“Jadi, waktu itu sendiri kuukur dengan apa?”
Agustinus, Pengakuan-Pengakuan (11.26.33)
Momen menyambut datangnya tahun baru paling cocok digunakan untuk merenungkan waktu. Orang yang merenungkan datangnya tahun baru umumnya akan merasakan cepatnya waktu berlalu, dan tanpa terasa, kata mereka, kita sudah masuk lagi ke tahun yang baru. Kesan seperti itu tentu saja hanya dapat dibuat oleh orang yang berhenti sebentar untuk memikirkan waktu hidupnya. Jika selama ini waktu dapat berjalan “tanpa terasa” bagi sebagian orang, bukankah itu menunjukkan bahwa mereka selama ini tidak teduh sejenak untuk “merasakan” lalunya waktu? Atau, mereka sekadar melupakan lalunya waktu yang selama ini mereka rasakan. Ketika tiba saatnya mereka berhenti sejenak, mereka kaget dengan tibanya tahun yang baru lagi.
Dengan banyaknya pengalaman seperti ini pada perayaan tahun baru, saya rasa, tidak ada momen lain yang lebih tepat untuk merenungkan tentang waktu. Waktu memang sesuatu yang mengundang keheranan bagi orang yang merenungkannya. Waktu dapat menghancurkan yang baik, tetapi waktu juga dapat menyembuhkan luka. Waktu harus diandaikan dalam mengerti dunia ini, dan waktu adalah kondisi manusia berada. Waktu dapat terasa cepat sekali, tetapi di saat lain ia terasa sangat lambat jalannya. Karena itu, ia pun mengundang pertanyaan banyak filsuf.
Salah satu filsuf yang pernah merenungkan tentang waktu adalah Agustinus. Kutipan yang paling terkenal dari refleksi Agustinus dalam tema ini adalah aporianya[1], “Jadi, apakah waktu itu? Jika tak seorang pun mengajukan pertanyaan itu, aku tahu; jika seseorang mengajukan pertanyaan itu dan aku mau memberi penjelasan, aku tidak tahu lagi” (11.14.17).[2] Sayangnya, banyak yang berhenti pada aporia ini ketika membahas komentar Agustinus tentang waktu, seakan-akan Agustinus tidak mengatakan hal lain tentang waktu, atau tidak memberikan kontribusi penting dalam memahaminya selain pernyataan yang jujur di atas.[3] Padahal, dia menghabiskan lebih dari separuh Buku XI Pengakuan-Pengakuan (selanjutnya akan disebut PP) untuk membicarakan waktu.
Artikel ini bertujuan untuk membawa renungan Agustinus itu kepada jemaat secara umum. Saya yakin bahwa apa yang diungkapkan Agustinus selain penting bagi para filsuf juga sangat bermanfaat bagi para jemaat secara umum hari ini. Dalam artikel ini, saya mencoba menelusuri Buku XI,[4] berusaha mengikuti lika-liku pemikiran Agustinus, dan mengupayakanuntuk menggali harta karun yang diwarisi oleh Bapa Gereja Agustinus kepada kita anak-anak generasi penerusnya.[5] Saya akan memulai dari melihat hal yang memicu keinginan Agustinus untuk memahami waktu. Kemudian, saya memaparkan permasalahan apa saja yang dihadapi Agustinus dalam usahanya memahami waktu, dan solusi apa yang ditawarkan olehnya. Di bagian terakhir, saya akan mencoba melihat signifikansi renungan Agustinus bagi jemaat yang hidup di zaman sekarang.
Asal Mula Renungan Agustinus tentang Waktu
Jika kita mengetahui bahwa Agustinus menulis buku PP untuk menceritakan perjalanan kerohaniannya, dan di dalamnya termasuk banyak pengakuan dosa, dan berisi cerita pertobatan, mungkin kita tidak akan segera melihat hubungannya dengan tema waktu. Untuk apa Agustinus menambahkan refleksi waktu di dalam pengakuannya? Carl G. Vaught mengingatkan kita bahwa diskusi Agustinus tentang waktu harus didekati sebagai bagian yang penting dalam pembahasannya yang komprehensif tentang hubungan antara Allah dan manusia (2005, 101). Hubungan antara Allah dan manusia, titik temu antara yang kekal dan yang ada dalam waktu, adalah persis gambaran tujuan dari ziarah rohani Agustinus. Vaught memberikan pembagian struktur PP yang sangat membantu kita untuk memahami isi dan arah buku tersebut. Buku I-VI menceritakan perjalanan Agustinus untuk bertemu dengan Tuhan, Buku VII-IX menunjukkan bagaimana dia menemukan apa yang dicarinya, dan Buku X-XIII adalah pergumulan Agustinus dalam memahami apa yang telah dia temukan (2005, 104).
Agustinus tidak serta-merta memulai Buku XI dengan langsung membicarakan permasalahan waktu, yang baru secara eksplisit muncul pada 14.17. Dua kalimat pertama Buku XI adalah: “Apakah gerangan mungkin, ya Tuhan, mengingat kekekalan adalah kepunyaan-Mu, apakah gerangan mungkin Engkau tidak mengetahui apa yang kukatakan kepada-Mu atau melihat pada waktunya apa yang terjadi dalam waktu? Kalau begitu, untuk apa segala cerita ini yang kusajikan kepada-Mu mengenai sekian banyak kejadian?” (1.1). Di sini kita melihat koneksi antara Buku XI dengan buku-buku sebelumnya. Setelah panjang lebar menceritakan perjalanan dan pengalaman rohaninya, Agustinus berhenti sejenak untuk bertanya: apakah semua cerita yang dia sampaikan kepada Tuhan ada gunanya? Asumsi Agustinus adalah bahwa Tuhan yang kekal tidak mungkin tidak mengetahui apa yang terjadi dalam waktu. Lalu, untuk apa semua jerih payah menulis selama bertahun-tahun? Agustinus sadar bahwa Tuhan sudah mengetahui semuanya sebelum sempat dituliskannya, tetapi tidak menganggap tulisannya itu sia-sia. Tulisannya memang tidak menambah pengetahuan Tuhan, tetapi bermanfaat untuk membangkitkan rasa cinta Agustinus (dan semua yang membaca tulisannya) kepada Tuhan, dan supaya mereka bersama-sama memuji Tuhan.
Kini, Agustinus ingin mendalami apa yang ditemukannya di ujung perjalanannya, yaitu kebenaran Allah dalam Kitab Suci. Agustinus memulai perenungannya dari Kitab Kejadian, kitab pertama dalam Kitab Suci. Dalam usahanya itu, bukan hanya Agustinus menyadari kerendahan dan keterbatasan pengetahuannya di hadapan Tuhan, dia juga berdoa supaya dia diberikan hikmat agar dapat menjelaskan kebenaran Kitab Tuhan dengan benar, sehingga tidak menyesatkan orang yang membaca tulisannya. Dan karena melalui perantaraan Anak Tunggal-Nya, Tuhan sudah menciptakan dunia dan memanggil umat-Nya untuk datang kepada-Nya, demi nama Anak-Nya itu Agustinus meminta supaya dia “memahami bagaimana pada mulanya Kau jadikan langit dan bumi” (3.5; penekanan dari penulis).
Kelihatannya, persoalan metode sangat penting dalam permintaan ini karena di dalam metode itulah terkandung misteri dan hikmat yang sangat besar. Selain itu, Agustinus menyadari bahwa pertanyaan ini akan mengarahkannya kepada Sang Firman, yang dengan-Nya Tuhan semesta telah menciptakan jagat raya ini. Tuhan tidak menciptakan alam semesta dengan bahan apa pun, karena sebelum penciptaan belum ada bahan apa pun. Tuhan menciptakan dunia ini dengan berfirman.
Namun, Agustinus bertanya lagi, bagaimanakah caranya Tuhan berfirman? Tentu tidak dengan berkata-kata seperti manusia yang ucapannya mempunyai awal, pertengahan, dan akhir. Firman Tuhan itu dikatakan-Nya di dalam kekekalan dan dalam kekekalan tidak terdapat awal, pertengahan, dan akhir. Firman itu tidak mempunyai awal dan tidak akan berlalu seperti perkataan manusia, karena Firman itu adalah Allah dan Dia bersama-sama dengan Allah dalam kekekalan. Sebab itu, “apa yang telah dikatakan tidaklah selesai lalu dikatakan hal lain supaya semuanya dapat dikatakan, tetapi bersamaan waktu dan untuk selama-lamanyalah semua dikatakan” (7.9). Agustinus jelas kesulitan memahami apa yang terjadi dalam kekekalan, yang belum pernah kita alami sebelumnya. Meskipun dia menghindarkan gambaran kekekalan dari alur linear waktu, tetapi pemakaian istilah “tidaklah selesai” maupun “bersamaan waktu” menunjukkan bagaimana Agustinus tetap meminjam konsep yang dia dapatkan dari pengalaman temporalnya.
Memang, untuk menjelaskan sesuatu X yang tak pernah kita alami, yang sama sekali lain dari Y yang pernah kita alami, cara yang paling mudah adalah dengan memakai deskripsi negatif. X itu tidak akan begini dan begitu seperti yang dapat kita temukan dalam Y. X juga tidak mempunyai sifat ini dan itu seperti Y. Akan tetapi, mengenai apa X itu sendiri, kita akan kesulitan menjelaskan. Maka dari itu, meskipun Agustinus tidak dapat menjelaskan kekekalan, kepada orang yang ingin mempersulit orang Kristen zaman itu dengan mempersoalkan apa yang dilakukan Tuhan sebelum dunia diciptakan, Agustinus menjawab bahwa kita tidak dapat menggunakan istilah “sebelum” di dalam kekekalan karena “sesungguhnya tidak ada ‘ketika’ pada masa tidak ada waktu” (13.15).
Pada saat Agustinus tidak dapat menjelaskan kekekalan, bukan berarti dia dapat menjelaskan waktu. Hal ini pun tidak kalah membingungkan baginya. “Apakah sebenarnya waktu itu? Siapa gerangan pandai memberi penjelasan dengan mudah dan singkat tentang waktu? Siapa kiranya mampu menangkapnya, untuk merumuskannya dengan kata, sekalipun dalam pikirannya saja?” (14.17). Dia melanjutkan, jika tidak ada yang bertanya kepadanya, dia anggap dia tahu apa waktu itu; tetapi begitu ada yang bertanya padanya, dia sadar bahwa dia tidak tahu tentang waktu.
Pergulatan Agustinus tentang waktu muncul di ujung ziarah rohaninya, pertemuannya dengan Kitab Suci mengarahkan perenungannya kepada titik paling awal riwayat semesta, yaitu bagaimana semesta itu diciptakan. Dan, permasalahan tentang waktu muncul sebagai efek samping dari permasalahan tentang kekekalan.
Permasalahan-permasalahan dalam Memahami Waktu
Agustinus memang tidak pernah berhasil memberikan definisi waktu, tetapi bukan berarti dia tidak memberikan kontribusi dalam diskusi tentang waktu. Pendalamannya sendiri dalam permasalahan-permasalahan waktu dan solusi yang diberikan merupakan warisan yang sangat berharga bagi kita sekarang.
Meskipun diskusi waktu dimulai dengan aporia, namun, kata Agustinus, “dengan rasa pasti kunyatakan mengetahui bahwa jika tidak ada yang berlalu tidak bakal ada waktu lampau; jika tidak ada yang datang, tidak bakal ada waktu kelak; jika tidak ada yang ada, tidak bakal ada waktu kini.” Maksudnya, Agustinus yakin bahwa waktu itu ada karena ada yang sudah berlangsung, sedang berlangsung, dan akan berlangsung. Ini menimbulkan kesan bahwa ada tiga macam waktu, yaitu waktu lampau, kini, dan kelak.
Pertanyaannya sekarang adalah bagaimana waktu lampau dan kelak itu dapat kita sebut “ada”, karena waktu yang sudah berlalu sudah tidak ada dan waktu yang akan datang belum ada. Waktu kini juga mengandung persoalan. Jika waktu kini terus menjadi kini dan tidak pernah menjadi lampau, itu namanya bukan waktu tetapi keabadian. Agustinus menunjukkan sebuah ironi bahwa waktu kini itu dapat disebut “waktu” jika “alasan adanya adalah tiadanya nanti” (14.17).
Namun, jika waktu lampau sudah tiada dan waktu kelak belum ada, bagaimana istilah “satu tahun telah berlalu”, “sudah lama sejak saat itu”, atau “saya masih harus menunggu sekian lama” dapat kita gunakan? Semua ungkapan di atas mengasumsikan waktu mempunyai ukuran dan dapat diukur. Masalahnya, bagaimana kita mengukur sesuatu yang sudah tiada dan belum ada? Sesuatu yang tidak ada tidak dapat diukur. Satu-satunya yang dapat kita ukur adalah waktu kini, karena itulah satu-satunya waktu yang ada. Jadi cara kita mengatakan sebuah periode di masa lalu itu lama adalah “waktu kini itu tadi lama” (15.18).[6] Karena kita hanya dapat mengukur waktu lama atau sebentar ketika waktu itu masih berupa waktu kini, kira-kira kita dapat berkata bahwa waktu yang tadi kita ukur ketika waktu itu masih kini tadi itu lama.
Agustinus tidak membiarkan masalahnya selesai secepat itu. Dia bertanya lagi: apakah dapat kita katakan bahwa waktu kini itu lama? Apakah masa kini mempunyai rentang? Jika ada, berapa panjang? Apakah seratus tahun? Tentu tidak bisa kita katakan bahwa masa kini adalah seratus tahun. Tidak juga bahwa masa kini itu adalah tahun ini, bulan ini, bahkan hari ini, karena selalu ada jam dalam hari ini yang sudah berlalu dan belum tiba. Masa kini juga bukan jam ini, menit ini, bahkan detik ini, karena kita selalu dapat membagi waktu sampai tak terhingga. Dalam seperseribu detik pun, selalu ada masa yang sudah lewat dan masa yang belum lewat. Untuk mengukur, kita perlu rentang, sehingga masa sekarang yang tidak mempunyai rentang tidak dapat diukur, dan semua usaha untuk merentangkan waktu kini akan membuat waktu kini itu mengandung masa lalu dan masa depan sekaligus, sehingga waktu kini itu sendiri tersisihkan oleh kedua waktu tadi. Sementara itu, masa lalu dan depan tidak mungkin diukur karena sudah tiada dan belum ada.
Pembahasan sampai di sini dapat membuat orang kembali ragu apakah waktu dapat diukur atau tidak. Namun, Agustinus melihat ada hal yang tidak dapat disangkali. “Meskipun begitu, Tuhan,” tulis Agustinus dengan menyadari semua kesulitan ini, “kami dapat mengamati jarak waktu. Jarak itu kami bandingkan yang satu dengan yang lain dan ada yang kami katakan lebih lama, ada yang lebih pendek” (16.21). Selain itu, kita juga tidak dapat menyangkal bahwa kita dapat menceritakan kembali hal-hal yang sudah berlalu, atau meramalkan hal-hal yang akan datang, seperti terbitnya matahari. Hal-hal yang sudah berlalu tidak menjadi tiada seperti waktu lampau, dan hal-hal yang akan tiba bersama waktu yang belum ada bukan berarti tidak dapat ditemukan sama sekali. Ini membuktikan bahwa baik hal-hal yang sudah maupun belum berlalu itu ada. Kita hanya perlu mengetahui di mana dapat menemukan mereka.
Menurut Agustinus, sebenarnya tidak ada tiga macam waktu. Dia yakin bahwa “di mana pun adanya, waktu itu tidak bersifat kelak atau lampau, tetapi kini” (18.23). Maksudnya, satu-satunya tempat masa lampau dan kelak dapat ada adalah di masa kini. Kita menceritakan sesuatu tentang masa lampau melalui ingatan kita di masa kini, dan “yang diambil dari ingatan bukanlah hal-hal itu sendiri, yang sudah berlalu, melainkan kata-kata yang dibentuk dengan bertolak dari gambaran-gambaran yang telah dicetak dalam batin melalui indra oleh hal-hal yang sedang berlalu, seakan-akan jejak” (idem). Masa depan juga hanya dapat ditemukan di masa kini, karena masa depan belum ada. Yang dapat kita lihat dari masa depan hanyalah yang ada sekarang dari hal-hal yang akan datang, seperti tanda-tanda, atau sebab-sebab yang akan menghasilkan akibat-akibat. Dia memberi contoh bahwa kita dapat memprediksi datangnya matahari dengan melihat fajar yang ada sekarang. Karena masa lalu sudah tiada dan masa depan belum ada, salah jika kita mengatakan ada tiga macam waktu. Yang ada adalah “waktu kini dari yang lampau, waktu kini dari yang kini, waktu kini dari yang kelak” (20.26). Ketiganya itu kini karena diakses melalui ingatan (untuk masa lalu), penglihatan (untuk masa kini), dan penantian (untuk masa depan). Ketiganya bersifat kini. Akan tetapi, untuk pemakaian bahasa sehari-hari, Agustinus memaklumi penggunaan istilah “masa lampau”, “masa kini”, dan “masa depan” dengan syarat kedua belah pihak yang berkomunikasi sama-sama memahami maksudnya.
Permasalahan hubungan antara ketiga “macam” waktu di atas perlu diselesaikan terlebih dahulu, baru kemudian Agustinus dapat kembali untuk menyelesaikan permasalahan kesulitan mengukur waktu. Tadi pembicaraan yang terakhir sudah sampai kepada objek yang diukur: bukan masa lalu maupun masa depan, tetapi hanya masa kini yang dapat diukur. Dan karena masa kini tidak berentang, ia juga tidak dapat diukur. Meskipun begitu, fakta bahwa orang mengukur waktu itu tidak dapat disangkal. Namun, apa yang mereka ukur?
Selain masalah objek ukuran ini, Agustinus melemparkan permasalahan baru, yaitu instrumen mengukur waktu. Dengan apa kita dapat mengukur waktu? Pada saat itu, orang mengukur waktu dengan cara melihat gerak benda ataupun gerak bintang. Ini sangat masuk akal bahkan sampai zaman sekarang. Bukankah kita mengukur waktu dengan melihat pada gerakan jarum jam? Bukankah kita menghitung bahwa satu hari telah lewat berdasarkan pergerakan bumi, terbit dan tenggelamnya matahari? Namun bagi Agustinus, ini adalah kesalahan berpikir, karena kita telah menggunakan gerak benda untuk mengukur panjangnya waktu. Yang seharusnya benar adalah sebaliknya: kita menggunakan waktu untuk mengukur masa gerak bintang dan benda-benda lainnya. Buktinya, ketika Yosua memerintahkan matahari untuk berhenti, waktu tidak ikut berhenti, melainkan terus berjalan dan dapat sekaligus mengukur berapa lama matahari terhenti. Ketika jam kita berhenti, waktu tetap berjalan dan kita sekaligus dapat mengukur berapa lama jam kita berhenti berjalan.
Akan tetapi, bagaimana waktu itu sendiri dapat diukur jika tidak dapat diukur dengan gerak benda? Kita dapat mengukur panjangnya sebuah tulisan dari jumlah paragraf, panjang sebuah paragraf dari jumlah kalimat, kalimat dari kata, dan kata dari huruf; tetapi kita tidak dapat mengukur suatu jangka waktu dengan satuan waktu yang lebih kecil karena, seperti yang sudah dikatakan tadi, waktu dapat terus dibagi sampai tak terhingga, dan unit terkecil waktu tidak dapat ditentukan. Jadi, kita tidak dapat mengukur masa gerak benda dengan waktu, tetapi juga tidak dapat mengukur panjang waktu dengan waktu itu sendiri.
Solusi Agustinus
Fakta bahwa kita dapat mengatakan “masa ini panjangnya dua kali masa itu” membuat Agustinus yakin bahwa ada solusi untuk kebingungan ini. Akhirnya, Agustinus berpaling pada rohnya sendiri untuk menemukan jalan keluar bagi permasalahan ini.
Dalam dirimulah, rohku, kuukur waktu. … Dalam dirimulah, kataku, kuukur waktu. Kesan yang ditinggalkan padamu oleh segala hal pada waktu berlalu dan yang tetap tersimpan setelah berlalu, kesan itulah yang kuukur ketika sedang ada, bukan segalanya yang sudah berlalu dan yang menghasilkannya. Kesan itulah yang kuukur bila aku mengukur waktu (27.36).
Jadi, hal-hal berlalu dengan waktu dan meninggalkan kesan di dalam roh. Kesan itulah yang diukur. Jika boleh kita katakan, kesan itulah waktu. Jika kesan itu bukan waktu, tulis Agustinus, kita tidak dapat mengukur waktu. Apakah kesan itu waktu atau bukan, satu-satunya yang dapat kita ukur adalah kesan itu.
Roh menjadi satu-satunya instrumen untuk mengukur waktu karena roh mengingat (hal yang sudah lalu), memerhatikan (hal yang sedang lalu), dan menantikan (hal yang belum lalu). Yang sebenarnya kita maksudkan dengan masa depan yang masih lama adalah “penantian yang lama akan waktu kelak”; dan yang kita maksudkan dengan masa lalu yang sudah lama adalah “kenangan lama akan waktu lampau” (28.37). Di sini baik instrumen maupun objek yang diukur mendapatkan solusi. Waktu, atau kesan waktu (baik lampau, kini, maupun kelak) dapat diukur hanya di dalam roh dan dengan persepsi roh yang berada pada masa kini. Kegiatan roh manusia terbagi menjadi menantikan, memerhatikan, dan mengingat. Dan roh mengerjakan ketiga hal ini dengan sangat baik dan mulus, sehingga waktu yang kita lalui tidak terasa terputus-putus. Agustinus menamai ini “rentangan roh” (distentio animi) (26.33). Roh manusia terentang untuk mengakomodasi masa lampau, kini, dan kelak.[7]
Renungan Agustinus dan Kita
Renungan Agustinus akan waktu tidak hanya menjadi suatu spekulasi teoretis, tetapi mempunyai signifikansi bagi kehidupan dan ziarah rohaninya. Hidupnya berada di dalam waktu. Saat Agustinus menuliskan PP, masa lalunya tersimpan dalam ingatannya, dan masa depan yang dinantikan terus semakin dekat dan melewati penglihatan dan akhirnya menuju kepada ingatan. Dalam ziarah rohaninya itu, dia ingin melupakan kehidupan lamanya yang penuh dengan dosa dan menjalankan hidup baru.[8] Hidupnya dia arahkan bukan kepada masa depan yang sifatnya sementara dan akan berlalu, tetapi kepada kekekalan yang ada di hadapannya. “Di sorga itu aku akan mendengar nyanyian syukur dan menyaksikan kenikmatan-Mu yang tidak datang, tidak pula berlalu,” tulisnya (29.39). Kenikmatan di sorga yang kekal adalah kenikmatan tanpa penantian dan tidak akan berlalu. Itulah yang diinginkan oleh Agustinus.
Seperti yang sudah dikatakan sebelumnya, permasalahan waktu muncul dalam diskusi Agustinus sebagai efek samping dari permasalahan kekekalan yang tidak dapat dia mengerti. Dan pada akhir renungannya ini, Agustinus kembali lagi kepada kekekalan. Bagaimana dengan kita? Kapankah kita memikirkan waktu? Banyak orang baru memikirkan tentang waktu ketika mulai beruban, atau ketika kesehatan mulai meninggalkan tubuh mereka. Agustinus tidak demikian. Dia memikirkan waktu ketika dia mencoba memahami kekekalan. Dan setelah dia selesai memikirkan waktu, betapa lebih lagi dia takjub pada pengalaman kekekalan yang akan diperolehnya ketika dia mendapatkan “panggilan sorgawi” nanti.[9]
Pengalaman kita di tahun-tahun sebelumnya itu sudah berlalu bersama waktu, dan satu-satunya tempat bagi kita untuk mencarinya kembali adalah melalui roh yang menyimpan ingatan kita. Apa yang perlu kita ingat dan apa yang perlu kita lupakan dan tinggalkan? Apa pula yang harus kita nantikan untuk masa kelak? Apakah kita menaruh dan mempertaruhkan kebahagiaan kita di masa depan yang akan berlalu dan sementara itu? Ataukah kita seperti Agustinus, menaruh pengharapan di dalam kekekalan? Saya teringat dengan ajaran Tuhan Yesus yang menyuruh murid-murid-Nya untuk tidak mencari harta di dunia karena ngengat dan karat akan merusaknya dan pencuri dapat mengambilnya, melainkan mencari harta di sorga karena di sana harta tidak akan rusak ataupun dicuri. Ini menunjukkan bahwa dalam kekekalan kebahagiaan tidak akan berlalu. Pengalaman hidup dalam kekekalan yang akan kita dapatkan di dalam Tuhan Yesus nanti tentu akan menjadi pengalaman yang luar biasa, bagi kita yang sudah terbiasa hidup dalam waktu.
Ini bukan berarti kita melupakan kehidupan kita sekarang, yang masih berada dalam waktu. Fakta bahwa waktu dapat diukur, dan yang mengukur waktu bukan jam melainkan roh kita seharusnya membuat kita sadar bahwa kita mempunyai tanggung jawab untuk mengukur waktu kita masing-masing! Bukan perputaran Bumi mengelilingi Matahari yang mengukur waktu kita; bukan datangnya tahun 2013, 2014, dan seterusnya yang mengukur waktu kita; tetapi roh kitalah yang harus mengukur waktu kita, berapa yang sudah berlalu dan berapa yang tersisa. Tahun-tahun baru terus berjalan menuju masa lalu melalui masa sekarang. Kenangan kita akan semakin banyak, sedangkan masa depan kita akan semakin pendek. Apakah kita sudah membaca dengan jeli tanda-tanda masa depan, dan membuat antisipasi? Dalam perjalanan kita kepada kekekalan melalui jalan waktu ini, hendaklah kita mengukur waktu dan berkata seperti Agustinus, “Sekarang tahun-tahun umurku habis dalam keluh kesah dan Kau, Engkau Hiburanku, Tuhan; Engkau Bapaku yang abadi. Aku sebaliknya, aku tercecer dalam masa-masa yang tidak kuketahui aturannya dan pikiranku serta relung-relung jiwaku dikoyak-koyak oleh perubahan-perubahan gaduh, sampai hari arusku akan berkumpul dalam diri-Mu, setelah disucikan dan dibeningkan oleh api cinta-Mu” (29.39).
Erwan
Redaksi Umum PILLAR
Endnotes:
[1] Aporia adalah suatu kondisi keheranan yang dialami ketika sebuah pencarian jawaban filosofis tidak ditemukan. Aporia banyak terjadi dalam diskusi filsafat Sokrates.
[2] Semua kutipan tulisan Agustinus dalam artikel ini diambil dari Pengakuan-Pengakuan (1997), terjemahan dari Confessiones ke dalam bahasa Indonesia oleh Winarsih Arifin dan Th. Van den End. Terjemahan bahasa Inggris oleh Edward B. Pusey digunakan sebagai pembanding.
[3] Misalnya, Paul Ricoeur sangat berhutang pada Agustinus dan menjadikan teori waktu Agustinus sebagai salah satu presuposisi dalam membangun argumentasi dalam ketiga buku Time and Narrative yang diterbitkan pada tahun 1980-an.
[4] Buku XI PP bukan satu-satunya tempat Agustinus membicarakan waktu. Tema itu juga secara sporadis dibahas di karya lainnya, tapi tidak akan dibahas di sini. Pengaruh filsafat waktu Yunani Kuno terhadap Agustinus juga tidak akan dibahas di sini. Singkatnya, meskipun Agustinus mewarisi beberapa pandangan dari zaman sebelumnya, dia memberikan terobosan dan kontribusi yang sangat berarti.
[5] Saya juga membaca penjelasan dari Carl G. Vaught (2005), dan Knuuttila (2001).
[6] Dalam terjemahan Edward B. Pusey (1800 – 1885): “that present time was long.”
[7] Lihat Knuuttila (2001).
[8] Agustinus mengikuti jejak Paulus dalam Filipi 3:12-14.
[9] Istilah yang dia gunakan dalam 29.39, yang dia pinjam dari Paulus dalam Filipi 3:14.
Daftar Pustaka:
1. Agustinus. (1997). Pengakuan-Pengakuan. Terj. Winarsih Arifin dan Th. Van den End. Yogyakarta dan Jakarta: Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
The Confessions of Saint Augustine. Terj. Edward B. Pusey. Public domain.
2. Knuuttila, S. (2001). Time and Creation in Augustine. Dari The Cambridge Companion to Augustine. Editor: Stump, E & Kretzmann, M. Cambridge: Cambridge University Press.
3. Ricoeur, P. (1984). Time and Narrative, Volume 1. Terj. Kathleen McLaughlin dan David Pellauer, Chicago dan London: University of Chicago Press.
4. Vaught. C. G. (2005). Access to God in Augustine’s Confessions: Books X-XIII. Albany: State University of New York Press.