Apakah yang membuat seorang manusia mempunyai hidup yang bernilai? Lalu apakah nilai yang dimiliki itu dapat membuat manusia bahagia? Sejarah pemikiran manusia telah mengeluarkan beberapa pendapat tentang hal ini. Kita akan melihat beberapa di antaranya sebelum membahas pemikiran dari seorang Bapa Gereja, yaitu Agustinus.
Georg Simmel dan Uang
Seorang pemikir dari Jerman bernama Georg Simmel mendeteksi kerusakan penilaian manusia di dalam bukunya, The Philosophy of Money. Dia membahas tentang keadaan di mana manusia lebih suka memberikan peringkat berdasarkan urutan nilai untuk segala sesuatu.[1] Tetapi apakah penilaian objektif untuk segala sesuatu? Bisakah seseorang membandingkan karya arsitektural dengan kecantikan seorang manusia?[2] Meskipun dua jenis fenomena itu berbeda, tetap ada sejumlah kenikmatan yang bisa dinikmati oleh subjek penikmat, dan kenikmatan itu, baik yang diberikan oleh karya arsitektur maupun oleh kecantikan seorang manusia, dapat diukur. Ukuran yang dapat disimbolkan dengan sejumlah uang. Uang menjadi simbol nilai suatu benda. Tidak ada ukuran yang dengan akurat bisa membandingkan nilai suatu barang dengan nilai barang lain kecuali uang. Manakah yang lebih bernilai? Sebuah piano atau sepeda motor? Gampang… tanya saja berapa harga kedua benda itu untuk membandingkan. Hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan, bahan-bahan, besar kecilnya minat memiliki, dan banyak tidaknya orang mencari, semua dirangkum dengan nilai uang dari benda tersebut. Tetapi, menurut Simmel, kalau nilai segala sesuatu dilihat dari kenikmatan yang diperoleh subjek, entah itu nilai dari sisi etika, estetika, dan lain-lain, maka kita akan memperoleh dua dunia, seperti dua dunia dalam pemikiran Plato.[3] Dua dunia menurut pendapat Plato terdiri dari dunia ide dan dunia materi yang kita anggap sebagai dunia nyata. Tetapi seluruh keberadaan di dalam dunia materi mendapatkan maknanya di dalam dunia ide. Dunia ide yang melampaui apa yang bisa dilihat, didengar, dan diraba inilah yang memberikan nilai pada apa yang bisa dilihat, didengar, dan diraba. Demikian juga dengan dunia kita sekarang. Makna dari apa yang kita temui semua dinilai dari dunia ide, yaitu uang. Uang menjadi prinsip kesempurnaan utama. Uang menjadi capaian ideal segala sesuatu. Yang lebih celaka lagi adalah karena nilai manusia sering kali direduksi dengan sejumlah uang. Moralitas dan keagungan hidup menjadi hanya sejumlah rupiah saja.
Eudaimonia Aristoteles
Tetapi uang tidak bisa membeli kebahagiaan (dan juga cinta, menurut Paul McCartney). Ini adalah hal yang diketahui bahkan oleh perusahaan kartu kredit raksasa: There are things that money can’t buy… ada hal lain yang lebih penting daripada nilai yang bisa diberikan uang. Keagungan jiwa. Ini tidak bisa dinilai dengan uang. Inilah yang mendorong Aristoteles untuk membicarakan konsep etikanya di dalam karya Nicomachean Ethics.[4] Di dalam karya itu Aristoteles mendorong orang-orang untuk mampu mempunyai cara hidup dengan mengutamakan apa yang paling penting. Misalnya dia mengatakan bahwa kebenaran lebih penting daripada teman-teman kita.[5] Kenyamanan dihargai, diterima, dan dikasihi oleh orang-orang sekitar kita harus siap dilepaskan kalau ternyata hal-hal itu konflik dengan kebenaran. Tetapi apakah itu berarti kita harus menolak segala sesuatu yang baik demi mendapatkan cara hidup yang benar? Apakah kenikmatan hidup adalah antitesis dari kebenaran itu? Ternyata tidak. Menurut Aristoteles kebaikan manusia adalah aktivitas jiwa yang sesuai dengan kebajikan.[6] Dan apakah kebajikan itu? Aristoteles mengatakan kebajikan adalah sesuatu yang menjadi disposisi seseorang. Kebiasaan, natur, dan tindakan, semua dirangkum menjadi satu dalam pengertian disposisi. Seperti batu yang dilempar akan mempunyai disposisi untuk jatuh ke bawah,[7] demikian seseorang akan bertindak sesuai dengan disposisinya. Kesatuan inilah yang membuat tindakan kita ditentukan oleh seperti apakah kita di dalam. Tetapi sebaliknya, tindakan kita di luar juga membentuk seperti apakah kita di dalam. Seseorang yang berani akan bertindak berani dalam situasi tertentu. Demikian juga seseorang yang bertindak berani dalam situasi tertentu akan menjadi orang yang berani. Jadi, bagaimanakah karakter berani seseorang dapat terlihat? Dari tindakan beraninya dalam situasi tertentu. Bagaimanakah karakter berani seseorang dibentuk? Dari membiasakan tindakan yang berani dalam situasi tertentu. Itulah sebabnya seseorang harus membiasakan bertindak secara bajik[8] (virtuous) supaya dia mempunyai disposisi yang bajik, dan dari disposisi yang bajik, dia akan secara natural bertindak bajik. Dalam buku tiga Nicomachean Ethics ini, Aristoteles menjelaskan tentang tindakan yang harmonis dan yang kacau. Untuk bertindak harmonis seseorang harus menundukkan hawa nafsu dan perasaannya kepada pemikiran rasional. Dia tidak boleh bertindak sesuai dengan dorongan hatinya, tetapi harus bertindak sesuai dengan apa yang secara universal harmonis. Saya ingin tidur terus sepanjang hari, tetapi tidak boleh. Saya harus bangun dan bekerja karena ini yang sesuai dengan kebajikan. Saya tidak bisa memuaskan diri saya dengan merugikan orang lain. Saya harus bertindak dengan diatur oleh kebajikan yang sejati. Buku tiga dari karya ini juga yang memberikan daftar tentang tindakan-tindakan yang dapat disebut sebagai kebajikan. Bagaimana bertindak dengan kebajikan dalam penguasaan emosi, dalam keberanian, dalam berelasi dengan orang-orang lain sehingga kita dapat menjadi orang yang virtuous, yaitu orang yang mempunyai kesempurnaan moral.
Kesempurnaan Moral atau Kesenangan Hidup?
Tetapi mengapakah kita harus mencapai kesempurnaan moral? Kesempurnaan moral diperoleh supaya kita mendapatkan kehormatan. Hidup secara terhormat dan diakui sebagai orang terhormat. Tetapi apakah gunanya hidup terhormat jika tidak bisa merasakan kesenangan sensual? Hidup terhormat tapi miskin… apa gunanya? Apa tidak lebih baik hidup dengan sedikit tipu sana tipu sini, lalu meraup keuntungan lebih besar? Bukankah keuntungan yang lebih besar membuat kita lebih leluasa menikmati hidup? Hidup hanya satu kali… kenapa harus dikekang dengan segala usaha sangkal diri pikul salib sehingga akhirnya mengalami pengekangan memuaskan hidup? Kenikmatan hidup dan kehormatan hidup itu berbeda dan berlawanan. Kalau saya mau hidup terhormat, pasti tidak nikmat. Kalau saya mau sepenuhnya menikmati hidup, maka pasti tidak bisa dikatakan terhormat. Lalu bagaimana menikmati hidup? Apa ukuran kenikmatan itu bisa diperoleh? Simmel sudah membahas bahayanya menjawab pertanyaan ini dengan “uang”. Uang mendefinisikan jumlah kesenangan yang bisa saya nikmati. Itulah sebabnya manusia mencari uang sebanyak mungkin, secepat mungkin, sekuat mungkin, lalu setelah itu menikmati sebanyak mungkin dan sekuat mungkin, dan selama mungkin. Work hard play hard. Jadi, bekerja sudah direduksi menjadi uang. Kesenangan juga sudah direduksi menjadi uang. Tetapi Aristoteles mengatakan bahwa kesenangan adalah aktivitas yang selaras dengan kebajikan dan keutamaan moral.[9] Kebajikan tertinggi adalah identik dengan kesenangan sejati. Kita tidak melakukan tindakan yang sesuai dengan keutamaan moral hanya karena mau mendapatkan kehormatan saja. Kita bertindak dengan tepat supaya mendapatkan kesenangan. Tetapi kesenangan sejati tidak bisa direduksi dengan kesenangan yang hanya dinikmati sendiri. Ada begitu banyak kesenangan yang lain, yaitu kesenangan yang diperoleh ketika dihargai oleh orang lain, ketika menghargai orang lain, ketika dapat menolong orang lain, ketika dapat membela kebebasan orang lain, dan seterusnya. Siapa yang mereduksi kesenangan ke dalam nilai rupiah dan kenikmatan pribadi adalah orang yang jiwanya sedang sakit. Dia tidak sehat, apalagi senang. Kesenangannya adalah kesenangan palsu. Kesenangan jiwa adalah kesenangan yang utuh dan dinikmati oleh diri dan orang lain.
Fidelio dan Egmont
Jadi, kesenangan sejati tidak dinilai dengan uang. Tidak juga hanya dinikmati seorang diri. Kesenangan sejati ada pada keadaan jiwa yang agung, yang identik dengan keutamaan moral dan menjadi sesuatu yang dinikmati oleh orang-orang lain juga. Ludwig van Beethoven adalah contoh manusia yang menghargai kebesaran jiwa seseorang lebih daripada keagungan bangsawan ataupun kekayaan seseorang. Beethoven begitu kagum kepada jiwa kebebasan abad ke-19 dan para pahlawan yang rela berkorban demi kebebasan manusia. Ini yang membuat dia kagum kepada Napoleon, pemimpin perang dari Perancis yang menolak pangkat tinggi demi membela Corsica, daerahnya yang ditindas oleh Perancis. Beethoven menulis simfoni ke-3 dan mendedikasikan simfoni ini kepada Napoleon. Tetapi pada awal abad ke-19, karier militer Napoleon menjadi begitu cepat melejit sehingga dia menjadi penguasa baru Perancis di tengah kekacauan pascarevolusi. Begitu mendengar kabar bahwa Napoleon telah mengangkat diri menjadi penguasa baru Perancis, Beethoven sangat marah sehingga dia merobek judul halaman simfoni ke-3 itu dan menggantinya dengan judul “Eroica” yang berarti “Untuk Sang Pahlawan yang Sejati”. Siapakah pahlawan itu? Yang pasti bukan si pengkhianat kebebasan bernama Napoleon. Kekaguman Beethoven kepada para pahlawan juga ditunjukkan melalui satu-satunya opera yang pernah dia tulis, yaitu Fidelio. Fidelio bercerita tentang seorang perempuan yang menyelamatkan suaminya dari penjara. Perempuan ini bernama Leonore. Suami Leonore, Florestan, ditangkap karena aktivitas politiknya. Karena suaminya diperlakukan tidak adil, Leonore menyamar menjadi Fidelio, seorang penjaga penjara, untuk membebaskan sang suami dari penjara. Tema keagungan seorang pahlawan lagi-lagi muncul dalam karya musik Beethoven yang berjudul Egmont. Musik insidental ini ditulis oleh Beethoven untuk seorang bangsawan Belanda abad ke-16 bernama Lamoral dari Egmont, yang membela kaum Protestan di Belanda dari penindasan tentara inkuisisi dari Spanyol. Lamoral sendiri sebenarnya adalah pengikut Katolik yang taat, tetapi dia tidak tega membiarkan orang sebangsanya ditindas meskipun mereka adalah kaum Protestan. Lamoral akhirnya ditangkap dan dijatuhi hukuman mati. Setelah kematiannya, terjadi gerakan pemberontakan yang besar di Belanda yang akhirnya memerdekakan Belanda dari penjajahan Spanyol. Musik Beethoven untuk Lamoral, count dari Egmont ini mencerminkan jiwa pergumulan menuju kemenangan yang sangat khas dalam musik-musik Beethoven. Kebesaran seorang manusia bukan pada hartanya. Bukan pula pada status orang tersebut ketika dia lahir. Kebesaran seseorang ada pada kebesaran jiwanya yang ditunjukkan dengan cara hidup yang memperjuangkan kepentingan sesamanya. Tetapi, meskipun kerinduan Beethoven akan kemegahan para pahlawan begitu besar, karya-karya akhirnya tetap menunjukkan kerinduan yang selalu ada pada hidup Beethoven. Kerinduan yang tidak pernah dia peroleh dengan penuh, yaitu kerinduan akan ketenangan jiwa. Ini tercermin dari karya pianonya yang terakhir yaitu sonata ke-29 yang diberi judul Hammerklavier. Bagian terakhir karya itu penuh dengan counterpoint dan fuga yang berbatasan dengan kekacauan total. Tetapi di tengah-tengah kekacauan, tiba-tiba ada bagian tenang yang nuansanya sangat mirip dengan tema karya-karya yang tenang dan meditatif dari Palestrina.[10] Bagian yang lebih sesuai untuk masuk dalam karya meditatif seperti misa. Meskipun demikian, kekacauan kembali mendominasi bagian selanjutnya. Sebagaimana yang menjadi khas Beethoven, bagian keempat ditutup dengan megah seperti seruan kemenangan seorang pahlawan. Karya-karya sonata piano selanjutnya adalah nomor 30 dan 32 yang merupakan karya sonata piano terakhir Beethoven, juga memiliki nada-nada tenang dan meditatif. Tetapi berbeda dengan sonata 29, nada-nada tenang dan meditatif itu menjadi penutup. Tidak ada lagi akhir klimaks yang mewakili seruan kemenangan perang. Rupanya sang pahlawan sudah lelah menjadi pahlawan. Sang pahlawan sekarang ingin mencari ketenangan jiwa untuk melengkapi keagungan jiwa miliknya yang ternyata masih belum cukup. Sang pengagum pejuang kebebasan manusia ini sekarang mencari cara untuk bebas dari kegelisahan dan mau beristirahat di dalam ketenangan jiwa. Di manakah dapat diperoleh ketenangan jiwa? Pada abad ke-5, Agustinus telah mengatakan bahwa jiwa tidak akan pernah tenang kecuali berada di dalam Allah.
On the Spirit and the Letter
Agustinus, seorang Bapa Gereja yang lahir pada abad ke-4, menulis karya On the Spirit and the Letter untuk melawan konsep yang salah dari pengikut Pelagius. Para pengikut Pelagius percaya akan kemauan dan kemampuan manusia untuk secara bebas mengikuti perintah Tuhan.[11] Tetapi Agustinus menolak hal itu. Bagi Agustinus, manusia hanya dapat berdosa dan berdosa. Manusia tidak mempunyai kemampuan dan kemauan untuk melakukan hal yang lain karena dia sudah jatuh di dalam dosa. Tulisannya dalam On the Spirit and the Letter menjelaskan posisi Agustinus tersebut.
Agustinus mengatakan bahwa manusia begitu senang berdosa sehingga dengan cara yang aneh semua hal berdosa yang kita inginkan semakin memberikan kenikmatan ketika dilarang.[12] Manusia dapat mencari kebajikan sejati, tindakan moral yang paling agung, dan perbuatan yang paling menunjukkan kebesaran jiwa, tetapi tidak ada yang dengan sungguh-sungguh melakukan itu untuk Tuhan. Karena itu, meskipun manusia dapat memahami perbuatan yang dinyatakan sebagai kebajikan tertinggi, tetapi menurut standar Tuhan tidak ada seorang pun yang sanggup melakukannya. Tetapi benarkah manusia dapat memahami kebajikan tertinggi? Ya, kalau Tuhan memberikan firman-Nya untuk menyatakan kebajikan tertinggi itu. Bahkan Aristoteles maupun Beethoven tidak dapat merumuskan dengan mendetail apakah yang menjadi kebajikan tertinggi itu jika mereka merumuskannya lepas dari Pribadi Allah yang menciptakan manusia. Itulah sebabnya Allah menyatakan Taurat-Nya. Manusia diberi Taurat supaya dapat mengetahui kebajikan tertinggi. Tetapi apa yang diberikan Tuhan sebagai penuntun untuk kebajikan tertinggi ternyata menjadi bencana bagi manusia. Firman yang mengatakan “Jangan membunuh” ternyata membunuh manusia karena manusia tidak sanggup menjalankannya, sebagaimana dikatakan oleh Paulus di dalam surat 2 Korintus 3:6 “hukum yang tertulis mematikan…”[13] Kita tidak sanggup menaati Taurat, tetapi kita harus menaati Taurat. Apakah penyebab ketidaksanggupan itu? Penyebabnya adalah karena hawa nafsu jahat yang ada, sekarang mengetahui bagaimana melampiaskan diri dengan melawan hukum tersebut.[14] Manusia berdosa hidup untuk melawan Tuhan dan melampiaskan diri dengan tujuan memberontak terhadap Tuhan. Inilah sebabnya, menurut Agustinus, manusia justru semakin ingin berdosa setelah mengetahui apa yang dilarang. Seperti seorang anak yang membenci gurunya dan ingin mengekspresikan kebenciannya terhadap guru itu, tetapi tidak tahu bagaimana caranya. Lalu gurunya mengatakan, “Anak-anak, besok jangan datang terlambat, ya, karena saya akan sangat sedih kalau kamu terlambat.” Anak yang membenci gurunya akan terdorong untuk datang terlambat sebagai bentuk ekspresi pemberontakannya terhadap guru itu. Demikian juga orang berdosa. Orang berdosa yang membenci Tuhan akan terdorong untuk mengekspresikan kebencian dan pemberontakan terhadap Tuhan ketika dia mengetahui Taurat Tuhan. Lalu kenapa Tuhan memberikan Taurat? Alasannya tetap sama, yaitu supaya manusia mengetahui kebajikan sejati. Maka selain Taurat, Tuhan juga memberikan anugerah-Nya di dalam Roh yang memberi hidup. Hukum yang tertulis mematikan, tetapi Roh menghidupkan (2Kor. 3:6).
Roh Kudus memberikan anugerah pembenaran sehingga kita menjadi mampu menaati Taurat. Inilah konsep pembenaran menurut Agustinus. Pembenaran bukan hanya status menjadi benar. Penekanan Martin Luther memang kepada status ini, tetapi tidak demikian dengan Agustinus. Agustinus lebih melihat keadaan benar ini di dalam perubahan yang nyata untuk menaati Taurat.[15] Beberapa orang Kristen sering kali begitu menekankan kepastian keselamatan dan jaminan masuk sorga di dalam konsep “pembenaran”. Kalau percaya maka kita akan diselamatkan dan masuk sorga. “Puji Tuhan! Nanti kalau mati masuk sorga!” “Bagaimana bisa selamat?” “Dengan iman, bukan perbuatan baik!” Kalimat yang berbahaya kalau dipahami dengan cara yang salah. “Orang Kristen sudah menjadi warga sorga, jadi ngapain ada di bumi? Kok Lebaran kemarin gak pulang kampung ke sorga? Orang Kristen selamat karena iman, jadi untuk apa berbuat baik?” “Oh… itu tanda keselamatan, itu bentuk ucapan syukur, itu optional, boleh ada boleh tidak. Yang penting iman!” Sebenarnya keagungan moral orang Kristen model ini berada jauh di bawah Aristoteles. Penghargaan yang diberikan oleh Beethoven dan Aristoteles terhadap keagungan moral jauh lebih tinggi daripada yang diberikan oleh orang-orang Kristen “sorgawi” model ini. Keagungan moral mutlak perlu. Keagungan moral adalah tanda bahwa kita adalah gambar Allah. Keagungan moral mutlak harus ada sebagai karakter ilahi. Tetapi keagungan moral hanya bisa diperoleh melalui menjalankan Taurat. Inilah konsep Agustinus. Maka harus ada anugerah terlebih dahulu, yaitu Sola Gratia. Hanya karena anugerah saya sanggup menjalankan Taurat. Hanya karena anugerah saya dapat berubah dari orang yang membenci Tuhan dan ingin melampiaskan hawa nafsu untuk melawan Tuhan, menjadi orang yang mengasihi Tuhan dan ingin mengekspresikan gairah mendalam untuk menaati Tuhan. Sama seperti contoh di atas tadi, ketika seorang guru mengatakan, “Anak-anak, besok jangan terlambat ya,” maka reaksi anak yang membenci guru itu adalah, “Saya harus terlambat karena saya membenci guru itu,” tetapi reaksi anak yang mengasihi guru itu adalah, “Saya tidak boleh terlambat. Saya tidak ingin mengecewakan guru itu.” Inilah ilustrasi untuk menggambarkan konsep Sola Gratia Agustinus. Agustinus sangat heran dengan fakta bahwa semakin lama dia semakin menginginkan yang bajik itu. Itulah sebabnya di dalam tafsirannya tentang kitab Mazmur, Agustinus mengatakan bahwa kalau pekerjaan agung itu dari tangannya sendiri, dia tidak akan berani membanggakannya karena Tuhan pasti membencinya. Tetapi kalau Tuhan yang mengerjakan melalui dia, maka Tuhan akan memahkotai pekerjaan agung itu.[16]
Jadi bagaimanakah memiliki moral yang agung itu? Hanya karena anugerah. Anugerah Roh menghidupkan saya. Saya menjadi orang yang mengasihi Allah, merindukan Dia, dan ingin menyenangkan hati-Nya. Demikianlah saya menjadi orang yang mulai menjalankan Taurat bukan karena terpaksa, tetapi karena ingin menyenangkan Tuhan. Taurat tidak lagi membangkitkan keinginan untuk melanggar dalam diri saya yang sekarang sudah diperbarui. Taurat menjadi penuntun yang saya kasihi dan yang saya rindukan. Dan ketika saya mulai melangkah dengan tuntunan Taurat, saya tidak mungkin membanggakan diri atas kemampuan saya. Semua kemampuan untuk taat adalah hanya karena anugerah, Tuhan yang memampukan saya. Bahkan lebih dalam lagi, Tuhanlah yang mengerjakannya melalui saya, Sola gratia.
Penutup
Jadi, apakah yang dapat memuaskan saya? Kesenangan pribadi yang dinilai dengan uang? Tidak, tetapi keagungan karakter yang berasal dari Allah. Akankah keagungan karakter ini menjadi sesuatu yang terpisah dari kesenangan? Tidak. Dapatkah keagungan karakter ini menjamin saya memiliki ketenangan sejati? Ya. Mengapa? Karena keagungan karakter ini muncul dari anugerah Allah yang membenarkan saya dan menghidupkan saya. Anugerah yang membuat saya berkata bersama-sama dengan Agustinus, “…Thou movest us to delight in praising Thee; for Thou hast formed us for Thyself, and our hearts are restless till they find rest in Thee.” (Engkau menggerakkan kami di dalam gairah untuk memuji-Mu; sebab Engkau telah membentuk kami untuk diri-Mu, dan jiwa kami menjadi gelisah hingga menemukan tempat perteduhannya di dalam diri-Mu). – Confessions I.1.
Ev. Jimmy Pardede
Gembala GRII Bandung
Endnotes:
[1] Georg Simmel, The Philosophy of Money, terj. Tom Bottomore dan David Frisby, New York: Routledge, 2011. hlm. 61.
[2] Georg Simmel, hlm. 140.
[3] Georg Simmel, hlm. 169.
[4] Karya etika Aristoteles yang kemungkinan dikumpulkan oleh anaknya, Nicomachos, dari catatan-catatan kuliah etika Aristoteles di Lyceum.
[5] Aristoteles, Nicomachean Ethics I.6.
[6] Nicomachean Ethics I.7.
[7] Nicomachean Ethics II.1.
[8] Nicomachean Ethics II.1.
[9] Nicomachean Ethics X.6-7.
[10] http://audio.theguardian.tv/sys-audio/Arts/Culture/2006/12/13/04-29_bflatmaj_106_2.mp3
[11] Benjamin Warfield, Introductory Essay on Augustin and the Pelagian Controversy, dari Nicene and Post-Nicene Fathers vol. V, hlm. xxxi.
[12] Agustinus mengatakan, “In some strange way the very object which we covet becomes all the more pleasant when it is forbidden.” On the Spirit and the Letter, bab VII. Dari Nicene and Post-Nicene Fathers vol. V.
[13] On the Spirit and the Letter, bab VIII.
[14] Agustinus mengatakan, “Attend, then, carefully, to the apostle while in his Epistle to the Romans he explains and clearly enough shows that what he wrote to the Corinthians, “The letter killeth, but the spirit giveth live,” must be understood in the sense which we have already indicated, that the letter of the law, which teaches us not to commit sin, kills, if the life-giving spirit be absent, forasmuch as it causes sin to be known rather than avoided, and therefore to be increased rather than diminished, because to an evil concupiscence there is now added the transgression of the law.” On the Spirit and the Letter, bab VIII.
[15] Agustinus membahas Roma 1:17 mengenai kebenaran Allah. Dia mengatakan “… [Paul] does not say, the righteousness of man, or the righteousness of his own will, but the “righteousness of God” – not that whereby He is Himself righteous, but that with which He endows man when He justifies the ungodly.” On the Spirit and the Letter, bab XV.
[16] Augustin, Exposition on Psalms, Psalm CXXXVIII.13. Dari Nicene and Post-Nicene Fathers vol. VIII. hlm. 635.