. Inilah bahaya paling besar bagi Allah dan kebebasan paling besar bagi manusia. Maka banyak orang berani berkata, “Tuhan, saya tidak mau taat kepada-Mu.” Tuhan seolah-olah tidak apa-apa, tidak membalas atau langsung menghukum, dan membiarkan mereka. Hitler, Stalin, Mao Zedong, Milošević, Hussein, dan Muammar Gaddafi sepertinya dibiarkan oleh Tuhan membunuh begitu banyak orang dengan sewenang-wenang dan diberi kesempatan untuk melakukan berbagai kejahatan. Terkadang kita sulit mengerti apa yang kita lihat. Tetapi jika kita berpikir dengan tenang, apakah memang lebih baik jika Allah tidak memberikan kebebasan kepada manusia, lalu mencipta manusia seperti robot yang seluruh geraknya terkontrol dan tidak bisa melakukan apa pun yang melawan Tuhan. Tentulah mudah bagi Tuhan untuk membuat manusia yang bagaikan robot atau hewan. Tetapi manusia tidak dilahirkan sebagai robot atau hewan.
C. Manusia, Anugerah, dan Tanggung Jawab
Manusia dilahirkan sebagai manusia, karena Tuhan begitu menghormati kita, memberikan hak terbesar yaitu memiliki kebebasan untuk melawan Tuhan, Sang Pencipta. Namun, hak ini diberikan bukan untuk manusia boleh sewenang-wenang dan tidak bertanggung jawab, melainkan diberikan agar kita bertanggung jawab secara serius di hadapan Allah. Anugerah menuntut kewajiban dan tanggung jawab. Jika Allah sudah memberi anugerah, maka Allah menuntut kewajiban. Ketika Tuhan memberi kebebasan dan kita menikmatinya sambil menghina Tuhan, janganlah lupa bahwa suatu hari kebebasan itu harus kembali dan dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Jika Allah memberikan toleransi dan tidak menghukum kita, itu karena Ia masih menunggu dan memberikan anugerah umum agar kita bertobat, bukan karena Ia setuju kita berbuat dosa.
Terkadang Tuhan melihat dan mengizinkan manusia biadab melakukan apa saja yang melawan kehendak-Nya dan Tuhan diam. Pada saat Tuhan diam, kita harus sadar bahwa inilah hal yang paling serius dalam sejarah. Banyak orang tidak sadar akan hal ini. Inilah sifat ilahi yang jarang dibicarakan di dalam pembahasan Theologi Sistematika. Allah terkadang tidak mencegah, sebaliknya membiarkan manusia berbuat dosa dan sepertinya tidak menghukum mereka. Ketika Tuhan diam, saat itu manusia yang berbijaksana akan terangsang memikirkan kebesaran Tuhan dan kelemahan manusia. Pada saat Yesus dihakimi oleh Pilatus dan Kayafas, Ia diam dan sama sekali tidak menjawab. Ketika itu Ia sedang menumpuk dan menabung kemarahan-Nya, menanti sampai akhir, bagaimana Ia akan menghakimi mereka.
Dalam Kitab Yesaya, Tuhan berkata, “Aku sudah lama diam, engkau masih belum takut?” Saya gemetar membaca ayat itu. Biarlah kita memiliki kepekaan setiap jam setiap detik, merasakan kebesaran Tuhan dan keajaiban kebijaksanaan Tuhan yang melampaui segala hikmat dan pikiran manusia. Manusia boleh melawan Tuhan, bukan karena Tuhan lemah, tidak bisa membela diri ketika dilawan, melainkan karena Tuhan telah memberikan hak dan kebebasan boleh melawan Dia. Kita tidak boleh sombong, karena bagaimanapun kita harus berdiri di hadapan Allah. Hanyalah manusia yang berbijaksana, akan taat kepada Kristus dan berkata, “Jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga.” Setiap kali saya membaca ayat ini saya mengubahnya menjadi, “Jadilah kehendak-Mu di dalam diri Stephen Tong, seperti kehendak-Mu dijadikan di sorga.”
Kiranya orang Kristen Reformed tidak memperalat, mempermainkan, dan mempergunakan Allah, menjadikan Dia pembantu untuk menggenapi kehendaknya, tetapi menaklukkan diri untuk menggenapi kehendak Allah. Hanya ada dua macam orang Kristen. Pertama, yang berkata, “Tuhan, kerjakan ini dan itu. Tuhan, ini yang saya kehendaki, jadikan saya kaya, sembuhkan saya, jadikan saya makmur, sukses, dan seterusnya. Tuhan, taatlah kepada saya dan jadilah kehendakku.” Orang seperti ini mau menjadikan Tuhan sebagai pembantunya. Seharusnya, engkau seperti orang jenis yang kedua, yang berkata, “Tuhan, aku mau takluk kepada Tuhan. Jadilah kehendak-Mu di atas bumi, di dalam diri saya, keluarga saya, seperti di sorga.” Kita harus taat karena di sorga tidak ada yang melawan, memberontak, dan menolak kehendak Allah. Tetapi Kerajaan Allah dan kehendak Allah di dunia banyak ditolak dan dibenci oleh manusia. Marilah kita kembali kepada Tuhan dan berkata, “Aku mau taat kehendak-Mu.”
Orang rendah menjadikan batu, pohon, bintang, matahari, bulan, gunung, dan laut menjadi dewa mereka. Orang yang lebih pandai menjadikan diri, manusia hebat, dan orang-orang yang berjasa militer, sebagai dewa mereka. Orang yang paling tinggi dan berpengetahuan bijaksana paling hebat ialah orang yang membuat ilah melalui pikiran mereka dan menjadikan ilah rasional di dalam penyembahan mereka. Dengan daya kreatif manusia, logika, dan epistemologi, manusia menciptakan dan membayangkan ilah-ilah yang mereka inginkan.
Orang yang memiliki kemampuan berpikir bebas (independent thinking ability) ialah orang yang kreatif. Saya suka berpikir kreatif, individual, dan otonom. Saya tidak mau ikut tradisi, ikatan, dan aturan orang lain. Namun, bukan berarti saya suka memberontak terhadap peraturan yang ada. Bagaimana engkau memikirkan siapa Allah bukan menurut doktrin, tradisi, agama, atau justru memikirkan Allah menurut pikiran kreatifmu. Jangan lupa ilah yang engkau pikir melalui kreativitasmu ialah ilah buatan pikiranmu. Maka, Van Til berkata, “Allah yang dibicarakan Plato, Aristoteles, sampai abad ke-20 bukanlah Allah sejati yang diperbincangkan, tetapi hanya bayang-bayang Allah yang dilihat mereka.” Seorang theolog jika tidak takut kepada Allah, hanya mengerti secara kognitif, hanya berbicara tentang Allah dalam pikirannya, bukanlah Allah di dalam Alkitab. Demikian juga menurut Kierkegaard, Allah bukanlah tema atau topik yang didiskusikan di kelas. Allah ialah Objek di mana kita harus menyembah di hadapan-Nya. Menurut saya, pikiran kreatif Kierkegaard berdasarkan pengertian Alkitab, melalui pertemuannya dengan Allah yang mewahyukan diri melalui Alkitab, bukan melalui pikiran kreatif bebasnya. Pikiran dari Ferdinand Bauer hingga von Harnack, Wilhelm Herrmann, Troeltsch, dan semua theolog Tübingen School sampai The Liberate Theology dari pertengahan abad ke-19 hingga akhir, dihancurkan oleh pikiran Kierkegaard. Jadi, Kierkegaard bukan di dalam tradisi doktor atau tradisi kognitif, ia betul-betul takut akan Tuhan, sehingga akhirnya Tuhan memberikan kekuatan kepadanya.
Karl Barth berkata, “Allah ialah “Yang Lain”, yang sama sekali lain dari semua. Allah itu lebih dari yang engkau pikirkan.” Jadi, menurut Karl Barth, Allah jauh lebih tinggi, lebih luas, dan lebih hebat dari semua pikiran yang mungkin kita capai dan pikirkan. Di sini kita melihat kontribusi Karl Barth agar manusia tidak sombong karena menganggap diri sudah mengerti tentang Allah. Karl Barth memberikan kesadaran bahwa manusia terbatas, tidak bisa mengerti Allah dengan sepenuhnya. Tetapi ia juga memberikan mara bahaya, seolah-olah manusia tidak mungkin mengenal Allah, akhirnya kita menjadi sama sekali tidak mengetahui siapa Allah, menjadi agnostik baru. Jika Allah itu tidak bisa dimengerti, bagaimana manusia bisa mengerti Allah? Jika Allah lebih daripada segala yang kita mungkin mengerti, bagaimana manusia bisa mengetahui siapa Allah itu? Agnostik berarti percaya bahwa kita tidak mungkin bisa tahu. Tokoh agnostik paling terkenal abad ke-20 ialah Thomas Henry Huxley dan Herbert Spencer.
Mereka berkata, “Saya tidak mengkritik atau menghakimi, tidak mengatakan tidak ada, saya hanya mengatakan bahwa manusia tidak mungkin mengerti Allah.” Kalimat ini bersumber dari Immanuel Kant, yang berkata bahwa segala yang kita mungkin tahu, pasti ada gejalanya. Maka dari gejala kita mengetahui sesuatu. Sesuatu yang tidak ada gejalanya, kita tidak bisa tahu keberadaannya. Yang tidak ada gejalanya tidak berada di dalam dunia gejala (dunia fenomenal), tetapi di dalam dunia noumenal. Maka, Kant membagi pengetahuan ke dalam dua area, yaitu area mungkin tahu dan area tidak mungkin tahu. Yang mungkin tahu bisa kita cari melalui pengalaman, perhitungan, perbandingan, pengukuran, dan akan dapat memberikan jawaban yang pasti. Itulah ilmu pasti. Yang pasti inilah ilmu pengetahuan dan dapat dimengerti manusia. Tetapi Kant juga mengatakan bahwa ada tiga hal yang tidak mungkin kita tahu, yaitu: a) Allah, karena fenomenanya tidak ada; b) Kebebasan, yang bukan fenomena, dan c) Imortalitas, yaitu hal yang tidak bisa rusak. Jika kita mengatakan bahwa manusia setelah mati tidak selesai, karena manusia memiliki jiwa, maka jiwa yang bersifat tidak bisa rusak dan hilang ini tidak dapat diukur dan dimengerti. Itu sebab, Kant disebut sebagai Bapa Agnostik Modern. Herbert Spencer dan Thomas Huxley merupakan penerus Kant.
Jika orang Kristen mengikuti filsafat Kant, maka iman Kristen tidak lagi memiliki pengharapan. Namun, kita tahu bahwa kita masih bisa mengerti Allah, karena Allah yang tidak kelihatan telah menyatakan diri-Nya melalui Kristus yang kelihatan. Allah yang imortal mengirim Anak-Nya berinkarnasi ke dunia menjadi manusia yang bisa kita mengerti dan ketahui, dan Ia telah mati bagi kita. Allah berkata, “Dengan siapa engkau membandingkan Aku? Apakah engkau membandingkan Aku dengan ilah-ilah palsu?” Yesaya mencatat hal yang paling besar dalam sifat ilahi, yaitu segala sesuatu yang terjadi ditetapkan Tuhan.
Allah bukanlah Allah yang tidak bersasaran, dan iman Kristen bukanlah iman yang tidak bertujuan. Iman kita adalah iman yang menuju pada titik final yang sudah Tuhan tentukan di dalam sejarah yang menuju kepada rencana, tujuan, dan kehendak Allah. Orang Kristen tidak perlu takut pada komunisme, atheisme, post-modernisme, dan segala pikiran manusia yang rasionya dicipta, terbatas, berdosa, dan tak bersasaran. Orang Kristen mempunyai Alkitab dan sasaran. Kita tahu bahwa Allah yang menciptakan segalanya adalah Allah yang telah memberikan sasaran, menunjukkan tujuan, merencanakan strategi untuk penggenapan rencana-Nya di hari kiamat. Kehendak Tuhan yang mulia akan dinyatakan dalam rencana yang tersedia, tertarget, terstrategi, dan berkuasa. Sekalipun begitu banyak yang melawan dan berencana menghancurkan rencana Tuhan, semuanya tidak mungkin berhasil, karena rencana Allah akhirnya yang akan terjadi menurut apa yang ditetapkan Allah. Dialah Tuhan yang berencana dan mempunyai kehendak sampai akhir.
Allah bukan produksi rasio, karena rasio ciptaan Allah. Kita menaklukkan otak, emosi, kemauan, dan kelakuan kita kepada kebenaran Allah, cinta Allah yang suci, kehendak Allah yang kekal, dan pimpinan Roh Kudus. Itulah yang diajarkan di dalam Theologi Reformed. Reformed bukan hanya karena mengerti predestinasi, melainkan seluruh hidup kita harus takluk kepada Tuhan. Amin.