Ada prinsip perang Konfusius yang penting: “Mengeluarkan militer tanpa cukup alasan, pasti kalah.” Kalimat ini membuat orang Amerika mau tidak mau harus percaya dan mereka akhirnya kalah di Vietnam. Amerika sempat memutuskan untuk ikut berperang di Irak. Untuk itu mereka harus mencari alasan yang cukup untuk bagaimana bisa terlibat di sana. Di sini kita melihat ada semacam filsafat Tiongkok yang secara tidak sadar memengaruhi pola pikir Barat. Mencari alasan yang cukup, dan sampai bisa mendapatkan alasan yang cukup baru berani keluar. Ketika mereka mencari alasan, mereka sempat bertanya kepada Billy Graham, lalu orang-orang Katolik juga bertanya kepada Paus. Ketika itu Paus mengatakan, “Jangan perang.” Mother Teresa di India juga bilang, “Jangan perang.” Hanya Billy Graham yang bilang, “Perang.” Ketika itu saya tegang, karena bagi saya ini adalah hal yang bertentangan, ini pasti bukan filsafat Tiongkok. Hidup kita untuk Tuhan, tetapi sekarang tiga tokoh Kristen yang sama-sama terkenal, sama-sama dikagumi dunia, seperti Paus yang mewakili orang Kristen (Katolik) sekitar 800 juta jiwa, mengatakan jangan berperang; lalu Mother Teresa, yang memengaruhi ratusan juga orang, juga mengatakan jangan berperang. Tetapi Billy Graham malah mengatakan perang.
Hal ini bisa menyebabkan kaum Injili dibenci dan dianggap sebagai simbol yang mewakili kebencian dan sikap permusuhan. Ketika kaum Injili yang mempunyai pendirian harus berperang, maka nanti itu akan menjadi kesulitan untuk memberitakan Injil ke negara itu. Lalu bagaimana respons dari orang-orang Islam terhadap pernyataan ini dan terhadap orang Kristen, termasuk di Indonesia? Saya saat itu sangat sulit berpikir. Namun, sebenarnya di dalam hati, saya setuju berperang. Jika Saddam Hussein tidak dihadapi dengan tegas, maka besok-besok akan menjadi kesulitan besar bagi dunia. Ketika dia akan bertindak semau sendiri, seluruh Asia Timur akan menjadi apa? Saat itu saya sangat sulit, tetapi saya adalah orang yang harus jujur dan harus berani. Itu sikap saya. Akhirnya mereka menemukan di dalam buku Agustinus suatu istilah, dan ini hanya dimuat di majalah Newsweek, di dalam satu kolom kecil, yang mengatakan: The just war, the war of justice (berperang berlandaskan keadilan). Misalnya satu negara kecil diserang dan dipermainkan oleh negara besar, maka perlu ada suatu tindakan keadilan universal yang dilakukan negara-negara secara internasional untuk mempertahankan dan membela keadilan dari negara kecil tersebut. Maka alasan perang ini bisa disetujui.
Filsafat Tiongkok mengajarkan bahwa jika berani mengeluarkan militer, mengeluarkan tentara, harus mempunyai alasan yang cukup. Ini bedanya imperialisme dan militerisme Cina. Filsafat militer Cina bukanlah filsafat invasif (chinese philosophy of militarism is not invasive). Jadi orang Tionghoa lebih banyak berperang di dalam daripada berperang ke luar dan menjajah daerah orang lain. Orang Tionghoa kalau di luar terlihat begitu rendah hati, begitu penakut, tetapi di dalam kamar, menjadi pahlawan dan berani sekali. Maka tahu hanya perang sendiri di dalam kamar.
Berbeda dengan filsafat militer Barat yang lebih invasif. Spanyol menjadi raja laut. Spanyol menjadi raja di lautan selama beberapa ratus tahun, menjelajah dan menjajah daerah-daerah asing. Tetapi kemudian Spanyol digantikan oleh Inggris. Di bawah komando Admiral Nelson, tentara angkatan laut Inggris menghancurkan seluruh batalion Spanyol di Atlantik. Admiral Nelson adalah pahlawan perang Inggris yang luar biasa. Dia diabadikan dengan nama satu jembatan utama di London dan juga patungnya dengan empat singa didirikan di Trafalgar Square, London. Satu lagi jenderal Inggris yang terkenal adalah Wellington, yang mengalahkan Napoleon. Satu di laut, satu di darat. Saat itu belum ada pesawat terbang, jadi belum ada angkatan udara. Kapal terbang tempur baru ada dipakai untuk menghentikan Perang Dunia I. Pesawat terbang digunakan dalam peperangan pada Perang Dunia II di mana 20.000 pesawat terbang tempur saat itu dipimpin oleh Jenderal Eisenhower masuk dari Balkan menghantam Berlin. Saat itu pesawat tempur Amerika melawan Jenderal Zhukov dari Rusia.
Kita mengetahui bahwa kekuatan kekuasaan lautan Spanyol dihentikan dan digantikan oleh Inggris, tetapi tidak banyak orang tahu kapan Spanyol mulai berkuasa di lautan. Sebenarnya penguasa lautan sebelumnya adalah dari Cina, yaitu Sanbao Taijian, atau lebih dikenal dengan Sam Poo Kong. Ia adalah sida-sida dari Dinasti Ming, seorang yang dikebiri untuk menjaga wanita-wanita di istana. Ia menjadi jenderal laut yang sangat kuat dan membawa armada laut yang sangat besar untuk berkelana. Armada Tiongkok menjelajah dunia sampai ke Madagaskar. Dibandingkan dengan armada Sam Poo Kong, maka Spanyol sebenarnya bukanlah bandingan sama sekali. Barulah setelah Tiongkok menyatakan tidak mau lagi memperkembangkan armada laut dan menghentikan semua misi di lautan, Spanyol bisa berjaya di lautan. Setelah raja Tiongkok turun, barulah mereka bisa naik.
Itulah sebabnya di Madagaskar hingga saat ini bisa kita dapatkan banyak guci-guci dari Dinasti Ming. Itu dikarenakan Sanbao Taijin membawa armadanya keliling tujuh kali masuk ke lautan dunia, dan 13 tempat dan beberapa benua dijelajahinya, termasuk ia juga mampir dan sempat meninggalkan peninggalan-peninggalan di Indonesia. Di Indonesia, kita bisa mendapatkan piring-piring dari Dinasti Yuan, Song, Ming, karena berasal dari kapal-kapal itu. Ini dapat kita lihat di Museum Nasional, di mana 85% benda keramik di dalamnya berasal dari Tiongkok. Hanya 5% dari Jepang, 5% dari Thailand dan Anamis, dan 5% lagi dari daerah-daerah lain yang tidak terlalu terkenal. Keramik dari Dinasti Qing hampir tidak ada, mungkin kurang dari 2%. Semua ini bisa terjadi karena ada jalur perdagangan antara Cina dan Indonesia selama lebih dari 2.000 tahun, sehingga bisa kita temukan keramik yang bahkan dari zaman sebelum Kristus. Engkau tidak akan menemukan guci Cina di Amerika Serikat lebih dari 500 tahun lalu, karena waktu itu Tiongkok sama sekali tidak pernah ke situ dan benua itu pun masih belum ditemukan.
Asia Tenggara menjadi tempat adanya kesempatan mendapat barang-barang kuno yang paling indah, paling baik, guci-guci yang indah dari zaman Sung dan Ming (yang terbanyak dari Dinasti Ming). Di Bandung, ada seorang raja tekstil yang memiliki koleksi guci, tempayan yang sangat bagus dari Dinasti Ming, lebih dari 500 buah. Saat itu kalau ada guci yang dia sudah tidak suka atau ada sedikit cacat, direvisi lalu diberikan ke museum. Jadi saat itu museum hanya mendapatkan barang-barang pemberian. Museum ini didirikan di zaman Belanda yang usianya lebih 100 tahun, dan memiliki koleksi keramik Tiongkok 10 terbesar di dunia dan terbanyak di seluruh Asia Tenggara. Ini akibat waktu itu Tiongkok memiliki Sam Poo Kong yang pergi keliling dunia untuk berdagang. Ia tidak pernah berusaha menjajah daerah yang ia datangi, kapalnya membawa barang-barang Tiongkok, dan kembali membawa barang-barang dari daerah yang ia kunjungi. Jadi Sanbao Taijin ini membawa militer bukan untuk menjajah.
Filsafat peperangan Tiongkok bukanlah untuk melakukan invasi atau penjajahan, tetapi adalah untuk mempertahankan diri dan tanah air sendiri. Inilah cara berpikir Tiongkok. Jadi ketika orang berbicara tentang peperangan Tiongkok, terus perang, penuh kebencian, dan sebagainya, saya tahu bahwa dia belum mengerti secara tuntas cara berpikir filosofis orang Tionghoa. Jadi ketika kita membaca surat kabar atau berbagai informasi lainnya, kita harus memiliki pemikiran kritis balik terhadap berita itu dan tidak menelan mentah-mentah.
Kita mendirikan Institut Reformed untuk memberikan satu pikiran yang paling penting dari firman Tuhan, dari takhta Tuhan untuk bisa melihat filsafat, dari filsafat yang satu ke filsafat yang lain, di mana dengan itu kita dapat memiliki pengertian yang komprehensif, menyeluruh, lalu memiliki pendirian yang teguh sebagai orang Kristen. Yang memberikan kekuatan kepada orang Kristen untuk bisa berdiri tegak sebenarnya harus bersandarkan pada Theologi Reformed. Kalau bukan Theologi Reformed yang mementingkan mandat budaya, banyak orang Kristen yang akan tersesat dengan berbagai pikiran dunia. Akibatnya banyak orang terbawa kepada “dukun-dukun” Kristen yang memakai jubah pendeta. Ini hal yang sangat disayangkan. Kiranya kita bisa belajar lebih teliti, lebih kritis berlandaskan otoritas firman Tuhan. Amin.
