Doa Bapa Kami berbeda dari semua doa agama lain. Dapat dikatakan bahwa tidak ada pengajaran dari pendiri agama lain yang memperkenalkan dirinya mengenal Allah sejati dan mengutarakan permintaan mereka kepada Tuhan di sorga. Hanya Tuhan Yesus yang diutus Allah menjadi manusia, sehingga Ia dapat mengerti kesusahan manusia dan mendidik manusia yang diciptakan untuk mengabdi dan berdoa kepada Allah sesuai dengan struktur kebenaran yang sempurna.
Dalam Doa Bapa Kami, pertama-tama ada tiga hal tentang hubungan manusia dengan Allah, sesudah itu ada empat hal tentang hubungan manusia dengan dunia materi, sesama manusia dan dengan setan, lalu tiga hal lagi tentang bagaimana kita mengerti kehendak Allah, barulah penutup. Doa bukanlah memaksa Allah untuk mengikuti hawa nafsu dan ambisi manusia yang mau memperalat Allah dengan dalih Allah Mahakuasa. Sering kali manusia mau menjadikan Allah sebagai alat atau pembantu yang menggenapi keinginannya. Doa adalah hubungan yang erat, relasi rohani antara yang dicipta dan Yang Mencipta.
“Bapa Kami yang ada di sorga.” Ia tidak dekat dengan kita di bumi, Dia jauh di sorga, tetapi dekat dengan kita dalam relasi, karena kita sudah menjadi anak-Nya. Kita boleh menyebut Dia sebagai Bapa. “Dikuduskanlah nama-Mu, datanglah Kerajaan-Mu, dan jadilah kehendak-Mu di bumi seperti di sorga” mengandung tiga permohonan, bukan tentang apa yang kita perlu, tetapi bagaimana menyesuaikan diri dengan apa yang Tuhan tetapkan di dalam rencana-Nya yang kekal. Orang yang berdoa seperti ini mengerti isi hati Tuhan, tidak egois, dan mau hidup sesuai dengan rencana, kehendak, dan kemuliaan Allah yang kekal.
Kedua, manusia, yang diciptakan menurut peta dan teladan Allah, akibat kejatuhan ke dalam dosa, telah hidup dengan penuh kesusahan. Ada tiga problem yang harus kita atasi, yaitu: a) Problem antara kita dan kebutuhan materi yang merupakan kebutuhan jasmani di dalam tubuh; b) Problem manusia dan manusia, yang dipenuhi dengan kesalahmengertian, kebencian, iri hati, dan gesekan; c) Problem menghadapi serangan, ujian, dan pencobaan setan yang ingin kita berbuat dosa. Di sini kita minta pertolongan Tuhan untuk melepaskan kita. Kita telah membahas tentang kebutuhan makanan yang kita perlukan, dan kini kita berdoa, “Ampunilah kami seperti kami sudah mengampuni orang lain.” Ini adalah doa tentang hubungan antarpribadi.
Saya adalah manusia yang hidup di dunia dan tidak bisa lepas dari hubungan dengan manusia lain, dan tidak bisa hidup semau sendiri. Saya harus hidup harmonis, damai, rukun dengan sesama manusia yang berbeda konsep, agama, ideologi, adat kebiasaan, dan pembawaan karakternya. Manusia berbeda dari hewan. Hewan lebih dilihat kesamaannya, sementara manusia dikenal dengan keunikan dan kepribadiannya yang berbeda dengan orang lain. Maka ketika kita hidup di dunia, kita tidak bisa lepas dari hubungan dengan materi dan sesama. Ketika manusia hidup bersama, semakin lama semakin akan dirasakan perbedaannya. Di sini kita perlu belajar memperbaiki hubungan antarmanusia. Kita perlu belajar melihat banyak kelebihan orang lain, bukan mencari kekurangan dan kesalahan orang lain.
Pada saat kita membangun suatu komunitas, yang paling penting adalah memperbaiki hubungan antarpribadi. Hanya dengan demikian akan terbentuk komunitas yang baik. Menurut Empedocles, filsuf Gerika 2.400 tahun yang lalu, ada dua unsur yang membuat perubahan dalam fenomena relasi seluruh alam semesta, yaitu cinta kasih dan kebencian.
Di mana ada cinta kasih, manusia saling mendekat, bersatu, saling mengampuni, dan saling mengerti. Di mana ada kebencian, manusia saling menolak, menggeser satu terhadap yang lain, bertentangan, berperang, dan menghancurkan. Hanya ada dua kekuatan ini yang menentukan relasi antarmanusia. Jika kekuatan cinta kasih melebihi kekuatan benci, maka pembentukan, penggenapan, dan kesempurnaan terjadi. Tetapi jika kebencian melebihi cinta kasih, maka kerusakan, pemberontakan, dan kehancuran terjadi.
Ketika terjadi benturan, Tuhan Yesus mengajarkan dalam doa ini, “Ampunilah kami seperti kami telah mengampuni orang lain.” Tidak ada seorang pun yang tidak bersalah. Memang kesulitan kita di dunia ini, yang pertama adalah antara saya dan dunia materi; tetapi kemudian yang kedua adalah antara saya dan sesama saya. Ada orang yang mencintai materi sampai dibuang Tuhan; ada orang yang begitu mencintai Tuhan dan tidak mau materi sampai kelaparan, kurang sehat, dan akhirnya sakit. Tuhan meminta hubungan kita dengan dunia materi secukupnya saja. Inilah sikap yang menyatakan kepuasan, tidak serakah, berambisi liar, atau memaksa Tuhan, tetapi sebaliknya bisa mensyukuri dengan penuh sukacita. Jika Tuhan memberikan banyak, ingatlah orang lain yang membutuhkan. Ada tertulis: “Jika ada kelebihan di tanganmu, berikan kepada mereka yang patut” (Ams. 3). Orang yang patut diberi adalah orang yang sendiri selalu merasa tidak patut. Orang yang tidak patut diberi adalah orang yang selalu merasa diri patut, bahkan lebih dari patut, di mana mereka mau merampas milik orang lain.
Tuhan kemudian berkata, “Ampunilah kami, ya Tuhan, sebagaimana kami telah mengampuni orang lain.” Ayat ini tidak boleh ditafsir sebagai suatu pemaksaan untuk Tuhan harus mengampuni saya karena saya sudah mengampuni orang lain. Jika ditafsirkan demikian, berarti Allah tidak pernah bisa mengampuni orang lain dan tidak tahu bagaimana mengampuni orang. Itu berarti Allah harus belajar dari kita, karena kita yang mengampuni orang lain, lalu Allah diperintahkan untuk mengampuni kita. Ini adalah pembalikan fakta sifat ilahi dan pembalikan kebenaran Alkitab yang diwahyukan kepada kita.
Alkitab berkata tidak ada seorang pun yang berinisiatif mengampuni orang lain. Orang yang belum percaya jika berbuat baik selalu dalam rangka mengambil jasa, menganggap diri lebih baik dari orang lain. Sifat pembenaran diri seperti ini membuat mereka dibuang oleh Tuhan. Dosa paling besar adalah menganggap diri tidak berdosa dan lebih baik dari orang lain. Ini yang membuat orang Farisi dibuang oleh Tuhan Yesus. Mereka sudah menerima Taurat, mendapatkan keunikan dan hak istimewa dari Tuhan sebagai orang Yahudi, tetapi mereka tidak peduli dan malah menjadi sombong. Tuhan membenci orang yang membenarkan diri, belum bisa berbuat baik tetapi sudah menganggap diri baik, belum sempurna menjalankan Taurat tetapi sudah menghina mereka yang tidak mempunyai Taurat. Jika Tuhan mengampuni engkau, lalu engkau mengerti bahwa orang berdosa seperti dirimu masih mau diampuni karena Tuhan begitu baik kepadamu, maka engkau bisa mulai belajar mengampuni orang lain. Inilah pikiran yang benar.
Alkitab mencatat: “Barang siapa yang menerima Dia, diberi kuasa untuk menjadi anak-anak Allah, yaitu mereka yang percaya kepada Anak Tunggal Allah” (Yoh. 1:12). Maka Doa Bapa Kami bukan doa orang non-Kristen, melainkan doa anak-anak Tuhan yang sudah diampuni. Jika kita sudah diampuni, kita bisa berdoa demikian, karena kita sudah menjalankan firman. Maka kita mengerti bahwa Tuhan sudah mengampuni kita terlebih dahulu, lalu mereka yang sudah diampuni tergerak dan bersyukur, lalu mulai mengampuni orang lain. Jadi bukan manusia yang berinisiatif, melainkan Tuhan yang berinisiatif mengampuni. Aku pernah diampuni Tuhan, maka aku harus mengampuni orang lain. Aku pernah diberi kematian Yesus di kayu salib, maka aku harus belajar bagaimana menyerahkan diri berkorban bagi orang lain. Inilah urutan yang benar.
Allah memberikan anugerah-Nya terlebih dahulu kepada kita. Anugerah diberikan bukan karena jasa, kelakuan, atau kelayakan kita. Paulus berkata, bukan melalui kelakuan kita yang baik, jasa yang kita raih, atau kelayakan kita, maka kita patut diberi, melainkan justru karena kita tidak layak, maka anugerah itu diberikan kepada kita. Hari ini saya diampuni dosanya, diberikan kesehatan, dapat melayani, dan bersaksi adalah semata-mata karena anugerah. Anugerah Tuhan lebih dahulu dari semua reaksi manusia kepada Tuhan. Dasar pemikiran ini dimulai dari Alkitab dan dimengerti pertama kali oleh Agustinus pada abad 4. Ia berkata, “Saya berdoa kepada Tuhan, lalu Tuhan memberikan berkat kepada saya. Tetapi mengapa saya bisa berdoa kepada Tuhan? Bukan karena saya pandai, berjasa, atau cukup iman. Saya tidak memiliki apa-apa di hadapan Tuhan.” Di sini ia memberikan pertanyaan yang sangat penting, “Jika Tuhan tidak memberikan anugerah, bisakah saya berdoa?” Di sini kita melihat diputarnya prinsip theologi sejak 1.600 tahun yang lalu oleh pemikiran Agustinus. Ia memikirkan “siapa yang pertama”? Aku cinta dan datang kepada Tuhan karena Tuhan terlebih dahulu cinta dan datang kepada saya. Saya bisa meminta kepada-Nya karena Ia mengirimkan Roh Kudus yang membuat saya bisa meminta. Segala yang baik dimulai dari Tuhan. Ia yang mulai dan berinisiatif. Akibatnya, kita dapat bereaksi dan berterima kasih kepada-Nya. Dengan prinsip inilah kita membaptiskan anak-anak. Ketika Tuhan memberikan anugerah, orang itu belum dilahirkan, maka anugerah Tuhan lebih dahulu dari eksistensi dan reaksi orang itu kepada Tuhan.
Paulus berkata, “Ketika aku masih berada di dalam rahim ibuku, Tuhan sudah memanggilku.” Bagaimana mungkin seseorang yang berada di dalam rahim ibunya bisa mendengar panggilan Tuhan dan bereaksi kepada-Nya? Ia menarik mundur tiga puluh tahun sebelum ia lahir untuk menyatakan bagaimana Tuhan sudah terlebih dahulu memanggilnya. Belum cukup dengan itu, di Efesus 1 ia menarik mundur lagi beribu-ribu tahun yaitu sebelum dunia diciptakan.
Tuhan telah memanggil saya sebelum saya ada di dalam dunia. Maksudnya, Allah yang berencana, bukan secara mendadak, tetapi telah terencana di dalam kekekalan. Seluruh sejarah direncanakan oleh Allah sebelum dunia diciptakan. Allah yang berbijaksana adalah Allah yang kekal, yang berkehendak dan yang menetapkan rencana-Nya sebelum dunia diciptakan. Ketika Allah memanggil, engkau belum ada, tetapi dalam pikiran Allah engkau sudah ada. Itu berarti Tuhan terlebih dahulu berinisiatif. Anugerah Allah mendahului keberadaan dan reaksi kita kepada Tuhan. Setelah Tuhan menetapkan lalu menciptakan, beribu-ribu tahun kemudian barulah engkau lahir. Setelah engkau lahir, engkau berkesempatan mendengar Injil, digerakkan oleh Roh Kudus, akhirnya engkau sadar dan bertobat. Itu bukan rencanamu, tetapi rencana Allah. Respons itu mengakibatkan kita bersaksi kepada sesama kita. Maka anugerah Allah mendahului respons manusia. Kita berani membaptiskan anak-anak dari keluarga Kristen karena alasan ini.
Seorang anak dalam keluarga Kristen berarti Tuhan memberikan anugerah kepada anak itu. Sebelum ia bisa bereaksi, Tuhan sudah mencintai dia. Maka janganlah engkau mengabaikan kewajiban sebagai orang tua untuk membimbing anak-anak itu beriman kepada Tuhan, karena di dalam keluarga non-Kristen, mereka tidak mempunyai kesempatan mendengar ayahnya berdoa dan membaca Alkitab. Anak itu dari kecil dipupuk dengan janji ayah-ibu: “Engkau memberikan anak kepada kami, maka kami akan mendidik dia baik-baik dengan firman-Mu.” Ketika anakmu dibaptis, engkau sudah berjanji terlebih dahulu. Suatu hari anakmu akan dilahirkan kembali dan belajar bagaimana Tuhan mengampuni dia, dan ia harus mengampuni orang lain. Ketika engkau taat kepada Tuhan, engkau akan berhasil. Engkau akan menghasilkan buah sebagai bukti engkau sudah mendapat anugerah keselamatan dari Tuhan. Setelah engkau menerima anugerah, kini engkau melaksanakannya. Iman tanpa kelakuan, mati adanya. Hidup beriman sejati akan mengakibatkan kelakuan sejati.
Namun ada orang-orang yang mau diampuni tetapi tidak mau mengampuni. Bahkan ia menuntut Tuhan harus melayani dia. Kita sudah mendapat pengampunan dari Tuhan, mengapa tidak mengampuni orang lain? Maka setelah mengajarkan Doa Bapa Kami, Tuhan Yesus menambahkan, “Karena jika engkau mengampuni kesalahan orang, Bapamu yang di sorga akan mengampuni kamu juga; tetapi jika engkau tidak mengampuni orang, maka Bapamu juga tidak akan mengampuni kamu.” Dari seluruh Doa Bapa Kami, hal ini saja yang diberikan penekanan oleh Tuhan Yesus. Di sini kita melihat urutan penting. Pertama, ketika kita menerima pengampunan Tuhan, Tuhan berinisiatif dan kita pasif. Kita tidak layak, tidak berjasa, dan tidak berkelakuan cukup baik. Inilah anugerah. Keselamatan, pengampunan dosa, dan dijadikan anak Allah, adalah anugerah. Roma 6:23 mengatakan: “Upah dosa adalah maut, tetapi anugerah Tuhan adalah hidup yang kekal di dalam Kristus Yesus Tuhan kita.” Maka, upah yang patut adalah maut. Anugerah itu tidak patut. Kita seharusnya binasa karena kita berdosa. Tetapi jika saya diselamatkan, dosa saya diampuni dan dilahirkan kembali, itu bukan tugas dan kewajiban Allah, karena Allah tidak pernah berhutang kepada manusia. Manusialah yang bersalah kepada Allah. Maka, jika kita diselamatkan, itu semata-mata adalah anugerah.
Semua anugerah yang kita terima adalah karena Tuhan Yesus sudah membayar harga. Setiap kali kita menerima anugerah, kita harus selalu ingat bahwa ada orang yang sudah membayar harganya bagi kita. Pembayaran yang Kristus lakukan adalah mati di kayu salib, dibuang Allah, dipisahkan dari anugerah Allah, sehingga Ia harus berteriak, “Eli, Eli, lama sabakhtani” yang artinya “Allah-Ku, Allah-Ku, mengapa Engkau meninggalkan Aku.” Allah berinisiatif dengan anugerah-Nya sebelum kita bereaksi kepada-Nya. Anak-anak memang belum beriman kepada Tuhan, namun sudah diberkati Tuhan karena telah dipilih sebelum dunia diciptakan untuk dilahirkan dalam keluarga orang percaya.
Jika ada orang yang bertanya, “Tidak tahukah kamu bahwa dosamu besar jika anak-anak yang dibaptiskan ketika nanti menjadi besar melawan Tuhan?” Hendaklah kita menjawab, “Apakah yang dibaptis dewasa tidak ada yang memberontak?” Sama saja. Mary Slessor dibaptis pada usia tujuh tahun dan Matthew Henry dibaptis usia sepuluh tahun. Mereka adalah orang-orang yang agung di dalam sejarah. Mary Slessor menjadi misionaris wanita yang teragung di Afrika. Matthew Henry adalah penulis tafsiran Alkitab yang begitu luar biasa bagusnya. Di dalam tafsirannya yang terdiri dari enam jilid, terdapat lebih dari 6.500.000 kata.
Tuhan mengampuni kita terlebih dahulu sebelum kita mengampuni orang lain. Mintalah pengampunan dari Tuhan melalui pertobatan untuk diselamatkan. Itu hanya satu kali seumur hidup kita. Tetapi pertobatan untuk kehidupan yang suci haruslah dilakukan tiap hari. Doktrin ini perlu kita mengerti. Setiap hari kita minta Tuhan mengampuni kita, menyucikan kita, dan membersihkan kita. Untuk permohonan yang kedua ini kita perlu terlebih dahulu mengampuni orang lain baru boleh berdoa. Yang pertama, kita tidak perlu mengampuni orang lain terlebih dahulu karena engkau tidak mungkin mengampuni orang lain, sebelum engkau menerima pengampunan dari Tuhan. Tetapi untuk yang kedua, permohonan ini harus didahului dengan kita mengampuni orang lain, barulah kita boleh berdoa.
Orang yang penuh kebencian, tidak pernah mengampuni orang lain, tidak mungkin mendapat berkat dari Tuhan. Saya memiliki dua dalil. Jika seseorang dengan sengaja menjatuhkan engkau, tetapi engkau tidak bersalah, seperti apa yang dituduhkan mereka, engkau tidak usah takut: a) Orang yang tidak ikut mempertumbuhkanmu, saat mau menjatuhkan engkau, pasti Tuhan tidak izinkan; b) Jika engkau jujur, setia, dan lapang dada di hadapan Tuhan, dengan rajin mengerjakan pekerjaan Tuhan, sekalipun orang mau melawan engkau, jika Tuhan pelihara, maka mereka tidak akan berhasil. Jika Tuhan melihat kemurnianmu, Ia tidak mengizinkan orang menjatuhkan engkau dan mereka tidak akan berhasil. Maka kita bisa tenang. Tetapi orang yang sudah melawan kita, jika ia bersalah, sadar, dan mengaku salah, kita harus mengampuni dia. Jika dia tidak mengaku salah, kita pun boleh mengampuni dia. Tuhan yang adil akan mengadili semua pada hari terakhir. Jika hingga hari terakhir dia baru sadar ia bersalah dan tidak ada waktu lagi untuk bertobat, Tuhanlah yang akan menghadapi dia. Tetapi dalam hal ini, kita sendiri harus tetap setia kepada Tuhan, harus berlapang dada dan bersedia mengampuni orang lain.
“Ampunilah kami sebagaimana kami mengampuni orang lain.” Jika semua manusia bertobat satu kali, mengapa Tuhan masih meminta gereja-Nya bertobat? Di dalam Wahyu 2 dan 3 tertulis surat kepada tujuh jemaat. Di dalamnya ada empat kali teriakan “Bertobatlah kamu.” Bukankah mereka sudah diselamatkan? Bukankah mereka juga sudah bergereja? Secara status memang mereka sudah suci, tetapi kondisi sehari-hari belum suci, sehingga mereka harus senantiasa meminta pengampunan dari Tuhan. Maka, di dalam Doa Bapa Kami, kalimat ini bukan dimaksudkan untuk meminta pengampunan agar diselamatkan, tetapi untuk kesalahan yang kita perbuat sehari-hari. Sebelum engkau berani berdoa seperti ini, engkau harus terlebih dahulu mengampuni orang lain.
Kiranya pengertian Doa Bapa Kami ini bisa kita mengerti dengan mendalam, akurat, dan tidak menyeleweng untuk menunjang hidup kita di dalam relasi kita dengan Tuhan maupun dengan sesama. Amin.