Menjadi orang Kristen bukanlah hal yang mudah karena kita dituntut pertanggungjawaban akan iman
yang kita percayai. ‘Kenapa kamu jadi Kristen?’ Orang lain yang tidak connect akan bertanya demikian, apalagi ketika mereka melihat adanya suatu pengharapan di dalam diri kita yang percaya. Tetapi juga tidak sedikit yang bertanya, bukan karena mereka mau tahu tetapi hanya untuk melampiaskan olok-olokan dan cibirannya karena iman kita yang berbeda dengan mereka. Jawaban kita akan pertanyaan-pertanyaan existential ini tidak terlepas dari big picture yang kita imani. Big picture di mana eschatological hope merupakan salah satu bagian di dalamnya. Pengharapan eskatologis ini harus merupakan konklusi atas segala penelusuran benang kehidupan yang kita jalani yang membentuk rajutan big picture ini. Sehingga jawaban-jawaban kita bukan saja berkenaan dengan our individual personal hope, tetapi juga theological justification akan pengharapan iman kita. Iman kita bukanlah iman kosong berbalutkan kisah-kisah yang mengharukan emosi tetapi merupakan iman yang tegar dan mampu berdiri tegak tanpa gentar berhadapan dengan segala macam ancaman dan tantangan.
A Christian life is nothing but an eschatological pneumatical life. Setiap orang Kristen yang sudah dilahirbarukan oleh Allah Roh Kudus sedang menjalani kehidupan zaman akhir secara berbeda dari mereka yang belum atau tidak dilahirbarukan. Kepada kita diberikan privilege untuk boleh mencicipi aspek ‘already’ di dalam hidup yang dikontrol oleh Roh Kudus. Melalui karya penebusan Kristus kehendak bebas kita telah kembali dinormalisasikan, yang sebelumnya condong kepada dosa dan kejahatan semata, sekarang menjadi peka dan sensitif terhadap pimpinan dan arahan Roh Kudus. Hidup eschatological dalam Roh yang demikian adalah hidup yang tunduk seutuhnya dalam hak untuk dimiliki dan dipakai oleh Tuhan. Dengan demikian, kehendak kita dimampukan untuk connect dengan kehendak Allah. Sehingga hidup bukan lagi merupakan suatu pencarian akan berhala terbesar untuk mengisi kekosongan lubang hati kita tapi merupakan suatu pengalaman transformasi hidup sebagai suatu ibadah penyembahan yang meluap, menggemburkan seluruh keberadaan peta teladan Allah, baik di dalam diri kita maupun lingkungan di sekeliling kita.
Tetapi hidup yang ‘already’ ini bukan berarti sudah sempurna. Kesulitan dan penderitaan masih berulang kali berusaha menancapkan taring-taringnya. Namun kita tidaklah perlu jatuh pada suatu keputusasaan. Sebab hidup ‘already’ di kesementaraan ini masih mengalami suatu keberlanjutan dari satu pengharapan yang sudah terpenuhi menuju ke pengharapan yang lebih besar. Inilah kehidupan Kristen: from one fulfilled hope to a greater hope. A Christian lives an eschatos driven life, beranjak dari satu pengharapan dan ditarik dengan pengharapan yang lain. Manusia yang dimurkai Allah selalu berupaya mengabadikan kesenangan yang berlalunya dengan terburu-buru, tetapi justru kesulitan yang datang secara tiba-tiba yang berusaha menetap. Hal ini bukan saja dialami bagi yang berada di luar Kristus, tetapi juga yang di dalam Kristus. Namun kesulitan yang menyelinap ke ‘tubuh Kristus’ justru sendirinya yang akan dikejutkan sebab tuan di bawah atap rumah itu adalah Tuhan sendiri. Tuhan yang mengizinkan kesulitan itu menerobos untuk memorak-porandakan tembok bait-Nya yang kokoh, Tuhan juga yang akan (dan telah) merestorasi bait kudus tempat kediaman-Nya. Janji yang digenapi di dalam Kristus yang bangkit, juga akan tergenapi bagi yang mati dan hidup bersama-Nya. An eschatos driven life aims at a purpose higher than the life itself, it aims at God who is the life, at Christ who is the resurrection. No lesser glory can be escorted to Him, who has conquered death.
Seorang Kristen adalah Kristen yang baik jika dia pantang berpaling dari firman Tuhan yang kudus. Di dalam firmanlah hidupnya disegarkan, di dalam firmanlah dia mendapat kekuatan, di dalam firmanlah dia mendapatkan pengharapan. Banyak mazmur mengungkapkan isi hati orang percaya yang secara blak-blakan membuka diri di hadapan Allah yang kudus, Mazmur 42 dan 43 termasuk di dalamnya. Dua kali dicatat pemazmur menderita, mencucurkan air mata karena olokan musuh-musuhnya yang bertanya, ‘Di manakah Allahmu?’ Siapakah Allah pemazmur? Allah pemazmur adalah Allah Israel. Allah Israel adalah Allah yang mengetahui penderitaan yang dialami umat-Nya. Tuhan mendengar keluh kesah umat-Nya pada saat perbudakan di Mesir dan Tuhan membebaskan mereka. Ketika umat-Nya berpaling dari diri-Nya dan Tuhan mengirimkan hajaran kepada yang dikasihi-Nya, seruan permintaan tolong mereka melembutkan hati Tuhan dan Dia membangkitkan hakim-hakim-Nya. Allah bukan saja Allah yang transenden, tetapi juga Allah yang imanen, yang beserta dengan umat-Nya. Sehingga provokasi ‘Di manakah Allahmu?’ benar-benar menusuk hati pemazmur. Dalam pergumulan yang sedemikian hebat, pemazmur berkata kepada Allah, ‘Mengapa Engkau melupakan aku?’
Tapi bukan ungkapan pesimistis saja yang pemazmur ungkapkan, ada respons yang berulang-ulang diungkapkannya di mazmur ini. Mengapa engkau tertekan, hai jiwaku, dan mengapa engkau gelisah di dalam diriku? Berharaplah kepada Allah! Sebab Aku bersyukur lagi kepada-Nya, penolongku dan Allahku! Dia melakukan self-counseling, konsep yang 100% bertolak belakang dengan self-help books yang terpajang di toko-toko buku. Dia memberikan dorongan kepada diri untuk berharap tanpa menjadikan diri sendiri sebagai subjek penolong tetapi menggantungkan pengharapannya kepada Allah di luar dirinya. Siapakah Allah penolong kita? Pemazmur memakai istilah the help of my countenance, penolong air wajahku, mimik mukaku, ekspresi rupaku. Tuhanlah yang akan menaruh senyum kesukacitaan bagi yang berharap kepada-Nya. Ketika Tuhan seakan melupakan kita, apakah kita masih berharap kepada-Nya seperti menantikan terang fajar yang menyingsing? Pengharapan kita adalah muka kita bisa berhadapan dengan muka Tuhan, dan saat itu terjadi kita mengalami keserupaan dengan Sang Penebus. Kita dicipta bukan untuk menjadi bayangan yang gelap melainkan pancaran warna-warni refleksi kemuliaan Allah.
Saat Yesus berada di dunia, dia hadir sebagai jawaban atas penantian umat pilihan-Nya. Setelah Yesus naik ke sorga dan bertakhta sampai kini, penganiayaan kepada Gereja-Nya merupakan penganiayaan kepada diri-Nya. Dia tetap adalah Imanuel. Mari kita mencari muka-Nya. Cinta kita pada hal-hal yang sementara ini akan berakhir. Hanya pautan kasih pada Sang Kekal yang akan terus meningkat di dalam kesementaraan dan memuncak di kala sumbu waktu mencapai akhirnya. Kasihilah Allahmu! Biarlah firman-Nya menarik langkah kita untuk menyambut kehadiran-Nya. Biarlah panggilan suara-Nya menawan kita sampai kita memandang wajah-Nya, saat Yesus datang kedua kalinya. Kiranya hidup yang demikianlah yang mewarnai kehidupan Kristen kita sekarang seraya menunggu kedatangan-Nya yang kedua kali.
Audy Santoso
Mahasiswa STT Reformed Injili Internasional