Pengharapan eskatologis (future) akan menentukan bagaimana cara hidup, berpikir, bahkan bertheologi pada saat ini (present) karena di situlah terletak seluruh pengharapan kita.[1] Semua orang mempunyai cerita metanarasinya sendiri dan melalui cerita mereka, setiap orang berusaha mengonstruksi sebuah janji eskatologis yang ditawarkan kepada para pengikutnya. Melalui janji-janji tersebut, mereka telah berhasil untuk menggerakkan banyak manusia untuk melakukan revolusi-revolusi untuk mewujudkan utopia mereka masing-masing. Rousseau menjanjikan kebebasan dari society and civilization dan menghasilkan revolusi Perancis,[2] Karl Marx dan Friedrich Engels telah menggerakkan seluruh kaum proletar untuk mengguncang sistem tatanan sosial saat itu,[3] Friedrich Nietzsche menawarkan sebuah kebebasan dari seluruh ikatan metafisika yang menawan manusia sehingga menghasilkan banyak revolusi intelektual setelahnya,[4] dan masih banyak lagi. Jika kita benar-benar mengamati dari kacamata christian worldview, semuanya ini terjadi karena mereka salah memahami tentang realitas asli manusia di dua poin, creation dan fall sehingga mereka menawarkan solusi dan masa depan yang keliru. Kesalahan ini pun tidak luput di dalam kalangan Kristen sendiri. Sehingga kita harus benar-benar merefleksikan kembali apakah pengharapan eskatologis kita sudah tepat atau jangan-jangan kita hanya menaruh pengharapan pada sesuatu yang salah.
Dalam sebuah artikel Christianity Today, sistem eskatologi Theologi Injili mendapat dua kritikan tajam.[5] Pertama, karena memiliki tendesi gnostik yang sebenarnya telah berusaha dibasmi oleh Yohanes pada abad permulaan dimana mereka berfokus pada hal yang spiritual dan menolak hal-hal fisikal. Kedua, mereka lebih memilih memandang eschatos sebagai perjalanan kembali ke Taman Eden (dengan setting spiritual) daripada sebuah perjalanan menuju Yerusalem yang baru. Kegagalan ini menunjukkan bahwa sebenarnya banyak orang Kristen gagal melihat kaitan eschatos sebagai kontinuasi sekaligus penutup dari kisah-kisah sebelumnya dalam drama metanarasi kosmis Allah.[6] Gagalnya melihat keutuhan metanarasi ini menyebabkan eskatologi dianggap sebagai suatu pelarian tanggung jawab daripada harapan untuk mengerjakan tanggung jawab kita sehingga kita tergoda untuk mengerjakan hal-hal spiritual saja. Konsep ini malah lebih mirip dengan konsep Buddhisme daripada kekristenan.
Berbeda dengan sistem theologi yang lain, Theologi Reformed sangat menekankan kedaulatan Allah yang mutlak di mana kehendak kekal Allah akan menentukan arah sejarah.[7] Hal ini memungkinkan Theologi Reformed memiliki sebuah metanarasi yang berpusat pada diri Allah yang tidak tergantung ciptaan. Apapun yang manusia lakukan, rencana kekal Allah tidak mungkin tergoncang. Hal ini membuat Theologi Reformed memiliki suatu kepastian eskatologis. Dalam kehendak moral Allah, Tuhan sama sekali tidak menghendaki adanya dosa. Jadi dalam kedaulatan-Nya Tuhan mencipta dan arah dari ciptaan ini langsung menuju ke konsumasi. Akan tetapi dalam misteri Ilahi, dosa diizinkan masuk ke dalam ciptaan. Efek dosa ini adalah kutukan terhadap ciptaan yang membuatnya tidak mampu lagi menuju ke tahap konsumasi. Seolah-olah rencana Allah gagal berantakan, tetapi dalam rencana Allah yang kekal, Allah telah menyediakan solusi terhadap kejatuhan ini. Penebusan memampukan lagi seluruh ciptaan bergerak ke arah konsumasi. Eskatologi sendiri tidak bisa dipandang sebagai suatu sistem yang berdiri sendiri, dan bisa dilepaskan dari keseluruhan skema metanarasi ini.
Eschatos sebagai arah gerak dari Creation menuju Consummation
Seandainya Adam tidak pernah jatuh dalam dosa, arah gerak sejarah dari penciptaan menuju konsumasi tetap akan terjadi karena hal ini merupakan rencana Allah terhadap ciptaan. Penciptaan maupun konsumasi dimulai dan diakhiri oleh Allah.[8] Creation menurut Dooyeweerd selalu bersifat eschatological yaitu sebuah proses terbuka (ontsluitingsproces) dalam perkembangan sejarah.[9] Kondisi akhir zaman tidak akan bermakna tanpa mengerti kondisi awal zaman. Masalahnya kaum Injili cenderung memulai interpretasinya dari kondisi kejatuhan dan kutukan sehingga arah gerak manusia dipandang sebagai usaha melarikan diri dari kutukan ini. Kali ini kejadian dan wahyu diparalelkan untuk menemukan hubungan langsung antara creation dan consummation ini.
Alkitab dimulai dengan kalimat, “In the beginning, God created the heavens and the earth. The earth was without form and void, and darkness was over the face of the deep. And the Spirit of God was hovering over the face of the waters”.[10] Ini bisa diparalelkan dengan “Then I saw a new heaven and a new earth, for the first heaven and the first earth had passed away, and the sea was no more”.[11] Di mana kitab Kejadian membahas tentang langit dan bumi lama, sedangkan kitab Wahyu membahas tentang langit dan bumi baru. Perbandingan kata yang dipakai adalah καινόν (kainon) -> new dan πρώτος (protos) -> first. Pemakaian kata baru di sini adalah kainos dan bukan neos, di mana lebih bermakna bentuk yang baru daripada sesuatu yang benar-benar baru. Ini berarti langit dan bumi yang baru adalah tetap langit dan bumi yang kita tinggali sekarang. Jika Tuhan sampai harus menghancurkan yang lama dan mengganti dengan yang baru, berarti Tuhan gagal menggenapkan karya ciptaan-Nya sampai ke tujuan akhirnya.
Bagian lain yang bisa kita paralelkan adalah permukaan bumi yang dipenuhi air dalam kitab Kejadian dan laut tidak ada lagi dalam kitab Wahyu. Dalam kepercayaan Mesopotamia dan sekitarnya, laut adalah simbol kekacauan. Dalam Alkitab sendiri laut diidentikkan dalam posisi antagonis, air bah yang menutupi permukaan bumi (Kej. 7:11), rumah Leviathan simbol musuh Allah (Yes. 27:1), empat hewan muncul dari laut (Dan. 7:3), dan lain-lain. Dalam kitab Wahyu juga tertulis and night will be no more[12], di mana juga terdapat kontras antara kondisi awal yang dipenuhi kegelapan dan kondisi akhir di mana tidak terdapat malam. Terang selalu diidentikkan dengan Tuhan, dan seolah-olah bagian ini menunjukkan penguasaan penuh Tuhan atas segala sesuatu di akhir zaman.
Selanjutnya, akan menarik untuk membandingkan perubahan struktur peradaban dari kitab Kejadian menuju kitab Wahyu. Dalam kitab Kejadian ditulis And the LORD God planted a garden in Eden, in the east, and there he put the man whom he had formed[13] sedangkan dalam kitab Wahyu, “And I saw the holy city, new Jerusalem, coming down out of heaven from God”[14]. Alkitab bercerita manusia memulai peradaban dari Taman dan mengakhirinya dengan Kota. Dan untuk mengembangkan peradaban ini manusia memerlukan kebudayaan. Oleh karena itu Tuhan memberi perintah pada manusia, And God blessed them. And God said to them, “Be fruitful and multiply and fill the earth and subdue it, and have dominion over the fish of the sea and over the birds of the heavens and over every living thing that moves on the earth”.[15]Dalam Calvin Commentary dibahas, “that the earth was given to man, with this condition, that he should occupy himself in its cultivation”.[16] Dengan mengerjakan panggilan ini peradaban manusia terus maju menuju konsumasi.
Selanjutnya kita bisa amati adanya kontinuasi dari material-material di alam yang tidak terolah awal zaman menjadi tersusun rapi di akhir zaman. Dalam Kejadian dicatat, “The name of the first is the Pishon. It is the one that flowed around the whole land of Havilah, where there is gold. And the gold of that land is good; bdellium and onyx stone are there. The name of the second river is the Gihon. It is the one that flowed around the whole land of Cush.”[17] Selanjutnya dalam kitab Wahyu menubuatkan, “The foundations of the wall of the city were adorned with every kind of jewel. The first was jasper, the second sapphire, the third agate, the fourth emerald, the fifth onyx, the sixth carnelian, the seventh chrysolite, the eighth beryl, the ninth topaz, the tenth chrysoprase, the eleventh jacinth, the twelfth amethyst. And the twelve gates were twelve pearls, each of the gates made of a single pearl, and the street of the city was pure gold, like transparent glass”.[18] Jumlah keanekaragaman material menjadi semakin kompleks dan material-material yang kelihatan tidak terpakai di awal pada akhirnya akan digunakan menjadi fondasi kota. Pergerakan peradaban dari taman menuju kota inilah yang menjadi motif perkembangan sejarah.
Masih banyak lagi yang bisa kita paralelkan dari kitab Kejadian dan kitab Wahyu, yang menunjukkan bahwa consummation sebagai kontinuasi sekaligus kegenapan dari creation. Seandainya tidak ada dosa maka Adam beserta seluruh keturunannya akan terus hidup bersama Tuhan untuk menguasai seluruh bumi sampai titik konsumasi terjadi.
Eschatos di dalam paradoks antara Fall dengan Redemption
Dosa adalah suatu anomali yang merusak seluruh tatanan ciptaan. Ciptaan yang tadinya secara natural bergerak dari Taman Eden menuju Kota Yerusalem, sekarang malah bergerak menuju Kota Babel (simbol kekacauan dalam kitab Kejadian dan kerajaan Iblis dalam kitab Wahyu). Melalui buku-buku sejarah yang komprehensif,[19] kita bisa melihat bahwa dalam setiap peradaban manusia terdapat motif creation mandate di dalamnya sehingga banyak peradaban maju bisa bermunculan, namun di sisi lain di dalamnya juga terdapat racun dosa yang menggerogoti setiap kebudayaan dari dalam hingga akhirnya hancur. Pernahkah berpikir dalam hampir di semua kebudayaan ada senjata, minuman keras, pelacuran, penjara, militer, rumah sakit, kuburan, dan lain-lain? Jika dosa tidak pernah masuk maka kebudayaan manusia tidak akan menghasilkan hal-hal seperti ini. Van Til menunjukkan bahwa dosa terus menerus merusak manusia sehingga dari generasi ke generasi efek ini menjadi semakin parah, tanpa anugerah Allah (baik khusus maupun umum) segala sesuatu akan hancur.[20]
Creation menjadi semakin rusak bukan hanya karena dosa, tetapi juga karena kutukan sebagai revelation of wrath dari Tuhan[21]. Murka Allah di mana-mana membuat manusia menjadi tersiksa, tetapi sekaligus hal ini menjadi pengingat bagi manusia akan dosa-dosanya. Dalam Kejadian 3 ditulis, “Cursed is the ground because of you; in pain you shall eat of it all the days of your life; thorns and thistles it shall bring forth for you; and you shall eat the plants of the field.”[22] Kutukan ini melanda semua ciptaan seperti yang tertulis dalam surat Roma, “For we know that the whole creation has been groaning together in the pains of childbirth until now”.[23]Dalam ayat tersebut semua ciptaan mengalami hukuman yang sama persis dengan hukuman yang diterima Hawa. Semua kutukan dan dosa ini hanya bisa dihapus oleh penebusan Kristus. Dalam surat Roma dikatakan, “For I consider that the sufferings of this present time are not worth comparing with the glory that is to be revealed to us. For the creation waits with eager longing for the revealing of the sons of God. For the creation was subjected to futility, not willingly, but because of him who subjected it, in hope that the creation itself will be set free from its bondage to corruption and obtain the freedom of the glory of the children of God”.[24]
Tetapi dalam providensia Tuhan, Abraham dipanggil, yang melaluinya akan memunculkan Israel, bayang-bayang Kerajaan Allah. Israel diatur oleh sistem theokrasi yang berpusat di Yerusalem tempat Bait Allah hadir. Tetapi di dalam keberdosaannya, akhirnya Israel selalu tidak setia terhadap Allah sampai akhirnya mereka dibuang ke Babel. Akhirnya dari Israel yang seolah-olah hancur, muncul satu tunas yang melalui-Nya semua dosa dan kutuk ditebus, dan juga Kerajaan Allah dalam bentuk gereja yang tidak kelihatan didirikan. Penebusan Kristus ini mempunyai jangkauan terhadap segala sesuatu termasuk langit dan bumi dan segala isinya.[25] Bavinck mengatakan, “God’s honor consists precisely in the fact that he redeems and renews the same humanity, the same world, the same heaven, and the same earth that have been corrupted and polluted by sin”.[26]Penebusan ini akan membersihkan seluruh aspek dosa dan kutuk, semua menjadi damai dan tidak ada lagi perang,[27] semua senjata akan ditransformasi menjadi alat bertani,[28] kereta kuda dan benteng-benteng dihancurkan,[29] tidak ada binatang liar, perbudakan, penjarahan,[30] tanah menjadi luar biasa subur (gurun menjadi kebun, kebun menjadi hutan),[31] natur semua hewan berubah (karnivora dan herbivora hidup damai),[32] dan lain-lain. Namun sekarang penebusan ini belum sempurna, dan akan menjadi sempurna pada konsumasi.
Aspek redemption membuat dunia sekarang tidak hanya berada di tengah-tengah dosa dan kutuk tetapi juga penebusan yang bersifat already and not yet, di tengah-tengah murka dan anugerah. Oleh karena itu posisi orang Kristen menjadi sangat sentral dalam usaha menebus seluruh ciptaan. Ia harus berusaha membawa penebusan Kristus masuk hingga ke setiap ciptaan sampai konsumasi bisa terjadi. Namun ia hidup dalam paradoks, di satu sisi ia berada dalam dunia yang berdosa, di sisi lain ia harus berjuang bagi kerajaan Allah di mana ia akan selalu berbenturan dengan dunia yang berdosa. Kuyper melihat ini sebagai antithesis yang tak terjembatani, yaitu sebagai peperangan antara orang yang men-Tuhan-kan Kristus dan yang tidak.[33] Hal senada juga muncul dalam buku City of God, Augustine menggambarkan hal ini seperti antithesis antara dua kota ini, “The two cities are shaped by two loves: the earthly by the love of self, even to the contempt of God; the heavenly by the love of God, even to the contempt of self. The former, in a word, glories in itself, the latter in the Lord. For the one seeks glory from people; but the greatest glory of the other is God, the witness of conscience”.[34]
Tentunya Iblis jauh lebih berkuasa dari kita, tanpa anugerah Allah peperangan ini hanyalah berakhir dengan kekalahan konyol. Ditambah lagi anugerah Allah atas dunia ini akan terus menerus dicabut.[35] Alkitab mencatat bahwa di zaman akhir bangsa bangkit melawan bangsa, kelaparan, gempa,[36] banyak nabi palsu,[37] kedurhakaan,[38] manusia akan mencintai diri sendiri, menjadi hamba uang,[39] dan lain-lain, bahkan Yesus bertanya akankah Ia masih mendapati iman saat Ia kembali.[40] Satu-satunya pengharapan kita hanya ditujukan kepada Tuhan kita, yang telah menang atas maut akan membawa kita pada kemenangan akhir. Janji Tuhan pada titik konsumasi tidak ada lagi kutukan,[41] air mata, kesedihan, sakit, dan kematian,[42] serta kekalahan total Kota Babel.[43] Suatu kemenangan di mana semua ikatan dosa dan kutuk atas seluruh ciptaan dilepaskan, dan semuanya menjadi ciptaan baru. Hodge dalam hal ini mengatakan bahwa, “This earth with its atmosphere, is to be subjected to intense heat, which will radically change its present physical condition, introducing in the place of the present an higher order things, which shall appear as a “new heaven and new earth,” wherein creature itself, also, shall be delivered from the bondage of corruption into glorious liberty of the children of God.”[44]Nanti dalam tubuh baru yang dibangkitkan dan dalam dunia baru kita akan melihat Tuhan muka dengan muka.[45]
Berjuang menuju eschatos
Konsep eskatologi yang salah akan membuat orang Kristen gagal memaknai hidup mereka dan gagal menjalankan panggilan mereka untuk menebus dunia ini. Mungkin hal inilah yang membuat Feuerbach berkata, “Nature, the world, has no value, no interest for Christians. The Christian thinks only of himself and the salvation of his soul.”[46] Memang benar kuasa dosa begitu merusak dunia dan secara natural tidak mungkin kita bisa menghentikannya. Tapi kita juga harus ingat akan kuasa Injil yang mentransformasi segala sesuatu. Athanasius pernah berkata, “So also, now that the Divine epiphany of the Word of God has taken place, the darkness of idols prevails no more, and all parts of the world in every direction are enlightened by His teaching”.[47]Dengan terus mengingat langit dan bumi kita sekarang inilah yang akan menjadi langit dan bumi yang baru, mari kita terus mengarahkan pandangan kita menuju konsumasi dan menggarap ciptaan Tuhan ini dalam panggilan kita masing-masing. Calvin berkata, “For while hope silently waits for the Lord, it restrains faith from hastening on with too much precipitation, confirms it when it might waver in regard to the promises of God or begin to doubt of their truth, refreshes it when it might be fatigued, extends its view to the final goal, so as not to allow it to give up in the middle of the course, or at the very outset. In short, by constantly renovating and reviving, it is ever and anon furnishing more vigor for perseverance”.[48] Harapan inilah yang terus memampukan kita berjuang bagi Kerajaan Allah. Eschatos akan tetap terjadi dan tidak akan menunggu kita, sungguh berbahagia jika kita bisa ikut berbagian di dalamnya.
Hendrik Santoso Sugiarto
Pemuda GRII Singapura
Endnotes:
[1] Moltmann, Jurgen. Theology of Hope. 1993.
[2] Rousseau, Jean-Jacques. Of The Social Contract, Or Principles of Political Right, 1762.
[3] Marx, Karl and Engels, Friedrich. Manifesto of the Communist Party, 1848.
[4] Nietzsche Friedrich. Also Sprach Zarathustra, 1885.
[5] Jacobsen, Eric. We Can’t Go Back to the Garden: Critiquing Evangelicals’ Over-Ruralized Eschatology.
[6] Suatu alur narasi berkesinambungan tentang Creation-Fall-Redemption-Consummation.
[7] Van Til, Cornelius. Christian Apologetics 2nd edition. Edited by William Edgar. (chapter 5).
[8] Aku adalah Alpha dan Omega, Revelation 21:6 (ESV).
[9] Dooyeweerd, Herman. New Critique of Theoretical Thought. (vol 1:22-33, vol 2:181-328).
[10] Genesis 1:1-2 (ESV).
[11] Revelation 21:1 (ESV), paralel juga dengan Isaiah 65:17-19 (ESV).
[12] Revelation 22:5a (ESV).
[13] Genesis 2:8 (ESV).
[14] Revelation 21:2a (ESV).
[15] Genesis 1:28 (ESV).
[16] Calvin, John. Commentary on Genesis (2:15).
[17] Genesis 2:11-13 (ESV).
[18] Revelation 21:19-21 (ESV).
[19] Toynbee, Arnold. A study of history, 12 volume
[20] Van Til, Cornelius. An Introduction to Systematic Theology. Edited by William Edgar (chapter 7, page 141-148).
[21] Ibid. (chapter 8)
[22] Genesis 3:17c-18 (ESV).
[23] Rome 8:22 (ESV).
[24] Rome 8:18-21 (ESV).
[25] Colossians 1:20 (ESV).
[26] Bavinck, Herman. Reformed Dogmatics: Volume 4: Holy Spirit, Church, and New Creation. Edited by John Bolt. Translated by John Vriend. Grand Rapids: Baker, 2008. (p717).
[27] Hosea 2:17 (ESV).
[28] Micah 4:3 (ESV).
[29] Micah 5:9-10 (ESV).
[30] Ezekiel 34:25-29 (ESV).
[31] Isaiah 32:15-20 (ESV).
[32] Isaiah 11:6-8 (ESV).
[33] Kuyper, Abraham. Encyclopedia of Sacred Theology: Its Principles. 1898 ( 2nd division chapter 3).
[34] Augustine. City of God. Translated by Marcus Dods (Book 14, Chapter 28).
[35] Van til, Cornelius. Common Grace and The Gospel.
[36] Matthew 24:7 (ESV).
[37] Matthew 24:11 (ESV).
[38] Matthew 24:12(ESV).
[39] 2 Timothy 3:1-9 (ESV).
[40] Luke 18:8 (ESV).
[41] Revelation 22:3 (ESV).
[42] Revelation 21:4 (ESV).
[43] Revelation 18 (ESV).
[44] Hodge, Archibald Alexander. Outlines of Theology. New York: Robert Carter and Brothers, 1863. (p457).
[45] Job 19:26 (ESV).
[46] Feuerbach, Ludwig. The Essence of Christianity (New York: Harper & Row, 1957) 287.
[47] Athanasius. The Incarnation of The Word of God, Chapter 8, Sec. 55.
[48] Calvin, John. Institute of Christian Religion. Translated by Henry Beveridge. (III.2.42).